Keesokan harinya, Amira berangkat naik angkot seperti biasanya. Setelah membayar ongkos angkot, ia berjalan santai memasuki sekolahnya dan menaiki tangga menuju lantai dua.
Sesampainya di kelas, ia melihat sebuah tas sudah mendekam di kursi paling belakang. Tepatnya di tempat duduk Gilang.
“Ekhem!” Suara dehaman terdengar membuat Amira kaget dan menoleh kebelakang.
“Lang, gu-”
Gilang mengangkat satu tangannya memerintahkan Amira untuk berhenti bicara. Pandangannya berubah sinis dan tatapan tajamnya bertambah kali lipat. Amira merasa di pelototi dan hanya bisa menggerutu melihat Gilang berjalan santai lalu duduk di bangkunya.
“Lang, lo ke-”
Lagi-lagi Gilang mengangkat satu tangannya.
Dengan geram Amira pun menghampiri Gilang di bangkunya. Ia memandang cowok itu yang wajahnya menampilkan raut malas, judes dan jutek abis.
“Jangan ngomong sama gue,” ucap Gilang tiba-tiba.
Mata Amira melotot. “Emang gu-”
“Dibilangin diem aja nggak usah ngomong.”
Amira geram dan membuka mulutnya hendak menghujani Gilang dengan sumpah serapahnya.
“Kalau lo ngomong satu kata aja, gue cium lo disini.”
Refleks Amira menutup mulutnya agar suara pekikannya tidak terdengar. Gadis itu tak henti-hentinya memaki kalau Gilang itu beneran sinting. Iya, Gilang itu nggak waras!
“Kenapa diem? Takut lo?” cibir Gilang.
Amira pun menendang meja Gilang dengan keras namun tuh cowok hanya melirik sekilas dengan wajah cueknya. “KAGAK TAKUT! LO TUH KENAPA SIH?”
Amira yang sudah tidak tahan akhirnya membuka suara dengan lantang. Sengaja memancing amarah Gilang. Enak aja main mengancam, emang dirinya takut? Palingan si Gilang cuma sok nakutin doang. Idiihh, sok keren.
Tanpa diduga Gilang langsung berdiri dari duduknya. Amira kaget bukan main. Ya elah berdiri mah berdiri aja nggak usah sok tiba-tiba gitu kutil cicak.
“Mancing gue lo?”
“Enggak gue nggak lagi mancing, gue lagi melotot,” balas Amira.
“Berani ngejawab,” gumam Gilang dengan tatapan sinis tak seperti biasanya. Amira tiba-tiba berubah takut melihat wajah Gilang yang seperti ini.
Ini kenapa mendadak suhu ruangan jadi panas woy!
Tiba-tiba Gilang menarik tubuh Amira mendekat ke arahnya. Jarak mereka sungguh dekat. Gilang sebenarnya ingin... iya anjir aja Amira udah benar-benar memancing emosi Gilang sejak kemarin. Tidak salah dong kalau Gilang marah. Cowok itu memandang wajah Amira lekat. Dirinya menahan mati-matian agar tidak khilaf menempelkan bibirnya pada bibir manusia di depannya ini.
Sedangkan wajah Amira sudah memerah dan jantungnya berdebar keras. Ia memaki dalam hati kalau Gilang benar-benar gila! Sungguh, cowok di depannya ini mau ngapain??
Gilang yang mulai bisa mengontrol emosinya akhirnya menghela napas dan meregangkan pelukannya. Amira memanfaatkan waktu itu untuk segera menjauh dari Gilang.
“Hiyat!”
“AWW. PANCI SIALAN LO NENDANG KAKI GUE LAGI??” pekik Gilang.
“DASAR KURANG AJAR!” balas Amira kemudian berjalan keluar meninggalkan kelas.
***
Jam istirahat ini anak-anak basket dikumpulkan di gedung olahraga. Pelatih mereka mulai mengabsen dan semua anggota tim hadir.
“Coach, kata beberapa pihak.. tim Tunas Bangsa itu terkenal gesit banget coach.” Andra nyeletuk.
“Justru itu. Kita bisa memanfaatkan peluang. Tetapi kita juga belum bisa memastikan segesit apa mereka,” jawab Coach mereka.
“Kita akan tahu saat bertemu mereka langsung di arena nanti,” ucap Gilang nimbrung.
Setelah selesai berembug dan saling menyemangati satu sama lain, mereka bubar dari ruangan itu untuk menuju kelas masing-masing.
Omong-omong, tim basket SMA Negeri Hijau memang hanya berasal dari kelas 11. Kelas 10 masih belum dipilih untuk mengikuti pertandingan seperti ini karena di awal mereka hanya diberi materi dan juga pelatihan saja. Kalau kelas 12 juga tidak mungkin ikut karena harus mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Praktek dan Ujian Nasional.
