Pagi itu seusai pulang dari mendaftar ke sekolah SMP Arman dan Ngatini langsung pergi ke pasar. Hari itu Arman beruntung bisa diterima di sekolah SMP milik swasta, karena sekolah Tsanawiyah Negeri sudah tutup pendaftaran. Tadinya Lek Yusup menginginkan Arman mendaftar di sekolah Tsanawiyah milik Swasta bila tidak diterima di sekolah Tsanawiyah Negeri seperti pesan almarhumah Ibunya, namun jarak sekolah yang jauh akhirnya Lek Yusup meminta Arman masuk ke sekolah SMP Swasta yang dekat dengan rumahnya.
Dan di pagi yang mulai terang itu juga Arman dan Ngatini berjalan tergesa menuju pasar. Berharap bisa tiba di pasar secepatnya sebelum pengunjung pasar berkurang karena hari semakin siang. Supaya tidak mubadir dan tidak berkurang rasa, Ngatini harus menjajakan klanting dan klepon buatannya pagi itu juga, sebelum hari bertambah panas. Sedangkan Arman memang sengaja disuruh Bapaknya untuk ikut ke pasar sambil membantu Ngatini, dengan harapan Arman tak lagi bermain atau membantu dirinya di sawah.
Walaupun pihak pesantren sudah memaafkan Arman, namun Lek Yusup tetap tidak mengijinkan Arman kembali membantunya di sawah. Itu karena Lek Yusup khawatir Arman akan kembali berbuat masalah dengan para Santri, walaupun Lek Yusup yakin bahwa anak sulungnya tak pernah memiliki niat buruk. Yang dia tahu anaknya itu sangat ingin tahu terutama tentang baca Quran. Maklum semenjak Ibu kandungnya meninggal Arman yang belum lancar membaca Alquran harus berhenti belajar ngaji.
Sedikit tergesa Arman berjalan sedikit di belakang Ngatini yang mengikatkan keranjang bambu di punggungnya dengan selendang tua, sembari membawa tempeh di atas kepalanya. Sedangkan Arman yang hanya memakai celana pendek dan kaos oblong membantu membawakan dingklik atau kursi kecil dari kayu.
“Mengko lek wis radha awan, Kowe melu tuku klambi gawe sekolah.”1
“Mamak enten duwit ta?”2
“Wis ene alhamdulillah, iku rejeki Kowe Le.”3
“Alhamdulillah...” Ucap Arman sembari tersenyum lebar.
Sesampainya di pasar Ngatini langsung menempati tempat biasanya dia berjualan klanting di dekat tiang listrik. Setelah Arman meletakkan dingklik, Ngatini duduk sembari meletakkan tempeh di atas keranjang bambu di hadapannya. Sementara Arman terlihat jongkok di samping Ngatini dengan wajah polos. Saat itulah tangan Ngatini langsung bergerak meracik aneka klanting, ketan, kelapa parut, dan gula kental di atas tempeh, meletakkannya di wadah daun pisang. Kemudian menyodorkannya kepada Arman seraya berkata “Man, maemen ndisik. Mau isuk kan Kowe durung sarapan.”4
“Inggih Mak.” Ucap Arman sembari menerima daun pisang berisi klanting warna warni dengan taburan kelapa dan gula merah kental.
Begitu lahap Arman memakan klanting dan ketan, hingga tak menyisakan sisa walaupun cuma satu kelapa parut dan gula merah kental. Membuat Ngatini tersenyum melihat anak kandung almarhumah Mbak Yu-nya, Katmani. Entahlah, apa yang sudah merasuki pikirannya sehingga dirinya mau dipinang sama Kakak Iparnya sendiri, yang tak lain adalah suami dari Mbak Yu-nya, padahal sudah beberapa lelaki yang datang melamar dirinya, memintanya untuk menjadi istri dan Ibu di masa depan. Saat itu Ngatini hanya teringat dengan perkataan almarhumah yang tengah sakit keras berkata “Sapa sing ngramut anak-anakku ya? Lek umurku cedak.”5
Ternyata menjelang siang itu pasar bertambah ramai. Mungkin karena hari Sabtu jadi banyak orang yang pergi belanja atau sekedar mencari hiburan di pasar. Sembari tersenyum Ngatini berkata pada orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya “Klantingnya Bu, Klanting, Klepon ye enten Bu e.”6
Tak lama berselang seorang pembeli datang membeli klanting 2000 dan klepon 3000. Sembari tersenyum sumringah7 dengan senang hati Ngatini meracik klanting dan klepon di daun pisang terpisah. Saat itu juga pandangan Arman mengamati hilir mudik orang-orang di pasar, terlihat banyak orang yang membawa belanjaan hingga kesulitan berjalan. Arman pun berpikir mungkin dirinya bisa membantu membawakan belanjaan mereka, seperti kuli-kuli angkut, meskipun tak dibayar tidak apa, yang penting sudah berbuat baik, seperti yang pernah ia dengar dari Uztad yang mengajar para Santri di gubuk milik pesantren.
