Muhammad Adkhal Irsyadi
Minggu-minggu ini akan menjadi minggu-minggu yang sangat padat bagi Aida karena ini adalah hari-hari menuju skripsinya. Berbagai tugas harus dikerjakan dan diselesaikan sebelum ia menyelesaikan tugas akhirnya. Terkadang aku juga kasian dengan Aida, ia harus bangun pagi bikin sarapan nyiapin semua keperluanku kemudian ia harus kuliah ngerjain tugas. Yah meski aku telah memberikan asisten rumah tangga untunya. Ia sama sekali tak ingin tugasnya menjadi seorang istri tergantikan. Termasuk memasak dan menyiapkan keperluanku. Aida mengaku ia tak mau membagi liang pahalanya kepada orang lain.
Selayaknya Aida minggu-minggu ini aku juga lagi banyak sekali pekerjaan. Jadi bisa dikatakan aku sama Aida sama-sama sibuk. Beruntung aku memiliki istri yang sangat setiap, jam berapapun aku pulang Aida slalu menungguku dan tak mencoba memejamkan matanya sedikitpun.
Hari ini aku pulang sangat larut, aku mencoba melirik jam yang berada ditangan kananku. Benar jam 12.15 dan aku masih dijalan, sekitar 15 menit lagi aku baru akan sampai dirumah. Aku berharap Aida tak menungguku karena ia memang sudah sangat larut.
“Bik Isah, dimana Aida” ujarku ketika pintu rumah terbuka dan bik Isahlah yang membukakannya
“iya pak, neng Aidanya tadi habis sholat isya’ langsung ke kamar. Terus belum turun-turun pak” ujar bik Isah
“belum turun?” tanyaku dengan sedikit khawatir.
Dengan agak tergesa-gesa aku langsung menaiki tangga dan berlari menuju kamarku. Ketika kubuka kamar dalam keadaan kosong, aku sedikit khawatir kemana Aida berada, aku mencoba membuka kamar mandi dan kosong, aku sedikit panic dan mencoba menenangkan diri, aku ambil nafas panjang dan bernafas dengan tenang. Aku sadar, aku belum mengecek satu ruangan yang ada dikamar, iya ruang kerjaku yang bersebelahan dengan lemari buku Aida dan ketika kubuka, iya benar Aida. Terlihat Aida tertidur diatas tumpukan buku-buku yang menggunung, disampingnya ada sebuah laptop yang masih menyala. Aku menggelengkan kepala benar kata mas Fazri gumamku dalam hati, Aida kalo sudah sibuk lupa sama semuanya. Beruntung ia sudah sholat isya jadi tak harus bagiku untuk membangunkannya. Dengan hati-hati aku mengangkat Aida kembali kekamar, aku balut tubuhnya dengan selimut agar ia bisa tidur dengan nyenyak. Kemudian aku membersihkan diri dan menunaikan sholat isya. Setelah itu aku masuk kedalam ruang kerjaku, aku mencoba mempelajari berbagai materi yang dijadikan tugas oleh Aida beruntung aku sama Aida kuliah dalam jurusan yang sama, jadi tak begitu sulit bagiku untuk mengerjakan tugas yang sedemikian ini.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, mungkin ayam telah membangunkan Aida dari tidurnya, kini ia berada disebelahku yang sedang mencoba membangunkanku dari tidurku yang terlihat lelap.
“kamu udah bangun Da” tukasku ketika melihat Aida kini didepanku
“mas ngapain disini?” tanyanya tiba-tiba
“aku Cuma”
“mas ngapain ngerjain tugasku”
“enggak Da”
“mas ngapain tidur disini”
“Da”
“mas ngapain semalam gak bangunin aku”
“Aida”
“mas tuh kenapa sih, jangan bikin aku selalu merasa bersalah. Mengapa mas slalu bantuin aku sedangkan aku gak bisa bantuin apa-apa buat mas. Mas itu udah kerja capek pulang malam, malah ngerjain tugas aku. Seharusnya mas marah gara-gara aku ketiduran dan enggak nungguin mas, mas seharusnya semalam bangunin aku, aku harusnya bikini mas tah hangat buat ngangetin tubuh mas, aku yang seharusnya nyiapin air hangat buat mas mandi tapi malah” ujar Aida yang nerocos dengan begitu cepat seperti mobil yang remnya blong
Semakin Aida nerocos bagiku ia semakin cantik, dengan amarah ya ia terlihat begitu imut, ingin sekali aku mencubitnya dia lucu. Kalo aku boleh jujur Aida itu kalo ngomong cepet banget kayak kereta jadi harus memiliki pemahaman yang baik kalo ia suah ngomong nerocos, beruntung pendengaranku masih baik, jadi tak susah bagiku untuk memahaminya.
