Dewa menjemput gue. Hal itu membuat abang gue kebingungan kenapa gue malah berangkat sama Dewa bukan Raka.
“lo udah putus sama Raka?” abang gue menegur gue yang sedang bercermin.
“maksud lu?”
“kenapa lo ga berangkat sama Raka?”
“ini bukan party pasangan kok,” gue mencoba menghindari tatapan mata abang gue supaya tidak menimbulkan kecurigaan.
“jangan bilang kalo lo coba selingkuh? Al, gue kasih tau yah hubungan perselingkuhan itu ga akan berhasil. Kalo ga satu yang sakit hati, ya dua-duanya.”
“apaan banget sih lo, engga kok. Lagian so-soan banget nasehatin gue.”
“gue bisa ngomong kayak gitu berkat pengalaman.”
“haha”
“gue serius,”
“ya udah sih ya, gue jalan dulu. Kasian Dewa udah nungguin, bye!”
Guepun menghampiri Dewa yang sudah lama menunggu di depan rumah gue.
“ayo kita berangkat!”
“ah kenapa lo lama banget sih? Lagian seberapa lamapun lo ngaca, muka lo ga bakalan jadi cantik gitu aja.”
“ih harus ya ngomong gitu, harusnya lo itu bilang kalau malam ini gue terlihat cantik, meskipun hanya sekedar untuk basa-basi. Ga romantis banget sih!”
Dewa hanya diam mendengar ucapan gue. Dan terdengar suara jangkrik “KkkrriiikkKkkkk.... KKKrrriiiikkkKk....!!!” kemudian Dewa berjalan ke mobilnya. Ah suasananya tidak sesuai dengan apa yang gue harapkan. Dewa bahkan tidak membukakan pintu mobilnya buat gue. Memang nada suara gue terdengar agak membentak Dewa, tapi ekspresinya setelah itu membuat susana canggung. Akhirnya di perjalanan menuju party Bunga, gue dan Dewa hanya saling diam dan sesekali melirik. Canggung sekali. Gue yang biasanya banyak bicara, hanya bisa diam. Bingung apa yang yang harus dilakukan dan harus mulai dari mana.
“lagian kenapa dia tadi langsung diem kayak gitu, aaaaahhhh!” gue berbisik sambil menundukan kepala gue.
“apa lo bilang?”
“eh, engga! Gue ga bilang apa-apaan. He!”
Setelah sampai di party, gue dan Dewa langsung masuk. Awalnya gue bingung harus bersikap apa setelah kejadian tadi. Tapi setelah gue pikir-pikir, bersikap seperti biasalah jawabannya. Sampai di pintu masuk guepun langsung menggandeng tangan Dewa. Awalnya Dewa kaget yang tiba-tiba digandeng tangannya dengan beringas? Oleh gue. Tapi karena gue tersenyum amat manis. Diapun hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Ternyata hampir semua teman kelas sudah datang. Ada juga beberapa teman yang dari luar kelas. Partynya seru. Hampir seperti acara fashion show. Karena style anak-anak keliatan aslinya. Beda-beda dan keren-keren. Sebelum menyapa tamu undangan yang lain gue dan Dewa menghampiri dulu si mpunya hajat, Bunga. Yang biasa di panggil unge. Kayak BCL gitu lah.
“Unge!” gue mengetuk pundak bunga yang saat itu sedang mengobrol dengan entahlah siapa gue ga kenal.
“Alea, hei makasih udah dateng. Waw lo keliatan cantik.” Bunga terlihat benar-benar senang malam ini.
“cantikan elo lah, lo kan yang ultah. Happy birthday ya, semoga semoga semoga pokoknya!”
“makasih” Bunga memeluk gue.
“ini ada kado, kecil sih tapi semoga lo suka.” Gue memberikan kado yang isinya jam tangan mungil warna perak.
“ya ampun ga usah repot-repot kali Al, lo dateng aja gue udah seneng banget. Makasih ya!” dan Bunga memeluk gue sekali lagi kemudian mengambil kado yang gue bawa.
Dewa yang dari tadi hanya melihat keseruan gue dan Bunga akhirnya ikut berbicara.