“Mak, aku rana ndisik ya?”8 Arman pada Ngatini yang sedang meladeni beberapa pembeli.
Sejenak menoleh pada Arman, kemudian Ngatini berkata “Kate nandi Le?”9
“Dolek rongsok Mak.”10
“Jo adoh-adoh ya Le, mengko balik rene maneh.”11
“Ya Mak.” Setelah itu Arman sigap berlari, menembus keramaian pasar sembari pandangannya celingukan terkadang mendongak, meneliti orang-orang pasar.
Hingga Arman berhenti melangkah di tepi jalan sembari mengusap keringat di keningnya. Kemudian ia memegang kedua lutut dengan kening sedikit merapat, sedikit membungkuk untuk menghindari panas matahari. Saat itulah orang-orang yang berbelanja semakin ramai, melewati dirinya. Terlihat belanjaan seorang Ibu agak tua terjatuh saat akan melewati Arman. Sigap Arman membatu mengambilkan belanjaan dan memberikan pada sang Ibu, lalu berkata “Hati-hati Bue.”
“Terima kasih, Nak.” Ucap Ibu tadi sembari tersenyum lebar dan mengelus rambut Arman.
Setelah itu sang Ibu kembali berjalan, sedangkan Arman kembali menepi. Tak lama berselang seseorang menepuk pundak Arman dari samping. Ternyata seorang Ibu setengah baya meminta Arman membawakan kresek-kresek belanjaannya. Dengan senang hati sigap Arman menyambar dua kresek besar. Lalu meletakkannya di pundaknya sebelah kiri. Setelah itu sang Ibu yang meminta bantuan tadi berjalan lebih dulu, keluar pasar dan menuju becak di tepi jalan raya. Setelah menyeberang jalan Arman berjalan tergesa di belakang sang Ibu yang memakai kebaya tadi. Kemudian meletakkan dua kresek tadi di becak.
Setelah itu sang Ibu memberi Arman upah 1000 rupiah. Sembari menganggukkan kepala Arman mengucap terima kasih pada sang Ibu, kemudian Arman kembali menyeberang jalan, dan kembali masuk ke dalam pasar. Melihat orang-orang membawa banyak belanjaan, dengan senyum Arman berkata “Bisa dibantu Pake, Bue?”
“Oh, kebeneran Le. Iki tolong bawakan kresek-kresek bojoku iki nang sepedah montor abang ngisore uwit iko Le.”12
Sigap Arman membawakan kresek-kresek warna hitam, kemudian tergesa menghampiri motor merah di bawah pohon di amping wanita tak berkerudung. Setelah itu Arman memberikan pada wanita itu yang sedikit terkejut karena bukan suaminya yang membawakan belanjaan. Tanpa berkata lagi Arman kembali mencari laki-laki tadi, tapi ternyata Arman tak menemukannya. Dirinya kecewa lantaran tak mendapatkan upah dari laki-laki tadi. Menyusul hatinya berkata “Biarlah, semoga menjadi ladang pahala seperti kata Pak Uztad.”
Matahari yang berkeliaran di pasar ternyata membuat hari semakin panas. Hingga Arman memutuskan untuk sejenak berteduh. Saat itulah pandangan Pak Bajol meneliti pasar, mencari kuli angkut untuk membawakan belanjaannya, karena Pak Jono tukang becak yang mengantarnya tak terlihat di dekat becaknya. Sigap Arman yang menebak yang dipikirkan Pak Bajol langsung mendatangi dan menawarkan diri membawakan belanjaan. Namun, Pak Bajol yang berbadan besar dan berkulit gelap dengan tegas memandang Arman, kemudian bertanya “Le, belanjaanku iki akeh loh, Kowe kuat ta?”13
“Insya Allah kuat Pak Dhe.” Jawab Arman tegas dan lantang. Walaupun badannya krempeng, tetapi Arman tetap percaya diri, karena bukan masalah krempeng atau tidak untuk mengangkut barang, tapi masalah terbiasa atau tidak mengangkut yang berat. Dan selama ini dirinya sudah terbiasa mengangkut yang berat-berat.