Aku mencoba menghentikan omongannya Aida dengan mengecup keningnya, aku tahu kalo dibiarkan Aida akan terus nerocos entah sampai kapan ia akan berhenti.
“mau sholat gak” ujarku tat kala aku mengecup kening Aida
“mas” ujar Aida sambil mengejarku yang berlalu dihadapan Aida
“sayang satu hal yang kamu tahu, mas sayang sama kamu. Kalo udah gitu semua pertanyaan kamu sudah ada jawabannyakan. Dan sekarang kita sholat subuh dulu ya, terus siap-siap kamu ada jam pagikan” ujarku sambil mengelus kepala Aida.
Aida hanya terdiam, terlihat wajahnya yang sedikit jengkel dengan apa yang aku katakana, tapi aku mencoba membalasnya dengan senyuman, niatku hanya ingin membantu Aida tak lebih dari itu.
“kalo kamu cemberut, nasi gorengnya rasanya hambar” ujarku yang sedang menyantap sarapan bareng Aida
Ada dua selera makan setiap harinya, Aida setiap hari hanya menyantap sepotong roti ditambah selai, kadang sereal atau segelas susu. Kalo aku sarapan bukan berarti makanan ringan. Yang dinamakan makan itu harus ada nasi, kalo gak ada nasi itu namanya nyemil.
Meski Aida setiap haru Cuma makan-makanan ringan, tapi ia slalu menyiapkan makanan berat untukku, terutama nasi. Harus jadi prioritas yang harus ada dimeja makan, sedikit ribet memang namun Aida tak pernah mengeluh bahkan ia slalu menemaniku disetiap santapan yang masut kemulutku.
“mas juga sih” gerutu Aida
“mana ada suami yang seneng lihat istrinya tengah malam tidur diatas tumpukan buku, begitu pula aku” ujarku sedikit mencari alasan
“tapi mas itu terlalu baik tau gak sih, itu lihat mata mas Adi sampai bengkak gitu pasti kurang tidurkan” tambahku
“ya ntar dikantor tidurlah, sayang jangan cemberut ya. Pokoknya hari ini aku yang antar jemput kamu, ok” tukasnya
“emang mas berani tidur dikantor, kalo bosnya mas tahu gimana?, mas bisa dipecah tahu gak” ujar Aida tiba-tiba
Mendengar pertanyaan Aida aku sedikit bingung, apa Aida belum tahu jabatan aku dikantor, apa ia mengira aku hanya staf biasa, namun apa mungkin ia tak tahu perihal jabatanku di kantor.
“emang kamu gak tahu aku dikantor jadi apa?” tanyaku secara tiba-tiba
“emang mas dikantor jadi apa?” tanya membalik
“emang kamu gak tahu?”
Aida menggeleng
“bunda gak cerita?”
Aida menggeleng lagi
“dan kamu gak tanya?”
Aida menggeleng untuk yang kesekian kalinya.
Aku tersenyum kecil, aku bersyukur sekali. Aku kira salah satu alasan Aida menikah denganku ialah karena dia mengerti aku siapa dan bagaimana kerjaanku dikantor, makanya tat kala ia pertama aku membawanya kerumah ini, ia sangat terkejut yah mungkin ia kaget staf biasa bisa punya rumah seperti ini. Tapi dengan kepolosan Aida, aku sangat bersyukur karena aku tahu. Ia lillahitaala menikah denganku tanpa memandang harta sedikitpun dari yang kupunya dan aku sangat bersyukur atas ini semua.
