Mentari kembali menyapa di awal pembukaan hari. Diiringi kabut tipis yang lebih dingin dari biasanya Arman berjalan di belakang Bapaknya yang memikul cangkut di pundak sebelah kanan. Sedikit tergesa mereka berjalan di pematang sawah yang licin karena tetesan air embun. Saat itulah orang-orang sawah dengan ramah menyapa.
“Kok awan Lek?”1 Tanya Parman.
“Aja ditakoni Pak’e, kaya gak weruh ae, kan manten anyar Lek Yusup iki.”2 Sahut Mak Sarti sembari tersenyum.
“Ah, Mak Sarti iki. Apa hubungane Mak?”3 Tanya Lek Yusup dengan tawa lebar.
“Lah, piye toh. Kowe iki kok jek takon?”4 Balas Mak Sarti.
“Wis talah Mak, Lek Yusup iku ethok-ethok ora ngerti.”5 Sahut Suroso.
“Oalaahhh Mak...., aku wis tuwek. Nek rabi maneh pasti seneng, seneng merga enek sing ngopeni anakku.”6 Kata Lek Yusup sembari tersenyum.
“Ayo Le, mlaku ndisek nang ngarep.”7 Kata Lek Yusup pada Arman sembari sedikit menoleh dan memberi jalan pada putra sulungnya untuk mendahuluinya.
“Inggih Pak.”8 Ucap Arman sembari membawa rantang makanan untuk makan siang Bapaknya nanti.
“Macul ndik endi saiki Lek?”9 Tanya Suroso agak keras.
“Ndik sawahe Pak Karso Cak.”10 Jawab Lek Yusup.
“Oooh Pak Karso.... sing sawahe jejer ambek sawah pesantren iku ya Lek?”11
“Iyo Cak, mudah-mudahan berkah nyambut gawe cedhak e pesantren.”12 Sahut Lek Yusup sembari tersenyum.
“Berkah oleh mantu anak pondok Lek.”13 Celetuk Suroso.
“Eh, anek e jek cilik. Lek ndungo iku sing apik. Mugi-mugi Arman isa nyantri, ngunu kan Lek?”14 Sahut Mak Surti.
“Amiin, Mak.” Ucap Soroso dan Parman hampir bersamaan. Sementara Lek Yusuf hanya tersenyum, namun dalam hatinya Lek Yusup mengaminkan, walaupun ada sedikit ragu.
Obrolan kecil yang mendadak mampir itu akhirnya berlalu juga bersamaan langkah-langkah kaki Lek Yusup yang semakin lebar. Sementara itu Arman yang berjalan di depan sudah tak terlihat. Membuat kening Lek Yusup sedikit merapat sembari menggerakkan kedua bola matanya, seolah mencari anak pertamanya. Hingga Lek Yusup sampai juga di depan sawah Pak Karso. Tubuh yang sudah mulai renta itu akhirnya sejenak mengendorkan otot saat tarikan nafas mengisi dadanya. Saat itulah pandangannya berhenti pada Arman yang duduk terengah di gubuk kecil di ujung tanah Pak Karso.
Sejenak senyum di pipi yang sudah keriput itu datang menghibur saat dirinya menebak yang dirasakan putra satu-satunya itu. Kemudian Lek Yusup segera berjalan menuju gubuk, melepas kemeja lusuh, lalu mengaitkannya di tiang bambu yang menyangga gubuk. Barulah setelah itu Lek Yusup turun ke sawah yang hitam karena tak ada satupun padi. Sedangkan Arman yang pagi itu tak masuk ke sekolah karena baru selesai ujian terlihat serius di gubuk, menghaluskan potongan-potongan bambu yang akan digunakan untuk membuat kerangka layang-layang.
Merakit layang-layang itulah yang selalu dilakukan Arman di gubuk saat menemani sang Bapak yang sedang mencangkul. Selepas ujian akhir kelas 6, tak ada yang dapat dilakukan Arman kecuali membuat layang-layang untuk dijual dipasar. Terkadang Arman bersama Tejo ikut berebut layang-layang yang kalah diadu di angkasa. Setelah terkumpul dan di cat ulang barulah layang-layang itu dijual dipasar dan hasilnya dibagi dua.
Heningnya hamparan sawah-sawah di Desa itu membuat hembusan angin seakan terdengar bernyanyi. Namun, tiba-tiba nyanyian alam itu lenyap tak terdengar saat lantunan ayat-ayat Alquran terdengar keras, kemudian seolah ikut dinyanyikan oleh sang angin. Ternyata membuat Arman menghentikan kesibukan kedua tangan dan matanya pada potongan bambu. Kemudian menajamkan pendengarannya pada suara lantunan ayat-ayat Alquran itu. Hingga tak lama kemudian suara-suara itu menghilang, digantikan dengan suara bedug, menyusul kemudian kumandang Azan dhuhur terdengar syahdu.
“Arman, kau pulang dulu sana, sudah dhuhur.” Kata Lek Yusup sembari duduk di gubuk dengan pakaian berlumpur. Kemudian Lek Yusup menuangkan air dari teko pada gelas dari bahan plastik.
