Untuk kesekian kalinya matahari tak bisa bersinar mendahului remaja berkulit coklat berwajah Jawa. Bahkan kali itu matahari seakan terlihat segan padanya, saat sinarnya sesekali tertutup awan di langit. Pagi-pagi benar Arman yang baru lulu SD, pergi mencari rumput untuk membantu Bapaknya yang harus mengumpulkan rumput untuk pakan kambing Pak Karso, pemilik sawah yang juga memperkerjakan Lek Yusup mencangkul di sawahnya.
Saat matahari mulai beranjak naik dan mulai terdengar riuh-riuh di balik benteng pesantren, saat itulah Arman pergi menyelinap ke dalam area pesantren melalui pintu belakang pesantren yang sengaja tidak dikunci oleh Cak Nadir. Setibanya di balik semak di belakang gubuk ternyata Arman tak melihat satupun Santri di sana. Dengan kecewa Arman membuang nafas, padahal dirinya yakin tadi mendengar suara riuh dari balik benteng pesantren. Karena tepat di balik benteng ini adalah tanah milik Pak Karso yang sedang digarap oleh Bapaknya. Arman hanya terduduk lemas di balik semak sembari melihat langit yang sedari tadi tak kunjung biru.
Hingga beberapa waktu berlalu akhirnya Arman memutuskan untuk kembali ke sawah, membantu Bapaknya mengumpulkan rumput-rumput segar. Namun, saat itu juga sebelum kembali melangkah Arman mendengar riuh-riuh suara yang mendadak muncul di gubuk milik pesantren. Membuat Arman tak jadi melangkah, tetapi balik badan dan kembali mengamati yang terjadi di gubuk. Ternyata benar para Santri tingkat 3 baru naik ke gubuk. Saat itu juga senyumpun mengembang di wajah Arman, menanti yang akan dipelajari para Santri Putra dan Santri Putri itu.
Namun saat itu juga Arman ketahuan oleh seorang Santri tingkat 3 Tsanawiyah bernama Abimana. Tanpa berkata Abimana langsung mendorong Arman dari samping seraya berkata “Eh, kau mau nyolong ya! Sana pergi!”
Hingga Arman terjatuh dan para Santri lain ikut menghampiri, merundung Arman yang bangkit sembari menyeringai. Keras Abimana berkata “Eh maling, kau pergi tidak! Atau mau kulaporkan sama Kyai?!”
Menyusul suara-suara Santri lainnya, meminta Arman untuk cepat pergi dari pesantren. Namun ternyata Arman malah berkata keras, seolah membela dirinya bahwa dirinya bukan maling seperti yang dituduhkan. “Aku bukan maling! Aku ndak pernah jadi maling.”
Ternyata perkataan Arman membuat Abimana semakin naik pitam. Saat itulah kepalan tangan Abimana mendarat keras di wajah Arman, hingga Arman kembali terjatuh dengan bibir sobek yang berdarah. Menyusul kemudian dua Santri putra melayangkan bogem bertubi-tubi hingga tubuh yang kerempeng itu terkapar di rumput hijau. Lemas Arman hanya bisa merintih sembari berusaha bangkit berdiri. Saat dua Santri putra akan kembali menghajarnya, tiba-tiba terdengar suara “Ada Kyai, ada Kyai!”
Saat itu juga semua Santri yang merundung Arman terdiam panik, kemudian sigap berlarian kalang kabut menuju gubuk. Namun ternyata itu tak membuat Abimana lari terbirit-birit seperti teman-temannya. Dia justru menanti Kyai datang dan hendak mengatakan bahwa ada maling kecil yang sudah menyusup ke wilayah pesantren. Tak lama kemudian seorang Santriwati bernama Zaitun datang tergesa, lalu berkata dengan nafas tersengal “Abimana, kau dipanggil Kyai sekarang.”
“Aku?” Abimana mengulang tegas.
Seolah tak percaya, dengan kening sedikit merapat Abimana balik bertanya “Bukannya tadi Kyai yang mau ke sini? Jadi sekalian aku mau lapor sama Kyai, kalo di sini ada maling kecil.”
“Jadi kamu mau melawan perintah Kyai?”
Abimana pun mendadak terdiam, namun tak melenyapkan kerutan di keningnya. Karena bagi para Santri perintah Kyai itu suatu keharusan dan tidak boleh dibantah, akhirnya Abimana pergi tergesa menemui Kyai Ahmad, pemilik sekaligus pimpinan tertinggi pondok pesantren Al Fattah. Setelah itu barulah Zaitun yang lega membatu Arman yang terduduk lemas di atas rumput.
“Kamu gak apa-apa kan?” Tanya Zaitun.
