-Sunyi nya malam. Aku ingin, tidak sendiri. Suhu dingin dengan mudah menempati ruangan ini. Juga gonggongan anjing yang tak kunjung berhenti. Sudah berapa lama aku memikirkannya? Seseorang yang mau menempati ruangan kecil ini bersamaku, yang hanya berlantaikan kayu dan tidak memiliki tempat tidur yang nyaman. Aku, tertidur dan terbangun tanpa melihat siapapun. Meskipun seseorang lainnya biasa memejamkan mata diruangan samping. Ku rasa, berbeda. Suatu saat nanti, mungkin Ibu ku atau kamu yang akan menemaniku lebih dulu-
BANDUNG, 2012.
Pagi-pagi buta Kinanti Saraswati, terbangun karena mendengar pintu besi rumahnya terbuka, suara itu cukup keras untuk besi yang sudah tua.
Sudah pasti Pamannya baru saja mengeluarkan sepeda motor untuk pergi mengambil beberapa sayuran, daging, dan beras dari pemasok dipasar. Akhirnya ia bangun sambil menguncir rambut panjangnya.
Untuk menghilangkan rasa kantuk nya Kinan pun bergegas ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya lalu menggunakan jaket agar tidak terlalu dingin. Suhu pagi buta di Bandung memang selalu membuat siapa saja ingin terus terlelap dan menarik selimut, namun ia salah satu yang tidak bisa melakukan hal tersebut.
Seperti biasa, jauh sebelum matahari terbit ia sudah harus membantu memasak nasi dan menu makanan untuk dijual di kedai.
Begitu memasuki dapur ia melihat Bibi Mun sedang menyiapkan gelas untuk membuat teh. Ia sedikit terkejut. Biasanya ia bangun lebih dulu.
“Kinan aja, Bi”. Ucap Kinan sambil mengambil alih gelas dari tangan Bibi Mun.
Bibi Mun tersenyum kemudian berjalan ke tempat duduk kayu yang dibuat oleh suaminya. Ia tersenyum melihat Kinan sudah tumbuh dewasa dan terlihat cantik seperti Ibunya.
“Kinan?”.
“Iya, Bi?”. Jawabnya sambil menoleh sekilas.
“Sudah belajar untuk Ujian Nasional hari ini?”.
Setelah selesai mengaduk hingga gula larut, Kinan membawa 2 gelas panas tersebut untuk duduk disebelah Bibi Mun dan memberikan salah satunya.
“Kinan yakin apa yang selama ini Kinan pelajari akan membantu dan tidak mengecewakan. Bibi doain Kinan terus ya”. Ia yakin dengan apa yang ia katakan, sembari meniupi teh hangat yang ia pegang.
“Bibi sudah menyerahkan seluruh kepercayaan Bibi pada Kinan. Hasil belajar di sekolah, tutur kata, dan kerja keras Kinan. Bibi selalu bersyukur”.
“Makasih, Bi”.
“Sama-sama. Sudah minumnya? kita harus ke kedai”.
Mereka berdua berjalan di kegelapan pasar. Terlihat beberapa pemasok sayuran dan daging sudah mendapatkan pelanggan. Pagi buta yang sibuk.
Kinan membuka gembok besi pintu belakang kedai, lalu masuk untuk menyalakan lampu-lampu dan mulai mengambil peralatan seperti pisau, wadah besar, dan penggorengan. Tidak lama kemudian paman nya datang membawa beberapa karung. Mereka mulai memasak bersama dalam jumlah yang besar.
Selama ini mereka hanya hidup bertiga, Bibi dan Paman selalu memperlakukan dirinya seperti anak kandung mereka.
Kinan yang memiliki wajah cantik dan bersih, memang salah satu yang paling populer di sekolah nya. Banyak yang mengenal dirinya namun ia tidak menyadari hal tersebut. Ia gadis yang sangat fokus belajar dan berteman dengan beberapa teman kelasnya saja. Ia juga ramah dengan siapapun yang menyapanya, namun ia tidak pernah mencoba untuk bergaul dengan siswa laki-laki.
Bibi Mun sedang memindahkan nasi yang baru matang ke dalam bakul besar, kemudian melihat keluar sudah mulai terang. Ia pun cepat-cepat berjalan menghampiri Kinan.
“Kinan, cepat bersihkan tanganmu nak. Pulanglah”.