Sejenak Pak Bajol yang merupakan pegawai di dapur pesantren menghembuskan nafas, seolah tak yakin anak lanang di hadapannya mampu mengangkut semua barang belanjaannya. Namun, tiba-tiba hatinya menjadi iba saat berlama-lama memandang kedua mata anak laki-laki yang baru lulus Sekolah Dasar itu. Tegas Pak Bajol berkata “Ya sudah Le, bawakan belanjaan-belanjaan ini ke becak biru di sebelah sana ya.”
“Inggih Pak Dhe.” Kemudian sigap Arman menenteng tiga kresek besar dan membawanya tergesa ke becak yang di maksud. Sementara Pak Bajol berdiri menanti Arman kembali membawa sisa kresek-kresek yang dekat kakinya.
Tak berapa lama kemudian Arman kembali sedikit berlari, kemudian menenteng empat kresek belanjaan ukuran besar. Setelah meletakkan di becak, Arman kembali tergesa dan mengangkat karung yang hendak di panggul Pak Bajol, sembari berkata “Biar aku yang angkat Pak Dhe.”14
Di pundak kanannya Arman memikul karung yang sepertinya berisi beras seberat 25 Kilo. Saat itulah hatinya berbisik tegas, seolah ingin menguatkan “Ah, masih beratan aku sama beras ini, masak aku gak kuat”
Setelah itu Arman berjalan sembari memikul beras di samping Pak Bajol. Sesampainya di becak yang sudah menanti, tukang becak yang baru terihat segera membantu Arman menurunkan beras dari pundak Arman. Sedikit senyum mengiringi perkataan Pak Bajol “Wiiiis wiiiis sampeyan iki nandi wae No, masak becake ditinggal. Trus aku golek-golek tukang panggul.”15
“Waduh, nyuwon pangapuro Pak Bajol. Kulo kebelet, makane dholek kali ndisek.”16 Jawab Pak Jono, tukang becak langganan Pak Bajol.
“Niki sampun kabeh Pak, belanjaane?”17 Tanya Pak Jono.
“Sampun Pak, langsung balik ae.”18
Setelah itu Pak Bajol memberikan upah pada Arman sebesar 5000 rupiah. Sembari tersenyum Arman mengangguk dan mengusap keringat di keningnya. Saat hendak naik becak, Pak Bajol sejenak melihat Arman yang masih tersenyum di samping becak. Saat itulah Pak Bajol mengira Arman adalah kuli panggul baru di pasar Sewon ini. Dan dalam hatinya Bajol lagi-lagi merasa bersalah karena ucapannya tadi. Kemudian Pak Bajol berkata “Ayo Le, melu aku menisan. Tak kei penggawean, ben Kowe cepet mulih gak angkut-angkut nang pasar.”19
“Ahmm tapi kulo....matur Ibuk ndisek Pak Dhe.”20
“Ndak usah, cuma diluk. Ayo wis cepet, nggak sampe mene.”21 Pak Bajol memotong.
Akhirnya sebelum matahari bertambah tinggi Arman ikut naik becak bersama Pak Bajol, hanya saja dia duduk di atas pijakan kaki, sedangkan Pak Bajol duduk di kursi becak. Hingga semakin lama terdengar hembusan nafas yang semakin berat, saat kayuhan becak mendekati pesantren Al Fattah. Saat itulah pandangan Arman terlihat sedikit berbinar, melihat kembali pesantren yang lama tak ia lihat semenjak Bapaknya melarang dirinya bermain di dekat pesantren.
“Kreeetttt..” Suara rem becak yang ditunggangi Pak Jono berhenti. Setelah itu Pak Jono menahan becak supaya tidak terjungkal, sementara Arman dan Pak Bajol bergantian turun.
Setelah itu Arman dan Pak Jono membantu menenteng belanjaan ke dapur pesantren. Di dalam pesantren itu ada dua dapur, pertama dapur untuk Santri Putri di sebelah Selatan dan dapur untuk Santri putra di sebelah Utara. Kedua dapur itu berdekatan dengan ruang akan Santri putra dan Santri putri yang terletak terpisah.
