Read More >>"> Sekretaris Kelas VS Atlet Basket (Hujan Pertama) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
MENU
About Us  

Amira merebahkan tubuhnya yang sedikit kedinginan. Barusan saja, ia pulang dari rumah Bu Lusi yang ada di perumahan kompleks sebelah. Untung aja, Gilang lagi dalam mode baik jadi mau-mau aja disuruh mengantarnya.

Dalam hati sebenarnya Amira bertanya-tanya, si Gilang lagi sakit atau emang dapat hidayah? Jujur Amira agak aneh dengan situasi seperti tadi.

Hasss, bodo amat dengan apa yang tadi dilakukan Gilang. Palingan sifat aslinya bakal balik lagi esok harinya. Yang jelas, sekarang Amira sangat capek dan ingin segera bobok. Kasur empuk dan selimut tebal yang kini menemaninya membuatnya merasakan kantuk yang dahsyat. Godaan untuk segera berpetualang di dunia mimpi tak bisa Amira tahan lagi. Perlahan, matanya pun mulai terpejam.

“AMIRA!”

Batal. Amira tidak jadi merem.

“Ada apa, Ma?” jawab Amira dari kamarnya.

“Makan dulu, Mama udah buatin susu hangat!” Amira menghela napas panjang. Perhatian yang diberikan Mamanya membuatnya merasa bahwa ia tidak sendiri. Ya, setidaknya ia masih punya keluarga yang sungguh-sungguh menyayanginya.

“Iya, Ma. Amira turun.”

Sesampainya di meja makan, gadis itu memilih duduk di sebelah Dira, wanita yang merawatnya hingga berusia remaja ini.

“Di minum dulu susunya, biar anget.” Amira menurut. “Kok kamu pulangnya telat banget, sayang?” tanya Dira.

“Oh, tugas sekretaris numpuk, Ma. Hehehe.” Amira nyengir.

“Tadi yang nganter siapa? Mama ngintip dari jendela, loh,” goda sang Mama membuat Amira mengernyit.

“Gilang yang nganter,” jawab Amira.

“Oh, itu yang namanya Gilang. Kamu suka berantem ya, sama dia?” tanya Dira membuat Amira tersedak sawi yang barusan ia sendok.

“Kok Mama tahu.”

“Lah, tadi pas Mama ngintip...”

Flashback

“Ini kan rumah lo?” tanya Gilang.

“Hooh. Oh ya, gue tanya lagi. Tadi lo ngapain nungguin gue?” tanya Amira setelah turun dari motor Gilang.

“Masih aja tanya itu. Bosen gue.” Gilang melipat tangannya di depan dada, “lagian gue cuma iseng aja kok nungguin lo. Nggak ada faktor lain, jangan geer.”

Idiih. Kirain kayak di novel-novel gitu, ditungguin sampai pulang, kan itu sweet.” Gilang mengangkat sebelah alisnya. “yah, tapi lo mah bukan karakter cowok dalam novel, dih amit-amit.” Mata cowok itupun melotot.

Anjirr. Gini-gini juga gue cowok romantis kali. Tapi bersikap manis ke elo tuh nggak ada faedahnya, kurang kerjaan. Lagian, lo tuh tipe cewek yang bisanya marah-marah dan suka ngajakin ribut,” oceh Gilang.

“Ngaca, woy! Yang suka ngajakin ribut tuh elo!”

Gilang hanya mencibir dan menampilkan wajah devil-nya. Amira pun makin geram dibuatnya. “Yaudah! Sana pulang! Nggak usah mampir!”

“Bangsat, siapa yang mau mampir?” balas cowok itu menggerutu. Matanya hanya melotot bingung saat melihat Amira berjalan santai membuka pagar rumahnya. Dalam hati Gilang bertanya, ‘tuh anak nggak peka atau emang oon?

Tanpa diduga gerimis datang membuat Amira refleks mendongak. “Yahh,” gerutunya. “Lang! Hujan, Lang!”

“Iya gue tahu. JAKET GUE WOY!” teriak Gilang.

Amira pun menatap jaket biru dongker yang masih menempel di tubuhnya. Ia menghela napas kesal. Dengan segera ia melepaskannya dan memberikannya pada Gilang sebelum tuh cowok ngomel-ngomel. “Nih”

“Lo nggak bilang makasih gitu? Helow, gue udah nungguin lo, nganter lo pulang, bahkan gue mau lo ajak mampir ke rumah Bu Lusi,” tanya Gilang menautkan kedua alisnya.

“IYA IYA MAKASIH.” Amira menjawab dengan keras. “Udah ya, gue mau masuk. Hujannya tambah deres.” Amira hendak melarikan diri.

“HEY!!” teriak Gilang.

Amira berbalik dan menatap cowok itu.

“Tayoo hey tayoo... dududududu.”

“Bangke lo, sana pulang!” Amira mengumpat dan Gilang hanya ketawa ngakak sambil melambaikan tangannya singkat.

Tiinn tiinn

“Dasar tai cicak.”

