Sudah satu minggu Bapaknya harus menjalani tahanan, semenjak tubuh Soleh tertancap arit miliknya sendiri dalam perkelahian di rumah Lek Yusup. Pihak polisi dan pengadilan yang menangani kasus Lek Yusup dan Soleh seakan tak memihak pada Lek Yusup, justru malah terlihat berat sebelah. Selain itu desakan dari keluarga Soleh menambah berat masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kekeluargaan atau tabayun. Hingga buntutnya Lek Yusup dinyatakan bersalah dan harus menjalani masa tahanan selama 7 tahun. Hukuman yang lama, walau ternyata korban tak sampai meninggal.
Beban yang lebih berat diarasakan oleh Ngatini, karena harus seorang diri mengurus anak-anak dari Mbak Yu-nya, Katmani. Saat-saat tengah malam ia hanya bisa mencurahkan segala keresahan yang memberatkan hatinya pada Gusti Allah yang tak pernah tidur. Walau dirinya bukan orang pintar dalam beragama, dan bukan orang pandai tetapi Ngatini sadar dirinya bukan orang yang berhak protes pada Gusti Allah, hingga menyalahkan Gusti Allah.
Beruntunglah Arman menjadi anak yang lebih matang dalam berpikir dan berbuat semenjak kejadian itu. Selayaknya orang dewasa, Arman yang baru masuk SMP sudah memikirkan uang yang harus ia dapat dalam satu hari, untuk membantu Ibu tirinya membayar biaya sekolah dirinya. Namun ia tak jujur pada Ibu tirinya tentang pekerjaan yang ia lakukan. Arman hanya bercerita bahwa dirinya menjual rongsok di pasar.
Pagi itu seperti biasa, pagi-pagi benar Arman sudah keluar rumahnya, berjalan menuju pasar, berharap ada yang ia dapat dari pasar sebelum pergi ke sekolah. Sedikit tergesa ia berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, hingga akhirnya Arman sampai juga di pasar Sewon. Saat itulah orang-orang pasar langsung menyapanya, memberi tahu lapak-lapak yang sedang membutuhkan bantuan. Dengan senyum sumringah Arman ganti membalas orang-orang yang baru seminggu sudah hapal wajahnya. Dalam hati Arman, orang-orang pasar lebih bisa menghargainya dari pada mereka yang dekat dengan tempat tinggalnya. Setelah melepas seragam, Arman memakai kaos dan celana pendek yang ia bawa dari rumah. Barulah setelah itu ia sigap membantu membereskan lapak, membawakan barang-barang yang akan dijajakan di lapak.
Saat langit pagi perlahan tampak jelas, saat itulah Arman menerima upah dari beberapa penjual yang telah dibantunya. Jumlah yang tidak besar, namun sudah membahagiakan hati Arman. Setelah itu barulah dia memakai kembali seragam sekolah, kemudian berlari menuju sekolah barunya.
Kala matahari berada tepat di tengah bumi, saat itulah Arman lekas keluar dari kelas menerobos siswa/siswi lainnya yang hendak pulang. Sejenak Arman menepi di mushola pinggir jalan, barulah setelah selesai sholat dhuhur dan mengganti baju Arman kembali melanjutkan perjalanan. Seperti biasanya siang itu ia tak langsung pulang ke rumah, itu karena kedua Adiknya selalu memaksa ikut bila dirinya hendak keluar rumah.
Siang itu juga ia pergi ke pesantren, berjalan kaki hanya beralaskan sandal japit, sedangkan sepatu sekolah ia masukkan ke dalam tas. Saat di perjalanan ia berhenti sejenak di sebuah pancuran dekat sawah, hanya untuk membasuh wajah, tangan dan kedua kakinya supaya lebih dingin karena panasnya sengatan sinar matahari siang itu. Setelah itu dia kembali berjalan tergesa menuju pesantren di jalan Desa yang sudah di aspal. Namun mendadak ia terkejut dengan air yang muncrat dari genangan air yang lindas ban mobil yang melaju cepat. Hingga membuat bajunya basah, bahkan wajahnya terkena cipratan air.
Sejenak Arman berhenti, melihat baju dan celana yang basah. Kemudian mengibas-ngibaskan telapak tangannya. Sementara itu Mitsubisi Pajero Sport warna hitam yang tadi melintasi Arman terlihat berhenti jauh di depan. Tak lama kemudian pintu depan terbuka, lalu turun seorang laki-laki berkepala sedikit plontos. Sedikit berlari dia mendatangi Arman, kemudian bertanya sembari sedikit membungkukkan tubuhnya pada Arman “Kowe ndak apa-apa Le?”
