Hari ini sebelum berangkat ke Jakarta, Kinan membereskan beberapa barang dikamarnya. Ia merapihkan beberapa sisa pakaiannya di lemari. Buku-buku sekolahnya juga ia tata di dalam kardus lalu disimpan dibawah meja belajar. Namun ia juga membawa beberapa buku bacaan dan kamus.
Sore ini Kinan akan diantar Pamannya ke stasiun kereta dan melakukan perjalanan ke Jakarta pada pukul 17.30 WIB.
Rasanya hari ini ia menghela nafas lebih banyak dari pada biasanya.
Sementara Bibi Mun sedang di kedai mengemas makanan untuk Kinan. Ia sejak kemarin berusaha menyembunyikan kesedihannya supaya Kinan tidak khawatir.
Setelah selesai Bibi Mun membawa 2 kotak makan itu pada Kinan dan memasukkanya ke dalam tas.
Kinan baru saja selesai mandi lalu berganti baju menggunakan baju berwarna biru dan rok selutut. Melihat Bibi Mun sedang mengecek kembali barang bawaannya, membuat Kinan kembali merasa berat untuk pergi. Namun ia telah memikirkan hal ini matang-matang, bahwa ini demi kebaikan. Bahkan jika ia bisa hidup lebih baik di Jakarta, itu semua juga akan ia berikan untuk Bibi Mun dan Paman. Terlebih jika ia bisa bertemu dengan Ibunya, seperti apa ia sekarang. Ia akan merasakan bagaimana dirawat oleh seorang Ibu.
“Bibi, apa sudah semuanya? tidak ada yang kurang kan?”.
Bibi Mun tersenyum dan membawa tas tersebut ke ruang tamu.
“Sudah semuanya. Kinan harus ingat pesan Bibi, disana harus berhati-hati dan jangan mudah percaya dengan orang baru apa lagi laki-laki. Jakarta tidak seperti Bandung”.
“Iya Bi, Kinan pasti bisa jaga diri disana”.
“Yasudah, setelah sampai stasiun di Jakarta jangan lupa langsung mencari taksi dan tunjukkan alamat Bibi An”.
“Iya Bi”.
Bibi Mun memeluk Kinan dengan sangat erat, ia akan segera merindukannya bahkan nanti malam akan menjadi sepi.
Paman sudah bersiap dengan sepeda motor. Dan kini saatnya Kinan berangkat. Baru beberapa meter ia keluar dari lingkungan rumahnya, air matanya lolos begitu saja, untunglah Bibi Mun tidak melihatnya menangis.
Ia akan benar-benar berusaha yang terbaik di Jakarta. Bibi bahkan memberikan sebagian tabungannya. Kini yang harus ia lakukan adalah menguatkan hati dan fokus pada tujuannya.
Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya Kinan dan Paman sampai didepan stasiun.
“Paman, antar Kinan sampai disini saja. Kinan akan langsung masuk ke kereta. Terima kasih banyak Paman juga sudah merawat Kinan sejak kecil”. Ucap Kinan sambil menurunkan tasnya.
“Yasudah, kalau begitu hati-hati dijalan. Langsung hubungi Paman kalau terjadi sesuatu. Semoga Kinan bisa bertemu Ibu, dan selalu bahagia”.
“Terima kasih, Paman. Kinan masuk sekarang”. Kinan menyalami punggung tangan Pamannya. Sekarang saat nya ia berjalan sendiri, menopang hidupnya seorang diri.
Kinan mulai memasuki stasiun dan mencari kereta yang akan ia naiki, untuk meyakinkan lagi Kinan pun menujukan tiketnya pada petugas yang berjaga. Ternyata benar, kereta nya sudah disini. Ia mulai masuk ke gerbong untuk mencari tempat duduknya.
“Permisi. Saya duduk disini”, ucap Kinan pada seorang wanita yang terlihat masih muda, ia duduk disamping kursinya.
“Oh ya silahkan”.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia naik kereta, jadi ia tidak merasa canggung.
Orang disampingnya nampak begitu tenang dan seperti sudah terbiasa melakukan perjalanan sendiri. Ia juga bukan seperti orang Bandung.
“Maaf, Teteh pergi sendirian?”.
Wanita yang sedang makan camilan sambil berkutik dengan ponselnya itu menoleh dengan ramah.
“Oh, iya. Sudah biasa, kemana-mana sendiri karena pekerjaan. Kamu sendiri atau sama siapa?”.
“Iya Teh, sendiri. Ada keperluan di Jakarta”.