Flashback off

“...gitu,” ucap Dira mengakhiri.

“Ohh, itu udah biasa, Ma. Nggak usah khawatir ya, Mira nggak takut sama yang namanya Gilang itu.” Dira mengangguk dan tertawa singkat menanggapinya.

Kamu tumbuh menjadi gadis yang pemberani, Mira. Dirimu sangat mirip seperti almarhum Ayahmu. Ibumu pasti juga bangga telah melahirkanmu.

***

Keesokan harinya, Gilang seratus persen menjadi babunya Amira. Ingin tahu seperti apa Gilang sekarang? Mari mari, kita tengok dia di kantin SMA Negeri Hijau.

“Makasih, Gilang,” ucap Amira dengan nada menyebalkan.

Ingat, dia sengaja.

“Iya, kutil.”

“Apa lo bilang?”

“Apaan? Salah denger lo. Silahkan lanjutin makannya, Tuan Putri.” Gilang mencibir.

“Gilang, ambilin tissue di meja seberang dong! Yang di meja ini tissue-nya terlalu tipis, gue nggak suka,” ucap Fadia membuat mata Gilang melotot.

“Gue bukan pembantu lo. Ambil sendiri sana!”

“Ambilin lah! Gue kan juga temennya Amira, jadi lo harus nurutin kemauan gue juga,” kata Fadia.

“Ya nggak bisa, dong. Heh, lagian ya... tissue disini tuh nggak ada bedanya. Pakai aja yang ada di meja ini!” suruh Gilang frustasi.

“Gilang Gilang... turutin perkataan Fadia.” Gilang melotot ke Amira yang berbicara. Dengan berat hati cowok itupun melangkah ke meja seberang untuk mengambil tissue yang diminta Fadia.

“Nih!” Gilang menaruh kotak tissue itu dengan keras di atas meja.

“Makasih, Gilang,” ucap Fadia dengan senyum kemenangan.

“Gilang ganteng,” panggil Mitha dengan nada ada maunya.

“Apaan? Lo juga mau nyuruh gue?”

“Hehehe. Ambilin sedotan yang disana dong, punya gue jatuh nih,” suruh Mitha sambil menunjukkan sedotannya yang barusan dijatuhkannya dengan sengaja.

“Astagaaa, Dugong....” Gilang meremas rambutnya frustasi. Dengan langkah berat, tuh cowok mengambil sedotan yang ada di meja kasir.

“Nih, makan sekalian!” Gilang langsung memasukkan sedotan itu ke dalam gelas Mitha.

“Hahaha. Lo cocok banget jadi ginian, sumpah!” Amira ngakak sendiri melihat cowok itu yang mau aja disuruh-suruh dengan tidak elit.

“Lo puas kan?” tanya Gilang.

“Belum. Gue juga minta tolong, dong,” ucap Amira.

Gilang menjambak rambutnya sendiri dengan emosi.

“Ambilin mangkok kosong satu!”

“Buat apaan, Mir?” tanya Fadia.

“Ada, lah. Buruan Gilang, ini yang terakhir deh, oke?” Gilang menghela napas panjang berusaha sabar.

Tak lama kemudian Gilang kembali dengan satu mangkok kosong. “Yang terakhir.” Cowok itu meletakkannya di samping mangkok Amira yang masih penuh dengan bakso.

“Oke, makasih.” Amira tersenyum manis pada Gilang dan cowok itu cuma memandang Amira dengan datar. “Kenapa masih disini? Oh sori-sori, lo ngira gue mau ngajakin lo makan bakso bareng, ya? Ekhem, enggak Lang. Lo boleh balik kok.”

Gilang tersenyum miring membuat ketampanannya bertambah dua kali lipat. “Oke, untung lagi di tempat umum. Kalau nggak udah habis lo.” Gilang berbalik dan Amira beserta dua temannya saling pandang kemudian tertawa geli.

“Lo diancem tuh,” ucap Fadia masih dengan kekehannya.

“Pasti Amira dong yang menang,” sahut Mitha.

***

Teeet teett

Bel pulang telah berbunyi diiringi dengan sorakan gembira anak-anak 11 IPA 5. Sebagian besar semua penghuni kelas ini langsung berhamburan keluar kelas. Menyisakan beberapa murid yang masih sibuk mengurus ini dan itu.

Misalnya, yang paling menonjol adalah para petugas piket. Berikutnya, yang menonjol kedua adalah Gilang dan Elvan karena mereka sedang konsermenyetel musik Korea dan keduanya nge-dance dengan kompak. Nah, yang menonjol terakhir adalah Amira, karena ia tengah mengisi jurnal kelas untuk pendataan jam terakhir.

“Van, Lo keliru! Pas bagian muter itu, lo kurang ke bawah,” ucap Gilang pada Elvan.

“Hah?”

“Yang bener tuh gini.” Gilang menunjukkan gerakan dance yang benar pada Elvan. Dan Elvan sendiripun tampak serius memperhatikan Gilang.

