Hari kedua ujian, aku tak sabar untuk datang ke kampus. Mungkin hari ini pak Andre juga yang menjaga, harapku. Waktu sudah menunjukkan pukul 8. Harusnya soal ujian sudah di bagikan dan mulai dikerjakan namun hal itu tak kunjung terjadi. Jantungku juga menjadi tidak karuan setelah jam 8 lewat 15 menit. Aku terus bergerak-gerak di tempat dudukku, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan kelas sejenak sambil cari angin dan menanyakan kenapa kami telat mengikuti ujian.
"Dek, kamu mau kemana?" tanya mbak Ita sambil menyusulku menuruni tangga.
"Keluar sebentar buat cari tahu kenapa yang jaga ujian kok belum datang."
"Pak Andre kena macet mungkin."
"Emang pak Andre lagi yang jaga?"
"Kamu tidak tahu? Kan memang dia yang diserahin oleh Kepala Jurusan untuk jaga ujian kita selama 2 hari ini." hatiku semakin tidak karuan.
Kami berhenti di depan ruang dosen. Ada bapak yang biasanya bersih-bersih gedung serta pemegang kunci seluruh ruangan di gedung Fakultas Teknik ini, sedang duduk di depan ruang dosen.
"Pak, apa pak Andre belum datang?" tanyaku.
"Belum mbak, harusnya sudah datang dari tadi. Lha itu..." sambil menunjuk di belakang kami.
"Maaf bu, silahkan kembali dan menunggu di kelas, sebentar lagi akan saya susul." ujarnya sambil ngos-ngosan.
Sebentar, tadi dia memanggil dengan sebutan apa? ‘BU’? luruh sudah perasaanku, hilang juga perasaan kagumku padanya. Aku paling tidak suka di panggil ‘Bu’. Aku agak sensitif dengan hal ini. Karena aku merasa usiaku masih muda dan berbagai cara aku lakukan untuk terlihat muda atau sesuai dengan usiaku sekarang. Jadi ingat saat aku menjemput adikku yang masih berusia 5 tahun sedang aku saat itu kelas 2 SMA, ada laki-laki yang menggodaku sambil berbisik-bisik bahwa aku sudah memiliki anak. Menyebalkan memang tapi aku tahan tapi saat orang yang kita suka melakukannya aku jadi semakin kesal.
Kami kembali ke kelas. Sambil menunggunya, aku berpikir tentang apa yang di ucapnya tadi. Usiaku masih seperempat abad dan penampilanku seperti mahasiswi biasa, kenapa masih dipanggil ibu? Mbak Ita memang berusia jauh di atasku tapi harusnya... ah sudahlah. Hilang respect ku padanya.
Jantungku sudah kembali normal saat ia masuk ke kelas. Ku arahkan pandanganku ke tempat pensil di atas mejaku. Setelah membagikan kertas soal dan jawaban, ia duduk di meja pengawas yang otomatis tepat di depanku sambil membuka laptopnya. Entah kenapa perasaanku menjadi biasa saja. Untung saja hari ini hanya satu mata ujian jadi aku tidak akan berlama-lama di hadapannya.
Aku memusatkan mata, tangan dan pikiran ke ujianku.
'Benar-benar mengarang indah' batinku.
Sesekali aku mendongakkan kepala sambil mencari kalimat yang tepat untuk aku tulis lalu tak sengaja bertemu mata dengan Pak Andre yang sedang melihat kondisi kelas. Ia menatapku sambil tersenyum simpul, aku langsung kembali menunduk memusatkan mataku pada kertas ujian. Bisa kalian bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Jatung ini kembali berdetak tak karuan. Aku pikir sudah selesai ternyata hanya disenyumin begitu sudah membuat hatiku kembali tak karuan.
Setelah selesai, aku mengemasi barang-barangku, kurang 15 menit memang tapi daripada aku jadi mengarang tulisan tentang yang aneh-aneh, lebih baik segera aku selesaikan.
"Hari ini hanya satu mata kuliah?" katanya saat aku berdiri mengumpulkan lembar soal dan jawaban di meja sebelahnya sambil membawa tasku.
"Iya pak, permisi." ujarku tanpa memandangnya dan melambaikan tangan ke teman-teman yang masih berjuang dengan ujian selanjutnya lalu keluar kelas.
Sesampainya di rumah, aku berbaring di kasur dan mengecek hpku ternyata penuh notifikasi di aplikasi Line dan WA. Grup chat Line ramai sahabat-sahabatku mengajak bertemu besok sedang grup chat WA ribut persiapan malam keakraban mahasiswa baru minggu depan ke Villa di Pacet.
'Ah, iya minggu depan nginep dua hari satu malam disana. Pak Andre pasti ikut. Hush mikir apaan sih!'
