“Selamat pagi, Amira.” Gadis yang sedang menyapu karena kebagian tugas piket di hari Senin itupun tersenyum manis menanggapi sapaan Gilang.
“Lang,” panggilnya menghentikan langkah cowok itu yang hendak menaruh tas di bangku.
Gilang berbalik dan menaikkan satu alisnya tanda bertanya.
“Gantiin tugas piket gue dulu, ya. Gue mau ke kelas dua belas, ada urusan.” Dan Gilang masih menatap manik mata Amira dengan wajah datar.
“Enak aja main nyuruh-nyuruh,” jawabnya hendak nyelonong pergi.
“EH? Jangan berlagak lupa.” Amira menarik lengan Gilang membuat cowok itu langsung menghadap ke arahnya.
“Apaan?” tanya Gilang.
“Kamis kemarin kita kan udah saling sepakat.” Gilang menaikkan satu lagi alisnya berlagak bodoh. “Apa perlu gue ingetin lagi, hah?” tanya Amira.
Gadis itu menghela napas panjang karena Gilang terus-terusan bersikap menjengkelkan.
“Satu, lo kalah main sama gue. Jadi, lo harus nurutin kemauan gue selama lima hari. Dua, kita udah sepakat kalau setiap pagi lo harus nyapa gue dengan sangat halus. Tiga, lo nggak boleh bentak-bentakin gue. Empat, semua hal yang berhubungan dengan kesekretariatan cuma hak gue doang.” Amira menatap Gilang yang sepertinya menahan marah.
“Cuma itu kan? Gue udah tau,” jawab Gilang.
“Lima.”
“Kemarin kan cuma empat,” protes Gilang.
“Gue lupa bilang karena angkot orange gue keburu lewat. Yang kelima... berhubung gue jarang sarapan....” Gilang menatap Amira was-was. Perasaannya mulai tidak enak.
“Apaan, buruan?!” tanya Gilang tak sabar.
“Selama lima hari ini lo harus bawain gue bekal buat makan istirahat pertama.”
Gilang melotot dengan mulut terbuka.
***
Saat ini, cowok yang sedang meratapi kesialannya itu tengah menghibur diri di rooftop sekolah. Sebentar saja. Dia hanya ingin melampiaskan kekesalannya pada langit.
“Dia kurang ajar kan? Seenak jidat aja dia ngasih peraturan nggak masuk akal kayak begitu. Menurut dia gue ini apaan? Bener-bener bangsat si Amira itu.”
Gilang menatap langit dengan marah.
“Gue nggak mau jadi babunya Amira. Padahal kan gue pengennya dia yang kalah, biar bisa gue suruh-suruh. Kenapa malah gue yang jadi baby siter-nya dia?”
“Karena alam udah memutuskan begitu pe’a.” Sebuah suara muncul di belakang Gilang.
“Ngapain lo?” tanya Gilang terkejut.
“Salah sendiri, sih. Sok-sok nantangin, udah gitu punya niat jelek lagi. Untung Tuhan itu benar-benar adil. Sekarang, Dia mau bikin lo jadi baik sama gue. Yahh, walaupun cuma lima hari, sih. Tapi nggak apa,” ucap Amira. Gilang pun tambah lesu dan langsung menidurkan tubuhnya di atap sekolah itu.
“Terus lo ngapain kesini? Kalau butuh kan tinggal telfon doang,” tanya cowok itu melirik Amira dari sudut matanya.
“Pulsa gue abis.”
“Cih, bikin malu.”
“Dih, apa urusannya? Kalau pulsa gue abis kan tinggal nyari lo aja. Sekarang kan udah ketemu, nih.” Amira berucap senang. Sedangkan tampang Gilang tambah kusut layaknya kulit jeruk yang udah busuk.
“Oke, lo mau apa? Buruan bilang!”
Amira mengeluarkan sebuah buku kecil yang mirip seperti diary. Tetapi, itu bukan buku diary melainkan buku catatan biasa.
“Nih, bikinin gue puisi yang bag-
“What The Hell?! Ogah!”
“Gue belum selesai ngomong!”
Gilang langsung berdiri dan berkacak pinggang menatap Amira dari atas sampai bawah.
“Gue udah bilang ogah! Pokoknya gue nggak mau! Lo ngejebak gue banget sih, mana bisa gua bikin gituan??” Gilang menunjukkan tampang memelasnya, tetapi tidak mempan bagi Amira.
“Halah alesan. Pokoknya bikinin, tema-nya KCR.”