Masuk ke dalam dapur Santri putra sejenak Arman menanti Pak Bajol yang tengah membayar Pak Jono. Setelah menghitung jumlah kresek dan menelitinya, serta memisahkannya Pak Bajol kembali meminta Arman untuk kembali menenteng empat kresek ke tempat yang belum dikatakan Pak Bajol. Berjalan di belakang Pak Bajol, pandangan Arman masih sempat meneliti pesantren yang megah, begitu adem dirasakan Arman hingga membuat senyum di kedua pipinya bermekaran.
Namun sorot mata Arman sigap kembali meneliti Pak Bajol saat terdengar suara Pak Bajol mengucap salam keras sebelum memasuki sebuah ruangan yang ternyata adalah dapur khusus Santri putri.
“Waalaikumsalam....” Jawab Mbok Piyem yang memakai kerudung dengan kebaya.
Di dapur Santri putri Mbok Piyem adalah juru masaknya, jadi kesibukkannya mengurusi kebutuhan makan Santri putri. Sedangkan Pak Bajol adalah juru masak Santri putra, jadi selalu mengurus kegiatan di dapur Santri putra. Tetapi mereka berdua juga terkenal paling kompak, apalagi kalau masalah dapur baik untuk Santri putra dan Santri putri. Hari itu Mbok Piyem tidak bisa pergi ke pasar, jadi Mbok Piyem minta tolong Pak Bajol untuk membelikan pesanannya.
Saat itulah Pak Bajol memperkenalkan Arman, kuli angkut di pasar Sewon yang baru dia lihat. Seolah mempunyai firasat tajam, tanpa bertanya Mbok Piyem mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air, dan memberikannya pada Arman. Membuat wajah Arman kembali mengendor dengan kehadiran senyumnya. Sigap Arman menenggaknya, namun ia lupa tak mengucap basmallah.
“Eh, Man pelan-pelan. Duduk, trus Bismillah dulu Man.” Sahut Pak Bajol.
Mendadak Arman berhenti menenggak air, hingga membuatnya sedikit tersedak. Kemudian cepat Arman duduk di dingklik, trus mengucap basmallah, dan kembali menenggak air di gelas hingga tak tersisa. Saat itulah seorang Santri putri masuk ke dalam dapur, meminjam piring kecil dan garpu, juga untuk mengambil air minum.
Namun, ia sedikit terkejut saat melihat wajah anak laki-laki yang pernah ia lihat di dekat gubuk milik pesantren. Saat itu juga ia berpikir, kalau anak laki-laki itu mungkin benar pencuri yang menyelinap masuk ke pesantren. Sedikit keras dan tegas Santri putri bernama Zaitun berkata “Loh, Pak Bajol jadi anak ini benar pencuri, maling?”
Sigap Arman menoleh dan bangkit berdiri, melihat Santri putri yang lebih tua dari usianya, kemudian berkata “Aku bukan maling, bukan. Bener kan Pak?”
“Ada apa ini? Kok teriak maling-maling segala, siapa yang maling?” Tanya Pak Bajol heran.
“Zaitun, ndak boleh ngomong gitu loh ya. Inget kata Pak Kyai, menuduh tanpa bukti dan saksi itu sama saja memfitnah. Dan memfitnah itu dalam Alquran, dosanya lebih berat dari membunuh.”
“Astaghfirullah halladziiim.” Ucap Zaitun sembari mengelus dada. Setelah itu ia menoleh pada Arman dan berkata “Afwan, mohon maafkan saya Dek.”
“Inggih Mbak.”
Setelah itu Pak Bajol meminta Arman membantu Mbok Piyem yang kurang sehat untuk membersihkan dapur putri, kemudian membersihkan ruang makan Santri putri. Zaitun yang hendak memakan klanting yang ia beli dari pasar, akhirnya membantu Arman membersihkan ruang makan Santri Putri, hanya karena iba dan merasa bersalah pada Arman. Dari pertemuan singkat itu Zaitun yang usianya lebih tua tiga tahun dari Arman, merasa bahwa Arman anak yang tidak banyak bercakap, tapi dia juga anak yang nurut, sopan dan hormat sama yang lebih tua.
Setengah jam sebelum dhuhur Arman selesai membersihkan dapur dan ruang makan Santri Putri. Saat pamitan pulang Arman mendapat upah lagi dari Mbok Piyem. Sembari menganggukkan kepala Arman tersenyum bahagia, karena dalam satu hari saja dia sudah mendapat upah 15 ribu. Jumlah yang besar yang ia dapat, bahkan lebih besar dari menjual layang-layang. Saat itulah ada yang diam-diam memperhatikan Arman yang polos. Dia yang sedari tadi membantu Arman dan Mbok Piyem membersihkan dapur dan ruang makan Santri putri. Bernama Zaitun dari Tsanawiyah kelas 3, gadis jawa yang hampir lulus tahun itu.
