Tak baik memelihara asumsi buruk
Begitu pun dengan perasaan negatif
_________
Attaya baru saja sampai di koridor kampus ketika teman sekelasnya secara berjalan keluar kelas. Kehadiran Attaya yang sangat terlambat, memancing teman dekatnya untuk datang menghampirinya. Apalagi kalau bukan untuk mengganggu Attaya dan melihat reaksi khasnya.
"Astaga! Telat lagi!"
"Hehehe," jawab Attaya cengengesan yang mengundang decak gemas oleh teman-temannya.
"Itu kantung mata udah kayak kantung kanguru ya."
"Bukannya kantung kanguru nggak kelihatan ya kalau nggak gendong anak?" jawab Attaya polos.
"Mana gue tau, gue nggak suka NatGeo," balas Reni, gemas. Sungguh, seringkali sarkasme tidak bermanfaat bila berbicara kepada Attaya.
"Ren, udah deh. Kalau ngomong sama Attaya nggak usah pake bahasa kayak gitu. Nggak bakal paham dia," sahut seorang gadis berambut ikal, Asti.
"Malahan buat jengkel," tambah seseorang lagi dengan kekehan kecilnya, Fara.
"Apaan sih kalian," sungut Attaya kesal. Wajahnya cemberut, seperti anak kecil yang tidak dibolehkan memakan es krim. Sontak saja, pemandangan tersebut memancing tawa teman-temannya.
"Ngalong sampe jam berapa semalam?" Aditya menghampiri Attaya dan teman-temannya setelah mendengar tawa mereka dari tempat duduknya. Aditya adalah salah satu teman laki-laki yang berstatus kakak tingkat Attaya, ia sering bergabung dengan teman dekat Attaya.
"Eh, ada Mas Adit. Datang-datang langsung tanya tidur jam berapa. Perhatian banget sih sama Attaya, kapan ya gue bisa diperhatiin sama mantan mawapres tahun lalu," goda Reni.
"Gue serius taik," potongnya. "Kebiasaan banget deh Attaya. Itu gimana nggak tambah kurus," sambungnya lagi.
"Ye, yang kurus kan aku. Lagian buat apa nanya ngalong sampe jam berapa?" jawabnya kesal. "Attaqa ya?"
:….”
"Ngapain sih dia nanya-nanya ke orang! Kan bisa nanya langsung ke aku. Kayak stanger aja."
"Udah deh, Ya. Kan bener apa yang dibilang Adit," ujar Asti. "Itu badan kering kerontang, gimana mau gemuk kalau kerjaan lo ngalong mulu."
"Iih, tau ah. Balik ya!" pamit Attaya, menghindari percakapan untuk melindungi hatinya yang bergemuruh kesal.
"Woy! Mau kemana? Kelas berikutnya 45 menit lagi."
"Ngantuk. Mau tidur lagi."
"Anjir! Lo tidur kayak kebo! Badan kayak bambu!" sambar Aditya. Aditya itu memang memiliki lidah seperti silet. Omongannya selalu tajam dan jorok. Lidah setajam silet, nggak punya saringannya lagi. Aditya itu kayak peras santan dan nggak pake saringannya, jadi ampasnya jatuh semua, dan berakhir dengan masakannya jadi rada-rada aneh. Nah, kayak gitu tuh perumpamaan Aditya dan mulut manisnya.
Untungnya, Attaya sudah mengenal Aditya sejak ia masih senang keliling kompleks dengan ingus yang meler kemana-mana.
"Ngehina aja sih kerjaannya. Yang kebo kan aku, Attaya. Bukan pacarnya Mas Adit. Ngapain diurusin?" sambar Attaya. "Lagian kan wajar aku ngantuk, wong semalem aku tidur cuma berapa jam," bela Attaya.
"Ikut ke kantin aja yuk. Kita-kita belum sarapan nih," potong Asti untuk mencegah perdebatan panjang antar dua manusia beda jenis kelamin di hadapannya.
"Yuk, Ya. Udah lama nggak barengan nih." Reni menggamit lengan Attaya sembari menggoyangkannya. "Ikut ya?" sambungnya lagi.
