Masa lalu,
Seringkali menjadi alasan untuk berhati-hati
Agar tak mengalami kejadian yang sama lagi
Tujuannya sederhana, menghindari jika nantinya bisa melukai diri
__________
Bagi Attaya, datang terlambat ke kampus bukan lah kuasanya. Sungguh, ia ingin datang ke kampus tepat waktu, tidak terlalu cepat dan tidak terlambat. Namun, apalah dayanya. manusia yang berencana dan tetap rencana Tuhan yang bertindak.
Oke, itu adalah pembenaran. Meskipun ia mengatakan itu kehendak Tuhan, tetap saja Attaya merasa bersalah. Tidur malam terlambat, sehingga ia terlambat bangun lalu telat ke kampus. Jika harus jujur, ia merasa bahwa keterlambatannya datang ke kampus seperti sebuah rencana yang dicari-cari oleh dirinya sendiri. Salahkan alarm handphone-nya yang berbunyi setiap lima menit sekali sepanjang waktu namun tetap tidak mampu membangunkannya.
Bukan kah setiap orang berbeda?
Ada orang-orang yang hanya mendengar suara yang sangat kecil bisa terbangun dari tidurnya. Dan ada juga orang-orang yang mengalami kesulitan seperti Attaya, sulit bangun tidur meskipun alarm handphone sudah berada pada volume terbesarnya, musik yang dibencinya bahkan yang disukainya pun tidak bisa membangunkannya.
Attaya sudah berusaha dengan membunyikan alarm itu selama dua jam, dengan jeda lima menit, dan memasang lagu yang disukainya. Karena tidak berhasil, ia mengganti ringtone alarmnya menjadi lagu metal, rock yang tidak disukainya. Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Karena tidak ada perubahan, akhirnya ia memutuskan untuk memasang ringtone alarm yang berbeda-beda disetiap menitnya. Dan hingga sekarang, belum tampak perubahan berarti dari tulinya dirinya dengan alarm handphone.
Sejujurnya Attaya meletakkan semua kesalahan pada dirinya. Ia tahu ia salah begadang, namun itu kebutuhannya untuk bergerak. Karena malam selalu menjadi alasan Attaya untuk bergerak. Semua yang dilakukannya akan berubah menjadi efektif ketika matahari telah menuju peraduannya.
Ia sadar dengan kebiasaan anehnya ini. namun ia tidak dapat menahan dirinya sendiri. Sungguh, kadang ia lelah dengan kenyataan bahwa ia jauh lebih produktif ketika tak ada lagi matahari yang menggantung di langit. Tapi tetap saja, siang tak pernah mengganti malam dalam dirinya.
Kadang dia kesal dengan dirinya sendiri yang menjadi berbeda dan menyebabkan perbincangan bagi orang banyak. Namun lagi-lagi, ia tak tahu harus berbuat apa. Segala pembenaran yang dilakukannya adalah usaha untuk menenangkan hatinya. Dia hanya berusaha menyenangkan hatinya yang tidak baik-baik saja.
Sebagai seorang mahasiswa, Attaya sangat menyukai masa-masa kuliah. Dibandingkan dengan semua masa pendidikannya, bangku perkuliahan adalah masa favoritnya. Karena mahasiswa dapat memutuskan ingin masuk kelas atau tidak. Dan untuk mahasiswa seperti Attaya, memanfaatkan jatah absen tiap semester adalah hal wajib. Rugi dong kalau bisa bolos tapi nggak dimanfaatkan, begitu pikirnya.
Dan hari ini, Attaya bertekad untuk tidak lagi terlambat ke kampus. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bangun pagi. Dia berjanji akan memaksa matanya untuk langsung terbuka jika nanti dia tersentak dari tidurnya karena jatah absennya telah habis akibat terlambat bangun selama semester ini.
Ini bagus, mungkin ini bisa menjadi salah satu langkah memperbaiki dirinya yang sulit bangun dari tidurnya.
Attaya beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar sebelah, Dira. Dira adalah salah satu tetangga kamar kosnya yang cukup dekat dengan Attaya. Tidak terlalu dekat sih, hanya saja mereka dekat ketika ingin makan di luar dan sedang tidak ingin makan sendirian.
Dira sering mengajak Attaya untuk makan bareng di luar. Begitu juga dengan Attaya. Dira sering curhat kepada Attaya, dan tidak malu membicarakan sesuatu yang bersifat sangat pribadi. Berbeda dengan Attaya, Attaya sangat jarang curhat kepada Dira, karena Attaya berpikir Dira bukanlah orang yang pantas untuk mendengar segala keluh kesah Attaya. Attaya mengkhawatirkan jika nantinya Dira akan membocorkan rahasianya ketika mereka bertengkar.
