Jangan gampang curigaan,
Karena belum tentu yang dicurigai adalah kebenaran
__________
Attaya POV
Aku tak tahu mengapa, ku rasakan bulu kudukku sedikit meremang. Ku sapukan pandanganku ke sekeliling perpustakaan, namun tak kunjung ku temukan sesuatu yang mampu membuatku bergidik. Semua orang sibuk dengan bacaan masing-masing dan hanya terpaku dengan gawai, buku tulis, buku perpustakaan, ataupun laptop.
Ku rasahakan suhu perpustakaan dengan telapak tanganku, tidak sedingin 'itu' untuk meremangkan rambut-rambut halusku. Berbagai perasaan aneh menyelimutiku. Ketakutan tanpa alasan ini datang kembali. Tersentak, bergegas ku gerakkan langkah kakiku menuju bangku kosong di tengah perpustakaan itu.
Ku hempaskan tubuhku dengan cukup kasar, sehingga dapat ku dengar bunyi dua benda yang bertabrakan. Aku tak paham, kenapa perasaan aneh ini tiba-tiba menyelimutiku lagi. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak menghampiriku kini datang lagi.
Aku tahu, ketakutan yang ku bilang tanpa alasan ini pasti memiliki alasannya. Namun, aku tak paham dan tidak menyadari alasan itu. Aku juga tahu bahwa pikiranku memengaruhi perasaan. Tapi sungguh, aku tak mampu mencegah berbagai pikiran negatif yang bersileweran dibenakku. Apakah dulu bangku ini memiliki masa lalu? Ada penunggunya? Atau... akan ada sesuatu yang mengenaiku nanti?
Ku enyahkan segala pikiran buruk yang yang terlintas di benakku. Sungguh membutuhkan usaha yang besar untuk berpikir positif ketika tubuhku merasakan sensasi aneh. Berbagai macam cara ku coba, tapi masih saja kegagalan yang ku dapati.
Tak ada pilihan lain selain mencoba tetap fokus pada tujuan awalku. Enak-enak saja masuk ke pikiranku dan mengganggu waktu bacaku.
Pikiran buruk, menepi sebentar ya. Aku ingin membaca....
Derit kursi dari meja sebelah mampu menurunkan konsentrasiku. Aku tak peduli, masih berkutat dengan novel yang hari ini harus ku habiskan. Tak ku hiraukan goyangan dari meja sebelah, sepertinya dia sedang panik atau gugup sehingga mejanya terasa bergetar. Diperparah lagi dengan bunyi jari tangannya yang bergerak seirama.
Woy, ini perpustakaan!
Attaya, masa sih menjaga konsentrasi aja nggak bisa?
Tarik napas, lepaskan. Tarik lagi, lepaskan. Ku lakukan hal itu berulang kali untuk mendapatkan konsentrasiku yang sudah terbang sejak tadi.
Gagal!
Sialan ini orang!
Bunyi buku tebal yang dihempaskan di meja kayu sebelah meluluhlantakkan konsentrasiku.
"Monyet," gumamku pelan sambil melihat ke sumber suara.
Oh ternyata laki-laki yang yang ku sebut metroseksual tadi. Dalam hati aku meminta maaf karena sudah berprasangka kepada orang lain
Tapi tetap aja, aku masih berdiri dengan prasangka itu. Maaf ya mas, saya bilang mas-nya kayak kaum metroseksual.
Sial banget ya, dari samping udah cakep tapi nggak punya etika. Ngapain coba itu buku setebal springbed dibanting di meja. Kan kedebam kedebum.
Ya Tuhan mas sebelah saya, cakep-cakep ternyata ngeselin. Untung kamu nggak bau Mas, jadi poinnya nggak minus banyak.
Wait....
That's grin! Apa dia dengar umpatanku?
Lihat! Dia tersenyum ke arahku, memamerkan gigi putihnya yang rapi tanpa kawat.
Double shit!
Wajahnya memelas memohon maaf. Nggak dimaafin nggak tega, kalau dimaafin enakan dia. Dari tadi dia ribut, aku diem aja.
Sabar.... Sabar....
Pemberian maaf ku akan berarti sangat banyak bagimu, Mas. Ganteng sih ganteng, kalau diulang lagi awas aja itu si metro!
Siapa yang nggak luluh dengan senyum kayak gitu coba? Bapak Profesor killer nan moody pun kalau disenyumin sama mas kayak gini pasti tensi darahnya bakal normal lagi.
Sekilas ku perhatikan wajahnya yang putih bersih dengan hidung bersudut lebih besar dari milikku. Dagunya khas laki-laki banget dengan sedikit rambut halus disepanjang rahang angkuh miliknya. Sialan! Itu bibirnya juga lebih merah dari punyaku! Ku perhatikan jari-jarinya yang mengatup menjadi satu, meminta maaf ke arahku.
