Suhu dingin ingin menemaniku malam ini, ia hadir saat aku hilang arah. Ia hadir untuk menghangatkan ku.
Tapi sekarang kamu bukan suhu dingin itu. Kamu matahariku. -Kinan
Sadar dari lamunan singkatnya, kemudian Julian berjalan begitu saja melewati Kinan, ia memakai penutup kepala dari hoodie hitamnya untuk menerobos hujan dan berjalan menunduk. Kinan memperhatikan Julian dengan seksama, mungkin rumahnya di dekat sini.
Kini Kinan benar-benar sendirian, rasanya saat ada laki-laki itu ia bersyukur ada yang mengajaknya bicara. Namun pada kenyataannya memang ia harus sendiri. Kini mungkin ia bisa memutuskan untuk naik taksi sekali saja, supaya ia bisa cepat sampai dikedai Bibi An.
Saat Kinan mengambil tas jinjingnya dan hendak berjalan menerobos hujan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti didepannya. Kinan diam ditempat, seseorang keluar dengan memakai payung berwarna navi. Ternyata laki-laki tadi.
“Masih hujan. kenapa mau pergi?”, tanya Julian.
Kinan meletakkan kembali tasnya yang lumayan berat. “Saya sudah terlalu lama disini, dan harus pergi ketempat seseorang”.
Julian menaikan sebelah alisnya, “Seseorang?”.
“Bibi saya...”.
“Hujan-hujanan? kamu mau ke arah mana?”. Setelah menyadari ia mengucapkan kata 'kamu' pada gadis yang baru ia temui, Julian terdiam. Tetapi mungkin sudah benar, ia tidak mungkin mengucapkan kata “Lo” ataupun “Lu” pada seorang gadis yang sangat polos.
Saat Kinan ingin menjawabnya, ia teringat oleh pesan Bibi untuk tidak mudah percaya pada seseorang yang baru dikenal. Bukannya ia menyangka yang tidak-tidak pada laki-laki ini, tapi ia memang harus berhati-hati.
“Kenapa kamu mau tau?. Maaf, tapi kita tidak saling kenal”. Ucap Kinan dengan nada pelan.
Julian sedikit tersenyum mendengar hal itu, sungguh lucu. “Kenapa? apa kata-kata barusan itu pesen dari orang tua atau bahkan nenek kamu buat ga gampang percaya sama seseorang”.
Kinan terheran mendengar ucapan laki-laki didepannya, “Gimana kamu bisa tau?”.
“Semua orang tau”. “Ambil payung ini, mungkin hujannya sampe tengah malem nanti”.
Kinan nampak ragu untuk menerimanya, ia tidak tau harus bagaimana. Disisi lain ia sangat membutuhkan payung itu, tapi disisi lain ia takut terjadi hal lain setelah ini.
“Ambil, aku cuma nawarin kamu payung, bukan tumpangan. Aku bukan penculik, jadi ga ada yang mau nyulik kamu”. Ucap Julian sambil menyodorkan lagi payungnya.
“Terima kasih”, Kinan menerima payung tersebut, “Oh ya, saya mau tanya apa kamu tau alamat ini?”.
Julian membaca kertas tersebut.
“Jadi dia dari luar kota, pantesan beda banget sama cewek Jakarta”. Batin Julian.
“Tau. Ini lumayan jauh”.
“Saya mau naik taksi jadi ga masalah”. Sahut Kinan.
Rasanya terlalu berbahaya jika gadis secantik ini naik taksi dimalam hari sendirian, apalagi ia sangat polos dan tidak tau bagaimana kerasnya Jakarta. Julian tidak akan membiarkan gadis ini pergi sendiri.
“Naik taksi?. Kamu ga tau?”.
“Tau apa?”, tanya Kinan penasaran.
“Udah banyak kasus penculikan perempuan yang pergi sendiri kaya kamu. Apalagi malem. Taksi ga menjamin keamanan”.
Mendengar hal tersebut membuat Kinan menjadi semakin bingung harus bagaimana. Tidak mungkin juga ia meminta antar. Mobilnya terlihat mahal, pasti uang bensinnya jauh lebih mahal dari taksi.
Julian mulai melihat kekhawatiran di wajah Kinan. Mungkin ia harus mencoba mengatakannya.
Tidak berlama-lama, Julian pun langsung melipat payung nya dan masuk kedalam mobilnya. Ia membuka setengah kacanya dan menawarkan Kinan untuk ia antar.
“Masuk, aku anter kamu kesana”. Ucap Julian dengan sedikit berteriak supaya terdengar karena sepertinya suara hujan akan menghalanginya.
Kinan masih diam. Apa tidak akan terjadi masalah jika ia ikut. Tapi mengapa keyakinannya lebih besar dari pada keraguannya.
Perlahan Kinan mengambil tasnya dan berjalan untuk masuk kedalam mobil.
