Tanggal satu di bulan Februari, kulihat di kaca riasku, rona bahagia terlukis di wajahku. Awal bulan tak pernah mengecewakanku, karena tepat tanggal satu gaji mengalir ke rekeningku.
Aku membuka note-ku, note yang sudah kupakai selama 3 tahun itu masih utuh dengan lembaran-lembaran kertas yang setengahnya belum terisi. Aku tak pernah lupa untuk selalu membawanya kemanapun, karena segala hal yang harus kukerjakan ada di dalam note itu. Dia si kecil yang berpengaruh bagi hidupku. Kulihat banyak list yang belum tercentang dalam note-ku, itu berarti aku harus segera menyelesaikannya.
Aku duduk dalam sebuah Bus jurusan Jakara-Yogyakarta. Tepat di baris kesembilan, aku menikmati perjalanan bersama sepasang suami isteri. Katanya mereka baru menikah 2 minggu yang lalu, dan akan berbulan madu di Yogyakarta. Perjalananku masih akan berlangsung selama lima jam lagi, tapi kakiku sudah pegal, dan telingaku sudah hampir panas mendengar obrolan sepasang pengantin baru itu.
“Yank, liat deh kayaknya tempat ini cocok buat kita nginap.” kata si lelaki.
“Itu ada kolam renangnya gak, Mas?” tanya si wanita.
“Gak ada, Yank. Tapi ini sudah sama breakfast.”
“Aku gak mau ah kalau gak ada kolam renangnya.”
“Yaudah mas cari yang ada kolam renangnya.”
Setelah hening selama sepuluh menit, pasangan itu kembali meramaikan telingaku.
“Nih ada kolam renangnya, Yank.”
“Wah iya pemandangannya bagus lagi, berapa itu, Mas?”
“Tiga juta per malam, Yank.”
“Ah kemahalan, Mas. Cari yang lain deh.”
Begitulah kira-kira obrolan mereka sepanjang jalan, membuat wanita mandiri sepertiku ingin menjerit -risih.
Untungnya aku bisa agak beristirahat sebentar karena Bus berhenti di sebuah Rumah Makan di daerah Majenang. Aku segera menyelempangkan tas kecilku dan turun dari Bus. Ada sebuah Masjid di sebelah kiri rumah makan itu, aku segera menghampirinya.
Kulepas kacamataku, air wudhu membasahi wajahku, segar sekali rasanya setelah berjam-jam merasa lelah di dalam bus.
“Ini Mbak, mukenanya.” kata seorang anak penjaga masjid.
“Makasih ya, Dek.”
Tidak ada siapa-siapa di dalam masjid itu, lampunya pun tidak begitu terang, aku sedikit merasa takut di tempat agak gelap, aku teringat sesuatu..
“Ya ampun! kacamataku ketinggalan di tempat wudhu tadi! Nanti akan kuambil saat selesai sholat.” ucapku dalam hati.
Aku segera melaksanakan sholat. Aku menyatukan Sholat Magrib dan Isya pada waktu Isya karena Bus tidak berhenti saat magrib tadi, istilahnya Jama Takhir.
Betapa terkejutnya diriku saat salam di rakaat terakhir, kulihat ada bayangan hitam menyeramkan, entah apa itu. Selesai sholat, aku segera melipat mukenaku dan mengembalikannya kepada si anak penjaga masjid. Dengan tergesa-gesa, aku menuju tempat wudhu untuk mengambil kacamataku.
Aku masih ingat kusimpan kacamataku di atas tembok di sudut kiri tempat wudhu, tapi entah mengapa tidak ada apapun di sana. Aku mencari di setiap sudut di tempat wudhu itu, tetap saja aku tidak menemukannya. Jika kacamata itu jatuh, aku pasti akan menemukannya tapi, ini sama sekali tidak ada apapun di lantai ataupun di tembok. Tiba-tiba aku teringat anak penjaga mesjid, mungkin dia menemukannya.
“Ndak lihat, Mbak. Saya daritadi disini.”
jawabnya, saat kutanyakan kacamataku.
“Oh gitu ya, Dek. Yaudah makasih, ya.”
Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi, langit kan sudah malam, tak mungkin aku punya waktu banyak untuk mencarinya.
Minus mataku sebesar 3 dan itu membuat objek di depanku terlihat buram. Aku berusaha tersenyum saat berpapasan dengan orang lain, sebenarnya untuk berjaga-jaga saja supaya mereka yang melemparkan senyum tidak sakit hati karena tak kubalas senyum, karena sampai mimik muka pun tidak bisa terlihat jelas olehku. Rasanya nyawaku tinggal setengah setelah kehilangan si kacamata itu.
Tapi untungnya aku masih bisa mencium aroma sedap Pop Mie yang membuat air liurku hampir menetes. Suara perutku memaksaku untuk bergegas mencari sumber aroma sedap itu. Kakiku terhenti di dekat Bus, ternyata penjual Pop Mie itu ada di dekat Bus terparkir.
“Bu, Pop Mie-nya berapaan?” tanyaku pada Ibu-ibu penjual Pop Mie.
“Lima belas ribu, Mbak.”
“Mau satu, ya.”
“Siap, Mbak.” sambil menganggukkan kepalanya.
Aku pun dipersilakan duduk di sebuah kursi panjang di dekat penjual Pop Mie itu. Langit begitu indah malam itu. Seperti lirik lagu, penuh bintang bertaburan. Kalau saja kacamataku tak hilang, aku pasti bisa memandangi bintang-bintang itu lebih jelas.
