Gue sedang duduk di ayunan di taman belakang rumah gue. Dulu gue sama Abang gue sering main ayunan disini. Dan saat itulah abang gue berteriak kalau Raka datang. Awalnya gue kaget, tapi gue mencoba menyadarkan diri gue dan mencoba bersikap tidak berlebihan. Akhirnya gue dan Raka duduk di ayunan. Kami berdua hanya diam. Gue sendiri tidak mau membuka pembicaraan, karena Rakalah yang harus memberi penjelasan.
“ya, itu bener. Ga ada satu kebohonganpun dari apa yang lo denger tadi malem.”
“jadi maksud lo,,,” gue ragu untuk memperjelas situasi ini.
“lo bukan pacar gue satu-satunya.” Raka berkata tanpa melihat ke arah gue.
Tiba-tiba setetes demi setetes air mata gue membasahi pipi gue.
“gue ga akan mutusin lo, kalo lo terima keadaan ini. Tapi kalo lo minta putus, gue bakal ngabulin keinginan lo.”
Gue bahkan tidak bisa berkata apapun setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Raka. Air mata gue mengalir semakin deras di pipi gue. Gue menangis tanpa suara dan hanya menundukan kepala gue. Tapi tiba-tiba Raka memeluk gue dan mencium kening gue lembut. Dan langsung pergi meninggalkan gue yang masih kaget dengan apa yang dia lakukan tadi.
Gue masih terdiam di ayunan. Hal itu menarik perhatian abang gue. Dia menghampiri gue, dan berkata bahwa dia akan pergi lari siang dengan bang Ivan.
“lo mau ikut?”
Awalnya gue tidak mau, tapi setelah gue pikir-pikir mungkin dengan berlari gue akan merasa lebih lega dan pikiran gue lebih jernih. Karena setelah apa yang terjadi barusan, pikiran gue lebih kusut dari sebelumnya.
“ok gue ikut!”
Setelah berganti pakaian gue bersama kedua abang gue berangkat lari. Untuk menghilangkan kerumetan dalam otak gue, gue berlari dengan sangat cepat. Gue mendengar abang gue dan bang Ivan berteriak,
“Al jangan kenceng-kenceng, nyantai!”
“iya, ntar lo kecapean.”
Gue tidak mengindahkan teriakan mereka dan berlari lebih cepat. Rasanya puas berlari dengan perasaan galau seperti ini. Adegan seperti di MV-MV Korea. Hahahahahaaaaa....
Namun pada akhirnya apa yang dikatakan oleh abang-abang gue terbukti. Gue kecapean dan rasanya kaki gue sudah tidak menyentuh tanah. Perasaan melayang karena terlalu cape. Gue juga sangat haus. Akhirnya abang gue dan bang Ivan yang tadi tertinggal jauh di belakang gue berhasil menyusul gue. Mereka hanya bisa menatap gue yang kecapean. Dengan posisi terlentang gue meminta air ke abang gue.
“ah lo itu gimana sih, kan tadi gue bilang nyantai. Gini kan akibatnya.”
“air mana air!”
“lagian siapa juga yang bawa air minum.” Bang Ivan membantu membangunkan gue.
Tiba-tiba seseorang yang gue kenal ada di depan gue. Nadya.
“Alea!?” dia mendekati gue.
“hei, Nad. Lo..... kenapa ada disini?” gue bertanya dengan nafas setengah berhenti.
“itu rumah gue,” Nadya menunjuk rumah yang memang ada di depan gue.
“hah, kenapa... rumah lo.... disini?”
“maksud lo? Dari dulu rumah gue kan disini,”
“oh gitu, iya juga yah.”
Untuk sesaat suasana hening sejenak, gue diam, Nadya diam, dan abang-abang juga sama. Tapi Nadya melihat ke arah gue dan tersenyum aneh. Gue berpikir sebentar dan gue ingat sesuatu.
“oh iya, dia abang gue namanya Areas. Dan ini temennya abang gue namanya Bang Ivan. Dia Nadya, dia temen sekelas gue.”
“hai!” Nadya menyapa kedua abang gue dengan senyuman ramah ala Nadya.
Dan abang-abang gue menyapa dia balik.
“eeeemmmm, dia juga pacarnya Viko.”
