Hari Rabu kemarin tidak ada kejadian spesial selain keusilan Gilang yang membuat Sekertaris IPA 5 terduduk pasrah di bangkunya sambil memijat pelipis. Benar-benar mengenaskan nasib Amira kemarin, karena semakin hari ulah Gilang semakin naik stadium alias tambah parah. Dan hal itu membuat Amira sungguh capek.
Hari Kamis ini, jam pelajaran pertama ialah kelas olahraga. 11 IPA 5 terlihat antusias karena jadwal olahraga mereka bareng dengan jadwal olahraga kelas 12 IPS 1. Yang mana kelas 12 IPS 1 ini, konon katanya, isinya banyak cowoknya.
11 IPA 5 adalah kelas yang selalu dan paling semangat jika jadwal olahraga tiba. Ya iya, bayangin aja kalau pas lagi pemanasan. Mereka yang cewek-cewek bisa dengan gratis menikmati pemandangan yang bikin mata tambah jreng.
Pertama, 12 IPS 1 ini cowok-cowoknya famous semua, nggak ada yang nggak. Kedua, wajah mereka itu pastinya ganteng-ganteng. Jadi mau dipandang berapa lama pun pasti betah dan nggak mungkin eneg. Ketiga, sebagian besar dari mereka semua adalah atlet. Ada yang jago handball, futsal, renang, badminton, voli, dan yang paling populer adalah basket. Nah, yang keempat ini berhubungan dengan poin nomor tiga tadi. Karena kebanyakan dari mereka itu adalah atlet, jadi banyak juga diantara mereka yang punya perut kotak-kotak.
Tuh. Nikmat mana yang kau dustakan? Jadi, nggak perlu jauh-jauh ke Korea. Nggak perlu habisin kuota buat nonton oppa-oppa. Nggak perlu lah.
Kalau di depan mata sudah tersaji kenapa tidak?
“La, hari ini lo pilih Kak Alfian apa Kak Angga?” tanya Fiona dengan senyum jahilnya.
“Emm, hari ini Kak Danial aja deh,” jawab Kayla nyengir.
“Astaga, ganti lagi?”
Kayla pun berdehem sebentar kemudian menunjuk puncak kepalanya sendiri lalu bergantian menunjuk seorang cowok yang ngobrol sama teman-temannya itu.
“Tuh, lihat. Gaya rambut Kak Danial keren banget. Bayangin deh, kalau gue bisa ngebelai rambutnya itu. Astaga, Fi, Fiona gue mau pingsan.” Kayla mengeluarkan jurus lebay-nya dan Fiona hanya geleng-geleng kepala.
“Fi, buruan baris yang rapi, bentar lagi pemanasan,” ucap Amira yang tiba-tiba datang.
“Oh, oke. Siap Bu Sek.”
“Kay,” panggil Amira pada Kayla yang masih mematung sambil mengamati Kak Danial yang lagi ketawa-ketiwi sama temennya.
“Fi, tuh anak kenapa?” tanya Amira pada Fiona.
“Hadeh, biar gue aja yang nanganin. Lo urus yang lain aja nggak apa,” balas Fiona yang diangguki Amira.
Begitu semuanya sudah berbaris rapi, pemanasan pun dimulai.
“Heh, anak cewek pada kenapa, sih?” tanya Niko pada Tino sambil melirik ke barisan anak cewek kelas mereka.
“Lo kayak nggak tahu aja. Semua anak cewek kelas kita kan pada ngefans tuh sama kakak kelas IPS 1,” jawab Tino santai.
“Kena pelet kali,” timpal yang lainnya.
“Aneh banget. Padahal masih gantengan kita. Ya nggak?” sahut Elvan si Kapten.
“Kan cewek-cewek kelas kita matanya pada katarak, jadi maklum lah....” sambung Gilang yang tiba-tiba ikut nimbrung. Suasana pun jadi sedikit rusuh karena barisan cowok bagian tengah kompak terkikik setelah mendengar perkataan Gilang tadi.
“SHUT! Kalian jangan ngerumpi!” bisik Difina dengan keras.
“Iya, iya. Jangan galak gitu dong, Bu Bendahara.”
Setelah pemanasan yang berlangsung selama sepuluh menit itu selesai, semuanya langsung menuruti perintah guru masing-masing. Kelas dua belas kebagian main badminton dan futsal, sedangkan kelas sebelas kebagian main basket dan voli.
Entah kebetulan atau takdir, Amira tidak ahli dalam kedua olahraga tersebutbasket dan voli.
“Anjiirr, mending main bulutangkis. Bolanya kan kecil, kalau ketimpuk nggak sakit. Lah ini, dua-duanya besar,” keluh Amira.
Semuanya sudah hafal kalau kelemahan Amira adalah pada permainan bola besar. Dari awal, teman-temannya sudah tau, tapi karena ini memang jadwalnya kelas sebelas mau bagaimana lagi.
“Sori, Mir. Kita kagak berani ngomong ke Pak Rico kalau mau tukeran olahraga. Lo menyesuaikan diri aja, ya?” Amira hanya bisa mengangguk pasrah.
“Temen-temen! Yang cowok basket, KUY!” teriak Gilang dan semua cowok pun langsung ke lapangan basket. Tepatnya di samping lapangan bola voli.
“Mir, kita satu kelompok ya?” ajak Mitha dan Fadia antusias.