Tapi kadang Attaya mengumpat dirinya sendiri yang bercerita panjang lebar kepada Dira, kebablabasan karena keasyikan cerita. Lalu hanya tersisa rasa penyesalan dan rasa khwatir pada dirinya. Tidak ada ada rasa lega seperti sesi curhat yang dilakukan orang lain.
Attaya mengetuk pintu kamar Dira yang tertutup, "Dir, Dira."
"Masuk, Ya," sahut Dira dari dalam.
Attaya membuka pintu kamar Dira sedikit saja, disembulkannya kepalanya mencari keberadaan Dira. "Gue di pintu aja ya...."
"Terserah, kenapa?"
"Besok lo ada kuliah pagi nggak? Atau bangun pagi?"
"Besok ada kuliah pagi dan pastinya bangun pagi, sekalian subuhan. Kenapa?"
"Mau minta tolong nih, minta tolong bangunin gue. Jatah absen gue udah habis nih. Bisa nggak? Kamar gue diketuk aja gitu, biasanya kebangun."
"Alarm lo yang bunyinya sampe ke dapur nggak bisa ngebangunin lo?" tanya Dira dengan wajah yang cukup menyebalkan bagi Attaya.
"Nggak, makanya gue minta tolong sama lo. Tolong ya?"
"Oke deh. Mau jam berapa?"
"Jam berapa lo bangun aja. Yang penting pagi hehehe.... Makasih banyak ya, Dir," ucap Attaya tulus.
•••
Attaya selamat dari kata terlambat berkat Dira yang membangunkannya tadi pagi. Sebagai ucapan terimakasih karena telah membangunkannya, Attaya mengajak Dira membeli jus. Iya, Attaya cuma punya uang buat bayarin jus. Belum bisa bayarin makanan yang mahal-mahal.
Kan kalau mahasiswa, apapun makanan dan minumannya, yang gratis tetap yang paling enak. Bener kan?
Beruntungnya, mas penjual jus nya itu cakep. Well, nggak terlalu cakep juga sih. Cuma untuk ukuran penjual jus, it's ok lah....
Sesaat setelah mengambil uang kembalian, Attaya berceletuk, "Aduh, Dir. Senyum mas-nya manis banget." Attaya bergaya dengan melebih-lebihkan senyum penjual jusnya, tertawa sembari menutup mulutnya yang menahan geli.
"Baperan banget lo, Ya."
"Bercandaa..." potong Attaya cepat. "Nggak semanis itu juga kali senyumnya."
"Alah, jujur aja lo.... Gila! Baper parah...."
"Terserah deh," sahut Attaya malas berargumen.
Gini nih, jangan salahkan Attaya yang selalu serius dan jarang bercanda. Dia bercanda ditanggepi serius. Mungkin Dira candain gue juga kali ya sampe serius gitu, batinnya.
Attaya yang memang pada dasarnya memiliki perasaan yang sangat sensitif itu menjadi lebih sensitif setelah mendengar respon dari Dira. Jujur saja, dia merasa bahwa hubungannya dengan Dira tidak sebaik itu. Attaya selalu menahan dirinya di depan Dira. Ketika Attaya ingin bercerita, maka ia akan menahan dirinya untuk tidak bercerita. Sebab beberapa kali Dira membicarakan rahasia orang lain kepada Attaya, seperti rumah tangga keluarganya dan curhatan teman-temannya tanpa senosor.
Menurut Attaya, rahasia yang diceritakan kepada Attaya itu adalah cerita yang sangat tidak pantas diceritakan kepada orang lain. Karena itu Attaya berpikir jika rahasia orang lain saja tidak aman, bagaimana jika nantinya cerita yang ingin disampaikan oleh Attaya bernasib sama? Bukankah karakter orang yang suka membicarakan orang lain akan bertahan cukup lama? Apalagi seseorang yang keras kepala seperti Dira.
Tak hanya itu, ada kejadian yang kurang mengenakkan juga yang dialami oleh Attaya. Pernah suatu ketika, Dira tengah bercerita tentang temannya yang meminta tolong kepadanya untuk menghubungi temannya jika melakukan sesuatu. Namun ketika Attaya memberikan saran, Dira malah mendiamkannya dan tidak berbicara selama seminggu. Kekanak-kanakan sekali.
