Amira turun dari sebuah angkot berwarna orange. Matanya mengamati sesaat bangunan sekolahnya dari luar. Ia tersenyum damai dan bergumam, “Beautiful.”
Tin tiin!
Amira terkejut dan refleks menoleh ke belakang. Sebuah motor ninja hitam dengan pengendara berjaket abu-abu telah berhenti di belakangnya layaknya menunggu untuk diberi jalan. Dalam hati Amira mengumpat, padahal jalan masih lebar tapi nih orang songong banget.
Dasar pengacau pagi, batin gadis itu.
Melihat respon Amira yang masih datar, orang yang mengendarai motor ini pun membuka kaca helmetnya.
“He, siap tempur sama gue?” tanyanya dengan senyum miring.
Amira memicingkan mata, menyelidik cowok itu dari atas sampai bawah. “Maaf, siapa ya?”
Gilang mengumpat.
Begitu Amira berjalan masuk ke area sekolah, umpatan Gilang terdengar makin keras. “Okee, gue ladenin lo, anoa kampret.”
Amira sampai di kelasnya yang sudah berisi tiga orang murid. Ia bersyukur bukan menjadi murid pertama yang datang. Setidaknya, teman-teman sekelasnya bisa terbiasa berangkat pagi nantinya. “Selamat pagi semuanya!”
“Pagi, bro.”
“Pagi, Bu Sek.”
“Pagi, Mir.”
Gadis itu berjalan ke bangkunya dan menaruh tasnya di atas meja. Lalu seperti biasa, ia akan duduk di kursi guru dan siap melaksanakan tugasnya sebagai sekretaris.
BRUAK !
“WOY APAAN SIH?” omel Fiona teriak-teriak karena PR-nya jadi tercoret akibat ulah Gilang yang membuka pintu dengan tidak santai.
“Sori, remnya blong.” Cowok itu cuma nyengir. Ia melirik Amira yang rupanya tengah memerhatikannya juga. Segera mungkin Amira mengalihkan pandangannya dan berpura-pura sibuk dengan jurnal kelas.
“Mir,” panggil Gilang tapi si Amira belum bereaksi. Alhasil, cowok itupun menghampiri Amira di meja guru masih dengan cengirannya yang membuat siapapun bisa naik tensi.
“Apaan?” tanya Amira dengan cepat.
“Ribut, yuk.”
Kening Amira refleks berkerut dan aktivitas menulisnya ikut terhenti. “Gue sibuk.”
“Ayolah, Mir, biasanya kan lo paling semangat kalau berantem. Gue pengen ngeaniaya lo nih,” ucap Gilang mengambil paksa bolpoin yang dipegang Amira.
“Kurang ajar,” desis gadis itu langsung berdiri dari duduknya. Ia menutup jurnal kelasnya dan menatap Gilang dengan tajam.
“Wih, udah siap. Mau berapa ronde?” tanya Gilang dengan wajah yang sungguh menyebalkan. Amira bahkan mati-matian menahan diri agar tidak khilaf menonjok wajah makhluk ini.
“Gila lo?” Amira melotot tajam.
“Gue emang gini. Kenapa?”
“Wah, sengklek. Kapan sih lo dapet hidayah??”
Gilang malah cengar-cengir dengan tampang songong. “Hanya Tuhan yang tahu.”
Amira menggeram frustasi. Wajah Gilang yang terlihat sumringah sambil membolak-balik bolpoinnya benar-benar mengundang amarah. Rasanya ia ingin sekali menghadiahi Gilang dengan bogemannya.
“Balikin bolpoin gue kampret... gue baru beli itu semalem,” ucap Amira dengan nada sedikit halus.
Gilang mengernyit, lalu ia mengangkat bolpoin itu tinggi-tinggi. “Lumayan juga, dapet bolpoin gratis.”
“Heh! Gue cuma bawa satu, buruan balikin Gilang!”
Sepertinya menggunakan bahasa halus tidak pernah mempan untuk Gilang. Ayolah! Wajahnya itu benar-benar mengundang masalah. Kesannya kayak minta ditonjok.
“Jadi Sekretaris itu wajib punya bolpoin lebih dari satu. Miskin amat sih jadi sekretaris,” celetuknya.
“Sembarangan lo ngomong! MAU LO APA SIH LANG?!” Amira melotot tajam dan Gilang malah tersenyum lebar.
Tetapi, akibat bentakan Amira barusan, ketiga manusia lainnya yang ada di ruangan ini jadi terdiam. Ada yang mulai sibuk menyiapkan kamera sambil nyeletuk, ‘Sip, jadi kameramen dadakan.’ Dan ada juga yang serius memerhatikan adegan ini.
Tak disangka Gilang malah nyelonong ke bangkunya dan tanpa permisi langsung memasukkan bolpoin itu ke tasnya. “Gue mau bolpoin lo. Abisnya lucu, warna pink.”
Amira ternganga dengan kelakuan Gilang yang kayak bocah. “Gilaaang! Lo itu udah ngeselin, nyebelin, tengil, tengik lagi! Lo nggak bisa apa, sehari nggak usah gangguin gue??”
Gilang tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Gue? Nggak gangguin lo?” Cowok itu melangkah ke depan papan tulis berdiri di depan Amira. Ia mencodongkan tubuhnya dan berbisik, “In your dream.”
Amira tanpa segan lagi langsung menendang tulang kering Gilang membuat cowok itu memekik kencang. “GILA LO, MIR?! SAKIT KAKI GUE!”
“Bodoh amat! Lo tuh yang gila!” balas gadis itu.
“Asshh... ribut ayok!”
“Ayok! Lo kira gue takut? Kita fight sekarang juga!” Amira menaikkan lengan seragamnya. Sedangkan Gilang hanya menyeringai sok keren.
Amira mendengus melihat Gilang yang sok-sokan memperagakan jurus-jurus nggak jelas. Avatar saja nggak ada jurus seperti menepuk-nepuk lantai! Apalagi jurus bebek yang dilakukan Gilang saat ini.
Benar-benar manusia absurd, batin Amira.
Gilang dan Amira pun bersiap untuk saling bertempur. Ancang-ancang sudah mereka lakukan....
“HIYAATT!!!”
B R U A K !
Amira dan Gilang memandang bingung ke arah pintu kelas yang dibuka kasar oleh Aldo. Mereka tambah menganga ketika gerumbulan murid kelasnya berdatangan di belakang Aldo.
“Cepet, cepet! Gue belum ngerjain PR,” ucap Hanifa panik.
“Aaaa! Gue belum piket!”
“Gawat, gawat, gawat. Dompet gue masih ada nggak ya, di kolong meja?”
Amira menghela napas kesal. Ia melirik Gilang yang sepertinya juga sebal.
Pertempuran mereka tertunda akibat kebisingan tadi. Dan jika bertempur di hadapan forum sebanyak ini juga nggak enak. Maksudnya nggak enak bukan nggak enak hati. Tetapi nggak enak karena nggak bisa leluasa buat cakar-cakaran dan jambak-jambakan.
“Yahh, kalian bego banget sih. Padahal tadi werewolf dan vampir mau perang,” omel Fiona.
“Hooh. Datang-datang ribut banget,” timpal Rio.
Amira dan Gilang pun saling berpandangan. Telepati mata alias saling melotot pun mereka lakukan.
“Kita pending dulu ributnya,” ucap Gilang.
“Oke,” sinis Amira lalu kembali duduk di kursi guru. “Fiuhh, TADI SIAPA AJA YANG DATANG?” tanyanya dengan lantang pada seisi kelas.