“Oh, jadi part yang ini gue kurang lentur gitu?” tanya Elvan yang sudah paham.

That’s right.” Gilang mengacungkan ibu jarinya.

“Kalian kenapa nggak gabung aja sih sama boygroup Korea itu?” tanya Nafa, seorang k-popers akut yang baru selesai menyapu kelas.

“Nggak, ah. Kita mau bikin grup sendiri. Ya kan, Van?” tanya Gilang yang mendapat tatapan bingung Elvan.

“Lo aja sendiri. Gue mah cuma iseng,” Gilang pun menampol pipi Elvan dengan penuh perasaan.

“Tapi serius loh, kalian kan jago nge-dance. Yahh, walaupun suara kalian...” Nafa cuma menggantung kalimatnya sambil nyengir.

“Iya, iya. Kita tahu kok, suara kita itu kayak emas yang paling bersinar, permata yang paling berkilau dan juga berlian yang paling mahal. Ya kan, Mir?” Gilang melempar pertanyaan pada Amira yang baru selesai dengan jurnal kelas.

“Hah? Apa?” Amira kaget.

“Tadi kata Gilang, lo kalau lagi serius kelihatan cantik kayak berlian,” ucap Elvan yang langsung dihadiahi jitakan oleh Gilang.

“Bangsat.”

“Ya udah gue duluan, ya.” Amira pamit pada temannya yang masih ada di kelas.

“Oke. Naik apa, Mir?” tanya Hanifa.

“Biasa. Angkot warna orange.” Hanifa ber-oh ria dan Amira langsung keluar dari kelas itu.

“Lang,” panggil Elvan.

“Ck. Apaan?”

“Lo nggak nganterin si Amira? Kan lima hari ini lo jadi babu-nya,” tanya Elvan dengan menekankan kata babu.

“Kalau dia nyuruh gue, baru gue jalan. Kalau nggak, ya ngapain repot-repot,” balas Gilang santai.

Dih.”

Sementara itu di jalan raya, Amira sudah ada di dalam angkot yang ramai oleh penumpang. Gadis itu memang tidak menyukai keramaian yang terlalu berlebih, tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak ingin merepotkan Mamanya.

DiraMama tiri Amira, sering sekali menawari Amira untuk naik mobil pribadi ataupun menyewakannya sopir pribadi, tetapi Amira selalu menolak dengan halus. Tentu saja diakhiri dengan alasan yang ia rangkai sendiri untuk meyakinkan Mamanya kalau ia bisa mandiri.

“SMA mana lo?”

Amira tersentak. Ia meneguk ludah dan melirik ke sebelahnya. Peristiwa yang belum pernah terjadi di hidupnya selama enam belas tahun ini... menimpa dirinya di tempat yang sungguh mendukung! Iya, ini Amira lagi di perhatiin sama dua cowok asing di dalam angkot bagian belakang.

Gadis itu tak menjawab dan hanya mengabaikannya.

“Jangan diem aja dong. Cantik-cantik masa bisu, sih?” Dua remaja tengil yang merupakan murid SMA itu masih saja mengajak Amira untuk bicara. Sedangkan gadis itu tetap diam malas menanggapi ocehan tak berfaedah mereka.

Anggap aja gue lagi dengerin music rock, batin Amira.

“Bang, kiri.” Sebuah suara wanita memberhentikan angkot ini. Mungkin ini kesempatan Amira untuk ikut-ikutan turun. Walaupun rumahnya masih lumayan jauh, tapi seenggaknya ia tidak digangguin sama duo kampret ini.

“Eh, tunggu bentar dong. Buru-buru amat lo. Btw, mau ke bawah jembatan sama kita nggak?” tanya salah satu dari remaja berandalan itu sambil menahan lengan Amira.

“Yak, ngapain ngajak gue?! Ogah.”

“Halah, pura-pura nggak mau kan?”

“Gue bisa silat ya, jangan banyak bacot deh.” Amira memberanikan diri menjawab dua cecungut brengsek ini.

“Wih, jago silat bro.”

Yah, sialan, angkotnya udah jalan lagi, gerutu Amira dalam hati.

Bodo amatlah, gue berhenti disini aja.

“Bang, kiri!” ucap Amira dengan keras.

“Oke,” balas supir angkot itu.

Begitu Amira turun, lebih sialannya lagi, dua cowok kurang ajar itu juga ikut turun. Amira benar-benar malas meladeni manusia kurang kerjaan kayak mereka. Mencoba mengabaikan, ia terus melangkah karena hari mulai sore.

“Jalannya cepet amat elah.” Lagi-lagi Amira terkejut karena suara menjengkelkan itu masih ada di sekitarnya. Dengan kesal Amira berbalik dan langsung menonjok muka orang itu.

Namun, setelah melakukannya, Amira sungguh-sungguh menyesalinya.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Nobody is perfect
12139      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
November Night
335      234     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Story Of Me
3192      1148     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
994      630     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
The War Galaxy
11258      2330     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9214      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5727      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance