Sore itu saat Arman hendak pulang Pak Bajol memanggil dirinya. Pak Bajol mengatakan, kalau tak keberatan sore itu juga Arman menunda kepulangannya, karena Arman harus menemui Kyai Ahmad. Tiba-tiba saja Kyai sedang ingin dipijat, dan Pak Bajol sudah merekomendasikan Arman yang selama ini juga piawai memijat, karena sering memijat dirinya. Arman yang sebenarnya sangat lelah tak bisa menolak tawaran Pak Bajol, apalagi Kyai pemimpin pondok pesantren ini sedang ingin dipijat. Dalam pikirannya saat itu mungkin Pak Kyai sedang sakit, lebih capek dari tubuhnya.
Akhirnya Arman menyetujui menemui Kyai Ahmad di ruangannya. Sesampainya di depan pintu, Pak Bajol mengetuk pintu, hingga terdengarlah suara Kyai meminta dirinya untuk masuk ke dalam. Setelah itu barulah Pak Bajol dan Arman masuk ke dalam, berdiri di dapan Pak Kyai yang duduk di sofa.
“Sudah? Mana orang yang mau mijit Bajol?” Tanya Kyai.
Sembari tersenyum dan sejenak mengangguk Pak Bajol menjawab “Ini orangnya Kyai, Ar....Arman.”
“Loh, jadi yang mau mijit itu anakmu?” Tanya Kyai terkejut sembari menegakkan tubuh.
“Oh ahmm, bukan anak Pak Kyai, tapi....Arman ini anak yang sregep1, kuat, trus jago mijit lagi Kyai.”
“Kok baru sekarang aku lihat Arman di pesantren ini? Kamu mbayar dia bantu-bantu di dapur ta Jol?”
Sebelum menjawab hati Pak Bajol mendahului berkata “Waduh, kok Kyai bisa tahu? Tapi...., Ah! Mungkin cuma kebetulan saja.”
Setelah itu Pak Bajol berkata “Oh, ahmm ndak gitu Kyai. Arman ini anaknya temennya anak kulo, jadi daripada dia main-main Arman pingin ikut bantu-bantu di pesantren ini. Begitu Kyai.”
“Bener Le?Kowe gak dikongkon gawe mbek Bajol?”2
“Inggih Kyai, kulo sing pingin ngrewangi Pak Dhe Bajol.”3 Jawab Arman sopan.
Sejenak Kyai menghembuskan nafas semari memperbaiki posisi duduknya, kemudian Kyai berkata “Yo wislah, tapi enakkan pijetane?”4
“Inggih Kyai uuenak tenan.”5 Jawab Pak Bajol tegas sembari tersenyum. Kemudian menoleh pada Arman, dan berkata “Ayo Man, pijet sing enak ya? Kayak biasane.”
“Inggih Pak Dhe.”
Setelah itu Arman menghampiri Kyai, duduk di lantai di bawah sofa di samping Kyai. Sigap tangan Arman bergerak, memijat tangan kanan lebih dulu. Sementara Pak Bajol keluar dari ruangan itu. Dengan hati-hati Arman memijat orang nomor satu di pesantren itu, mulai dari tangan, kaki hingga punggung bakan leher. Ternyata semakin lama membuat Kyai Ahmad keenakan hingga tertidur di sofa.
Selesai memijat Arman yang juga sangat lelah, sejenak menguap sembari mengucek kedua mata. Sejenak melihat Kyai yang terpejam di sofa, kemudian Arman bangkit perlahan. Hingga Arman keluar ruangan itu. Setelah meminta ijin pada Pak Bajol Arman segera pulang ke rumah.
Keesokan harinya ternyata Kyai Ahmad kembali menanyakan tentang Arman. Kyai ingin bertemu untuk meminta dipijat lagi sekalian membayar pijatan yang kemarin, yang belum sempat dibayar. Namun, sebelum bertemu Arman seorang Santri pergi menemui Kyai di ruangannya. Santri itu adalah Abimana, Santri putra yang kini naik ke jenjang Aliyah, berada 1 kelas dengan Zaitun. Di sana Abimana mengatakan tentang Arman yang sebenarnya, bahwa Arman adalah anak Kampung yang pernah menyusup ke pesantren Al Fattah dan membuat gaduh karena diam-diam mengamati kegiatan para Santri saat belajar di saung. Setelah itu Abimana memohon kebijaksanaan dan jalan yang baik untuk kebaikan bersama, kebaikan bagi para Santri dan Arman. Saat itu juga Abimana mengatakan kerisauannya bahwa Arman bukan anak yang baik, mungkin saja dibalik sikapnya Arman yang selama ini polos ada maksud tersembunyi yang tidak diketahui orang lain. Buktinya setelah Abimana mengusirnya karena perkara memergoki Arman sedang memata-matai, ternyata Arman kembali masuk ke pesantren melalui orang dapur. Saat itulah Abimana mencoba menyakinkan Kyai Ahmad dengan semua dugaannya itu.
Kyai Ahmad sedikit terkejut setelah mendengarkan cerita dari Abimana tentang Arman. Dan baru mengetahui sekaligus melihat anak Kampung yang dulu dikabarkan babak belur karena pukulan Santri-Santri terhadapnya. Kyai sampai lupa semenjak kejadian itu terlupakan begitu saja oleh waktu. Keningnya yang sedikit merapat perlahan bertambah tebal, saat mencoba mengingat lebih dalam tentang berita yang sempat menggegerkan pesantren Al Fattah, hingga dirinya berniat menemui anak tersebut dan keluarganya. Namun, akhirnya Kyai meminta Pak Kholil untuk menyampaikan permintaan maaf dan memberikan titipan darinya.
“Kholil, kenapa tidak pernah cerita lagi padaku?” Ucap Kyai pelan, kemudian melirik jam dinding di ruangan itu.
Saat itu juga Kyai akan mencari Kholil, namun sebelum membuka pintu, pintu itu malah bersuara lebih dulu. Karena sudah di depan pintu, akhirnya Kyai membuka pintu itu. Ternyata Uztad Marta berdiri bersama Jianying atau Shahaja, putranya Koko, dan Narwo supir keluarga Shahaja.
Sedikit terkejut Kyai bertanya “Loh, Pak Shahaja bukannya Bapak sudah kembali ke Karawang? Apa...., Ah sudah, masuk dulu saja, monggo Pak.”
Setelah itu tamu Kyai yang kemarin datang berkunjung karena menyerahkan bantuan berupa bingkisan untuk anak-anak yatim di Kampung sekitar Pesantren dan memberikan beasiswa tidak mampu bagi Santri tidak mampu masuk ke dalam ruangan Kyai Ahmad. Setelah duduk di sofa, dengan kening sedikit merapat Kyai langsung berkata “Hmm pasti ada yang sedang dicari Pak Shahaja, apa benar?”
Seketika itu Shahaja tersentak dengan perkataan Kyai Ahmad, seolah mengetahui isi hatinya. Namun, Shahaja tidak mau langsung berterus terang. Seolah ingin mengetes kesaktian Kyai Ahmad, Shahaja malah balik bertanya dengan sopan “Maafkan kelancangan saya Kyai. Sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan pada Kyai tentang maksud saya kembali datang ke pesantren ini. Apa benar Kyai?”
Saat itu juga Kyai Ahmad mengangguk pelan sembari tak melepaskan pandangannya dari Shahaja, kemudian meneliti anaknya yang dipanggil Koko dan supirnya Narwo. Saat itu juga dalam hati Kyai berbisik “Tidak biasanya Narwo ikut menemani majikannya, biasanya dia malah selalu menunggu di luar. Mungkin Narwo yang bisa menjelaskan.”
“Baiklah, saya mengerti.” Ucap Kyai Ahmad, lalu menghela nafas sembari memperbaiki posisi duduknya. Saat itu juga Shahaja alias Jianying warga Indonesia keturunan Cina yang sudah lama tinggal di Indonesia dan merupakan teman dekat Kyai Ahmad bahkan sudah dianggap keluarga tersentak kaget. Ternyata Kyai Ahmad sudah tahu perihal kedatangannya ke pesantren Al Fattah kali kedua untuk waktu yang sangat berdekatan.
“Narwo, sekarang jelaskan yang kamu tahu.” Kata Kyai sedikit tegas.
“Inggih Kyai.” Jawab Narwo sembari mengangguk pelan.
Setelah itu Narwo menceritakan kejadian kemarin saat mobil yang ia kemudikan melintasi genangan air, hingga tanpa sengaja air yang muncrat itu terkena seorang anak laki-laki seumuran dengan Koko. Mereka sempat berhenti dan meminta maaf, namun mereka lupa tak menanyakan nama anak itu.
Saat itulah Kyai Ahmad sudah bisa menebak maksud yang disampaikan tamunya yang ia kenal baik walaupun memiliki perbedaan keyakinan mencari anak yang mereka ceritakan. Sembari tersenyum Kyai bertanya “Apa Pak Shahaja ingin memberi hadiah lagi pada anak itu?”
Sedikit tersentak Shahaja menjawab “Ehmm kalau saya benar menemukan anak itu, saya pasti memberinya hadiah lagi.”
Sebelum berkata sejenak Kyai mengangguk-anguk pelan, mengerti maksud yang ditangkap dari orang yang sudah dianggap keluarga sendiri itu. Saat itulah Shahaja kembali berkata “Saya tahu dia anak yang baik, mungkin dia bisa jadi teman yang baik untuk anak saya. Karena sepertinya dia seumuran dengan Koko.”
“Iya iya iya saya ngerti, saya ngerti. Saya paham maksud Pak Shahaja.” Ucap Kyai. Sembari tersenyum Shahaja tidak melanjutkan perkataannya. Itu karena dia yakin dengan ucapan Kyai yang baru dia dengar, bahwa Kyai mengerti dan paham maksud dirinya menanyakan anak itu.
Setelah itu Kyai meminta seorang Santri memanggil Pak Bajol di dapur Santri putra. Tanpa berlama-lama Pak Bajol menghadap Kyai di ruangannya. Saat itu juga Kyai meminta Pak Bajol menceritakan tentang Arman dengan sejujur-jujurnya, apakah benar Arman adalah anak dari anak temannya yang ingin membantu Pak Bajol di dapur pesantren atau Pak Bajol menutupi cerita lain tentang Arman.
Akhirnya saat itu juga Pak Bajol menceritakan pertemuannya dengan Arman, hingga menawari Arman membantu dirinya dan Mbok Piyem di dapur pesantren baik dapur Santri putra maupun dapur Santri putri. Itu Pak Bajol lakukan karena merasa iba dengan Arman yang masih kecil sudah menjadi kuli angkut di pasar Sewon. Setidaknya dengan membantu dirinya dan Mbok Piyem di dapur pesantren Arman mendapat upah dan tak harus jadi kuli angkut di pasar. Selain itu juga waktu yang digunakan untuk bantu-bantu di dapur pesantren tidak memberatkan Arman, karena dilakukan sepulang sekolah hingga sore hari.
Setelah itu Kyai Ahmad meminta Pak Kholil menghadap ke ruangannya dan menceritakan tentang anak Kampung yang dituduh memata-matai para Santri, hingga membuat beberapa Santri marah dan menghajarnya. Dengan rinci Pak Kholil menceritakan yang ia tahu, bahwa dirinya belum pernah bertemu dengan anak itu, tetapi hanya pernah bertemu dan berbincang dengan Bapaknya di rumahnya.
“Mohon maaf Kyai saya baru bercerita. Dengar-dengar juga dari orang-orang Kampung, Bapaknya Arman, Lek Yusup dipenjara karena kasus bacokan dengan Pak Soleh.” Lanjut Pak Kholil.
Sedikit terkejut Kyai mengulang “Dipenjara? Ngebacok gitu maksudmu?”
“Inggih, Kyai. Itu kata orang-orang Kampung yang saya lewati setiap hari.”
“Hmm, takdir-Nya.” Ucap Kyai pelan. Kemudian sejenak menghembuskan nafas dan kembali berkata “Tapi tenang saja, dia orang baik. Nggak nanggung dosa, walau dipenjara.”
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Sregep = Rajin.
2. Benar Nak? Kamu tidak di suruh kerja sama Bajol?
3. Benar Kyai, saya yang ingin membantu Paman Bajol.
4. Ya sudahlah, tapi enak kan pijitannya?
5. Iya Kyai sangat enak.