Harumnya asin peda yang tengah di goreng di dapur sempit rumah itu seakan memanggil-manggil orang-orang yang lewat di depan rumah, membuat perut semakin lapar. Sore itu Ngatini memang sedang memasak tempe dan tahu goreng, sayur asem, dan asin peda. Terakhir dia meracik sambel di layah1 yang terbuat dari tanah liat yang dibakar. Sementara itu Marianti dan Ripah asyik bermain di pelataran tanah di depan rumah, seolah tak lapar mereka tak menggubris bau asin peda yang melewati hidung mereka.
Tak lama kemudian sembari menenteng cangkul dan arit Suroso berlari masuk pekarangan rumah tua itu, lalu berhenti tepat di depan pintu. Keras Suroso memanggil Ngatini sembari menggedor pintu “Mbak Yu.....Mbak Yu....!”
Hingga membuat Ngatini tersentak kaget, lalu sigap mematikan kompor dan tergesa membuka pintu. “Ana apa So? Apa Lek Yusup....”
“Sanes2 Lek Yusup Mbak, tapi Arman.”
“Loh! Ana apa maneh ambek Arman?”3
“Arman gelut, tukaran karo kancane nang lapangan masjid. Cepet dipisah Mbak, gawa mulih ae.”4
“Iya iya iya sik.”
Setelah itu Ngatini pergi tergesa bersama Suroso menuju lapangan di sebelah masjid. Sesampainya di lapangan, Ngatini langsung melerai Arman yang tengah gelut dengan Margiono. Hingga menyebabkan Arman dan Margiono babak belur. Setelah diselidiki ternyata Arman yang naik pitam memukul Margiono lebih dulu yang mengejek dirinya tak bisa membaca Alquran, Arman hanya anak lanang yang goblok seperti Bapaknya.
Namun, beberapa anak di sekitar Masjid berkata bahwa pertengkaran itu bermula karena Margiono meminta es potong yang dibawa Arman. Tetapi Arman menolak memberikannya karena es potong itu untuk dirinya dan kedua adiknya. Hingga Margiono melempar Arman dengan sandal japit, dan melontarkan makian. Arman yang tak terima akhirnya meladeni Margiono untuk gelut di lapangan. Saat pertengkaran itulah Margiono mengolok-olok Arman dan Bapaknya yang tidak bisa membaca Alquran. Tuduhan goblok juga terlempar dari mulut Margiono, hingga membuat Arman semakin naik pitam.
Sore itu juga Ngatini berjalan tergesa sembari menarik tangan Arman yang masih mengepal, menggenggam erat uang 12 ribu, sementara es potong yang tadi dibawa Arman sudah mencair di lapangan. Membuat orang-orang Kampung terheran-heran melihat Arman dan Ngatini. Saat itulah mereka tahu Ngatini begitu perduli dengan anak-anak Lek Yusup dan almarhumah Mbak Yu-nya. Tetapi juga sekaligus merasa iba dengan takdir yang dipilih Ngatini, menikah dengan laki-laki yang menurut mereka tidak cerdas, bahkan membaca Alquran saja tidak bisa. Mungkin pantaslah Arman belum bisa membaca Alquran hingga tahun itu, apalagi semenjak amarhumah Katmani meninggal.
Sementara itu Lek Yusup yang baru pulang ke rumah dari sawah juga mendengar yang terjadi dengan anak sulungnya, Arman. Saat itulah kemarahan Lek Yusup sudah mendidih, sebelum tahu duduk perkara anak sulungnya sampai gelut segala dengan kawannya. Hingga saat itu juga Lek Yusup keluar rumah, hendak menyusul Ngatini ke lapangan di samping masjid. Namun ternyata Lek Yusup harus mengurungkan niatnya saat melihat Ngatini setengah menyeret Arman yang masih menahan marah. Di hadapan suaminya Ngatini berkata pada Arman “Ayo Le cepat masuk, mandi, trus sholat asyar.”