“Nggak apa-apa Pak Dhe, cuma teles titik.1”
“Waduh maaf lo Le, nggak sengaja. Tadi gak tahu ada kubangan air.” Kata laki-laki bernama Narwo dengan logat Jawa.
“Iya Pak Dhe, gak apa-apa.”
Menyusul dari dalam Pajero hitam itu, keluar seorang lak-laki berkulit putih dan berkacamata. Di samping Narwo dia berhenti melangkah, kemudian bertanya pada Arman sembari sedikit membungkukkan badan dan meneliti tubuh Arman “Wah basah bajunya Wo.”
“Iya Pak.”
“Maaf Dek, maaf tadi nyupirnya kurang hati-hati.”
“Iya Pak, ndak apa-apa cuma basah sedikit.”
“Lagian siapa sih yang buang air di jalan.” Celetuk Narwo sembari melihat air dalam kubangan.
“Ehmm gini aja, kamu ganti baju punya anak saya. Soalnya kamu kelihatannya semuran sama anak saya.” Kata laki-laki itu.
“Pakai bajunya Den Koko Tuan ?” Narwo mengulang.
“Ya iya, kan anakku cuma satu.”
“Oh, ndak usah Pak, nanti juga kering, apalagi panasnya seperti ini.” Sahut Arman.
“Jangan! Bajumu itu kotor. Ayo cepet Wo, ambilkan satu baju sama celana Koko di tas.”
Tanpa berkata lagi Narwo berlari menuju Pajero, mengambil baju dan celana yang tersimpan di dalam tas kertas berwarna merah. Setelah itu memberikannya pada laki-laki berkulit tipis di hadapan Arman. Sembari tersenyum laki-laki bernama Jianying alias Shahaja menyodorkan pada Arman, kemudian berkata “Ini Dek ganti bajumu sebelum pulang, kalau ditanya sama orang tuamu, bilang saja tadi di jalan ada orang yang memberi baju ini sebagai permintaan maaf, karena kamu kena air di jalan.”
Membuat kening Arman merapat, karena baru kali ini ada orang yang memberikan baju baru hanya karena bajunya basah terkena cipratan air di jalan. Sempat ragu untuk menerimanya, namun akhirnya Arman menerima pemberian Jianying. Setelah itu Jianying dan Narwo kembali melaju dengan Pajero hitam.
Sejenak meneliti baju dan celana yang masih terbungkus tas kertas warna merah di tangannya. Saat itulah terbayang perkataan terakhir Bapaknya. Walau terkadang dalam diri Arman berontak kenapa keluarganya selalu mendapat olok-olokkan, hanya lantaran tidak bisa membaca Quran dan jadi buruh kasar. Apa dunia ini hanya untuk orang yang bisa baca Quran? Herannya kenapa orang-orang yang jauh dari dirinya atau baru mengenal dirinya dan keluarganya bisa lebih menghargai dan tak melempar olok-olok. Apakah di dunia luar sana orang-orangnya memang lebih baik? Atau bisa lebih jahat daripada mereka yang dekat?
Setelah Pajero hitam itu benar-benar tak terlihat, barulah Arman memasukkan memasukkan baju dan celana dalam tas kertas itu ke dalam tas sekolah. Kemudian ia berlari menuju pesantren.
Sesampainya di pintu belakang sebelah Selatan dengan tetesan keringat, Arman mengetuk pintu. Namun siang itu tetap tak ada yang membukakan pintu. Akhirnya Arman hanya duduk menanti di samping pintu, menanti Mbok Piyem atau Pak Bajol membuka pintu. Hingga tak lama berselang akhirnya pintu itupun terbuka, sigap Arman berdiri melihat yang membuka Pintu, kemudian tersenyum saat tahu Pak Bajol mencari dirinya dengan pandangannya.
“Ayo Man, masuk. Kok lama kau datang, gak seperti biasa.” Ucap Bajol sedikit keras.
“Maaf Pak Dhe.”