Kinan baru menyadari hari sudah mulai terang.
“Ohiya Bi, Kinan pulang ya”, Ia pun mencuci tangannya dan segera pulang kerumah untuk mandi dan bersiap ke sekolah.
Setelah selesai mandi dan berganti seragam, ia menyempatkan untuk sarapan dengan makanan yang ia bawa dari kedai. Ia bahkan menghabiskan sarapannya sambil terus membaca buku. Ini akan sangat membantu untuk mengingat kembali materi-materi yang sudah ia pelajari.
Setiap hari Paman selalu mengantarnya ke sekolah menggunakan sepeda motor. Sejak kecil. Betapa bahagianya memiliki seorang paman yang selalu seperti seorang Ayah.
Jalan berliku, melewati perkebunan teh. Embun pagi sangat menyegarkan hingga tak terasa ia sampai dan langsung masuk keruang Ujian.
Kinan bersyukur mendapatkan posisi duduk paling depan, setidaknya itu bisa membuat dirinya sedikit lebih fokus. Ia sangat berharap nilainya bisa membantu untuk mendapatkan pekerjaan tetap supaya bisa membiayai keperluan hidupnya setelah lulus, juga bisa memberikan sebagian untuk Bibi dan Paman.
Selama ujian berlangsung, syukurlah banyak soal yang ia mengerti sehingga dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya hingga selesai.
“Kinan? gimana? tadi sulit ga?”, tanya Alya, sahabatnya.
“Lumayan Al".
“Kin, habis ini aku mau lanjut jadi perawat, menurut kamu gimana?”.
Kinan menoleh dan tersenyum, “Bagus Al, kamu pasti hebat seperti Ibu dan Ayah kamu”.
“Semoga. Kamu rencananya mau gimana?”
“Aku belum ambil keputusan Al, mungkin masih bantu Bibi di kedai”.
Sulit baginya untuk menentukan arah masa depannya, meskipun begitu ia akan tetap bekerja supaya bisa menabung untuk kuliah di tahun depan.
Setelah 15 menit ia duduk di angkutan umum, akhirnya ia turun didepan pasar dan berjalan kaki ke rumah. Kinan langsung ke kamarnya untuk beristirahat, apa yang harus dilakukan setelah kelulusan masih menjadi beban fikiran nya. Bukan ia tidak mempunyai mimpi dan tidak mau bekerja keras, tapi ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Jika ia ingin melanjutkan pendidikan, ia harus mempunyai tabungan yang cukup. Saat ini mungkin bukan waktu yang tepat.
“Kinan?”, suara Bibi tiba-tiba datang ke kamar dan memecahkan lamunannya.
“Bi… kenapa disini? Kedai nya bagaimana?”.
“Tidak terlalu ramai, ada Paman disana”. Bibi nampak datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa sebuah kain sepeti kantung berwarna merah. Bibi Mun duduk disamping Kinan untuk menyampaikan sesuatu.
Baru saja memulai untuk berbicara, kini Bibi Mun sudah menahan kesedihan dan merasakan sesak di dadanya. Sangat sulit melepaskan Kinan yang sudah ia anggap seperti darah dagingnya sendiri. Yang menemanin kesepian hatinya dan suaminya, karena mereka tidak ditakdirkan untuk mempunyai keturunan.
Dulu Mereka adalah keluarga yang tinggal di Jakarta, namun setelah terjadi masalah pada kesehatannya, mereka memilih untuk membuka usaha dan merasakan kehidupan yang baru, di Bandung.
Adiknya, Rima Ibu kandung Kinan pergi begitu saja beberapa hari setelah melahirkan Kinan karena rindu akan suaminya yang meninggal di Jakarta. Rima bertekat untuk melepas rindu disana. Sejak saat itu Rima tidak pernah kembali, ataupun memberikan kabar.
“Dari kecil Kinan sudah banyak membantu Bibi, sudah berusaha yang terbaik disekolah, sudah tumbuh menjadi dewasa seperti sekarang. Bibi minta maaf kalau pesan Bibi kali ini membuat Kinan sedih. Tapi Bibi yakin Kinan pasti akan jauh lebih baik lagi nanti”.
Tentu Kinan masih belum mengerti mengapa Bibi Mun tiba-tiba mengatakan hal itu, ia hanya mengerutkan keningnya, “Bibi kenapa bicara begitu? Kinan sayang sama Paman dan Bibi. Kalian sudah seperti orang tua Kinan sendiri”.