Attaya tampak berpikir. Tadi dia sudah sarapan, jadi kalau ke kantin dia cuma ngeliatin temannya makan. Masih untung kalau cuma liat, kalau misalnya nafsu makannya bangkit, kan uang jajannya yang jadi korban. Belum lagi kalau duduk di kantin itu biasanya cuma wasting time, ngobrol ngalor kidul, berakhir dengan ngegosipin orang lain.
"Hmm, gimana ya...."
"Ikut dong, Ya. Udah lama nih kita nggak bareng. Kamu sibuk mulu…."
"Tadi aku udah sarapan sih Ren, As. Rencananya ini mau ke perpus. Gimana ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Kira-kira lama nggak makannya?" tanya Attaya.
"Yah, makan kayak biasa. Lima menit sebelum masuk udah selesai kok," jawab Asti.
Attaya tampak berpikir lagi. Kalau makannya 10 menitan sih nggak masalah. Nah, ini 40 menit buat sarapan. Ngapain aja? Wasting time banget kan?
"Ngg... Kayaknya aku nggak ikut deh. Kan rencana awal aku mau ke perpustakaan juga. Kalian mau ikut atau nyusul ke perpustakaan aja nggak?" tanya Attaya ragu-ragu. Diliriknya Aditya yang berdiri di sampingnya.
"Ikut nggak?" tanya Attaya lagi. Di dapatinya teman-temannya menggeleng, itu berarti mereka tidak akan ikut ataupun menyusulnya.
"Ya udah deh. Kalau gitu, aku duluan ya," ucap Attaya sembari membalikkan tubuhnya hendak ke arah perpustakaan. Dia sudah yakin, ajakannya ke perpustakaan jurusan akan disambut dengan gelengan kepala oleh koloni kecilnya. Jadi, Attaya hanya sekedar basa-basi untuk menghargai ajakan makan mereka.
"Bye!" ucap Attaya dengan gaya khasnya, tubuh yang sudah membelakangi dengan tangan yang diangkat tinggi ke atas dan intonasi suara seperti para artis.
Attaya melangkah dengan cepat menuju perpustakaan sambil sesekali memerhatikan arloji hitam legam yang melingkari pergelangan tangannya. Attaya bergumam dengan kening wajah yang berkerut, "Sial, telat! Itu bapak keluarnya cepet banget! Biasanya juga baru masuk 1 jam lebih lambat dari jadwal. Giliran telat aja, masuknya tepat waktu. Ini alam yang tengah berkonspirasi atau emang dari jabang bayi aku sial mulu."
Beberapa mahasiswa yang berselisih jalan dengannya hanya menatap Attaya dengan tatapan bingung. Sempat terdengar olehnya celetukan salah satu kakak kelasnya, "Jadi cewek kok ngomong sendiri, aneh."
Attaya tampak tak peduli. Bisik-bisik tetangga adalah hal yang sangat wajar di dunia ini. Dia mendengar, namun tidak berpura-pura bahwa ia tidak mendengar. Diberikannya senyum terbaiknya kepada para pembisik itu, SHOOT. Mereka terdiam, membuang muka karena tertangkap basah membicarakan sambil memerhatikan.
Sorry guys, untuk kali ini Attaya menang dalam pertempuran....
***
Perpustakaan dengan banyak buku adalah rumah bagi Attaya. Namun tidak dengan perpustakaan jurusannya. Bukunya sih banyak yang baru, namun banyak yang berdebu dan udaranya sedikit pengap. Mungkin karena sirkulasi udara yang kurang bagus. Hal ini juga tidak luput dari kritikan Attaya. Bayar kuliah mahal-mahal, fasilitas nggak bikin nyaman. Bingung, bukannya bagusin yang ada, malah nambahin barang lain yang kurang penting.
Attaya kesal, tentu saja. Rumahnya yang di kampus telah hilang hanya gara-gara peremajaan perpustakaan. Peremajaan perpustakaan itu kayak menyortir buku-buku lama untuk disimpan di gudang, kalau kampus puna dana bakal dibeli buku dengan tahun keluaran terbaru. Nah, kalau nggak ada dana kan bukunya akan sangat kurang. Huh....
