Memang ada orang yang kurang peka
Namun tidak sedikit pula yang memiliki tingkat kepekaan cukup tinggi
Jangan terlalu pesimis terhadap manusia,
Karena di antara banyak yang tak pantas dipercayai
Pasti ada satu yang memahami
Bukankah Tuhan punya cara tersendiri untuk menutup hati yang pernah terluka?
__________
Attaya tampak gusar. Berkali-kali ditariknya napasnya dengan dalam, lalu dilepaskannya secara perlahan. Semenjak tragedi tali sepatu yang menyangkut di kursinya, Attaya tak lagi fokus dengan bacaannya. Dia membaca, namun tidak membaca. Hanya membaca tanpa makna. Dan hal ini sudah lama sekali tidak terjadi pada dirinya.
Laki-laki yang berambut hitam legam—yang duduk disebelah Attaya menyadari bahwa perempuan itu tengah gelisah. Diperhatikannya Attaya melalui ekor matanya. Attaya duduk dengan tidak tenang, bergerak-gerak meskipun tidak menimbulkan gangguan bagi orang lain. Kaki Attaya juga bergerak, lebih tepatnya bergeser ke kanan, kiri, depan, belakang sehingga tidak menimbulkan suara tapak sepatu yang mencium keramik perpustakaan. Matanya ke buku, namun bergerak gelisah, ke kanan dan ke kiri.
Laki-laki ini bingung, bagaimana mungkin sesaat yang lalu Attaya terlihat menikmati bukunya, tampak ceria, dan terlihat ekspresif, kini berubah dalam waktu yang tak lama.
Seolah merasakan kegelisahan Attaya, laki-laki itu berusaha untuk menetralisir aura negatif yang berada di sekitar Attaya, "Sorry, boleh pinjem pensil?"
Attaya tersentak, ditatapnya laki-laki berambut legam itu dengan tatapan khasnya, tatapan sinis dengan pupil yang menyudut. Belum lagi ekspresi datarnya yang menyebabkan laki-laki itu sedikit gelagapan.
Sepertinya Attaya lupa untuk mengontrol emosinya.
Laki-laki itu terkejut mendapatkan tatapan kurang bersahabat dari Attaya. Ia merasa bahwa ia tak melakukan kesalahan apapun. Lalu mengapa perempuan ini menatapnya seperti itu? Diperparah dengan wajah Attaya yang seolah ingin mengajak bertengkar. Keningnya berkerut dalam, bingung dengan mata yang tak lepas mengamati Attaya.
Attaya tersadar akan 'kelepasannya', sontak seulas senyum tipis tersungging di bibir Attaya sebagai permintaan maaf tersiratnya, "Eeh, sorry. Tadi ngomong ke aku ya?"
"Iya, tadi mau minjam pensil. Punya?"
"Ada sih, tapi...." Attaya terdiam sejenak, "Bentar ya, di kotak pinsil dan itu ada di tas." Attaya menunjukkan tasnya yang tidak berada di loker—di bawah meja petugas perpustakaan.
Tanpa menunggu jawaban, Attaya langsung bangkit dari kursinya, "Bentar ya...."
Selepas Attaya membelakanginya, laki-laki berambut legam itu tersenyum tipis. Diliriknya pensilnya yang disembunyikan di bawah buku bacaannya, lalu matanya fokus memerhatikan Attaya yang tengah mengambil pensil untuknya, seolah Attaya adalah seseorang yang saat itu memang harus diamati.
"Nih." Attaya menyerahkan pensil yang telah diambilnya kepada laki-laki berambut legam itu.
"Thanks," sahutnya cepat sembari mengambil pinsil yang telah disodorkan kepadanya.
"Jangan lupa, balikin."
"Siap!" Diperhatikannya pensil mekanik yang telah berada ditangannya. Terdapat nama yang ditempelkan pada bagian atas, tanpa sadar ia bergumam, "Nama lo Attaya K.K?"
"Eeh, sorry?" tanya Attaya kebingungan. Tadi ia mendengar gumaman namanya tapi tidak begitu jelas.
"Nama kamu Attaya K.K?" tanyanya, menatap intens Attaya yang tengah fokus padanya.
"Iya, Attaya." Tanpa berbasa-basi, Attaya mengalihkan pandangannya pada buku yang dihadapnnya. Attaya bingung, apa dia harus menanyakan nama laki-laki itu juga? Nggak perlu kan? Nggak Attaya banget gitu basa-basi sama laki-laki yang tidak dikenalnya. Dengan perempuan aja dia jarang berbasa-basi, apalagi dengan laki-laki.