Sembari merintih Arman tak menjawab, namun sorot matanya kembali mengamati gubuk yang ramai sama para Santri. Tak lama kemudian terlihat seorang pengajar hendak naik ke atas gubuk, saat itulah Arman berkata “Itu Pak Ustadz sudah datang Mbak, cepet ke sana nanti kena marah.”
Sejenak Zaitun menoleh, melihat Uztad Haidir naik ke gubuk. Kemudian kembali menatap Arman dan bertanya “Ya sudah aku ke sana, kamu cepat pergi juga, nanti kena marah lagi.”
Tanpa menjawab Arman hanya mengangguk, kemudian berjalan tertatih meninggalkan Zaitun. Kembali ke sawah Pak Karso yang sedang di garap Bapaknya, membuat Lek Yusup terkejut melihat dan mendengar yang terjadi dengan Arman. Namun, Lek Yusup tak menyalahkan para Santri yang sudah menghajar Arman, tetapi malah menyalahkan Arman yang mbeling dan tak mau menuruti perkataan Bapaknya. Akhirnya sejak saat itu Lek Yusup tak mengijinkan Arman membantu dirinya di sawah dan melarang Arman bermain di area dekat pesantren.
***
Langit yang selalu menawan saat sore hari tiba menjadi payung bagi anak-anak Kampung bermain di pelataran tanah di depan rumah. Saat itulah suara motor memasuki pekarangan rumah Lek Yusup, kemudian berhenti bergemuruh saat besi di kolong mesin sudah diinjak dan Pak Kholil turun. Sejenak memandang rumah reot di hadapannya, kemudian meneliti kertas kecil di tangannya dengan kening merapat, setelah itu Pak Kholil kembali melangkah menuju rumah itu. Tepat di depan pintu yang tertutup Pak Kholi mengetuk pintu sembari mengucap salam.
Tak berapa lama pintu rumah itu terbuka sembari terdengar jawaban salam “Waalaikumsalam.”
Dengan sopan Ngatini bertanya “Bapak sinten?”1
“Kula Kholil saking pesantren Al Fattah. Bapake enten Bu?”2
“Oh enten Pak, monggo mlebet, pinarak rumiyin.”3
Setelah Pak Kholil duduk di kursi tua, Ngatini tergesa pergi ke dapur, memberi tahu suaminya yang sedang makan bahwa ada tamu dari pesantren. Sedikit terkejut Lek Yusup mengetahui siapa yang datang. Setelah mencuci tangan, Lek Yusup sedikit tergesa menemui tamunya di ruang tengah yang jadi satu dengan ruang depan untuk menerima tamu. Sedangkan Ngatini langsung memasak air untuk membuat kopi.
“Waduh, ada angin apa orang pesantren datang ke rumah tua ini?” Tanya Lek Yusup sembari duduk, kemudian menyalami laki-laki yang memakai peci hitam.
Sembari tersenyum Pak Kholil malah balik berkata “Kenalkan Pak, saya Kholil. Sengaja mampir habis pulang ngajar.”
“Oooh, tapi ndak biasanya ada orang pesantren mau mampir ke gubuk reot ini.” Sahut Lek Yusup sembari tersenyum lebar.
“Ndak Pak, saya saja yang kurang lirak sini lirik sana, padahal saya sering lewat sini.” Kata Pak Kholil dengan sedikit tawa, kemudian pandangannya meneliti rumah itu, seolah mencari seseorang.
Setelah itu Pak Kholil kembali bertanya “Sudah lama tinggal di rumah ini ya Pak?”
“Iya Pak, rumah warisan jadi ya seperti ini keadaannya.” Jawab Lek Yusup dengan senyum simpul.
Kemudian melanjutkan sembari pandangannya memeriksa rumah itu “Yaaa alhamdulillah, walau serba tua tapi masih kuat, ndak pernah bocor kena hujan atau ndak pernah roboh kena angin.”
“Alhamdulillah..., iya iya Pak.”
Tak lama kemudian Ngatini datang sembari membawa nampan dengan satu cangkir kopi, lalu meletakkannya di meja. “Monggo diunjuk Pak.”4
Setelah itu Ngatini kembali ke dapur. Saat itu juga Lek Yusup berkata “Monggo monggo Pak, diunjuk rumiyin.”5
Tanpa berlama-lama Pak Kholil langsung menyeruput kopi panas di cangkir sembari sesekali meniupnya. Sedangkan Lek Yusup hanya tersenyum melihat Pak Kholil, namun dalam hatinya ia berharap semoga kedatangan Pak Kholil bukan untuk mengadukan Arman yang lancang memasuki wilayah pesantren. Semoga Pak Kholil dan pihak pesantren tidak meminta ganti rugi pada dirinya.