“selamat ulang tahun Nge, sorry gue ga bawa kado. Anggap aja kado yang Alea bawa itu kado dari gue juga.” Kemudian Dewa memeluk Bunga,
“apaan? Lo ga patungan,”
Kita bertigapun hanya bisa tertawa.
Gue dan Dewa menghampiri teman-teman lain yang dari tadi sudah mengobrol seru. Sela dan Kevin sudah datang. Tommi beserta pacarnya juga sudah terlihat memakan sesuatu. Gue dan Dewapun menghampiri mereka berempat.
“hai hai guys!”
Tommi kaget melihat gue yang datang dengan menggandeng tangan Dewa.
“wah, sejak kapan?”
“apaan sih lo, .......udah pada lama nih?”
“lumayan, gue pikir lo ga jadi berangkat bareng Dewa.”
Gue hanya bisa nyengir kuda mendengar omongan Sela.
Setelah lama mengobrol dengan beberapa orang, guepun berkata pada Dewa kalau gue mau ke kamar kecil. Gue benar-benar ingin buang air kecil. Sudah tidak tahan -_-. Dewa bilang jangan lama-lama, karena mungkin sebentar lagi acara utama akan dimulai. Guepun menganggukan kepala gue.
Setelah selesai buang air kecil, gue membenarkan dandanan gue yang sedikit agak berantakan. Di pesta ini gue memakai dress pendek warna putih. Imut, lucu, cute gitu lah. Sesuai lah sama badan gue yang semampai. Rambut gue diiket alakadarnya, supaya keliatan eksotis dan alami. He J. Guepun keluar dari toilet, karena saat itu terdengar suara MC yang mengatakan bahwa acara utama segera dimulai.
Sebelum menghampiri semua orang gue mengambil segelas air minum. Yang berada di salah satu meja. Saat menghampiri teman-teman gue. Gue melihat tubuh yang tidak asing di depan gue. Itu Raka. Ternyata dia datang juga ke party Bunga. Guepun mendekati mereka yang sepertinya sedang mengobrol seru. Karena mereka sedang tertawa. Dan saat itulah ketika kira-kira gue sudah berada satu langkah lagi di belakang tubuh Raka. Dewa bertanya pada Raka.
“jadi siapa yang lo bawa?”
Gue terdiam tepat di belakang tubuh Raka dan melihat seorang cewek yang berada di sebelah Raka. Benar juga, gue ga kenal sama cewek ini.
“oh, iya kenalin, Dara. Cewek gue.”
“hai!” cewek yang ada di samping Raka menyapa teman-teman gue.
Gue yang mendengar dan melihat jelas semua itu, benar-benar kaget. Apa maksudnya semua ini? Apa Raka melakukan ini hanya untuk membohongi anak-anak, agar hubungan kita berdua tidak diketahui? Atau karena dia cemburu sama gue yang pergi sama Dewa? Atau ini beneran? Dan saat itulah gue menjatuhkan gelas yang gue pegang. Dan seingat gue saat itu juga tepat dimana Bunga baru memegang microfonnya untuk memberi ucapan terima kasih pada teman-teman yang datang. Mendengar suara gelas yang pecah, semua orang melihat ke arah gue yang masih kaget. Termasuk Raka dan yang lainnya. Akhirnya gue sadar dari tatapan kosong gue.
“maaf maaf, tangan gue licin.” Guepun mengambil pecahan gelas yang berserakan di lantai.
“jangan di ambil!” Dewa berteriak dan menghampiri gue. Tapi sayang dia terlambat, karena sekarang gue sudah terluka. Salah satu pecahan gelas yang gue ambil melukai telapak tangan gue tepat di tengah-tengah. Luka robek yang lumayan, karena saat mengambil pecahan gelas itu tangan gue bergetar hebat. Guepun menangis. Gue ga tau ini tangisan sakit atau tangisan sedih. Semua orang mengerumuni gue termasuk Bunga.
“lo ga apa-apa kan Al?”
Gue yang masih menangis mencoba menyadarkan diri.
