Gilang Raynaldi merengut kesal karena ajakan Elvan. Padahal, rencananya ia ingin molor di jam istirahat ini.
“Ngapain sih ngajak gue? Yang lain kan ada. Gue pengen merem dulu tau nggak,” omel Gilang sambil menutup kembali wajahnya dengan jaket abu-abunya.
“Kuy lah, kuy lah, masa lo tega sih lihat gue mati kelaperan.” Elvan mencolek pundak Gilang membuat sang empunya menggeliat geli.
“Ogeb lu. Nggak usah sentuh-sentuh gue, kita ini bukan muhrim.”
Elvan malah menoyor kepala Gilang sampai jaketnya terjatuh ke samping.
“Nemenin bentar doang padahal. Ayolah bro, perut gue kempis nih. Laper parah sumpah. Lagian di kelas cuma ada lo sama gue, yaudah dong gue ngajak lo.” Elvan masih memohon agar Gilang bersedia menemaninya ke kantin.
“Bodo amat mau perut lo kempis, lo laper, lo kenyang, lo haus, lo keringetan gue kagak peduli.” Jawaban tak nyambung pun keluar dari mulut Gilang.
“Kalau lo nemenin gue, lo boleh deh ngasih apapun pertanyaan ke gue. Bakal gue jawab. Secara, gue kan orangnya jujur, baik, jarang bohong. Apalagi gue orangnya masih polos banget, jarang berkata kotor yang-
“Ahh, bawel lo. Buruan! Sebelum gue berubah pikiran,” sahut Gilang cepat.
Gilang langsung mendahului Elvan sebelum si Ketua Kelasnya itu nyerocos yang sama sekali nggak ada faktanya. Memang jalan terbaik adalah menuruti kemauan Elvan atau kalau tidak dia bakal berulah yang langsung membuat nama baik IPA 5 tercoreng. Karena anak itu memang tidak punya malu melebihi Gilang.
“Gue heran sama lo, Van. Emang di rumah lo nggak ada yang ngasih makan?” tanya Gilang begitu mereka sampai di kantin sepuluh menit yang lalu. Dan saat ini, sudah ada dua mangkok kosong dihadapan Elvan.
“Ada, sih. Banyak malah.” Gilang pun cuma geleng-geleng kepala.
“Alhamdulillah, habis. Ekhem, mbak! Satu mangkok lagi dong,” ucap Elvan membuat mata Gilang melotot.
Dengan gerakan cepat Gilang pun langsung menggelandang tangan Elvan. “Nggak jadi mbak!” teriak Gilang.
“Lo apa-apaan sih Lang? Gue laper, coy.”
Pletak
“Wah, piranha lo. Lepas! Gue mau nambah bakso lagi.” Sebelum Elvan berbalik, Gilang langsung menyeret ujung seragam Elvan membuat si empunya ngomel-ngomel.
“Gue udah bela-belain nahan kantuk. Gue udah nemenin lo makan bahkan sampai habis tiga mangkok,” omel Gilang sambil terus menarik Elvan. “sekarang lo harus jawab pertanyaan gue lima belas menit yang lalu.”
“Pertanyaan yang mana?” tanya Elvan langsung berhenti.
Gilang berbalik. “Yang tadi, kutil.”
“Ohh, oke ini lepas dulu.” Gilang melepaskan tarikannya pada seragam Elvan. “cita-cita gue itu... tapi lo jangan ketawain gue.” Gilang cepat-cepat mengangguk. “gue pengen jadi chef.”
“CHEF??”
Tidak. Itu bukan suara Gilang.
Dari jendela ruang kelas 11 IPA 2 yang berada di lantai satu sebelah tangga, muncul sebuah kepala dengan rambut kucir satu yang memperlihatkan ekspresi terkejutnya. Jangan lupakan bolpoin yang selalu ada di tangannya.
“Eh, Amira.” Elvan nyengir.
“Ngapain lo nyasar di IPA 2?” tanya Gilang.