Kuraih Pop Mie milikku dan segera kusantap meskipun masih panas. Untungnya aku bisa bebas menyantap makananku karena hanya aku yang berada di kursi panjang itu. Namun tiba-tiba, seorang lelaki ikut duduk di sampingku, aku agak terkejut dan langsung berhenti menyantap mie.
“Good Day Moccachino-nya satu ya, Bu.” pintanya pada si Ibu penjual Pop Mie yang sekaligus menyediakan kopi.
Aku kira dia akan bicara pakai bahasa Inggris, ternyata itu kopi. Aku sedikit tertawa.
Pantas saja pesannya kopi, kelihatannya si “good day” itu lebih tua dariku. Terlihat dari posturnya yang tinggi dan kumisnya yang tidak begitu tipis menurutku.
Pop mie-ku belum kuhabiskan, tapi kondektur Bis memberitahukan para penumpang untuk segera naik Bis. Aku berniat membawa Pop Mie-ku ke dalam Bis karena aku masih kelaparan, lagipula sayang kalau dibuang.
Akhirnya aku akan berjuang lagi di dalam Bis itu, menahan kerisihan di samping sepasang pengantin baru. Aku sudah siapkan earphone untuk menemani perjalananku.
Para penumpang mengantre menaiki Bis, dibantu oleh kondektur karena tangga untuk menaiki Bis begitu tinggi. Giliranku naik Bis, kuraih tangan si Kondektur, namun tiba-tiba..
“Dug! Pluk!”
Suara benturan dan jatuhnya Pop Mie terdengar beriringan. Aku terpeleset karena tak begitu jelas melihat anak tangga. Lantai Bis menciumku atau aku yang mencium lantai Bis, aku tak peduli, aku sangat malu. Aku ingin segera bangun dan memanipulasi para penonton bahwa tidak terjadi apa-apa, namun, kakiku sangat kesakitan, aku kesulitan untuk bangun.
“Saya bantu, ya.” terdengar suara seorang lelaki dibelakangku.
Dia mengangkatku dan membetulkan sandalku yang hampir terlepas. Tubuhku dia bopong masuk ke dalam Bis.
“Kursi saya di sebelah sana.” Ucapku.
“Untuk sementara disini saja, kalau disana kayaknya kejauhan, kasihan kakinya.” Jawabnya.
Aku menuruti perkataannya, karena kakiku memang ngilu parah. Aku duduk dekat jendela, bahu kami saling bersentuhan karena kursi yang kutempati hanya dua tempat.
“Mau kopi?” sambil menyodorkan gelas plastik kopi miliknya.
“Engga, makasih.”
“Nih ada wafer dikit siapa tau bisa ganjel lapernya.”
Aku heran dengan orang ini, apakah dia sebegitu baiknya? Atau... hanya caper? atau juga punya maksud jahat?
“Tadi Pop Mie yang tumpah kayaknya masih banyak, mba-nya pasti masih laper.” lanjutnya.
Hih sok tau banget, ucapku dalam hati.
Agar tidak berkepanjangan, aku terima wafer itu, kumakan semuanya supaya dia puas melihat orang kelaparan sedang makan.
Jujur aku sedikit kesal, bukan karena ditolong tapi karena aku agak kurang nyaman terlihat lemah di depan orang lain, apalagi sekarang malah dibaik-baikin begini, rasanya seperti dikasihanin. Tapi, aku juga tidak bisa menolak bantuan orang lain.
Selama perjalanan, dia tidak berhenti mengajakku mengobrol. Sepertinya dia memang tipe cowok yang senang bercerita. Dari ribuan kalimat yang dia keluarkan, yang aku ingat betul katanya dia sering bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, seminggu bisa dua kali karena banyak yang membutuhkan jasanya, dia seorang photograper. Aku hanya berlagak terkesima dengan berkali-kali bilang “wah hebat”. Tapi, di dalam hati memang aku agak terkesima juga dengan kerja kerasnya sampai bisa bolak-balik Jakarta-Yogya dua kali seminggu, naik kendaraan umum lagi.
Hingga akhirnya Bis berhenti, dia dengan semangat membantuku berdiri dan berjalan menuruni Bis.
Berniat untuk berterima kasih, aku menyodorkan tanganku untuk berkenalan, karena sepanjang perjalanan meskipun telah banyak yang dia katakan dan banyak yang aku dengarkan, kami tidak tahu nama masing-masing.
“Namaku Treela, makasih ya sudah bantu, maaf jadi ngerepotin.”
“Dipanggilnya apa? Ila?” tanyanya.
“Tree aja.”
“Oke deh Tree, sama-sama. Tapi saya gak bisa kasih tahu nama saya nih ke kamu, nanti aja deh.”
“Hah? Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Ya nanti, semoga kita ketemu lagi supaya kamu bisa tahu namaku.” jawabnya.
Hah apa-apaan itu! Aku merasakan penyesalan karena telah memberitahukan namaku kepada orang yang sama sekali pelit memberitahukan namanya, tapi terlalu dermawan menceritakan kisah-kisah hidupnya. Hm sombong.
Adikku telah tiba menjemputku dengan motor matic hitamnya, aku segera duduk dibonceng olehnya, dan meninggalkan lelaki itu tanpa pamit.
“Beli salep dulu ya Nel, ke Apotik.” pintaku.
“Buat apa?” tanyanya.
“Buat kaki nih keseleo tadi di Bis.”
“Kok bisa?”
“Gak keliatan tangga Bis-nya.”
“Lah iya kenapa gak pake kacamata?”
“Ilang.”
“Kok bisa?”
“Ketinggalan pas wudhu, pas balik lagi udah gak ada.”
“Ada yang ngambil kali.”
“Lah buat apa orang ngambil kacamata minus.”
“Atau jangan jangan...”
“Uka uka? Hahaha...”