Tanpa berkata Arman langsung masuk, melewati Bapaknya yang menahan amarah dengan kedua tangan dipinggang. Dengan berat Lek Yusup akhirnya menghembuskan nafas, sembari berkata “Arek iku kok saiki jadi tambah nemen mbelinge!”5
“Wis Mas, mengko bengi wae ditakoni.”6 Ucap Ngatini mencoba menenangkan.
Hingga malam pun datang menenggelemkan hari, kemudian menggantinya dengan taburan bintang di langit pekat yang cerah. Seusai sholat maghrib barulah Ngatini menyajikan masakannya yang baru selesai di masak di dipan kayu di dalam rumah, karena tadi sore Ngatini harus mengobati wajah Arman yang bonyok hingga lebam akibat berkelahi dengan temannya. Tanpa banyak bercakap, keluarga kecil itu mengisi perutnya dengan masakan yang tak mewah. Bahkan Arman yang wajahnya kini bertambah lebam karena kejadian tadi sore terlihat murung sembari perlahan melahap nasi dan sayur asem.
Selesai makan Lek Yusup menenggak air di gelas yang sudah diisi oleh Ngatini. Setelah itu Lek Yusup berkata pada Arman yang masih makan “He Le, Bapak ngerti rasane dadi wong goblok. Tapi lek Kowe ngeladeni uwong sing ngelokno Kowe goblok, Kowe sing luwih goblok.”7
“Bapak loh weruh, uwong-uwong ndhek kene iki, gelek ngomong no Bapak goblok, gak isa maca, apa meneh maca Quran. Penggawean dadi buruh sawah, dikonkoni uwong terus. Tapi Bapak ngerti, uwong-uwong sugih lalek gak ana wong goblok ya gak isa urip, marga gak ana sing ngrewangi.”8 Lek Yusup melanjutkan dengan tegas.
Setelah itu Lek Yusup membuang nafas, terdengar berat bahkan hampir putus, karena masih menahan amarah pada Arman. Kemudian Lek Yusup berkata sembari menatap Arman dengan mata berkaca-kaca “Le, Kowe iku anak lanang Bapak siji-siji ne. Kowe kudu isa sabar kayak almarhumah Emakmu, urip iku kudu nerima apa wae, kudu sabar.”9
Saat itu juga hati Arman merasa bersalah, dirinya sudah membuat kecewa Bapaknya. Perlahan Arman mengalihkan pandangannya pada Bapaknya dan hendak berkata, namun perkataannya tak jadi terucap lantaran suara pintu rumah itu bersuara keras, hingga mengagetkan Lek Yusup, Ngatini, Marianti dan Ripah. Bahkan Arman pun sigap menoleh pada pintu rumah itu yang masih bersuara keras. Menyusul kemudian suara laki-laki lantang dan keras terdengar “He, Yusup! Mana anakmu!”
Tanpa pikir panjang Lek Yusup yang masih memakai sarung dan kaos oblong cepat membuka pintu, melihat tamu yang dipikirnya tak sopan bertamu. Saat itu juga laki-laki berkulit coklat gelap keras berkata “Aku Bapak e Margiono, mana anakmu! Anakku babak belur gara-gara anakmu! Saiki tak gawe babak belur anakmu iku.”10
“Tenang ndisik Pak, kulo....”
“Wis gak usah basa-basi! Aku pingin anakmu.” Setelah itu pandangan laki-laki berambut ikal bernama tertuju pada Arman yang duduk di dipan kayu.
Sigap laki-laki bernama Soleh mencabut arit dari balik kaosnya, kemudian mengacungkannya. Hingga membuat Arman dan kedua Adiknya, bahkan Ngatini ketakutan. Namun beruntunglah Lek Yusup lebih sigap menahan langkah Soleh, hingga perkelahian pun tak terelakan lagi. Saat itulah para tetangga di sekitar rumah Lek Yusup berdatangan, namun ternyata tak ada satupun yang berani melerai perkelahian antara Lek Yusup dengan Soleh. Hingga salah satu warga berinisiatif melapor pada Pak RT untuk melerai mereka.