Julian tersenyum dari dalam mobil. Ia akhirnya lega, gadis ini akan cepat sampai ditempat Bibinya. Ini aneh, tidak biasanya ia mudah melihat perempuan. Mungkin karna yang satu ini berbeda.
“Pasang Seatbelt”. Singkat Julian.
Kinan menengok kanan-kiri melihat Julian memasang tali di badannya. Bagaimana cara memasangnya. Tiba-tiba sebuah tangan meraih kesamping kirinya. Julian memasangkan Seatbelt.
Mobil mulai melaju dibawah hujan deras malam kota Jakarta. Julian membawanya dengan kecepatannya yang lumayan diatas rata-rata. Saat diperjalanan, beberapa kali Julian melirik gadis disampingnya.
“Jadi, nama kamu siapa?”. Tanya Julian dengan pandangan yang masih fokus kedepan.
“Kinan”.
Julian tersenyum. Ternyata tidak hanya wajahnya, hati dan bahkan namanya juga cantik.
“Ga bawa jaket atau sweater? ga kedinginan?”.
“Oh iya”. Benar juga, dari tadi ia sangat kedinginan. Kinan membuka tas lalu mengambil sweater berwarna putih dan langsung memakainya.
“Julian Chen. Mahasiswa semester 3, fakultas ekonomi”. Ia memperkenalkan diri sekaligus memberitahu bahwa dirinya adalah seorang mahasiswa, supaya Kinan tidak meragukan apalagi menganggapnya orang berbahaya.
Kinan sedikit kaget mendengarnya, bahkan Julian adalah seorang mahasiswa, jadi tidak ada alasan lagi untuk mengiranya orang jahat.
“Terima kasih sudah mau mengantar saya”.
“Kinan?”.
“Ya?”.
“Kamu terlalu formal. Kita keliatan seumuran. Jangan bilang ‘saya’”.
Kinan mengangguk, “Mungkin kita beda 1 tahun. Aku baru lulus SMA di Bandung”.
Julian ber’oh’ mendengar jawaban Kinan.
Tiba-tiba Julian menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Kinan menoleh melihat Julian mengambil payung dan keluar begitu saja. Dari dalam mobil Kinan melihat Julian masuk ke toko roti. Mungkin ia belum makan. Begitu fikir Kinan.
Tidak lama kemudian Julian masuk kedalam mobil dan melanjutkan perjalananya. Ia mengambil kotak kue yang ia beli dan langsung menaruhnya dipangkuan Kinan tanpa mengatakan apapun.
“Kenapa di..”.
Belum sempat Kinan bicara, Julian sudah menyahutnya duluan. “Kamu harus makan”.
“Mmm, sebenarnya aku udah makan di kereta”.
Julian nampak tidak menjawabnya. Melihat hal itu Kinan langsung membuka kotak kue dan memakannya. Mungkin Julian akan tersinggung jika ia tidak menghargai pemberiannya.
“Makasih sekali lagi”.
“Hmm”. Hanya itu jawaban Julian, ia nampak fokus menyetir. Disisi lain julian tersenyum melihat Kinan menunduk memakan kue.
Tangan kiri Julian meraih botol minum disampingnya dan memberikannya pada Kinan.
“Minum dulu”.
“Makasih”. Kinan langsung meminumnya karena sudah sangat haus.
Julian kembali tersenyum melihat Kinan, mengapa rasanya ia sangat nyaman bersama Kinan. Baru beberapa jam ia bertemu, apa mungkin ia merasakan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Julian”. Suara Kinan tiba-tiba menghancurkan lamunannya.
“Kenapa?”.
“Apa masih jauh?, kalau kamu butuh istirahat atau mau makan, tidak masalah berhenti sebentar”. Kinan sangat berterima kasih pada Julian, selain sangat tampan dan berkharisma, ia juga sangat baik sampai mau memberikan tumpangan sehingga ia bisa bertemu dengan Bibi An. Sedari tadi ia bisa melihat Julian yang sudah mulai lelah.
“Ga masalah??”. Tanya Julian untuk memastikannya.
“Iya”.
Beberapa meter kemudian Juliah menghentikan mobilnya dan parkir didepan restauran. Julian melepaskan seatbelt dan mengambil ponselnya kemudian bergegas turun. Namun ia berhenti melihat Kinan yang masih diam dimobil. Ia menundukkan kepalanya kedalam mobil.
“Keluar”.
Kinan menoleh mendengar permintaan Julian, “Oh. Gapapa aku bisa tunggu disini”.
“Ga bisa, aku harus kunci mobil dan kamu ga akan bisa nafas”.
Mendengar hal itu membuat Kinan tersadar, mungkin Julian tidak akan nyaman seperti ini. Memang benar, mobilnya terlihat sangat mahal, bagaiman mungkin Julian mempercayakan dirinya untuk tetap duduk didalam sendirian.