Anggota mereka juga berasal dari kelas jurusan yang berbeda-beda. Noval si Kapten adalah anak IPS 2, Gilang dan Andra adalah anak IPA 5, yang sebenarnya ada Yogi juga tetapi dia ada di bangku cadangan bersama Dani anak IPS 2. Lalu ada Billy dari IPS 1 dan si Reza yang dari IPA 3. Kelas yang berbeda-beda itulah yang memerlukan solidaritas tinggi agar dapat mencapai tujuan bersama, yaitu kemenangan.
Memang semuanya itu tidak memandang kelas maupun jurusan. Anak basket sangat menjunjung tinggi solidaritas teman dan anggota ekstrakurikuler basket memang yang paling nyentrik diantara ekstrakurikuler lainnya. Bukan tanpa alasan, tim basket Green House selalu dibangga-banggakan oleh semua warga sekolah itu. Karena tim Green House sudah pernah memenangi pertandingan tingkat Provinsi bahkan Nasional. Namun, prestasi yang demikian tidaklah membuat mereka tenang-tenang saja karena lawan mereka di pertandingan kali ini jugalah berat.
Saat ini Gilang bersama Andra dan Yogi tengah menikmati makan siang di kantin bagian pojok. Mereka memesan bakso dan es teh dengan porsi sama. Semula makan siang mereka tenang-tenang saja tapi begitu muncul Elvan, suasana rusuh pun terjadi.
“Aku adalah bukti... dari tampannya paras dan hati..”
“Bacot ah lo,” timpal Yogi melempar tisu ke arah Elvan.
“Hahaha, mbak! Pesen sama kayak mereka,” ucap Elvan pada Mbak Santi yang berjualan bakso di kantin.
Elvan pun langsung duduk di hadapan Gilang. “Gimana? Udah siap?” tanya Elvan membuat Andra dan Yogi mendongak ke arahnya.
Yogi menyeruput es tehnya kemudian menjawab, “Siap nggak siap harus tetap siap.”
“Tapi wajah kalian kok suram gitu sih? Biasanya juga cerah sampai silau mata gue ngelihatnya,” celetuk Elvan.
“Lagi mikirin lusa. Kita kan pertama kalinya lawan SMA Tunas Bangsa. Mereka tuh nggak bisa diremehin. Terakhir gue inget, tim mereka mengalahkan SMA Kejora dengan skor telak 78-43.” Andra menjelaskan.
“Jangan drop dulu.. kalian harus main tenang, jangan terpancing emosi karena bisa merugikan tim juga. Yang terpenting adalah kerja sama, jangan pikirkan kemenangan dulu. Jalani aja dengan jujur dan tenang... ” nasihat Elvan tiba-tiba bijak membuat Gilang menepuk tangannya heboh.
“Tumben otak lo bener. Abis disemir ya?” ucap Gilang ngakak.
“Sialan.” Elvan juga ikut ngakak setelah menjitak pelan kepala Gilang.
***
Amira menggenggam sebotol air mineral sambil menggerutu tak jelas. Matanya mengamati sekitar lapangan basket dengan mulut yang tampak komat-kamit. Sesekali ia menenggak air yang ada dalam botol itu kemudian kembali sibuk dengan kegiatan menggerutunya.
“Sebenarnya si Alan jadi kesini nggak sih? Lama bener.” Amira memutuskan untuk menidurkan tubuhnya di pinggir lapangan basket yang telah sepi ini. Lelah juga menunggu si Alan sambil berdiri terus-terusan.
Sepuluh menit telah berlalu tetapi Alan belum nongol juga. Amira ingin mengumpat sekarang. Tetapi ia bingung mau mengumpat pakai kata apa yang pas di kondisi seperti ini.
“Amira!”
Merasa terpanggil, gadis itupun menoleh dan mendapati Gilang yang nyengir dengan wajah tanpa dosa. Iya, Gilang yang datang bukan Alan.
“Kok lo?” tanya Amira menunjuk cowok itu.
“Nungguin siapa lo? Kenapa belum pulang?” tanya Gilang dengan wajah datar dan sinis.
“Enggak kok. Ini juga mau pulang.” Amira langsung berdiri dan hendak melangkah pergi namun lengannya ditahan oleh Gilang.
Ahelah napa lagi sih? Sepi nih tempatnya sepi! batin Amira resah.
“Lo nungguin siapa? Di kelas udah nggak ada orang. Pasti bukan anak kelas kita. Siapa?” tanya Gilang memaksa.
“Anak IPA 4,” jawab Amira akhirnya.
Gilang melepaskan cengkeramannya pada lengan Amira lalu tersenyum miring. “Oh cowok yang itu lagi?”
Amira mengernyit. “Siapa?”
“Lah gue yang seharusnya nanya. Dia siapa?”
“Loh, ya gue bingung lah. Siapa yang lo maksud itu siapa?” geram Amira.
“Iya siapa? Tuh cowok siapanya lo? Akrab banget kalian. Sampai pegang-pegang pundak lo segala.”
“HA??” Amira melotot. Gilang hanya balas mencibir.
Gadis itupun berpikir sejenak dan mencoba mengingat-ingat sesuatu.
Pegang pundak?
Gue?
Lah?