“Begitu pun Paman dan Bibi, kita juga menganggap Kinan seperti anak sendiri. Jadi dengarkan Bibi, Bibi punya sesuatu untuk Kinan”.
Kinan menerima sebuah kantung merah yang lumayan berisi. Ia pun membukanya, dan ternyata berisi beberapa perhiasan dan uang, juga ada lipatan kertas.
Ia semakin tidak mengerti mengapa Bibi memberikan barang berharga, apa mungkin Bibi bermaksud untuk memintanya melanjutkan pendidikan dengan menggunakan uang ini. Bagaimana pun ia tau uang dan emas ini pasti tabungan hasil berjualan di kedai.
Kinan segera menutup kembali kantung itu dan memberikannya pada Bibi Mun. Ia bahkan tidak bisa menyentuhkanya.
“Kenapa dikembalikan, ini untuk Kinan dari Bibi. Selama ini Kinan sudah banyak membantu Bibi, bahkan tumbuh menjadi anak yang baik”. Ucap Bibi Mun dengan sedih.
Sementara air mata Kinan sudah tidak bisa ia tahan lagi, mengapa rasanya sangat berat, ia tidak mau menyusahkan Bibi, ia bahkan sudah berencana kuliah di tahun depan dengan uang nya sendiri.
Melihat Kinan yang tidak menjawab apa-apa, Bibi Mun melanjutkan ucapannya supaya Kinan dapat mengerti.
“Bibi sudah membicarakan hal ini dengan Pamanmu sejak lama, uang dan emas ini hanya sedikit dari milik Bibi, dan tidak seberapa. Bibi mau, kamu segera ke Jakarta untuk mencari Ibu mu, bagaimanapun Kinan harus bertemu, juga harus mandiri dan melanjutkan pendidikan yang terbaik. Ini alamat kedai Bibi An di Jakarta, pergilah setelah kelulusan”. Dengan terbata-bata, Bibi Mun menyelesaikan apa yang harus ia katakan sejak lama.
Setelah itu kesedihan mulai menyelimuti hati Kinan. Ia tidak bisa tidur hingga larut malam, memikirkan bagaimana kehidupannya nanti di Jakarta. Selama ini ia bahkan tidak pernah berpergian di Bandung meskipun teman-temannya sering mengajak. Bagaimana bisa ia akan pergi jauh seorang diri. Bagaimana jika ia tidak bertemu dengan Ibunya.
Beberapa hari ini ia menguatkan dirinya untuk fokus menyelesaikan ujian, bahkan setelah ujian selesai ia masih fokus akan hasil yang akan ia terima. Jika ia tidak memiliki uang untuk melanjutkan, maka ia harus menggunakan nilainya.
Setelah kelulusan, Kinan sudah menerima kenyataan untuk pergi ke Jakarta dengan sepenuh hatinya. Ia memperbaiki niat dan tujuannya. Ia juga selalu menulis planning dan catatan untuk kebutuhannya disana, uang nya harus tetap ia simpan dan tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak perlu. Kemarin ia dan Bibi sempat mencari beberapa baju dan keperluan lain untuk keberangkatannya.
Dan malam ini, Kinan mulai menata baju-bajunya ke dalam tas jinjing. Ia juga membawa foto lawas milik Ibunya. Ia tidak ingin menangis, malam ini ia harus berbahagia untuk Bibi.
“Kinan? ini, teh dari perkebunan, masukan ke dalam tas, kamu bisa berbagi dengan Bibi An disana. Jangan lupa masukan jaket dan uangnya, cukup pegang uang beberapa saja. Setelah sampai disana jangan lupa hubungi Bibi ya”. Kinan terus memperhatikan Bibi Mun yang sedang merapihkan barang-barang nya hingga selesai.
Kinan memeluk Bibi Mun dengan erat, ia bertekat akan kembali ke Bandung untuk menemui Bibi Mun setelah mendapatkan pekerjaan dan memiliki penghasilan yang baik.
“Doakan Kinan Bi. Kinan juga pasti selalu rindu Bibi dan Paman. Terima Kasih banyak".
“Iya Kinan”, Bibi Mun terus memeluk Kinan seperti sudah sangat merindukannya.