Besoknya aku bertemu dengan sahabat-sahabatku, Ina, Indri dan Caca, ketiganya sudah punya suami, bahkan Ina dan Indri sudah punya anak yang lucu-lucu. Jadi di kumpulan ini hanya tinggal aku yang single alias belum menikah. Saat berkumpul seperti ini aku hanya menjadi obat nyamuk karena topik pembicaraan mereka pasti tentang rumah tangga, seperti suaminya seperti ini, tingkah anaknya seperti itu dan lain sebagainya lalu ujung-ujungnya menyuruhku untuk segera menikah supaya bisa merasakan sendiri menjadi seorang istri dan ibu. Dimata mereka aku dianggap terlalu takut untuk berkomitmen. Sama halnya dengan anggota keluargaku yang lain, setelah kakakku menikah semua mata tertuju padaku sambil bertanya, "Kapan nyusul?" Ugh! Awalnya aku tidak terlalu terganggu dengan ini, tapi lama-kelamaan sedikit terganggu.
"Di lingkungan baru, tidak mungkin tidak ada yang menggoda hatimu?" senggol Ina sambil menggendong anaknya. Aku hanya mengangkat bahu acuh.
Tuhkan, lagi-lagi kembali kepadaku. Sesungguhnya aku bukannya takut berkomitment tapi aku hanya belum menemukan sosok yang tepat dan pula menikah bukan hal yang mudah seperti main rumah-rumahan. Aku juga ingin segera menikah tapi aku bisa apa kalau Allah SWT belum mempertemukan dengan jodohku. Tak bisa kupungkiri kalau aku kadang iri dengan mereka yang memiliki keluarga sendiri, ada lengan yang siap memeluk saat aku merasa takut, ada bahu tempat bersandar saat aku lemah, ada canda gurau yang aku lontarkan padanya saat kami merasa lelah dan telingaku yang siap mendengar keluh kesahnya setelah seharian mencari nafkah untukku. Aku tahu bahwa aku bukan perempuan yang pandai memasak, berdandan ataupun feminism seperti gadis-gais lainnya, namun aku akan berusahan sekuat tenagaku untuk menjadi istri dan calon ibu yang baik. Sekarang aku mulai berusaha semakin memperbaiki diri supaya pantas bersanding dengan jodohku kelak.
"Dari tadi, diem saja!" kata Caca di perjalanan pulang, aku memberinya tumpangan untuk pulang karena rumah kami searah.
"Inginnya ikut bicara tapi topiknya tidak ada yang sesuai, ya aku diem."
"Hahaha... sorry, maklum ibu RT (rumah tangga). Jadi kangen masa dulu ya, kita ngobrol tentang kuliah, temen-temen atau hal-hal remeh."
"Iya... tapi itu dulu..."
"Eh, kan kamu sekarang mahasiswa baru, kapan malam keakrabannya?"
"Minggu depan."
"Dimana?"
"Di Villa di Pacet."
"Bagus, tambah temen yang banyak, laki-laki di jurusan teknik pasti banyak. Jangan galak-galak sama mereka, jadi mungkin nanti ada yang..."
"Yang nyantol?! Iya... iya... tahu." kataku ketus. Bahuku di tepuk dari belakang.
"Dibilangin jangan galak-galak." ia tertawa.
Belum juga sampai di rumah, hpku bergetar. Setelah memasukkan motor ke dalam rumah sambil berjalan menuju kamar, aku mengecek hpku. Ternyata ada WA dari Siska, mahasiswa reguler angkatan 2015. Kami sekelas karena ada mata kuliah yang aku ambil dengan anak angkatan 2015 reguler kelas pagi. Anak ini menjadikanku tempat curhat dari masalah kuliah hingga curhat bahwa dia selama ini telah menyukai pak Andre. Padahal dia sendiri sudah punya pacar. Agak aneh menurutku karena sepertinya ia hanya main-main dengan perasaan orang maupun perasaannya sendiri. Lebih anehnya lagi adalah aku yang mau meladeni untuk mendengarkan setiap curhatannya. Aku memang mudah di jadikan tempat curhat.
'Kamu tuh pendengar setia.' Kata Caca dulu menilaiku.
Siska jr TL :
'Mbak ikut Makrab kan?'
'ikut kan?'
'iyakan?'
'balas dong mbak...'
'mbak.'
Duh banyak sekali chat anak ini,
Fia :
'Iya, ikut. Kenapa memangnya?'
Siska jr TL :
'Aku membuat keputusan untuk menyatakan cinta pada pak Andre mbak!'
Aku membelalakkan mata melihat tulisan di layar hpku itu.
‘Anak ini, benar-benar baik-baik saja kan?’ batinku.
Fia :
'Yakin?'
Siska jr TL :
'Suasananya sangat mendukung mbak, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.'
Fia :
'Ok, Good Luck!'
Anak ini terlalu berani, aku harap ia tak melakukannya. Bukan karena aku juga memiliki perasaan pada beliau tapi ini bisa mempengaruhi hubungan dosen dan mahasiswa nantinya. Tapi kalau memang ia menyatakan cinta pada pak Andre, kejujurannya boleh di acungi jempol. Aku juga jadi penasaran dengan jawabannya apa yang akan pak Andre lontarkan padanya.