Alan?
“Udah inget sekarang?” tanya Gilang mengejek.
“Alan maksud lo? Lo lihat gue kemarin sama dia? Lo denger percakapan gue juga dong?!”
Gilang melipat tangannya di depan dada menatap Amira sengit. “Iya gue lihat. Kenapa?”
Amira mangap sambil melotot. “Jadi lo udah denger kan? Oke, pokoknya lo hati-hati aja. Selalu waspada, oke?”
“Lo ngomong apaan sih? Nggak jelas,” balas Gilang sinis.
“Lah, kemarin lo denger percakapan gue nggak sih?” Amira bertanya balik.
“Kagak. Yang gue lihat itu cuma... satu cewek dan cowok lagi berduaan di depan parkiran yang sepi,” ucap Gilang menekankan perkataannya.
Amira mengumpat lirih. “Lo nyindir gue?!”
“Enggak. Kenyataannya emang gitu. Lo lagi berduaan.”
“SIAPA YANG BERDUAAN SIH? EH YA KALAU LO KURANG JELAS JUGA, SEKARANG KITA INI APA? HA? BERTIGAAN?” Amira yang udah kesal karena dituduh sembarangan meluapkan emosinya.
Gilang yang mendengar itu jadi menoleh ke sekitarnya. Di lapangan basket ini cuma ada dirinya dan Amira. Dan juga... sepi.
“Oke, ini beda. Dia pegang-pegang lo.” Gilang menatap Amira tajam.
“APAAN? LO JUGA TADI PEGANG GUE. NGGAK CUMA TADI, DI KELAS LO KAN JUGA SERING.”
Gilang meraup wajahnya frustasi. “Itu beda, Amira.”
“BEDA APANYA SIH? KALIAN KAN SAMA-SAMA COWOK DAN GUE CEWEK!”
“Iya tapi lo berduaan sama dia.”
Amira menggeram frustasi. “Kita sekarang juga cuma berdua ogeebb. Dih, kesel gue.”
Hening sejenak.
“Harusnya gue yang kesel,” ucap Gilang.
“Kok elo? Ya gue lah yang kesel! Lo nuduh-nuduh gue, nyinyirin gue karena deket-deket sama Alan. Kenapa lo? Cemburu?” tanya Amira meninggikan suaranya.
“H-haa? Geer banget lo.”
Amira berkacak pinggang dan mulai bersuara lagi. “Terus lo kenapa songong gini? Marah-marah nggak jelas! Nuduh nggak jelas! Segitunya lo benci sama gue?” tanya Amira udah emosi.
“Gue nggak ada ngomong benci sama lo ya. Gue cuma nyampein apa yang gue lihat waktu itu.”
“Alasan klasik.” Amira mencibir, “Lagian kalau gue deket sama dia kenapa? Masalah sama lo? Lo nggak suka?”
Noh, gue tekan lo. Emosi banget gue ngadepin cowok nggak jelas kayak lo, batin Amira.
Hening lagi.
“Lo suka sama dia?”
Amira melotot. “Apaan sih? Nggak nyambung banget. Ditanya apa jawabnya dimana?”
“Ya makanya jawab. Lo suka kan sama dia? Makanya lo langsung sensi gini pas gue tanyain.”
“Idiihh. Sok tau banget. Lo tuh ngambil kesimpulannya dari mananya elah??”
“Ya dari kalian lah. Mesra gitu,” cibir Gilang kembali melipat tangan di depan dada.
“MESRA DARI MANANYA WOY! LO NGELIHATNYA PAKE MATA APA DENGKUL SIH?!” Amira kembali emosi. Ya jelas aja gadis itu marah, ia cuma berbincang-bincang dengan Alan. Lagian, bahan pembicaraannya juga positif. Dan kalau perlu ditekankan, ini juga untuk Gilang. Demi keselamatannya.
“Udah lah nggak usah deket-deket dia lagi.”
Amira menoleh cepat. “LO SIAPA YA NGELARANG-LARANG GUE??”
“YA LO JANGAN NGEGAS!” balas Gilang ikut teriak.
“LAH, GUE NGEGAS GIMANA NJIRRR??”
“Ya lo nanya emang gue siapanya lo. Kode banget kan minta dijadiin siapa-siapa gue,” ucap Gilang songong.
“HA? Hahahahaha.” Amira cuma tertawa keras.
“Kenapa ketawa lo?”
“Hahahaha, STRESS YA LO?”
Gilang menyisir rambutnya ke belakang kemudian menyeringai singkat. “Emang kenapa? Bener kan?”
“Idihh, nggak jelas banget. Udah ah, gue mau pulang!” Amira melangkah cepat meninggalkan Gilang. Namun, belum jauh dari sana Gilang kembali menarik tangan Amira.
“Pulang naik apa? Udah sore.”
Amira menepis tangan Gilang. “Angkot!”
“Udah sore mana ada angkot?”
“ADA LAH. Udah sana minggir!” Amira langsung pergi dari sana meninggalkan Gilang yang tiba-tiba terbengong.