Aida Safitri
“mas Adi beneran jemput aku” ujarku tat kala melihat mobil mas Adi mendarat tepat dihadapanku
“ya masak boong, ayo naik” ujarnya
“masih jam 11.00, masih jam kantor. Emang mas gak kekantor hari ini” tanyaku kembali yang sedikit kesal dengan mas Adi karena sering ninggalin kerjannya
“ngantor, makanya ayok tapi kita makan siang dulu ya” ujarya setelah aku masuk kedalam mobil
“mas kerja itu tanggung jawab, mas gak boleh tiba-tiba keluar kantor dengan sembarangan, waktu mas ini itu digaji sama perusahaan, kalo mas kayak gini terus berapa jam yang mas korupsi dari kantor” ujarku yang sedikit kesal
“ya makanya biar kamu gak nuduh aku korupsi jam kantor mending ntar kamu ikut aku kekantor” ujar mas Adi yang sedikit senyum-senyum sendiri
“ngapain?” tanyaku
“rahasia, tapi yang jelas kamu mau makan apa?” tanya mas Adi
“terserah” ujarku
“tapi janji harus senyum, masak suaminya rela-relain korupsi jam kantor buat jemput istrinya yang cantik mau nebus kesalahannya semalam malah dicemberutin sih” ujar mas Adi sambil mencubit pipiku
“tau ah” jawabku singkat
Akhirnya mobil berhenti disalah satu restoran nasi padang, entahlah mengapa mas Adi mengajakku ketempat seperti ini, biasanya kalo makan sukanya ia kerestoran seafood, iya mas Adi paling suka apa-apa yang berbahu laut, kalo enggak mentok ayam goreng kalo gak sate selainnya mas Adi enggak terlalu suka. Aku yang doyan makan apa aja selalu mengiyakan ajakan mas Adi, kalo aku mah apa aja lahap. Apalagi aku tahu kalo selera makanan mas Adi itu selalu high, jadi gak mungkin ia mengajakku ketempat makan yang bakal mengecewakan nantinya.
Aku duduk dimeja nomor 10, aku yang gak tahu mau pesen menu makanan makmu kepada mas Adi, terlihat wajahnya sangat berbinar, yah mungkin iya sudah lama tak kesini.
“mas sering makan kesini?” tanyaku
“dulu” ujarku
“sekarang kenapa enggak?” tanyaku kembali
“ngapain kesini kalo dirumha ada istri yang setiap hari masakin buat aku” ujarnya sambil melahap makanan yang ada diatas meja yang baru saja dihidangkan
“kalo mas mau makan disini kan tinggal ngomong, jadi aku gak usah masak” tambahku
“seenak-enaknya masakan diluar, paling enak masakan istri apalagi kalau masaknya ditambah bumbu cinta”ujar mas Adi yang sontak membuat pipiku memerah.
Mas Adi memang bukan tipikel orang yang suka makan diluar. Iya selalu makan dirumah, sebisa mungkin iya slalu meluangkan waktu untuk pulang makan siang bersamaku. Kalo ia tak bisa pulang maka, ia akan meminta mang Cipto atau mang Ali untuk mengantar makanan ke kantor. Kadang aku juga merasa sedih kalau aku harus seharian dikampus dan gak bisa makan siang dirumah. Pasti mas Adi bakalan makan siang dirumah sendirian, namun entah mengapa mas Adi bahkan tak pernah memarahiku sedikitpun, ia slalu mengerti kesibukanku dikampus.
Masalah gombalan entan mengapa mas Adi sering melontarkan gombalan kata-kata manis atau rayuan entahlah, sejak kapan. Tiba-tiba saja dan anehnya aku merasa senang jika mas Adi melontarkan kata-kata yang manis untukku, mungkin aku sudah memiliki perasaan kepadanya.
Aku terus melahap makanan yang kini telah dihidangkan, aku dan mas Adi tak banyak bicara mungkin kita terlalu menikmati makanan ini.
“Aida” ujar seseorang laki-laki dari pintu masuk
“Devan, kok kamu ada disini” ujarku yang kaget melihat kedatangan Devan
Devan mengangkan tangannya untuk menyalamiku, namun aku menahan aku tahu batasanku sebagai seorang wanita kepada laki-laki yang bukan muhrimku, melihat sikapku yang seperti ini Deva langsung menurunkan tangannya.