“Oke. Tapi jangan ngomel-ngomel kalau entar gue nggak bisa mukul bola,” jawab Amira nyengir.
“Hehe, iya deh iya. Yuk!”
Olahraga hari ini pun di mulai. Elvan dan Gilang bersama anak buahnya dengan asyik bermain basket. Sedangkan anak cewek yang dipimpin MariskaWakil Ketua Kelas, dengan serius bermain voli. Amira pun juga harus berusaha agar ia tidak menyulitkan teman-temannya.
“Guys, lihat deh. Amira bego banget ya kalau lawan bola besar.” Lainnya pun setuju dengan ucapan Gilang.
“Tau tuh, padahal enakan bola besar loh,” timpal Andra yang dihadiahi tatapan ambigu teman-temannya.
“Sekretaris kita emang beda. Sukanya yang kecil-kecil.” Semuanya pun mengakak karena ucapan Dito.
“Lang,” panggil Elvan.
“Apaan?” tanya Gilang sambil menautkan kedua alisnya.
“Ajarin gih,” ucap Elvan dengan senyum jahil.
“Lo kira gue bapaknya apa?”
Lagi-lagi semua kaum cowok kelas 11 pun tertawa.
Sekarang mari kita lihat suasana kaum cewek yang kayaknya lagi serius itu.
“Ayo, Mir. Kalau bolanya jatuh ke lo, jangan cuma dilihat doang!” Fadia gregetan.
“Sulit woy....”
Permainan masih berlanjut. Cerdik sekali mereka karena tidak mengarahkan bola pada Amira. Ya kan mereka sudah tahu, kalau bolanya pasti cuma dilihat doang sama Sekretaris 11 IPA 5 ini.
Namun, tanpa diduga-duga, Kayla si pemain lawan mem-passing bola ke arah Amira. Amira pun terkesiap saat bola voli melayang ke arahnya. Wajahnya panik tetapi ia berusaha mengendalikannya dengan bersikap tenang. Tangannya bersiap untuk men-spike bola itu, ia meloncat dan....
Priiittt
“Yee! Kita menang!”
Sorakan heboh pun terdengar riuh di daerah lawan. Amira beserta timnya hanya bisa menghela napas panjang.
“Sorry guys,” ucap Amira nyengir dan mengangkat jarinya membentuk peace.
“Huftt, santai aja. Ini cuma permainan bukan pertandingan,” balas Mariska bijak dan menepuk bahu kanan Amira.
“Gue emang tolol banget. Masa tangan gue nggak kena bolanya, sih.” Amira memaki tangannya sendiri yang tadi gagal melakukan spike tajam seperti pertandingan-pertandingan keren di televisi.
“Santai aja. Kita ambil minum dulu, ya,” ucap Mitha yang diangguki Amira.
Kini, di lapangan voli hanya ada beberapa cewek doang. Sebagian besar dari mereka sedang mengambil minum atau beli es untuk meredakan dahaga. Amira menunggu Fadia dan Mitha di pinggir lapangan. Ia meluruskan kakinya dan menengadahkan kepalanya, mencari udara pagi sebanyak-banyaknya sambil memejamkan mata.
“Bu Sek,” panggil sebuah suara yang muncul dari samping Amira.
Gadis itu membuka matanya dan menoleh ke samping. “Apaan?” tanyanya malas saat mengetahui siapa yang memanggilnya.
“Nih.” Gilang menunjukkan layar hapenya yang menampilkan sebuah adegan kegagalan Amira memukul bola voli tadi.
“HAPUS NGGAK?!” perintah Amira langsung bangkit berdiri.
“Enggak,” jawab Gilang halus.
“Lang, hapus!”
“Enggak mau, Amira.”
Gilang menyeringai. Dia sangat senang akhirnya bisa melakukan pembalasan yang setimpal pada rivalnya itu. Rasanya sangat bahagia melihat Amira yang marah-marah disertai ketakutan kalau video ini tersebar.
“Gue nggak akan nyebarin ini, kok. Tenang aja, gue nggak sejahat lo.” Amira mendengus mendengarnya.
“Tapi hapus, Gilang. Itu memalukan....” Amira memohon.
“Enak aja. Gue ngambil gambarnya susah tahu, bolanya ngehindari lo mulu tadi. Untung aja, saat detik-detik terakhir bolanya mengarah ke lo. Ya gue nggak mau nyia-nyiain kesempatan emas itu lah,” jelas Gilang panjang lebar yang membuat Amira semakin geram dengannya.
“Bener-bener lo ya,” Amira mengangkat tangannya ke udara ingin menampol Gilang tapi tak jadi. Gadis itu berusaha sabar.
“Apa? Mau nampol? Mau mukul? Mau apa?”
Wajah Amira memerah karena menahan kesalnya. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun, dan kapan saja bisa ia lepaskan.
“Denger ya, Amira. Kalau main bola voli aja lo kagak bisa, gimana entar nasib nilai olahraga lo. Lo lupa ya, dua bulan lagi kelas kita ada tes olahraga,” ucap Gilang membuat Amira langsung terlonjak.
Seketika wajah gadis itu blank, tak ada tanda-tanda ia marah lagi. Sekarang pikirannya jadi teralihkan oleh ucapan Gilang beberapa detik lalu.
Tes? Wadoh, gawat dong. Gue belum bisa apa-apa.