Alis Gilang tertaut dan mulutnya tampak komat-kamit. “A-apaan dah KCR?”
“Kisah Cinta Remaja.”
“IDIH. OGAH!” Gilang pun langsung kabur dari sana meninggalkan Amira yang ngomel-ngomel.
“Gilang! Woy!”
***
Sore ini, Amira masih setia di kelasnya karena tugas sebagai sekretaris menumpuk. Banyak sekali dokumen penting dan tugas-tugas yang berhubungan dengan data kelasnya. Masih mending kalau dikumpulkannya besok atau lusa. Lah ini! Setelah magrib Amira harus setor ke BK. Yang mana artinya, ia harus ke rumah Bu Lusi untuk memberikan langsung flashdisk berisi data penting itu.
“Udah jam empat,” gumamnya.
Secepat mungkin ia menyelesaikannya agar dirinya tidak bertemu dengan malam. Ia memang tidak bermasalah dengan malam, tetapi kalau sendirian di jalan saat malam, itu yang masalah.
“Ahh, akhirnya kelar. Capek banget gue.” Ia membereskan buku-buku dan laptopnya. Setelah selesai ia kembali menatap jam di tangannya. “Buset, jam lima.”
Amira terperangah dan ia langsung bergegas keluar dari kelasnya.
“LAMA.”
“Huwaa!”
Amira terkejut melihat sosok tinggi berdiri di hadapannya. Ia menatap cowok itu dari atas sampai bawah dengan perasaan tidak tenang.
“Lo Gilang?” tanyanya.
“Hadeh, buruan balik! Ditungguin dari tadi, lama lo.” Amira berusaha melepas tarikan tangan Gilang yang memaksanya berjalan cepat.
“Heh! Jangan-jangan lo bukan Gilang. Tuh cowok nggak mungkin masih ada di sekolah di jam segini. Tuh anak palingan udah molor di kamarnya.” Gilang berhenti dan menatap Amira dengan jengkel.
“Opini lo ngawur.” Cowok itu menyentil dahi Amira membuat cewek itu meringis.
“....”
“Kenapa lo diem?” tanya Gilang.
“Ternyata lo beneran Gilang. Tuh cowok emang hobi banget nyentil dahi gue.”
Gilang tertawa singkat. “Heh, lo mau pulang atau mau nginep disini?” tanyanya.
“Lo tadi nungguin gue?” tanya Amira balik.
“Cerewet banget sih lo? Ini tuh udah mau gelap, ayok pulang!” Gilang menarik lagi tangan Amira menuju parkiran.
“Eh! Gue butuh penjelasan yang lebih detail. Lo kenapa masih disini? Kan lo nggak ada tugas apapun. Terus kenapa lo ngajakin gue pulang? Gue bisa naik angkot!” oceh Amira di sepanjang koridor.
“Bawel astaga.”
Amira cuma mendengus.
Begitu sampai di parkiran, Gilang segera memakai helm dan jaket biru dongkernya.
“Buruan naik! Mendung noh,” suruh Gilang.
Amira masih diam sambil mengamati sekitarnya. Di parkiran ini hanya tersisa satu motor siswa yaitu milik Gilang dan beberapa motor lain di deretan parkiran guru. Gadis itupun memandang Gilang sambil mengangkat satu alisnya. “Lo mau nganterin gue pulang?”
Gilang mengumpat dan langsung membuka kaca helmetnya. “Kalau lo nggak segera naik, gue tinggal!” Bersamaan dengan itu suara guntur terdengar keras membuat Amira refleks menjerit dan gelagapan naik ke atas motor Gilang.
“Lo kedinginan nggak?” tanya Gilang kemudian.
“Nggak.”
Cowok itu menghela napas dan melepas jaketnya kemudian menaruhnya ke belakang.
“Lo budek?” tanya Amira.
“Pakai, cepet! Lo cewek.” Amira mendengus kemudian segera memakai jaket itu.
Perjalanan pulang mereka ditemani oleh suara guntur yang bersahutan. Namun, sedari tadi tetes hujan belum ada yang jatuh ke bumi. Di atas sana hanya terlukis langit mendung yang membuat langit sore bertambah gelap.
Hal itu pun membuat Amira berpikir.
Kayaknya, bentar lagi hujan pertama setelah musim kemarau akan datang, deh, batinnya.
Keheningan menyelimuti keduanya. Tidak ada yang melempar percakapan atau sekedar batuk untuk mencairkan suasana. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kenapa gue tadi nungguin dia, ya? Gue udah nggak waras? batin Gilang.