Yang bikin Attaya super kesal adalah karena kebanyakan buku favoritnya merupakan buku dengan tahun terbit lama. Jadi, nasib buku favoritnya sudah pasti masuk gudang. Dulu, saat pertama kali tahu bukunya menjadi korban peremajaan, dengan santainya dia ngedumel di depan pegawai perpustakaan. Peremajaan sih peremajaan, tapi nggak harus sampe melenyapkan buku-buku jadul yang lebih berbobot. Untung aja pegawai perpustakaan nggak memasukkan nama Attaya di buku hitam.
Attaya bergegas menuju rak umum sementara, berharap novel yang kemarin dibacanya masih pada tempatnya, suatu tempat strategis untuk menyembunyikan sebuah buku dari orang lain.
Nggak sia-sia nyembunyiin bukunya, batinnya.
Bibirnya yang tipis melengkung sempurna, sambil menepuk novel yang berada ditangannya dengan bangga. Attaya bangga dengan kecerdesannya menyembunyikan buku, menyembunyikan buku ke suatu sudut rak yang kemungkinan kecil untuk didatangi oleh mahasiswa lainnya. Sehingga buku yang ingin dibacanya akan aman dan ia tidak perlu mencari buku itu lagi. Padahal bisa saja, tidak ada mahasiswa lain yang ingin membaca target buku Attaya itu.
Sembara mendekap buku yang telah didapatnya dan senyum yang masih belum pudar, Attaya menjejalkan matanya mengamati setiap sudut ruangan untuk menentukan tempat strategis menghabiskan 45 menitnya, tanpa gangguan apapun.
Attaya sedikit terkejut, ia tak menemukan bangku kosong yang dapat diduduki dengan nyaman. Hanya tersisa satu bangku, di sebelah laki-laki berambut hitam legam. Attaya paling malas jika duduk sebelahan dengan laki-laki. Ia tak suka bau laki-laki, seperti campuran deodoran, parfum, dan sedikit keringat. Terlalu complicated bagi hidungnya yang sensitif dengan bau-bauan. Nggak semua bau sih, cuma ya… nggak suka aja sama baunya.
Diperhatikannya laki-laki yang tengah serius dengan buku itu, terlihat seperti laki-laki metroseksual. Apa laki-laki itu dapat disebut sebagai laki-laki metroseksual? Mungkin dia nggak bakalan bau?
Entahlah, hanya Attaya yang paham mengapa seenak udelnya mengeluarkan asumsinya terhadap orang yang baru ditemuinya untuk pertama kali. Dari jauh pula! Memang ya, manusia itu suka sekali menilai orang lain.
Tak ada pilihan lain, mau tak mau, suka tak suka, ia harus tetap duduk di bangku sebelah laki-laki itu meskipun letaknya sangat tidak strategis?di tengah ruang perpustakaan. Ruang tengah perpustakaan itu merupakan ruangan tersibuk, orang keluar dan masuk pasti akan melewati bagian itu. Dan hal ini akan sangat menggangu jika mencari ketenangan dalam keramaian.
Attaya mendengus kasar, berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat, seperti anak kecil yang tengah merajuk. Kelakuannya menarik perhatian sebagian penghuni perpustakaan karena hentakan kakinya mengeluarkan bunyi yang cukup besar. Beragam respon diterimanya, namun Attaya tak menyadari hal itu, sebagian besar menggelengkan kepalanya, sisanya hanya menatap Attaya dengan bingung, kecuali laki-laki berambut hitam legam. Sepintas ditatapnya Attaya dengan ekspresi yang sulit dipahami, terulas senyum tipis yang siapa saja melihatnya pasti akan jatuh pada pesonanya. Namun sayang, tak seorang pun yang melihat senyum menawan laki-laki itu.
Attaya terlihat tak peduli menjadi pusat perhatian, ia berjalan cepat namum seolah berlari kecil menuju bangku tersebut dengan pertanyaan yang masih menggantung, tumben-tumbennya perpustakaan bisa penuh kayak gini....