“kenalin mas Adi, mas Adi ini Devan” ujarku
“Devan”
“Adi”
“wah lama banget ya kita gak ketemu, jadi pengen banyak cerita. Tapi sayang aku lagi sibuk nih, lagi ngambil pesenannya bos. Lain kali kite ketemu lagi ya, ntar aku atur salam buat Warda sama Pricil” ujarnya sambil berlalu meninggalkan aku dan mas Adi
“iya pasti” jawabku singkat
“siapa?” tanya mas Adi tiba-tiba
“Devan, dia itu salah satu cowok yang suka sama Pricil tapi Pricilnya gak mau” jelasku
“kamu deket sama dia”
“yah sebatas kenal sih, dulu sempat deket tapi Cuma buat bantui Devan jadian sama Pricil, eh Pricilnya gak mau. Habis itu ia hilang ntah kemana, tiba-tiba ketemu hari ini, gitu ceritanya” jelasku
“oh” jawab mas Adi singkat
“mas Adi cemburu ya” tukasku
“enggak” jawabnya kembali singkat
“aku gak ada hubungan apa-apa mas suwer. Kalo gak cemburu senyum, jangan cemberut. Masak gitu aja marah” tambahku
“hemmemme” ujar mas Adi memperlihatkan senyumanya yang aku tahu itu terpaksa.
Jarang aku melihat as Adi cemburu seperti saat ini, memang bisa dikatkan sebagai seorang istri aku benar-benar telah melupakan hingar-binar kehidupanku dulu, bukan bermaksut kehidupan yang seperti apa, tapi kegiatan yah yang bisa dibilang jalan-jalan bareng temen, ngerjain tugas bareng temen. Pokoknya kegiatan yang banyak menyita waktuku diluar. Setelah menikah aku hanya keluar untuk kekampus setelah itu langsung pulang kerumah, yah terkadang kalau harus aku ke mall buat belanja, itu juga bareng mas Adi. Jadi kalau mas Adi tiba-tiba melihat aku sama cowok yah Cuma sekarang, mana langsung merah lagi mukanya. Padahal kan aku bicara juga bareng sama dia didepannya malah. Kalo aku berdua coba, aku gak bisa bayangin gimana cemburunya mas Adi mengetahuinya.
Mohammad Adkhal Irsyadi
Entah benarkah apa yang aku rasakan ini, bahwa aku merasakan cemburu, iya ketika Aida berbicara dengan laki-laki lain seakan ada sesuatu yang sangat mengganjal dan entah seperti apa itu. Perasaan dulu yang pernah aku rasakan tat kala aku bertemu dengan mas Fazri, namun mengapa perasaan itu tak separah saat ini. Mengapa hanya dengan pembicaraan saja perasaanku sudah tak enak. Bukankah Aida kini sudah menjadi milikku, lalu mengapa aku harus merasa cemburu. Toh Aida juga membicarakan pembicaraan yang sewajarnya, ketika laki-laki tersebut merelungkan tangannya dengan sopan Aida menolaknya, bukankah itu sudah cukup bagi Aida untuk menjaga dirinya. Bukankah kita sebagai seorang muslim diperbolehkan untuk bersahabat, asalkan kita menjaga batasannya, bukankah Aida juga sudah menjaga batasannya. Apakah ini artinya aku sudah mencintai Aida dengan sepenuhnya sampai aku tak mau ada seseorang yang mengisi relung di hati Aida.
Aku tepiskan segala pemikiran yang negative, ah sudahlah toh juga sudah berlalu. Aku tekankan kehatiku bahwa Aida milikku dan tak ada yang bisa merebutnya dariku kecuali sang Khalik. Aku melanjutkan misiku mengajak Aida kekantor entah apa reaksi Aida melihatnya nanti.
“mas bener ngajak aku kekantor?” tanya Aida
“entahlah, tapi sayangnya ini sudah sampai” ujarku didepan gerbang kantor
Mobil terhenti tepat dipintu utama, aku turun kantor dan membukakan pintu untuk Aida, kunci kuserahkan kepada petugas untuk diparkirkan, aku menggandeng lengan Aida aku masuk dengan langkah pasti. Beberapa staf sempat menyapaku.