“Hmm gitu, saya juga ini ke Jakarta karena ada keperluan. Aslinya saya tinggal di Jogja”. Kinan mendadak kagum dengan wanita disampingnya, dari cara bicaranya sudah terlihat sangat dewasa dan mandiri, padahal mungkin usianya baru 22 tahun. Sudah terbiasa berpergian jauh.
Melihat hal itu Kinan menjadi lebih percaya diri, mungkin ia memang harus seperti itu.
“Jauh ya, Teh”.
“Iya. Ini aku ada Camilan”. Wanita itu memberikan satu bungkus keripik kentang pada Kinan.
Kinan pun menerimanya dengan sopan dan menghargai kebaikan wanita itu. Bahkan mereka mengobrol sampai tidak terasa sudah lebih dari satu jam perjalanan. Kini senja tak terasa terlewat dan hari sudah gelap. Kinan membuka kotak makan yang dibawakan oleh Bibi Mun. Saat makan ia juga menawari wanita disampingnya.
Kinan makan dengan lahap, karena terasa sangat nikmat. Ini makanan terakhir dari Bibi nya untuk waktu yang cukup lama kedepannya. Saat sudah habis pun ia sebenarnya masih menginginkannya lagi.
Perjalanan ini ternyata tidak seburuk yang ia kira, ia hanya perlu kuat dan berani. Tidak akan terjadi apa-apa.
Kinan memejamkan mata untuk merasakan suasana yang sangat tenang di kereta, mungkin satu jam lagi ia akan sampai.
Saat Kinan terbangun, sepertinya sudah hampir sampai karena terlihat penumpang lainnya nampak mengecek barangnya, sembari menunggu kereta berhenti. Untunglah ia bangun disaat yang tepat.
Kinan turun bersama wanita itu, namun langsung memutuskan untuk berpisah karena sepertinya wanita itu sedang buru-buru. Kini saatnya ia berjalan keluar dan mencari taksi. Ternyata ada banyak sekali taksi yang menunggu didepan stasiun.
“Pak, saya mau tanya, apa bapak bisa mengantar saya ke alamat ini?”. Tanya Kinan pada salah satu supir taksi.
Supir taksi itu membaca dan langsung terlihat tau alamat tersebut.
“Tau mbak, mari saya antar langsung”.
“Sebentar pak, kira-kira tarifnya berapa ya?”. Tanya Kinan untuk memastikan harga, ia tau bahwa tarif taksi tidaklah mudah. Bahkan untuk di Bandung.
“Tarifnya normal mbak, kalo ke alamat situ kan lumayan, ya kira-kira 250 ribuan”.
Mendengar hal itu cepat-cepat Kinan menghilangkan rencana untuk menaiki taksi, harganya sangat mahal hanya untuk satu orang penumpang. Dan bahkan supir-supir taksi disini terlihat lebih menyeramkan dari pada di Bandung. Apa lagi ini sudah malam. Ia semakin berfikir 100 kali untuk menaiki taksi.
“Maaf pak tapi buat saya itu terlalu mahal. Apa bapak bisa menujukan saja arah alamat nya?”.
“Itu sudah termasuk murah mbak kalau mau diantar secara pribadi. Kalau mau naik kendaraan umum desak-desakan ya silahkan naik angkot dari depan itu, nyambung 3 kali”.
Mendengar ada kendaraan umum, Kinan pun lega. Setidaknya akan ada beberapa orang bersamanya.
“Oh keluar dari pintu itu. Yasudah terima kasih pak, maaf sebelumnya”. Kinan pergi dan berjalan menuju luar stasiun. Ia juga menyebrangi trotoar dan berjalan disepanjangnya.
Malam ini masih ramai, banyak toko dan cafe yang masih buka. Jadi ia tidak merasa khawatir. Setelah berjalan kira-kira lima belas menit, rasanya memang tidak ada angkutan umum disini. Apalagi sejak turun dari ketera, cuacanya sangat dingin seperti akan turun hujan.
Kinan masih berjalan berharap menemukan angkutan atau bahkan menemukan taksi jika ia sudah berjalan lumayan jauh, mungkin harganya akan sedikit lebih murah.
Tiba-tiba hujan turun begitu saja, dan membuat siapa saja yang sedang berjalan cepat-cepat berlari dan berteduh. Sementara Kinan berlari kedepan cafe yang memiliki atap luar lumayan besar. Rasanya ia ingin masuk saja untuk memesan minuman hangat dan duduk sembari menunggu hujan reda, namun mungkin harganya akan mahal. Meskipun ia memiliki cukup uang, namun ia tidak ingin menggunakannya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Hujan disertai sedikit angin ini benar-benar dingin. Kinan membawa tas nya untuk sedikit mundur hingga dekat kaca. Ia duduk diatas tas jinjingnya sambil melihat sekelilingnya. Sangat indah malam di kota Jakarta, banyak cafe dan lampu-lampu yang menyala.