“Alhamdulillah...” Ucap Pak Kholil sembari meletakkan cangkir kopi di meja.
Setelah menghembuskan nafas Pak Kholil kembali berkata “Begini Pak, kedatangan saya ke sini yang pertama, saya niatnya hanya mampir, karena satu arah dengan rumah saya di sebelah Desa ini. Jadi silaturahmilah.”
“Kedua, saya mendapat pesan dari pesantren untuk menyampaikan permohonan maaf pada Bapak...”
“Yusup Pak, panggil saja Lek Yusup, biasanya orang-orang Kampung sini panggil seperti itu.”
“Iya Pak Yusup, ee Lek Yusup. Jadi pihak pesantren sudah mendengar tentang kejadian...”
“Arman, nama anak saya yang lancang masuk ke wilayah pesantren Pak. Saya benar-benar mohon maaf, tidak bisa menasehati anak saya yang mbeling itu. Saya mohon maafkan anak saya Arman, dia cuma pingin tahu saja. Entahlah anak itu kenapa jadi serba ingin tahu, padahal baca Qurannya saja masih berantakan.”
“Jadi namanya Arman?”
“Iya Pak, baru lulu SD tahun ini, dan mau daftar SMP insya Allah.”
“Armannya kemana ya Pak?”
“Ya kalau punya anak lanang6 itu ya gitu, baru tadi pagi dia kena pukul sampai memar, tapi sore udah ilang lagi.” Ucap Lek Yusup sembari tertawa.
“Oh apa lukanya parah Pak? Sudah dibawa ke puskesmas?” Tanya Pak Kholil panik.
“Alhamdulillah tadi sudah di kompres, cuma lebam biasa kok Pak.”
“Syukurlah...” Ucap Pak Kholil pelan.
“Sekali lagi saya mohon maaf, ini semua salah anak saya Arman yang lancang masuk ke wilayah pesantren. Kalau saya satu tahu, pasti Arman sudah saya jewer, saya marahi.”
“Justru saya ke sini ingin menyampaikan permohonan maaf dari pihak pesantren, dari Pak Kyai. Sebenarnya Pak Kyai minta saya datang besok lusa sekalian sama Pak Kyai, soalnya Pak Kyai siang tadi harus berangkat ke Malang, ada pertemuan penting dengan pengasuh pondok pesantren se-Jawa Timur. Tapi akhirnya Pak Kyai minta saya hari ini juga harus ke rumah Pak Yusup, menyampaikan pesan Pak Kyai, Karena Pak Kyai takut menunda-nunda.”
Setelah itu Pak Kholil mengeluarkan amplop puith dari balik saku jasnya, kemudian menyodorkan pada Lek Yusup. Terkejut Lek Yusup memandang ampolp putih sembari berkata “Loh, apa ini Pak?”
“Ini pesan dari Pak Kyai, dan harus diterima Pak Yusup.”
“Waduh, isinya apa ya Pak? Apa Pak Kyai melaporkan anak saya sama Polisi?”
Sembari tersenyum Pak Kholil berkata “Monggo Pak, dibuka dulu. Nanti Bapak akan tahu, karena saya juga ndak tahu.”
Setelah itu Lek Yusup mengambil amplop dan membukanya di hadapan Pak Kholil. Ternyata lagi-lagi Lek Yusup terkejut melihat isi dalam amplop putih pemberian Kyai Ahmad. Sigap Lek Yusup bertanya “Apa ndak salah Pak Kyai memberi uang di amplop ini?”
Namun Pak Kholil tak menjawab, dia hanya berkata “Mungkin itu bentuk permohonan maaf dari Pak Kyai dan dari pesantren pada Pak Yusup dan Arman. Dan tidak bermaksud merendahkan Pak Yusup dan keluarga. Mohon diterima Pak.”
“Subhanallah....alhamdulillah....” Ucap Lek Yusup sembari melihat lembaran-lembaran uang kertas dalam amplop putih.
Sebuah rejeki ternyata masih Allah titipkan untuk anak yang mbeling7 sekalipun. Rasanya tidak pantas bagi orang tua membenci seorang anak apalagi sampai membunuhnya seperti kebanyakan peristiwa akhir-akhir ini yang terjadi. Dan mungkin saat itu juga Lek Yusup berpikir, tak ada alasan untuk tidak mendengarkan anak walaupun anaknya mbeling7.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Bapak siapa?
2. Saya Kholil dari pesantren Al Fattah. Bapak ada Bu?
3. Oh ada Pak, silahkan masuk, silahkan duduk dulu Pak.
4. Silahkan di minum Pak.
5. Silahkan, silahkan Pak, di minum dulu.
6. Lanang = laki-laki.
7. Mbeling = nakal.