“sing pak”
“siang” ujarku
Aida terlihat begitu bingung, mungkin dia berfikir mengapa banyak orang yang terkesan menghormatiku, namun ia tak banyak biacara, Aida hanya mengikiti derap langkah yang kuinjakkan. Kini aku berada didepan lift banyak orang yang keluar dari lift yang sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat. Kali ini wajah Aida lebih bingung dari saat kita berdua memasuki rumah. Kebetulan gedung ini ada 10 lapis, maksutnya 10 lantai dan kebetulan aku memilih ruangan di lantai 10. Jadi aku memencet tombol 10. Aida sedikit bingung.
“gede ya mas kantornya” ujar Aida saat berada didalam lift
“iya lumayan 10 lantai” jawabku
“mas betah kerja disini” tanyanya kembali
“betah gak betah harus” jawabnya.
Pintu terbuka aku segera menggandeng Aida menuju ruanganku terlihat ada sekertarisku yang menghampiri.
“selamat siang pak, selamat siang buk, bapak baru pertama kali membawa ibuk kesini” ujar Riska sambil membawa beberapa berkas
“iya kebetulan tadi Aida free jadi saya ajak” ujar mas Adi
“selamat datang ibu dikantor” ujar Riska
Aida hanya menjawabnya dengan senyuman
“oh ya pak, ini ada beberapa proposal yang harus bapak cek dan tanda tangani” ujar Riska
“kamu taruh dimeja saya” jawabku singkat
“baik pak” jawabnya singkat pula
Akhirnya aku dan Aida memasuki ruang kerjaku, wajahnya terlihat bingung memasuki ruangan yang memang menjadi ruangan terluas di kantor ini.
“mas itu banyak teka-teki ya hidupnya” ujar Aida tat kala melihat ruanganku
“kamu tahukan sekarang, siapa suami kamu ini. Pakek marah-marah sering keluar kantor sembarangan” kataku sambil tersenyum duduk dikursiku
“tapi aku benar-benar gak tahu. Kalo mas udah punya jabatan tinggi dikantor” ujarnya sambil memegang foto pernikahan kita yang memang sengaja aku pasang menjadi hiasan dinding
“ya sekarang tahu kan” ujarku
“iya, tapi jabatan tinggi kan tugasnya juga banyak. Tetap aja mas, ams gak bolek ninggalin kerjaan di waktu kerja” ujar Aida tetap kukuh dengan pendiriannya
“Da kamu tetep gak tahu” ujarku
“apa sih mas” jawabnya
“ok, welcome to the my office dan perkenalkan sayan Muhammad Adkhal Irsyadi Persdir sekaligus owner dari perusahaan ini” ujarku sambil mengangkan tanganku niat menjabat
“owner?” tanya Aida
“kamu gak tahu beneran?” ujarku yang melihat mata Aida sedikit berkaca-kaca
“yah kan bener kata mas Fazri, kamu itu cengeng gitu aja nangis, peluk kek suaminya, punya suami sukses malah ditangisin” kataku
Tiba-tiba Aida memelukku dengan begitu erat kali ini ia benar-benar menangis, entah mengapa ia menangis yah apa mungkin dia malu punya suami presdir tapi mana mungkin, banyak wanita yang mengantri ingin memeliki suami dengan jabatan sepertiku ini malah Aida menangis.
