Hymne for the Weekend, lagu dari band terkenal Coldplay itu jadi backsound acaraku tertawa-tawa di depan laptop. Layar laptop menampilkan wajah Devina dengan mata panda karena Devina bilang itu efek menangisi drakor tadi malam yang dia tonton secara marathon semalam suntuk.
“Ini tuh efek weekend nggak ada yang ngajak kemana-mana, jadi ya gue pasrah aja tadi malem nonton Meteor Garden full series sampe pagi.” Disana Devina menguap lebar karena baru bangun tidur, padahal ini sudah jam 1 siang.
“Terus kenapa vidcall gue kuyaaa? Udah tidur aja sana!” perintahku pada Devina yang masih terus berusaha melek di layar Skype.
“Ini salah satu cara biar melek Ras, lo ngoceh kek, nyanyi kek, apa ngapain gitu, pokoknya yang buat kuping sakit.”
“Jadi maksudnya suara gue sumbang benget? Nggak inget ya, gini-gini gue juga mantan tim Padus tau di SMP.” Aku mencebik.
“Yaelah, iya-iya! Yaudah sih, lagian tim Padus kan dulu nggak pernah juara, jangan sombong gitu dong.” Devina tertawa senang. Iya, dia itu tipe orang yang paling senang ketika aku kena bully.
“Kampret!” umpatku pelan.
“Ih Raras, jangan badword gitu dong, nggak baik.”
“Iya, maafin deh Bu Devina.”
Devina hanya tertawa-tawa di seberang sana, dengan muka yang masih amburadul itu aku yakin jika ku-screenshot lalu kupajang di instastory, seminggu kemudian kami baru baikan. Itupun kalau kubujuk pakai makan gratis. Iya sih, sahabat emang kadang sekampret itu.
“Ih Vin lo mandi dulu sana, masa anak cewek jam 1 siang gini belum mandi sih. kotoran aja disiram, masa lo enggak.” Aku mengernyit sok jijik ke arah Devina, tapi gadis itu malah makin merapatkan selimutnya dengan posisinya yang tengkurap di ranjang tidur.
“To be honesty, yang kaya gini tuh surga dunia. Zona nyaman ini namanya.” Devina menyengir lebar.
“Bilang aja mager total,” cibirku.
“Abis gimana dong?”
“Ya kalo gitu lo out of the zona lah, ngapain kek. Intinya keluar dari zona nyaman lo yang kaya gitu. Jujur deh Vin, gue nggak suka acara weekend lo yang nggak ada faedahnya itu. Mending lo persiapan buat seleksi debat atau minimal mandi lah, biar segeran dikit.” Aku mengoceh kesal sambil menatap layar Skype yang isinya wajah suntuk Devina.
Devina menghela nafas. “Jadi buat apa orang nyari comfortable kalo akhirnya ada kata-kata ‘jangan terpaku pada zona nyaman, out of the zona!”
“Itu bedaa!” belaku.
“Apanya coba yang beda?” Di seberang sana Devina mengangkat bahu. “Kita hidup buat cari kenyamanan kan Ras? Terus nggak tau siapa tiba-tiba orang bikin teori keluar dari zona nyaman itu. The point is, yang kita dapet setelah out of the comfort zone itu, kita dapet apa? Nyaman lagi? Kan sama aja!”
“Keluar dari zona nyaman itu tergantung dari keadaan sekarang. Dilihat dari banyak perspektif tentang bener enggaknya yang kita lakuin sekarang. Kalau misalnya menurut kita hal itu udah bener-bener jadi yang paling pas sih, yaudah. Nggak ada hasil maksimal kalo niatnya aja terpaksa, jangan-jangan kalo lo sekarang disuruh mandi, nggak pake sabun saking malesnya,” kutatap Devina kesal.
“Nggak gitu juga kali!” ujar Devina pelan dengan raut yang sidikit berbeda, dan baru kusadari sekarang, Devina itu tidak suka drakor, dia itu penggemar anime. Sahabatku itu emang pembohong yang buruk ketika kepepet.
“Kenapa sih Vin?” tanyaku, dan benar saja, di seberang sana Devina gelagapan.
“Hah? Apanya?”
Kutarik nafas dalam sambil membetulkan posisi duduk yang mulai kesemutan.
“Gue itu nggak bisa dibohongin ya asal lo tau, kuat banget lo nonton drakor series yang panjangnya lebih dari 40 part itu?”
Devina diam, sesekali mulutnya terbuka tapi kembali tertutup lagi. Tipe orang yang ingin mengelak tapi sudah kehabisan ide untuk beralasan.
“Lo nangis bukan karna nonton kan Vin?” tanyaku. Gadis itu menatapku lama sebelum akhirnya mengangguk kemudian.
“Jadi?”
