“Mir, lo punya staples nggak?” tanya Gina, teman sebangku Amira.
“Nih, isinya minta yang lain, ya. Lupa belum gue isi,” jawab Amira sambil menyerahkan staples berstiker hello kitty itu.
“Hmm, makasih. Nggak jadi, Mir.” Gina hanya mengelus dada berusaha sabar.
Amira pun kembali sibuk mengerjakan peta konsep pelajaran sejarah. Namun, lagi-lagi omongan Gilang saat olahraga tadi terngiang-ngiang di otaknya.
Tes? Huft, bisa-bisa Amira dapat nilai D.
“Katanya anak IPA, masa ada pelajaran sejarah. Kita tuh udah cukup sabar menghadapi kesulitannya fisika, kimia, apalagi matematika. Terus, pake ada tambahan mata pelajaran sejarah lagi,” oceh Niko yang juga mengerjakan peta konsep dengan hati yang tidak ikhlas.
“Awas loh, gurunya Bu Guru Tersayang. Entar kena cekcokannya berabe dah lu,” sahut Andra membuat Niko langsung mengumpat.
“Ancur-ancur. Sekolah makin ribet aja.”
BRAK !
BRAK !
Niko yang kesal langsung menendang mejanya sendiri sambil memanyunkan bibir.
“Woy, santai bang. Properti sekolah itu.”
“PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA KETUA KELAS 10 DAN 11, HARAP BERKUMPUL DI DEPAN RUANG WAKA. SEKALI LAGI, PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA KETUA KELAS 10 DAN 11, HARAP BERKUMPUL DI DEPAN RUANG WAKA.”
“ELVAN! Lo dipanggil tuh!” teriak Aldo tepat di kuping Elvan yang lagi tertidur pulas.
“Ha? Apa? Siapa yang manggil? Kapan panggilannya? Suruh kemana? Ada keperluan apa sampai gue dipanggil? Penting nggak?” tanya Elvan gelagapan. “Oh iya, enaknya gue datang kesana apa nggak? Soalnya mimpi gue nanggung, hampir klimaks.”
“Pernah di dorong dari lantai seratus nggak?” tanya Aldo berusaha mengendalikan nada suaranya agar terkesan tidak membentak.
“Belum tuh. Lo pernah, ya?”
Aldo menarik napas, “Wah, sama. Gue juga belum.”
“ELVAN ANDRIANO! LO DIPANGGIL SAMA SPEAKER, SURUH KUMPUL DI DEPAN RUANG WAKA SEKARANG!”
Suara yang nyaris mecahin gendang telinga hadir di tengah-tengah kehidupan manusia 11 IPA 5 ini.
“Eh, Bu Bendahara. Siap bun! Laksanakan!”
Setelah Elvan ngacir ke ruang Waka dengan kecepatan bagaikan angin tornado, kelaspun langsung ramai dengan suara meja dan galon yang ditabuh para cewek. Sedangkan cowok-cowok kompak dangdutan di pojok kelas.
Iya mereka memang gitu.
“Begini nih, kalau Ketua Kelas dan Wakilnya sama-sama sibuk,” gumam Amira menghela napas panjang.
“Mir,” panggil seseorang yang langsung mengambil tempat di sebelah Amira karena Gina sedang ijin ke kamar mandi. Tetapi, Amira mah udah hafal kalau si Gina bukannya belok ke kamar mandi tetapi malah hijrah ke kantin.
“Apaan? Mau ngajak damai? Sori, gue masih anti sama spesies kayak lo.” Gilang menoyor kepala Amira membuat cewek itu meringis kesakitan.
“Suujon. Siapa juga yang mau ngajak damai. Orang gue pengen ngajak lo perang.” Mata Amira melotot.
“Kudanil, Allah itu tidak suka dengan orang yang hobi perang. Itu nggak baik loh,” jawab Amira.
“Hilih, tapi kalau gue maju lo juga ngelawan tuh. Sama aja, lo juga demen perang artinya,” bantah Gilang merasa menang.
“Mau lo apa sih?”
“Nih, yok mabar. Siapa yang kalah, mulai Senin bakal nurutin kemauan yang menang selama seminggu,” tantang Gilang yang sudah mengeluarkan ponsel androidnya dan bersiap untuk bermain.
“Ogah! Kelamaan kalau seminggu,” tolak Amira.
“Yaudah lima hari.” Amira pun setuju walaupun dengan hati yang berat. “Gue yakin bakal menang.”
“Jangan sombong dulu. Gue juga jago main ginian,” ucap Amira tak mau kalah.
Dan keduanya pun disibukkan dengan game online itu, sampai tak ingat kalau sebentar lagi jam pelajaran sejarah. Dan pembimbingnya adalah guru tersayangnya Niko, Bu Jelita. The legend of Senior High School Hijau.