Lagi-lagi, laki-laki berambut legam itu tersenyum samar memerhatikan Attaya yang dengan sengaja menghindari perbincangan dengannya. Diperhatikannya lagi Attaya yang tengah membaca buku dihadapannya, tak ditemukannya lagi kegusaran yang sempat menggangu konsentrasinya tadi. Hanya tersisa sedikit gelagat bingung dari bahasa tubuh Attaya. Iseng, dipukulnya dengan pelan pensil milik Attaya di depan gadis itu. Sontak Attaya memberikan tatapan khasnya, lagi. Tatapan sinis dengan bibir yang tidak melengkung sama sekali.
"Ya?"
Laki-laki itu sedikit kecewa, karena ia tak mendapatkan respon yang ia inginkan—keterkejutan Attaya. Malah yang terjadi adalah hal sebaliknya, tatapan sinis dan ekspresi tak suka Attaya yang didapatnya. Ini cewek super banget, pikirnya.
"Thanks ya, pensilnya," ujarnya agar tidak terjadi ke-awkard-an di antara mereka.
Attaya mengangguk samar.
"Ngomong-ngomong, kamu mahasiswa di sini juga? Angkatan berapa?" tanya laki-laki itu, tak ingin memutuskan kontak di antara mereka.
"2015." Attaya terdiam sejenak, dia bingung apa ia harus berbuat baik dengan berbasa-basi dengan laki-laki yang tidak dikenalnya ini atau kembali fokus pada bukunya. Sejujurnya, Attaya ingin berbasa-basi, menanyakan kembali sebagai sopan santunnya. Namun ia bingung, bagaimana bahasa yang harus digunakannya? Attaya khawatir jika laki-laki tersebut adalah mahasiswa tua—mahasiswa semester akhir menjelang DO. Dan menanyakan angkatan laki-laki tersebut adalah hal yang sangat buruk menurut Attaya. Sepertinya menghindari pertanyaan adalah yang terbaik, batinnya.
"Berarti sekarang masih semester 5 ya? Udah dapat mata kuliah klinis dong."
Attaya sedikit terkejut menerima respon laki-laki tersebut. Menurut Attaya, mahasiswa tua tidak akan mungkin seramah ini membahas mata kuliah klinis yang seringkali menjadi momok "harus mengulang" bagi mahasiswa semester akhir.
Attaya mengangguk, "Iya." Attaya terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus dilontarkannya untuk memenuhi rasa penasarannya. "Tahu darimana?" tanya Attaya.
"Aku kan mahasiswa di sini juga," ujar laki-laki itu. Alumni, tambahnya lagi dalam hati.
"Tapi kok nggak pernah kelihatan," sahut Attaya polos. Langsung saja Attaya menutup mulutnya yang kelepasan bicara.
Laki-laki berambut hitam legam itu tertawa kecil melihat Attaya yang terkejut dengan pernyataannya sendiri. Manis sekali melihatnya tertawa kecil lalu terbatuk-batuk akibat menahan tawanya.
Wajah Attaya memberengut kesal. Tampak lipatan-lipatan kecil diwajahnya yang sedikit chubby. Bibirnya sedikit dimanyunkan dengan mata yang nyaris tertutup sempurna.
Lucu, seumur hidupnya laki-laki itu tak pernah melihat seorang perempuan atau tepatnya mahasiswa, masih memiliki kelakuan seperti itu. Tak pernah sekalipun, kecuali perempuan yang memiliki kebutuhan khusus. Untuk perempuan normal seperti Attaya, di matanya, wajah yang berlipat itu adalah hal yang sangat menggelikan, sehingga pecah lah tawa laki-laki berambut legam itu. Tawanya membahana di ruang perpustakaan yang tidak begitu besar.
Tatapan dari para pengunjung perpustakaan lain yang bertumpu pada dirinya menyadarkannya bahwa ia telah membuat gaduh perpustakaan. Diputarnya tubuhnya dengan gerak tubuh meminta maaf kepada para pengunjung yang terganggu akibat dirinya.
Diperhatikannya meja petugas perpustakaan, lalu tersenyum meminta maaf. Baginya, meminta maaf atas kegaduhan yang ditimbulkannya pada perpustakaan bukan lah hal yang berat karena ia dan pegawai perpustakaan sudah cukup saling mengenal. Namun, hal yang paling tidak dapat diterimanya adalah, dia menemukan wajah Attaya yang masih memberengut kesal dengan lipatan yang bertambah dan gigi yang bergemeletuk kesal.
Sungguh, ia ingin tertawa lagi. Namun, sudah cukup baginya menjadi pusat perhatian. Dan ia tidak siap melihat Attaya menjadi lebih kesal dari saat ini.
Tidak siap menahan tawa yang telah lama hilang darinya. Ia bingung, bagaimana mungkin tawa yang hilang bisa kembali hanya karena melihat wajah Attaya yang aneh?
She is something sekali....