“Iya, sebentar”. Kinan keluar dan mengikuti Julian, namun ia berhenti didepan restauran. Ia sudah bisa melihat seberapa mahal restauran tersebut. Ia tidak terbiasa masuk ketempat seperti ini.
Julian menyadari Kinan yang tiba-tiba berhenti.
“Kenapa?”.
Kinan tersenyum, “Aku tunggu disini ga papa”.
Melihat Kinan tersenyum, membuat hati Julian berdesir. Tidak berlama-lama ia pun menggandeng tangan Kinan untuk masuk kedalam dan langsung menemukan tempat duduk. Kinan hanya duduk diam, melihat Julian memesan makanan.
“Mau yang mana?”. Julian menawarkan menu makan malam pada Kinan.
Kinan merasa tidak enak dengan tawaran tersebut, ia sudah banyak merepotkan Julian.
“Mmm, aku bisa makan nanti dirumah Bibi”.
“Kin..”. Julian tetap ingin Kinan bisa makan dengan baik.
Lagi-lagi ia tidak bisa menolak karna merasa tidak enak. “Sama kaya kamu”.
“Ok, 2 picanha steak dan 2 mango berries bluffing”.
Setalah beberapa saat menunggu akhirnya makanannya datang. Kinan memang belum pernah memakan steak seperti ini, namun ia tau bagaimana cara memakannya. Ia akan mencoba dengan hati-hati supaya tidak membuat malu Julian.
“Kin. Jangan sedikitpun berfikir buruk tentang aku. Kalau aku ada niat jahat, dari awal aku udah jahatin kamu”. Julian sangat ingin memastikan Kinan tidak akan membangun jarak yang berlebihan dengan dirinya, apalagi sampai menghindarinya karna tidak mempercayai dirinya.
Kinan diam beberapa saat, terlihat ketulusan dari ucapan Julian. Ia bisa merasakan jika Julian memang orang yang baik.
“Kenapa kamu bilang seakan-akan memang aku punya fikiran buruk tentang kamu?”.
“Karna kecemasan terliat jelas di wajah kamu. Mungkin emang masih asing. Tapi, Kinan… aku mau kita berteman baik”. Kata-kata itu benar-benar keluar dari hati Julian dengan tulus.
Kinan tertegun mendengar ucapan Julian, ia semakin dapat merasakan ketulusan Julian.
“Iya, kita berteman”. Kinan baru menyadari setelah kata-kata itu keluar. Apa ini yang hatinya mau.
Setelah percakapan ini mereka berdua sama-sama diam hingga kembali lagi ke mobil. Julian kali ini merasa sangat lega. Sementara Kinan, senang bertemu dengan seseorang yang baik dan mau berteman dengannya, meskipun Julian adalah orang kaya ia sama sekali tidak malu dengan penampilannya yang seadanya. Kinan juga harus berterima kasih atas makan malamnya, apa lagi saat melihat Julian harus membayar makanan itu dengan beberapa lembar uang merah.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan mengobrol, hingga 30 menit kemudian mereka sampai di alamat yang Julian ketahui.
“Disini”. Ucap Julian yakin. Mereka berdua keluar dan melihat lingkungan sekitar. Lingkungan yang rapih dan bersih bahkan sebelum masuk kesini, didepan adalah tempat kuliner yang ramai.
“Tapi dimana kedai Bibi An”. Kinan terus mencari sebuah kedai disekitarnya.
“Rumah nomor 42”, Julian membaca lalu berjalan mengikuti jalan, Kiinan pun mengikuti Julian dari belakang.
Terlihat sebuah kedai yang masih buka bertuliskan ‘Kedai An 99 ’ Julian pun melangkah masuk dan melihat seseorang sedang memasak.
“Permisi, apa benar ini kedai Bibi An?”. Kinan mulai bertanya pada wanita paruh baya tersebut.
“Iya benar”.
“Bibi An, saya Kinan keponakan Bibi Mun dari Bandung”.
Wanita tersebut berjalan mendekat dan memeluk Kinan, “Oh ya ampun Kinan, dari tadi Bibi sudah nungguin kamu. Gimana perjalanan kamu ,nak?”.
“Lancar Bi. Oh iya ini Julian, teman Kinan”.
Julian menyalamin tangan Bibi An dan tersenyum. Mereka duduk dan Bibi An membuatkan minuman hangat untuk mereka karna cuaca yang dingin.
Julian bisa melihat kebahagiaan Kinan setelah bertemu Bibi An. Ia sangat senang melihatnya apa lagi membuktikan pada Kinan kalau ia benar-benar mengantarnya dengan selamat. Selain itu ia juga telah meminta nomor ponsel Kinan saat dimobil, sehingga ia bisa bertemu dengan senyuman Kinan lagi.