Tanpa berlama-lama Arman masuk, kemudian berjalan di belakang Pak Bajol. Setelah itu sigap Arman menuju dapur Santri putri, membantu mencuci perabotan yang belum sempat dicuci. Selanjutnya membersihkan dapur dan ruang makan Santri putri. Sejenak menarik nafas sembari mengusap keningnya dengan telapak tangan, saat Arman baru selesai membersihkan ruang makan Santri putri. Namun tak lama berselang, Pak Bajol datang mencarinya, meminta Arman membantu dirinya mengelap piring-piring di ruang makan Santri putra. Arman pun segera melakukan yang diminta Pak Bajol, mengelap piring-piring yang masih basah karena baru selesai dicuci.
Selesai mengelap piring-piring Arman hendak pamitan pada Pak Bajol bahwa semua pekerjaan sudah selesai. Namun, sebelumnya Arman pergi ke dapur Santri putri untuk pamitan pada Mbok Piyem. Saat itulah senyumnya merekah, melihat para Santri berseliweran di dalam pesantren, beberapa sembari membawa buku-buku tebal. Mungkin sebentar lagi waktunya para Santri makan siang setelah selesai sholat dhuhur. Saat hendak masuk ke dalam dapur Santri putri, terdengar seseorang memanggil namanya “Arman, Arman.”
Membuat Arman tak jadi melangkah masuk, tapi sejenak berhenti sembari menoleh ke asal suara. Saat itulah sebuah kerikil kecil mengenai kakinya, hingga sigap Arman menoleh ke asal lemparan kerikil itu berasal.
“Arman sini.” Suara Zaitun agak pelan sembari melambaikan tangan.
Membuat senyum di wajah Arman kembali mengembang, lalu sigap menghampiri Zaitun yang masih rapi dengan seragam sekolah Aliyah. Tanpa berkata Zaitun menyodorkan sebuah roti dan susu kotak pada Arman. Namun sebelum menerimanya kening Arman merapat, kemudian berkata “Aku sudah makan Mbak, buat Mbak aja.”
“Alah jangan bohong, kalau kamu sudah makan mana mungkin wajahmu lemes gitu. Ayo cepat makan sebelum para Santri datang.” Suara Zaitun tegas.
Saat itulah kening Arman bertambah rapat, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian menatap Zaitun lekat-lekat, dalam hatinya Arman tak menyangka berkali-kali bertemu dengan orang baik. Dan siang ini Zaitun yang ia kenal sebagai Santri di pondok pesantren Al Fattah, yang baru naik ke tingkat Aliyah memaksanya menerima roti dan susu kota. Saat itu juga tangannya langsung menyambar roti dari tangan Zaitun, kemudian membuka plastiknya dan melahapnya. Membuat Zaitun tersenyum lebar melihat Arman yang begitu lahap memakan roti darinya. Tanpa berkata Zaitun menancapkan sedotan pada susu kotak, kemudian menyodorkannya ke hadapan Arman yang masih melahap roti.
Saat itulah pandangan Arman tertuju pada seseorang yang berjalan menuju mobil hitam. Seorang laki-laki yang ia hapal wajahnya itu terlihat berjalan di samping laki-laki yang lebih tua yang memakai sorban dan sarung. Sedangkan di samping laki-laki berkumis tipis itu seorang anak seusia dirinya ternyata memandang dirinya. Sementara itu di samping mobil hitam terlihat laki-laki berkulit coklat dengan kepala hampir plontos. Arman menduga mungkin mereka baru mendaftar ke pesantren ini, walaupun sepertinya mereka adalah keturunan Cina.
“Arman!” Kata Zaitun agak keras.
Hingga membuat Arman tersentak kaget sembari mengalihkan pandangannya. Saat itulah Zaitun tersenyum sembari berkata “Ayo cepat habiskan rotinya, trus minum susunya. Nanti Pak Bajol keburu datang.”
“Oh iya Mbak.” Arman sigap melahap roti dan meminum susu dalam kemasan.
Kemudian Zaitun membuka-buka buku yang dibawanya. Saat itu juga kedua mata Arman mengamati tulisan arab dalam buku itu, hingga membuat keningnya merapat, karena Arman tak mengerti. Arman pun bertanya pada Zaitun sembari menunju huruf dalam buku itu “Ini huruf apa Mbak?”
“Ini huruf Ya’.” Jawab Zaitun. Saat itu juga Arman membatu, sementara otaknya mencoba mengingat huruf dan namanya. Dalam ingatannya saat itu, terlintas perkataan Emaknya sewaku masih bisa mengajarinya mengaji. Sang Emak selalu berkali-kali menyebut huruf itu bernama Ya’.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Teles titik = basah sedikit.