“Praaakkk!!!” Suara kaca jendela pecah karena hantaman kursi yang di lempar Soleh.
Setelah itu sigap Soleh menyabetkan arit di tangannya pada tubuh Lek Yusup, namun beruntung Lek Yusup lebih sigap menghindar. Kemudian mencoba merebut arit dari tangan Soleh. Hingga tanpa sengaja Soleh terpelesat sembari menarik tangan Lek Yusup. Dan Soleh pun terkapar di lantai dengan mata melotot pada Lek Yusup. Tak lama berselang darah segar mengalir di lantai. Membuat kaget seisi rumah itu dan orang-orang yang merundungnya.
“Masya Allah! Sapa sing kene bacok?!”11 Ucap seorang warga yang melihat.
Lek Yusup yang juga kaget perlahan bangkit, kemudian meneliti badannya dan cepat melihat Soleh yang bersimbah darah dengan arit yang menancap di perutnya. Saat itulah wajah Lek Yusup menegang sembari menggeleng-gelengkan kepala, seolah mengatakan dirinya tidak menancapkan arit itu pada tubuh Soleh. Tak lama kemudian barulah Pak RT datang tergesa sembari menyingkapkan sarung. Begitu terkejut Pak Rt Slamet melihat yang terjadi di rumah Lek Yusup. Dan tak ada pilihan lagi bagi dirinya selain meminta bantuan polisi untuk menyelesaikan masalah yang menimpa warganya.
Kejadian yang tak pernah terpikir sebelumnya. Masalah kecil yang dilakukan oleh anak-anak selalu bertambah besar saat orang tua yang mudah kalap membela anaknya yang paling benar. Melenyapkan kesantunan yang selama ini dipegang oleh warga yang saling bertetangga. Beberapa saat kemudian ambulan datang, menyusul kemudian Polisi dengan sirine di atas mobil menjemput Lek Yusup. Saat itulah Lek Yusup hanya pasrah Polisi membawa dirinya untuk dimintai keterangan atau mungkin menahannya. Namun dalam hatinya begitu tegar, karena dirinya merasa tidak menancapkan arit di perut Soleh.
Dan kini Arman begitu menyesal dengan yang diperbuatnya tadi sore. Karena dirinya Bapaknya dibawa ke kantor polisi. Saat itu juga Arman yang tak pernah menangis, tak bisa menahan gempuran air mata melihat Bapaknya digiring masuk ke dalam mobil bersama dua Polisi. Baginya perpisahan ini sangat menyakitkan, dan akan selalu menjadi mimpi buruk bagi Arman.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Layah = cobek biasanya terbuat dari tanah liat, tempat untuk membuat sambel.
2. Sanes = bukan
3. Loh! Ada apa lagi dengan Arman?!
4. Arman berkelahi, bertengkar dengan temannya di lapangan masjid. Cepat dipisah Mbak, bawa pulang aja.
5. Anak itu kok sekarang jadi tambah parah nakalnya.
6. Sudah Mas, nanti malam saja ditanya.
7. He Nak, Bapak ngerti rasanya adi orang goblok. Tapi kalau kamu meladeni orang yang menghina kamu, kamu yang lebih
goblok
8. Bapak loh tahu, orang-orang di sini itu sering membicarakan Bapak goblok, tidak bisa membaca, apalagi ngaji. Pekerjaan jadi buruh sawah, disuruh orang terus. Tapi Bapak mengerti orang-orang kaya kalau tidak ada orang goblok, ya tidak bisa hidup, karena tidak ada yang membantu.
9. Nak, kamu itu anak laki-laki Bapak satu-satunya. Kamu harus bisa sabar seperti almarhumah Ibumu, Hidup itu harus menerima apa saja, harus sabar.
10. Aku Bapaknya Margiono, mana anakmu! Anakku babak belur gara-gara anakmu! Sekarang aku buat anakmu babak belur!
11. Masya Allah, siapa yang kena tusuk?