Oke, baiklah. Cukup sudah, melihatnya hanya akan menyebabkanku cemburu pada perawakan fisiknya. Jarinya lentik dengan bulu mata yang cukup panjang. Wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah tidak menyebabkannya tampak seperti wanita, karena garis matanya yang tegas dan tajam. Well, perawakan fisiknya mendekati sempurna! Noted!
Ku tarik napas ku dalam-dalam.
Ku berikan dia senyum terbaikku, tanda bahwa aku sudah memaafkannya. Namun, jangan berani ia mengulanginya lagi! Awas aja!
Ia menarik tangannya dari hadapanku. Tersenyum manis, sangat manis dengan mata yang hampir menyipit sempurna.
Aku merasakan getaran nggak ya? Getaran elektrik seperti di novel yang ku baca.
Ku telisik diriku lebih dalam. Syukur lah, senyumnya yang lari hingga ke mata itu tidak mengantarkan efek listrik seperti kebanyakan novel yang sudah ku baca. Nggak kok, nggak dari mata turun ke hati.
So don't worry! You won't falling in love because the first impression is not so good.
"Maaf, nggak sengaja," ujarnya memecah keheningan di antara kami.
"It's okay," jawabku singkat dan mulai membaca bukuku lagi. Aku khawatir, jika aku menjawab lebih panjang maka dia akan mengajakku berbincang lebih lama. Aku kepedean? Idih, dilihat dari gaya atau tampilan seseorang pun kita bisa tahu tipe atau karakternya gimana. Dan laki-laki, yang dengan sembarangnya ku tuduh metroseksual ini, menunjukkan gelagat bahwa dia merupakan orang yang ramah. Sehingga besar kemungkinan dia akan mengajakku berbincang meskipun sekejap, untuk sekedar basa-basi atau apapun itu. Dan apapun alasannya, aku tak pernah suka dengan basa-basi dengan orang yang tak dikenal, khususnya laki-laki.
"Hmm...."
Nah kan, benar kan apa yang ku bilang. Belum apa-apa dia sudah berdehem. Kalau deheman kosong sih nggak masalah, ini dehemannya berisi. Cuekin aja deh....
"Hmm...."
Sumpah ya! Ini laki-laki deheman mulu. Kayaknya ini laki punya bakat bikin orang lain kesel kali ya....
"Hmm...."
Ku alihkan perhatianku pada wajahnya yang menatapku dengan tatapan polos. Shit.... Mau melampiaskan rasa kesal nggak bisa. Itu wajah minta di kasih cabe ya biar nggak polos lagi.
Sialan emang ini cowok....
"Maaf, ada apa ya, Mas?" tanyaku berusaha semanis mungkin supaya rasa kesalku tak tampak olehnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mengontrol emosiku yang seringkali lepas kendali. Tujuannya sih supaya aku bisa memanipulasi emosi.
"Ngg.... Itu mbak...." Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sepertinya ia sedang berusaha menemukan bahasa yang tepat.
"Kenapa, Mas?" ulangku. Ku tatap matanya yang masih bergerak liar. Ini dia sedang nggak pede atau apa ya? Matanya nggak bisa diam gitu.
Ku perhatikan wajahnya yang tampak kebingungan, damn he is so cute. Tiba-tiba manik matanya tepat masuk ke retinaku. Iris matanya coklat terang, berkilau ditimpa cahaya lampu.
Memang sempurna ciptaanmu, Tuhan.
"Mbak," ujarnya, mengalihkan fokus ku yang sempat salah jalan.
"Maaf mbak, bisa geser sedikit nggak mbak? Tali sepatu saya nyangkut di kaki kursinya mbak."
Ya Tuhan! Demi apa aku melakukan tindakan tercela ini! Oke, lebay. Malu, tak ku hiraukan lagi pernyataan laki-laki sialan ini. Segera saja ku geser kursiku dengan pelan, ku lirik wajahnya yang geli menahan tawa.
Aku ingin mengumpat, tapi apa daya, kesalahan terletak padaku. Hanya terlontar permintaan maaf kepada pemilik tali sepatu yang entah bagaimana bisa berada di kaki kursi dudukku. Wajahku memanas menahan malu, "Aduh mas, maaf banget ya.... Aku nggak tahu kalau nyangkut dan posisi tali sepatunya juga nggak bisa langsung ditarik. Maaf banget ya, Mas."
Ia mengangguk mantap, namun tak lepas dari senyumnya yang dikulum.
Ya Tuhan, kok kesal lihat dia senyum dikulum gitu....
Dan….
Bagaimana bisa tali sepatunya dalam posisi yang aneh seperti itu?