Nadya kembali tersenyum ke arah abang-abang gue setelah mendengar perkenalannya yang tertinggal di mulut gue. Tapi yang gue heran adalah ekspresi abang-abang gue yang keliatan menahan tawa mereka.
“ya udah kalo gitu kita duluan ya Nad,” Are langsung menarik tangan gue. Gue hanya bisa tersenyum dan melambaikan tangan gue kepada Nadya.
Setelah beberapa langkah berjalan dengan kaki gue yang sudah tidak kuat bertahan. Akhirnya gue melihat pemandangan yang luar biasa terhampar di depan gue. Sekarang gue dan abang gue berada di atas bukit kecil di ujung perumahan. Bukan bukit yang indah tapi pemandangan di balik bukit itu yang indah. Dari sini kita dapat melihat hampir seluruh kota. Bukit di belakang sekolah di film kartun doraemon. Mungkin hampir sama seperti itu. Keren!
“kalian tau dari mana tempat kayak gini?” gue masih memandangi keindahan yang ada di hadapan gue.
“makannya kita suka lari, pemandangan disini, pagi, siang, sama sore itu beda.” Bang Ivan menjelaskan sambil mencoba duduk di atas batang kayu yang tergeletak di tanah.
“ohh ya? Keren!”
“Dia beneran ceweknya Viko?”
“iya, kenapa?”
“dia suka sama gue,”
“apa? Kenapa lo bilang kayak gitu?” gue menatap heran abang gue.
“dia ga ngerti Van, jelasin!”
“lo liat ga cara dia ngeliatin abang lo? Dari matanya aja udah keliatan,”
“lo ngarang,” gue tidak mengerti maksud dari pembicaraan mereka berdua.
“cara dia ngeliat abang lo, sama kayak cara lo ngeliat Viko. Mata lo ga bisa boong kalo soal hati,” Bang Ivan menjelaskan dengan serius.
“itu ga mungkin, Nadya kan pacar Viko.”
“terus?”
“ya, maksud gue mana bisa dia suka sama orang lain sementara dia udah punya pacar. Jadi ngingetin gue sama seseorang aja,” yang gue maksud adalah Raka.
Abang gue dan Bang Ivan tertawa lumayan keras mendengar ucapan gue.
“ah, lo itu ternyata emang masih kecil ya!” Bang Ivan menepuk pundak gue.
“ih, gue kan udah kelas dua SMA. Lo ga liat badan gue aja udah lebih tinggi sekarang.”
“gini ya Al, di masa-masa SMA kalian ini ga ada keharusan buat kalian mulai setia. Jalani aja, jangan terlalu serius gitu. Gue liat lo marah sama cowok lo sekarang, udah deh biasa aja. Apa kalian bisa ngejamin kalo kalian bakal nikah?”
“ya mana gue tau, gue ga kepikiran sampe situ.”
“nah itu dia,” Abang gue memberi high five atas jawaban gue. Dan dengan polosnya gue membalas high five itu. “lo bahkan belum kepikiran sampe sana kan? Jadi biasa aja, belum tentu dia yang bakalan ada di samping kita untuk selamanya kan. Gue ngomong kayak gini berdasarkan pengalaman gue hidup tiga tahun lebih lama dari lo.” Are mulai menasehati gue mungkin.
“terus pas tadi gue bilang kalo dia ceweknya Viko, kenapa muka kalian kayak gitu?”
“soalnya gue bisa bayangin perasaan lo gimana, sahabatan sama pacar gebetan lo. Ngenes banget.” Sekali lagi mereka berdua tertawa dengan puas.
Setelah membersihkan tubuh gue yang lengket akibat keringat, gue membungkus luka gue dengan perban dan membaringkan tubuh gue di kasur. Memikirkan apa yang Abang gue dan Bang Ivan katakan. Gue merasa mungkin mereka benar. Mungkin gue jangan terlalu serius sama hubungan yang gue jalin sekarang. Gue kan masih SMA.
Gue bangun dari tempat tidur gue dan berjalan ke arah balkon kamar gue, gue duduk di kursi goyang berwarna pink yang sengaja gue tempatkan di balkon untuk bersantai. Gue memejamkan mata gue dan mulai tertidur,