“kenapa sayang?” tanyaku
“mas kenapa sih boong” tanya Aida
“boong apa?” ujarku
“kenapa mas Boong dulu mas bilang kalo mas pegawai kantoran, eh ternyata malah pemilik kantor?” tanya Aida sambil memancungkan bibirnya
“enggak boong Da dan ini juga kantor, lagi pula ini bukan perusahaanku 100%, ini perusahaan ayah ya perusahaan keluarga. Disini ada pembagian saham 30% milik mbk Rifa, 30%nya lagi milik Risda dan sisanya buat aku. Tapi berhubung aku anak laki-laki satu-satunya aku yang diembankan amanat untuk menjalankan kantor ini. Mbk Rifa sudah sibuk dengan dosennya, mas Rio punya perusahaan sendiri dan Risda masih dibawah umur. Aku baru resmi menjabat sebagai Presdir itu setelah aku menikah dengan kamu, karena pada dasarnya kedewasaan seseorang itu diukur dari keberaniannya untuk membina rumah tangga, itu sih kata ayah” ujarku menjelaskan
“kalo gitu aku gak mau nikah sama mas Adi” gerutu Aida
“kenapa?” tanyaku
“mana ada Presdir yang istrinya jelek, gak pernah dandan mana masih kuliah lagi. Mereka pasti banyak yang menertawakan mas” ujar Aida sambil duduk di shofa
“kamu itu lucu serius, karna yang kayak gini aku jadi suka. Gak usah dandan kamu juga sudah cantik. Siapa coba yang mau nertawain kamu, langsung kena PHK kamu gak usah khawatir” ujarku sambil memeluk Aida
“tahu ah” ujar Aida lagi
“kalo misal mas kerja dikantor, tapi sebagai OB gimana?” tanyaku tiba-tiba
“ya gak papa aku juga gak marah, kalo itukan wajar jadi sebanding sama-sama jeleknya”ujar Aida kembali
Aku sedikit terkekeh mendengar apa yang dikatakan Aida, umur Aida yang tergolong masih muda tak khayal mengeluarkan apa saja yang ada dihatinya. Aku bersyuku setidaknya Aida sudah tak sekaku ketika kita masih awal-awal bertemu, iya terlihat begitu sopan dan polos. Namun kini benar yang dikatakan mas Fazril jika Aida sudah nyaman dengan seseorang Aida akan menunjukkan sikap aslinya sedikit demi sedikit ya ini salah satunya nyerocos. Dan aku sangat senang dengan hal itu, karena bagiku wanita pada kodratnya seperti itu dan Aida tahu tempat bagaimana ia harus bersikap, denganku dulu ketika aku belum siapa-siapanya dan kini ketika aku sudah menjadi suaminya, bukan perubahan yang negative bagiku namun melengkapi hidup Aida menjadi lebih sempurna itu adalah tujuanku mengapa aku kini berada disamping Aida.
Aida Safitri
“selamat sayang” ujar mas Adi sambil memberikan bunga bertuliskan Happy Graduation
Yap hari ini resmi menyendang gelar sarjana, ada kebahagiaan tersindiri bagiku. Wisuda yang aku lakukan sebelumnya hanya dihadiri bunda dan ayah, namun kini makin lengkap karena sudah ada mas Adi, mama dan papa, sungguh hari yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak 4 tahun berlalu dan aku lulus dengan predikat camloud, aku tersenyum tat kala namaku dipanggil, mataku langsung menuju mata yang sudah beberapa bulan menatapku tanpa henti dan memberikanku dukungan apapun bentuknya, iya teresnyum dan itu merupakan kebanggaan tersendiri untukku. Dan kini ayah dan bunda sudah lega, putri kecilnya sudah menyandang gelar sarjana. Bahkan mama dan papapun juga memberikan bingkisan untukku. Mas Fazripun juga tak khayal mengucapkan selamat atas kelulusanku ditengah-tengah kesibukannya. aku bahagia hari ini, mungkin taka da kata yang bisa aku rangkai untuk menjelaskan rasa bahagia ini.
Pricil dan Wardapun juga larut dalam kebahagiaan ini, karena aku, Pricil dan Warda punya prinsip. Masuk bareng keluarpun juga bareng. Syukur orang tua Warda datnag dari Banyuwangi untuk melihat putri sulungnya menjadi sarjana, yang tak disangka-sangka mama papanya Pricil hadir secara bersamaan untuk mengucapkan selamat atas kelulusan Pricil dan ini merupakan kali pertamaku melihat mereka bisa hadir bersama, entah siapa yang meminta mereka hadir. Bahkan sebelumnya Pricil mengatakan bahwa ia tak memberitahu mama dan papanya mengenai kelulusannya, kata Pricil ia sudah letih dengan janji-janji yang mama papanya berikan untuk datang dan hasilnya nihil. Namun kali ini aku dengan kedua mataku melihat dengan langsung mereka datang dan mengucapkan selamat. Pricil menangis, tapi aku tahu itu tangisan kebahagiaan, aku tak pernah melihat Pricil bisa tertawa selepas ini, namun aku tahu ini adalah moment yang sudah Pricil nanti-nantikan sepanjang hidupnya. Bisa tertawa lepas bareng orang-orang yang ia sayangi meskipun ini hanya sesaat.