“gue ga apa-apa kok Nge. Sorry ya!” gue menahan air mata gue supaya tidak mengalir.
“ya udah lo mendingan ke klinik. Darah lo banyak banget.”
“ayo!” Dewa langsung membawa gue dengan cepat ke mobilnya. Sela menghampiri gue dan Dewa.
“cepet bawa dia ke klinik! Hati-hati! Oh ya apa gue harus ikut?”
“ga usah, percaya sama gue.” Dewa langsung menancap gas mobilnya dan melaju dengan cepat menuju klinik.
Sementara gue masih tertegun tidak percaya dengan apa yang gue lihat tadi. Dan apa yang terjadi kepada gue sekarang. Gue juga masih menangis. Hal itu membuat Dewa semakin panik.
“sakit banget? Tahan, sebentar lagi kita nyampe,”
“stop!” gue berkata lirih pada Dewa.
“Apa?”
“jangan bawa gue ke klinik,”
“apa maksud lo? Lo itu luka Al, kita harus ke klinik sekarang.”
“gue ga mau, gue ga mau.” Akhirnya tangisan gue tidak terbendung lagi.
Dewa terlihat kebingungan tapi pada akhirnya dia menuruti gue. Dan membawa gue ke taman yang lumayan tenang di malam minggu. Gue dan Dewa duduk di salah satu kursi taman yang ada disana. Di pinggir kursi itu juga ada lampu taman kecil, yang membuat suasana menjadi manis.
“lo tunggu disini, gue ke apotek sebentar. Ok!”
Dewa meninggalkan gue. Sementara gue masih mengalirkan air mata di pipi gue. Air mata ini seolah tidak terbendung dan mengalir begitu saja. Pikiran gue benar-benar kusut. Semuanya terasa rumit dan membuat gue sakit. Ada yang terasa sakit di salah satu bagian tubuh gue. Yang membuat gue ingin menangis dan menangis. Tidak berapa lama Dewa sudah kembali dengan membawa peralatan P3K. Dia menghampiri gue dan menaruh peralatan P3Knya. Dia manarik tangan gue. Namun gue menarik kembali tangan gue. Dan sekali lagi Dewa menarik tangan gue, kali ini gue tidak bisa melawan karena dia memegang tangan gue sangat erat. Dia mencuci luka gue dengan air mineral. Kemudian mengelapnya dengan kasa yang sudah dibasahi oleh alkohol. Setelah itu meneteskan obat merah ke luka gue dan membungkusnya dengan perban. Gue hanya meringis kesakitan.
“tahan!”
Sekali lagi gulungan perban dan selesai. Tangan gue sudah dibungkus rapih dengan perban oleh Dewa.
“mungkin cita-cita gue pengen jadi dokter, nolongin orang-orang kayak lo!”
Dewa melihat ke arah gue yang sedang menatap tangan gue yang terluka.
“apa gue terlihat bodoh?” gue menahan air mata gue supaya tidak menetes. Tapi percuma air mata gue sedikit demi sedikit mengalir di pipi gue untuk kesekian kalinya.
“sebenernya apa yang lo lakuin? Ya lo bener, lo bodoh,”
Gue menatap Dewa dengan tangisan di pipi gue.
“lo bodoh, soalnya semua orang tau saat gelas pecah pasti bisa bikin tangan luka kalo lo ngambil pecahan gelas itu dengan tangan kosong. Apa lo ga kepikiran sampai kesitu?”
“maaf!”
“kenapa lo minta maaf? Kesalahan apa yang lo buat?”
“maaf,” sekali lagi gue menangis di depan Dewa.
“ok gue ngerti posisi lo, gue ngerti kok. Gue ga akan nanya lebih jauh. Kalo lo udah lebih tenang kita pulang ya,”
Dewa menepuk pundak gue perlahan dengan hangat.
Keesokan paginya...