"Ya, gue mau beli nasi goreng nih. Mau temenin nggak?"
"Lo mau makan di sana atau bungkus? Soalnya gue belum belajar sama sekali nih, besok ujian akhir," jawab Attaya.
"Bungkus sih. Kalau lo nggak bisa, ya ga papa. Belajar aja,"
"Sorry ya, bukannya nggak mau. Tapi gue emang beneran belum belajar buat besok, dan besok mata kuliahnya pagi," ucap Attaya, benar-benar merasa bersalah.
Dira tidak memerhatikan Attaya lagi, perhatiannya dialihkannya ke handphonenya yang menyala.
"Lo tau Anggit nggak?"
"Hmm?"
"Gue mau beli buah, tapi malas."
"Eh? Terus hubungannya sama Anggit apa?" Attaya bingung menyambungkan informasi tidak utuh yang didapatnya dari Dira.
"Itu, kemarin itu dia bilang ke gue kalau misalnya nanti gue beli buah, ajak dia gitu. Nah, gue mau beli buah, tapi malas."
"Malas karena?"
"Malas buat ngehubungi dia. Seharusnya dia yang duluan ngehubungi gue, kan dia yang butuh gue," jawabnya sambil menyesap jus jeruk dingin yang tinggal setengah.
"...." Attaya tidak tahu harus berkomentar apa, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Berbagai pikiran tentang Dira berkecamuk dibenaknya, namun berusaha ditepisnya jauh-jauh. Bisa rusak hubungan pertemanan mereka jika pikiran negatifnya tentang Dira
Namun Dira memecah keheningan tersebut, "Menurut lo gimana?"
"Menurut gue?" Attaya menanyakan kembali, dan disambut anggukan oleh Dira.
"Kalau menurut gue sih, Anggit kan temen lo. Nah, apa salahnya lo ngehubungi dia duluan? Lagian lo juga sering jalan bareng sama dia kan?"
"Iya sih, gue sering jalan bareng sama dia. Tapi gue males, nggak suka gitu, kan dia yang butuh, kenapa gue yang harus ngehubungi dia? Harusnya dia yang ngehubungi gue, nanya ke gue, kapan gue mau beli buah."
"Emang pas dia bilang dulu, dia nggak nanya ke lo kapan lo mau beli buah?"
"Ada, cuma kan waktu itu gue nggak tahu. Dia bilang kalau gue mau beli, kabari dia gitu."
"Nah kan, dia kan minta lo kabari dia. Apa salahnya coba ngehubungi dia," jawab Attaya mencoba rasional dengan permasalahan Dira. "Lagipula, kalau lo emang males ngehubungi dia, kenapa cuma gegara dia lo nggak jadi beli buah? Gegara malas ngehubungi dia lo nggak jadi beli buah. Kan lo rugi, Dir"
"Ya gue nggak enak aja beli buah duluan soalnya dia udah bilang kabari kalau mau beli buah." Raut wajah Dira berubah masam. Oke, sepertinya Attaya melakukan suatu kesalahan. Tapi tetap saja, Attaya tak paham situasinya, dia tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi Dira.
"Gue nggak suka ngehubungi dia duluan. Sama kayak lo, kalau makan kan gue jarang ngajak lo. Gue tunggu lo yang ngehubungi gue buat ngajak makan. Kalau misalnya Lo nggak ngajak-ngajak, ya gue ajak orang lain atau kalau kepepet banget pengen makan, gue bakal ngajak lo," sambung Dira.
Attaya menelan ludahnya, tanpa memedulikan pernyataan sebelumnya, Attaya memberi masukan lagi, "Ya udah, kalau gitu lo tinggal nunggu dia ngehubungi lo buat nanya kapan lo beli buah. Kalau misalnya dia nggak ngehubungi lo, ya berarti lo nggak bakal makan buah."
"Kan dia yang butuh gue, seharusnya dia yang ngehubungi gue," tegas Dira.
"Tapi dia kan temen lo. Apa salahnya lo ngehubungi dia? Apa salahnya coba? Kalau emang nggak mau ngehubungi, ya mau gimana lagi. Itu hak lo, gue cuma nyampein pendapat gue aja." Attaya menatap Dira yang sudah memunggunginya, meninggalkan Attaya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan Attaya mengelus dadanya, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Mulai malam itu, Attaya sadar satu hal tentang Dira....
Dia harus berhati-hati untuk berteman dengannya jika tak menginginkan kejadian yang tak enak menyinggung kehidupannya….