Kelulusan ini juga memberi luka bagiku dan Pricil, bagaimana tidak keinginan dan impian Warda untuk mengambil study di Kairo Mesir akhirnya terwujud, biasiswanya di ACC dan ia resmi menjadi salah satu siswa Indonesia yang akan dikirim ke Kairo untuk melanjutkan S2 disana, bagaimana tidak Warda yangs udah memiliki bekal 30 juz, tak sulit baginya untuk menembus berbagai tes menuju Al Azhar. Kehidupan kecilnya yang memang sudah dipesantren membaut ia mudah melahap berbagai tes yang menghadangnya. Inilah impian Warda yan sangat lama ia pendam, sempat gagal waktu lulus Aliyah, Warda mencobanya 4 tahun kemudian dan hasilnya sempurna Warda lulus dengan nilai maksimal.
Warda pernah berkata, apapun yang terjadi ia haru ke Kairo katanya. Aku dan Pricil sadar Warda anak sulung, orang tuanya memang tak pernah menuntut Warda untuk yang aneh-aneh, toh bakalnya pesantern itu juga bakal turun ke adiknya Warda kini yang duduk di bangku kelas 3 Aliyah Negeri, iya itupun karena adik Warda laki-laki. Namun Warda sadar yan dibutuhkan oleh seorang wanita adalah pendidikan, selepas dimanapun ia akan diposisikan, entah sebagai pegawai atau bahkan ibu rumah tangga sekalipun, seorang wanita harus cerdas. Karena ditangannyalah generasi muda berawal, entah generasi yang akan bermoral atau malah sebaliknya.
Warda juga sadar bahwa pesantren kini juga harus bsia bertarung melawan modernisasi, bagaimana ia bisa hidup ditengah masayarakat yang sudah banyak meninggalakan agama, namun ia tetap kokoh membangun pondasinya untuk melawan semua itu. Bagaimana pesantern bisa membangun santrinya untuk menjadi santri modern yang enggak kudet terhadap iptek tapi ia harus juga memegang semua syariat yang telah diperintahkan.
Ini adalah pukulan terbesar bagi Warda ketika ada yang mengatakan bahwa santri itu kudet apalagi masalah IPTEK, dari situ Warda bertekad ingin membuktikan kesemua bahwa santri itu tidak seperti itu, santri memang harus lebih akrab dengan kitab namun santri juga harus bisa begaul dengan tekhnologi. Warda ingin membuktikan bahwa Warda bisa, bisa karena seorang santri gak hanya bisa ngaji tapi juga bisa berkarya. Karena santri itu dapat dua bonus satu akhirat dan dunia bakal ngikut pastinya, itu ujar Warda.
Kalo disini Warda bisa bilang lo gue, tapi sangat berebda kalo sudah di Banyuwangi apalagi dirumah. Ia slalu bilang kulo panjenengan. Yah meski tinggal diBanyuwangi yang suku aslinya adalah oseng, namun abi uminya Warda memang keturunan jawa asli, jadi bahasa yang digunakan adalah jawa. Tata krama Warda slalu digunakan dengan baik, apalagi kalo sudah Warda pulang dan ia diamanati untuk mengajar kelas diniyah, serasa senam jantung katanya snatrinya. Bagaimana tidak Warda paling benci sama yang dinamakan jam karet, telah satu detik bisa habis dengan semua cercaan dan cerocosan Warda. Bukan hanya kemereka yang santrinya, aku dan Pricil yang sudah sahabatan lama kalo salah satu dari kita ada yang datang telat bisa dibasmi kita sampai ngangkat tangan tanda gak kuat.
Tapi disamping itu Warda adalah anak yang sangat anggun, disiplin, lugu dan penuh mimpi. Mimpinya sangat tinggi terutama tentang pesantrennya, ia berharap kelak dijaman yang diatakan orang jaman now, pesantren bakal dijandikan trending sekolah untuk merubah moral remaja sekarang yang bisa dikatakan moral kelas bawah.