Gue mencoba bangun dan menyadarkan diri gue. Ternyata gue sudah di kamar gue. Sekarang jam dinding kamar gue menunjukan pukul sepuluh tepat. Terlalu pagi untuk gue bangun di hari minggu. Gue mengambil air minum di meja lampu hias di samping gue dan meminumnya. Gua bangun dari tempat tidur gue dan melihat ke arah kaca di lemari gue. Gue masih menggunakan dress tadi malam. Itu artinya gue bahkan tidak sempat mencuci muka gue yang sungguh berantakan akibat menangis. Dan gue melihat perban yang melilit di telapak tangan gue. Benar, tadi malam gue luka. Rasanya semua itu hanya mimpi atau gue berharap tadi malam itu adalah mimpi. Guepun membersihkan tubuh gue. Telapak tangan gue terasa sangat sakit ketika terkena air. Setelah selesai gue keluar dari kamar gue. Menuruni tangga dan berjalan ke arah dapur. Untuk mengambil segelas air. Gue berjalan perlahan tanpa suara berlebihan. Kini gue berada tepat di belakang pintu lemari pendingin yang terbuka. Dan ketika pintunya di tutup.
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!” Bi Yati berteriak melihat gue. “astagfirullah, bibi pikir setan Non.”
“apaan sih bi, berlebihan banget. Aku pengen minum dong!”
“Non tunggu aja di ruang tv, nanti bibi bikinin. Mau apa?”
“air putih aja bi,”
Guepun berjalan ke ruang Tv, disana sudah ada kakak gue dan temannya. Bang Ivan Permana. Mereka baru selesai olahraga minggu pagi. Dan sebentar lagi mereka akan olahraga minggu siang dan kemudian olahraga minggu sore dilanjutkan olahraga minggu malam. Terdengar lebay, tapi menurut mereka itu sehat. Gue duduk di kursi. Sementara mereka berdua tiduran di karpet yang ada di depan tv dan depan gue. ?. tapi sepertinya mereka bahkan tidak menyadari kedatangan gue. Mereka sedang sibuk menonton acara musik internasional. Tak lama Bibi membawakan air putih yang gue minta.
“minum buat siapa itu bi?” abang gue benar-benar tidak menyadari kehadiran gue.
“iya bi, kita kan udah bawa.” Bang ivan sama aja.
“lho, ini bukan buat aden-aden berdua kok.” Bibi langsung memberikan segelas air putih itu ke gue.
“wah!! Sejak kapan lo ada disitu?” abang gue terlihat sewot melihat gue.
“apaan sih!”
“wah lo kayak setan ya Al, bisa langsung ada disitu tanpa kita sadari.”
“lo berdua aja yang kelewatan fokus.”
“kenapa sama muka lo?” abang gue menghampiri gue dan menatap wajah gue dengan tatapan yang mengintrogasi.
“emang kenapa?”
“tadi malem pas lo pulang, lo bener-bener keliatan berantakan. Ada apa?” kepo.
“oh ya? Bukannya lo abis dari pesta ulang tahun ya?” Abang Ivan ikut-ikutan nimbrung.
“engga kok, eh mammy sama daddy kapan pulang?”
Sudah dua minggu ini bokap dan nyokap gue berada di luar negeri. Mereka ada bisnis di Jerman. Dan mengatakan bahwa akan mengunjungi beberapa kerabat juga disana.
“oh, katanya grandma sakit. Jadi mereka ke Manchester dulu. Ga tau kapan pulangnya.”
“kenapa bisa? Apa mereka ga ada kerjaan sampe bisa ngurusin dulu grandma. Lagiann kenapa kita ga ikut.”
“lo kan sekolah, enak aja pengen libur gitu aja.”
“trus lo?”
“gue kan nemenin elu.”
Guepun langsung pergi meninggalkan Abang gue dan Bang Ivan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Setahun belakangan ini orang tua gue sedang sangat sibuk. Mereka sering tidak pulang. Untuk bokap gue itu adalah hal yang wajar, karena dia memang pulang ke rumah dua minggu sekali. Tapi nyokap gue mulai sangat sibuk ketika bisnisnya membuka cabang di beberapa negara. Dia punya butik dan brand baju ternama dengan nama gue sebagai judulnya. Nirvana Shines. Gue sedikit kecewa, tapi gue yakin mereka melakukan itu untuk gue juga.