Saat itu juga Zaitun memohon pada Mbok Piyem untuk menerima Arman membantu di dapur Santri putri, setidaknya sampai kesehatan Mbok Piyem membaik, namun dalam hati Zaitun, dirinya sangat tersentuh dengan anak sekecil Arman yang sangat hormat dan nurut. Namun ternyata Mbok Piyem sedikit ragu karena peraturan pesantren yang ketat, tidak boleh sembarangan memperkerjakan orang yang belum dikenal. Tak lama berselang terdengar langkah kaki mendekati dapur Santri putri yang rupanya Pak Bajol baru melihat ruang makan dan dapur Santri putri. Pak Bajol merasa senang dengan pekerjaan yang dilakukan Arman meskipun usianya masih sangat muda. Setelah itu terpikir oleh Pak Bajol untuk memperkerjakan Arman, dan menyarankan seperti yang disarankan oleh Zaitun, memperkerjakan Arman di dapur Santri putri pada Mbok Piyem.
Akhirnya Mbok Piyem menerima usulan Pak Bajol, hanya memperkerjakan Arman di saat-saat genting atau di waktu-waktu tertentu. Dengan senyum sumringah Arman yang bahagia mencium tangan Pak Bajol dan Mbok Piyem. Dirinya juga mengucapkan terima kasih pada Zaitun yang sudah membantu dirinya. Setelah itu Arman keluar pesantren dari pintu sebelah Selatan. Kemudian dirinya berlari menuju pasar yang jauh sembari menggenggam uang lima belas ribu, karena saku celananya tak dalam. Saat itulah Arman teringat dengan perkataan Mamaknya, Ngatini bahwa hari itu juga Ngatini mengajak dirinya untuk membeli seragam sekolah.
Sesampainya di pasar dengan nafas tersengal kedua mata Arman sigap meneliti pasar yang sudah mulai tak seramai tadi. Ngatini pun tak terlihat di tempatnya. Saat itu Arman mengira kalau Mamaknya sudah pulang ke rumah, dan membatalkan membeli seragam sekolah karena dirinya tak kunjung kembali. Wajah yang lelah itu kini tampak kecewa, karena dirinya tak menepati janji pada Mamaknya. Akhirnya Arman pulang dengan lemas, namun itu tak lama, senyum di wajahnya kembali merekah saat melihat tukang es potong yang dicelup coklat. Sigap Arman melihat uang dalam genggamannya, kemudian tergesa mendatangi tukang es yang di dorong gerobak itu. Satu es potong harganya seribu. Arman membayar tiga ribu untuk tiga es potong. Tiga es potong yang ditusuk lidi itu dibungkus plastik, kemudian Arman berlari pulang ke rumah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Nanti kalo sudah agak siang,, kamu ikut beli baju buat sekolah.
2. Ibu punya uang?
3. Sudah ada, alhamdulillah, itu rejeki kamu.
4. Man, makan dulu. Tadi pagi kan kamu belum sarapan
5. Siapa yang merawat anak-anakku ya? Kalau umurku pendek.
6. Kalnting = makanan khas jawa dari tepung beras yang diberi warna-warna, umumnya warna merah.
7. Senyum lebar bahagia
8. Rana = ke sana. Ndisik = dulu. Rana ndisik = ke sana dulu
9. Mau kemana?
10. Cari rongsok Mak.
11. Jangan jauh-jauh ya Nak.
12. Bojo=istri. Nang sepedah montor ngisore uwit iko = di motor bawahnya pohon itu.
13. Le =panggilan untuk anak. Belanjaanku iki akeh loh, Kowe kuat ta?= belanjaanku ini banyak loh, kamu kuat tidak?
14. Pak Dhe= Paman tertua.
15. Wiiis wiiis, kamu ini kemana saja No. Masak becaknya ditinggal. Trus aku cari-cari tukang panggul.
16. Waduh, mohon maaf Pak Bajol. Saya kebelet, makanya cari sungai dulu.
17. Ini sudah semua belanjaannya?
18. Sudah Pak, langsung kembali saja.
19. Ayo Nak ikut saya sekalian. Saya beri pekerjaan, biar kamu cepat pulang tidak angkut-angkut di pasar.
20. Tapi saya bilang Ibu dulu Paman.
21. Tidak perlu, cuma sebentar. Ayo cepat, tidak sampai besok.