Devina diam lagi. Akhirnya aku memilih menunggunya membuat keputusan untuk bercerita atau tidak.
“Nggak tau,” jawab Devina datar tapi diiringi helaan nafas berat kemudian.
“Enggak apa-apa kok kalo nggak mau cerita, gue orang yang sangat menjunjung tinggi nilai privasi.” Aku terkekeh garing, cara klasik untuk menghasut Devina tertawa paksa juga.
Tapi setelah itu Devina malah menangis lagi, dengan posisinya yang tengkurap dan menelungkupkan kepala di bantal, pandanganku ke dia jadi tidak jelas.
“Vin, lo kenapa?” tanyaku panik. Devina malah sesenggukan.
“Raras,” ucapnya tidak jelas.
“Iya, apa? Kenapa Vin? Lo sakit?” aku makin parno. Entah dimana letak kesalahannya, setelah aku bertanya Devina malah semakin sesenggukan.
“Aduh, kenapa sih Vin? Bilang dong sama gue. Atau enggak gue kesitu ya sekarang, jangan kemana-mana oke? Nggak ada 10 menit nyampe kok.” Aku segera bangkit dari posisi dudukku tanpa mematikan layar laptop, bahkan panggilan ku dengan Devina masih tersambung. Segera saja kusambar jaket denim lalu kupakai secepat kilat.
“Raras ati-ati, jangan ngebut!” Samar-samar kudengar Devina berucap demikian sebelum dia lebih dulu mengakhiri sambungan. Cepat-cepat kusambar kunci motor di atas meja dan segera meluncur ke rumah Devina.
Perjalanan ke rumah Devina tidak butuh waktu lama berhubung aku hafal banyak jalan tikus untuk sampai ke rumah sahabatku itu. Sampai disana, kulihat Mama Devina sedang duduk melamun di depan TV.
“Tante,” sapaku. Mama Devina sedikit terkejut ketika tau-tau saja aku sudah ada di ruang tengah. Bahkan dia tadi tidak dengar aku mengetuk pintu dan mungkin tidak sadar juga kalau aku masuk kesini dibukakan pintu oleh Bang Denial, kakak laki-laki Devina yang masih kuliah di Fakultas Kedokteran yang pernah diceritakan Devina.
“Eh? Ada Raras? Haduh, Tante nggak denger kamu masuk Ras.” Wanita itu terkekeh. “Mau ketemu Devina ya? Masuk aja ke kamarnya ya, kalo dikunci ketuk aja,” ujarnya, aku mengangguk.
“Kalau gitu aku ketemu Devina dulu ya Tan, mari!” pamitku lalu bergegas ke kamar Devina.
Setelah sampai di depan kamar nuansa biru itu, kulihat pintu kamar Devina sedikit terbuka. Samar-samar kudengar suara gemericik air ketika kulangkahkan kaki masuk ke dalam.
Kamar Devina berantakan, kutebak dia habis mengamuk. Aku bergidik ngeri ketika melihat isi lemari Devina sudah berserakan di lantai, juga ranjangnya yang penuh tisu dan makanan ringan.
Sambil menunggu Devina keluar dari kamar mandi, aku merapikan sedikit pakaian Devina yang keluar dari lemari. Lalu membersihkan ranjang Devina sesekali mengambil keripik kentang dari toples besar yang sudah habis setengahnya. Kira-kira Devina kenapa ya?
Tiga menit kemudian manusia yang membuatku pontang-panting itu keluar kamar mandi dengan penampilan yang sudah lumayan segar. Dia tersenyum, seperti tidak punya dosa sama sekali. Aku hanya diam memperhatikan Devina yang cengar-cengir dengan mata sembab itu sambil makan keripik kentang.
Setelah ganti baju dengan memakai sweater abu-abu dan memoles wajahnya dengan make up sehingga mata pandanya sedikit tersamarkan, Devina malah mengajakku entah kemana.
“Ayok!” katanya.
Aku mengernyit. “Ayok kemana? Vin lo kenapa sih?” tanyaku mulai gemas.
“Ayok buruan pergi dari sini sebelum gue meledak lagi,” ucapnya yang tidak kupahami itu ancaman atau apa.
Akhirnya aku mengalah dengan mengiyakan perkataannya. Pertama, dilihat dari Mamanya, keadaan kamar, mata panda, serta keinginan Devina untuk pergi sekarang, membuatku menyimpulkan kalau Devina sedang punya masalah.
“Apa? Jangan-jangan lo mau kabur dari rumah?” tanyaku reflek.
“Apa sih, sembarangan!” Devina melirikku agar diam. “Ma, Vina main dulu sama Raras!” pamitnya sambil ngacir keluar meninggalkanku yang masih berjalan di belakang.
Kudengar Mama Devina menyahut dari dapur. “Iya, hati-hati!”