“Gue ada bisnis dan lo nggak perlu tahu bisnis gue apa,” jawab Amira sambil menunjuk muka Gilang dengan bolpoin yang dipegangnya.
“Orang gue juga kagak nanya.” Gilang mengernyit dan Amira cuma mendengus.
“Eh, Van. Serius lo mau jadi chef?” Amira beralih ke Elvan yang lagi bersihin matanya dengan ujung seragamnya. Hal yang dilakukan Elvan itu berhasil membuat heboh koridor bawah lantaran cowok itu nggak pakai baju lagi di dalamnya, alias perut kotak-kotaknya kelihatan.
Iya, dia mantan atlet renang dulunya.
Tapi, satu pertanyaannya. Si Elvan ngapain pakai nunjukin adegan itu segala, sih?
Kan Anjir.
“Hooh. Dari kecil gue udah suka masak,” jawab Elvan sambil membenahi lagi bajunya.
“BUAHAHAHA. Jangan ngelawak, Van. Sakit perut gue.” Gilang mengakak tanpa permisi seperti orang sinting.
“Lah, siapa yang ngelawak? Gue beneran suka masak dari kecil,” tegas Elvan lagi namun si Gilang tetap setia pada kegiatan mengakaknya.
“Udah biarin. Otaknya geser kali,” lirih Amira yang diangguki Elvan.
“Gila, perut gue sakit.” Dan Gilang langsung cabut entah kemana masih dengan sisa-sisa tawanya.
Amira dan Elvan hanya saling memandang seolah berkata, kenapa punya temen gitu amat ya? Yang pastinya kalimat itu ditujukan kepada Gilang Raynaldi.
“Tapi Van. Lo itu kan hobinya makan, dan gue juga nggak pernah lihat lo ada di dekat kompor,” ucap Amira yang beberapa kali berkunjung ke rumah Elvan sekedar untuk ngerjain tugas kelompok bareng.
“Gue kan cuma bilang suka, bukan berarti gue ahli.”
Wajah Amira pun berubah datar.
“Ibu Sekretaris, kita tuh generasi penerus bangsa. Bermimpi itu tidak salah asalkan kita mau untuk mewujudkannya. Walaupun hobi dan cita-cita kita tidak sinkron, yang penting kita punya niat. Kita kan selalu pengen Indonesia tambah berjaya kedepannya....”
Amira mengangguk.
“nah, gue pengen jadi chef agar Indonesia tambah kaya akan berbagai macam makanan. Gue ingin membuat makanan khas negeri tercinta dan memperkenalkannya pada seluruh negeri,” lanjut Elvan.
“Gilaa, abis makan apa nih anak?” gumam Amira kemudian menghela napas panjang.
“Yaudah. Balik ke kelas, yuk. Lo udah kelar bisnisnya?”
“Eh, udah. Ya udah bentar gue keluar dulu.”
“Lewat jendela ini aja, Mir.”
“Tai lo.” Elvan cuma nyengir.
Jadi, itulah cita-cita si Kapten kelas. Kenapa dari semua pertanyaan, Gilang malah menanyakan cita-cita dari pada seputar asmara? Ya iyalah orang dia juga jomblo kalau dia membahas pacar entar malah gantian diledekin Elvan.
Elvan itu memang sosok Ketua Kelas yang doyan banget makan tetapi tubuhnya selalu proporsional alias nggak pernah gemuk. Apalagi kakak kelas yang centil-centil itu adalah fans fanatiknya si Elvan.
Bahkan, kegantengan Elvan nggak hanya dibincangkan oleh anak kelas lain. Amira, yang sampai saat ini masih menjadi musuh bebuyutan Gilang juga mengakui kalau Elvan itu ganteng. Namun, giliran ditanya, ‘Kalau si Gilang menurut lo ganteng nggak, Mir? Dia kan fans-nya juga banyak.’
Amira bakal jawab, ‘Ya ampun si Gilang? Ahelah, masih cakepan kutil onta.’