Karena ada angin lagi, Kinan pun menundukkan kepalanya.
“Aduh!”, kinan merasakan ada yang menginjak kakinya, dan sebuah handphone yang jatuh disampingnya.
Seorang laki-laki nampak tersandung akibat kakinya dan ponselnya pun jatuh. Seketika Kinan merasa sangat bersalah lalu mengambil ponsel tersebut dan bahkan mengelap dengan bajunya.
“Maaf saya tidak sengaja. Biar saya bersihkan dulu, ponsel nya sedikit basah dan kotor, sebentar”. Kinan terus menunduk dan fokus membersihkan ponsel tersebut.
Laki-laki itu hampir saja ingin marah, namun ia justru terdiam melihat Kinan yang panik dan tergesa-gesa menyelamatkan ponselnya. Karena ia lebih tinggi, ia bisa melihat Kinan, rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya yang cantik. Terlihat hidung mancung, alisnya tebal alami, juga memiliki kulit putih dan bersih, auranya sangat kuat. Laki-laki itu nampak terpaku untuk beberapa saat.
“Ini sudah bersih. Maaf sekali lagi saya benar-benar tidak bermaksud”. Dengan kepala sedikit menunduk, Kinan menyerahkannya dengan 2 tangan agar lebih sopan.
Laki-laki itu menerima dengan perlahan.
“Oh. Ya, thanks”.
Kini Kinan benar-benar menatapnya. Laki-laki didepan matanya memang tampan dan terlihat masih satu atau dua tahun di atas nya, penampilannya benar-benar anak kota sungguhan. Dan juga ia terlihat seperti orang dari kelangan atas.
“Iya, maaf sekali lagi”.
“Ok..”. Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkannya dan berjalan masuk ke Cafe. Kinan masih memperhatikan nya, ternyata ia bertemu dengan teman-temannya.
Laki-laki itu adalah Julian Chen, ia ada janji berkumpul dengan kedua teman terdekatnya dicafe.
Julian berjalan masuk ke cafe dan menyapa kedua temannya, Kenzo dan Jay.
“Sorry gue telat”. Julian langsung duduk dan memesan coffee latte.
“Itu siapa? gue sama Jay liat dari sini”.
Julian tersenyum ke arah ponsel nya, lalu melihat ke arah luar cafe. Terlihat Kinan masih duduk disana sendirian, dan hujan juga masih turun. Seketika senyumnya menghilang.
“Ga tau, gue ga sengaja kesandung kakinya, trus hp gue jatoh”.
“Keliatannya cantik, Jul”. Pandangan Kenzo masih keluar sana melihat punggung dan rambut Kinan.
Mendengar Kenzo mengatakan hal itu, membuat Julian kembali tersenyum dan mengingat hal tadi.
“Jadi namanya siapa? lo kenalan kan?”. Tanya Jay penasaran.
“Engga". Singkat Julian, ia sedikit menyesalinya. 'Tapi setelah difikir-fikir lagi kayanya tu cewek bukan dari Jakarta, rasanya udah jarang banget ada cewek sepolos dan selembut dia. Bahkan cewek itu juga bawa tas yang lumayan berisi' , Batin Julian.
Kurang lebih setengah jam mereka menghabiskan waktu mengobrol, kini Kenzo dan Jay harus pergi terlebih dahulu untuk menemui pacarnya ditempat lain. Saat mereka keluar, Julian memperhatikan Kenzo dan Jay yang sedikit menoleh untuk melihat wajah Kinan.
Rasanya sangat jahat membiarkan seorang gadis berteduh sendirian. Julian pun membayar minumannya lalu keluar untuk menemui gadis itu dengan berpura-pura menelfon seseorang.
Mendengat suara seseorang disampingnya, Kinan menoleh untuk melihatnya. Ternyata laki-laki tadi, ia pun menoleh ke sisi lainnya supaya tidak mengganggu orang yang sedang bertelefon.
Kini Julian berpura-pura menyudahi telfon nya.
“Masih disini?”, tanya Julian pada Kinan untuk memulai obrolan.
“Iya, masih hujan” Suara Kinan yang lembut membuat Julian terdiam melihatnya.
“Memang ga salah, dia cantik. Dan, auranya tulus". Batin Julian tanpa bisa mengalihkan pandangannya.