Masalah percintaan Warda pernah mengatakan ia pernah suka dengan laki-laki yang dulu sempat mondok di pesantrennya, namun itu tak berlangsung lama. Menurut Warda orang tersebut merupakan salah satu orang kepercayaan abinya Warda, entah mengapa ia tiba-tiba pergi dan setelah Warda mencoba menanyakan kepada Abinya perihal orang tersebut Abinya mengatakan bahwa iya telah mendapatkan beasiswa ke Kairo. Entahlah apa perasaan Warda saat ini, apakah iya tetap mengunci hatinya untuk lelaki teresbut, namun yang jelas tak pernah ada laki-laki lain yang Warda ceritakan sebagai pencuri hatinya selain laki-lkai tersebut.
Kalo ditanya apakah banyak yang menaksir Warda, jawabannya adalah iya. Bahkan dari mereka kebanyakan dari kalangan ustad yang melamar Warda untuk anaknya, sayang tak satupun dari mereka yang Warda terima, Warda slalu memberikan alasan focus kuliah untuk sementara ini. Entahlah bagimana hati Warda akankan Warda masih menginginkan lelaki tersebut, hingga ia ingin menyusulnya ke Kairo ataukan ada alasan lain, entahlah bagiku dan Pricil kini mendoakan yang terbaik bagi Warda itulah cara terbaik mendukung perjalanan Warda yang akan ia tempuh nantinya.
Hari ini cukup menguras tenaga yang ada, letih mungkin itu kata yang tepat melukiskan apa yang aku rasakan sekarang. Puas berfoto-foto. Mas Adi memboyong kita sekeluarga makan direstoran, terlihat sekali wajah mereka yang begitu ceria seakan tak ada hal yang membentang. Pernikahnku dengan mas Adi benar-benar membuat mereka bersatu selayaknya keluarga dekat.
Setelah itu kita mampir dimasjid terdekat untuk melaksanakan sholat dhuhur. Selesai dari mushola kita berpencar, mama dan papa yang langsung kesokolah Risda untuk menjemputnya dan ayah bunda pulang kerumah, begitu pula aku dan mas Adi. Sepi lagi, iya mungkin itu yang aku rasakan. Namun semua itu seakan sirna dengan rasa letih yang aku punya.
“mas ini mobil siapa?” tanyaku sesudah sampai dirumah
Aku melihat mobil mewah yang berada dalam bagasi mobil, entah mobil siapa itu tapi aku begitu suka. Apakah itu mobil mas Adi, tapi mana mungkin ia membeli mobil baru sedangkan disini sudah ada dua mobil.
“ini yang ngasih nitip ini” mas Adi memberikanku sepucuk surat
“buat yang paling cerewet sama suka nangis. Ini kadonya buat nikah, ulang tahun, sama wisuda. Jangan nagih lagi, tabungan kakak udah kempes” tulisnya
Aku menyusul mas Adi yang telah berlalu meninggalkanku.
“dari mas Fazri ya mas?” tanyaku
“iya, sebenarnya ini kado pernikahan seharusnya datangnya saat kita nikah, namun telat. Ini mobil impor jadi agak lama, ketika sudah datang aku bilang ke mas Fazri dikasihnya saat aku wisuda aja. Happy?” tanya mas Adi
“banget, makanya mas Fazri bilang waktu itu katanya ngasih kado tapi aku enggak nerima!” ujarku
“kenapa sih kamu minta mobil sport, katanya mas Fazri kamu yang minta. Emang kamu bisa nyetir?” tanya mas Adi
“awalnya sih Cuma iseng, mas Fazri pernah bilang minta apa sebelum nikah, yaudah aku minta mobil iseng aja sih. Katanya gak cukup tabungannya. Eh malah sekarang dibeliin, kalo sport aku emang suka lucu aja sih cewek pakek sport kalo nyetir aku jago. Dulu aku pulang pergi kampus nyetir sendiri” tukasku
“yang bener?” tanya lagi
“iya bahkan sebelum Pricil dipegangi mobil aku jadi tukang jemput mereka ber 2” jawabku
Setelah berbincang dengan mas Adi, aku segera bergegas kekamar membuka laptop dan mencoba video call dengan mas Fazri, yap dan akhirnya diangkat. Aku lebih suka video call dengan laptop kalo sama mas Fazri lebih gede layarnya, ups jadi lebih gede deh gambarnya.