Namun Arman tak segera beranjak dengan kening merapat. Saat itu juga Bapaknya menyahut “Oh, kau mau makan dulu bareng Bapak? Ya sudah ini dibagi dua saja.”
Kemudian Lek Yusup membagi dua makanan di rantang, meletakkannya di atas daun pisang. Dengan kening merapat Lek Yusup berkata “Ayo Man, cepat di makan. Nanti kamu pulang dulu sambil bawa rantangnya, trus sholat.”
“Iya Pak.” Ucap Arman, lalu melahap nasi dan sambel. Sembari tersenyum Lek Yusup juga ikut melahap makanan yang tak mewah, namun sangat berharga untuk mengisi perutnya yang kosong.
“Pak, tadi aku dengar suara orang ngaji. Siapa yang ngaji ya Pak?” Tanya Arman.
Sejenak Lek Yusup mengangguk-angguk sembari melahap nasi dan tempe orek. Kemudian menenggak air di gelas, barulah Lek Yusup menjawab “Mungkin suara Santri dari sebelah, kan sebelah tanah ini tanah pesantren.”
“Oooh yang di tembok beton ini Pak?”
“Iya. Sudah cepat makannya.”
Dengan lahap Lek Yusup dan Arman melahap makanan di atas daun pisang. Namun, saat itu ada yang dipikirkan Arman, saat keningnya tiba-tiba merapat. Setelah menenggak air, Arman memberanikan diri bertanya pada sang Bapak “Pak, kenapa Bapak gak pernah baca Quran di rumah? Bapak bisa ngaji kan?”
Mendengar pertanyaan anaknya membuat Lek Yusup mendadak membatu. Dia bingung harus menjawab apa pada anak laki-lakinya yang kini ada dihadapannya. Menysusul kemudian hembusan nafas yang berat mengawali, sebelum Lek Yusup menjawab. “Arman, Bapakmu ini wong goblok. Ndak seperti almarhumah Ibumu, jadi jangan tiru Bapak. Kalau Kowe pingin belajar ngaji, belajar saja di mushola kampung, nderek Pak Haji Ramlan.”
“Tapi kan....”
“Wis, masalah bayar nanti Bapak yang carikan. Mulai saiki Kowe belajar ngaji maneh, baca Quran di mushola.”
“Coba kalau Emak masih ada, kan biasanya Emak yang ngajar aku baca Quran.”
“Saat itulah Lek Yusup mengalihkan pandangannya sembari berkata “Yaaa mudah-mudahkan Gusti Allah ndak jadikan kamu buruh sawah. Cukup Bapak saja yang jadi buruh sawah. Nanti doakan Emakmu, apalagi kalau sudah bisa baca Quran, kirimi Emakmu hataman Quran.”
“Sudah habiskan makannya.” Kata Lek Yusup.
Dengan lahap Arman kembali melahap nasi dan sambel di atas daun pisang. Tak lama berselang datanglah Tejo dengan terengah, mengabarkan pada Arman bahwa pihak sekolah sudah mengumumkan kelulusan siswa/siswi SDN Peloso 1. Dan Arman termasuk siswa yang lulus tahun itu. Mendengar hal itu Lek Yusup sangat bersyukur, akhirnya Arman yang pernah tidak naik kelas bisa lulus juga dari sekolah dasar. Setidaknya beban biaya untuk sekolah Arman akan sedikit berkurang, walau nanti pasti butuh banyak biaya untuk masuk SMP.
Selesai makan Arman kembali ke rumah sembari menenteng rantang kosong bersama Tejo. Setibanya di rumah Arman langsung meletakkan rantang di dapur, kemudian dia pergi mengambil sarung di kamarnya. Namun, ternyata sebelum berangkat ke mushola dua Adiknya memaksa ikut ke mushola karena sepinya rumah itu dan Ngatini sang Ibu baru yang dipanggil Mamak belum pulang dari pasar. Akhirnya terpaksa Arman mengajak kedua Adiknya pergi ke mushola, kemudian pergi bermain bersama Tejo dan dua temannya yang sudah menanti di sungai.
Setibanya di sungai yang tak dalam dan tak lebar, Arman dan Tejo menyusul kedua temannya, Darso dan Ajis yang sudah lebih dulu berenang di bawah dam kecil di sungai itu. Sementara itu di tepi sungai Marianti dan Ripah hanya duduk sembari melempar tawa melihat Masnya dan ketiga temannya berenang di sungai. Hingga hari semakin siang, saat itulah terlihat Cak Nadir hendak menyeberang sunga melewati jembatan kayu. Namun sejenak pandangannya meneliti sungai, maka terlihatlah anak-anak Kampung yang sedang berenang di sungai. Saat itu juga terpikir untuk meminta bantuan anak-anak itu membawakan rumput-rumput yang sudah diikat untuk pakan kambing dan sapi milik pesantren.
Akhirnya Cak Nadir memanggil anak-anak yang sedang berenang di sungai. Setelah menghampiri Arman, Tejo, Darso, dan Ajis bersedia membantu Cak Nadir membawakan rumput-rumput yang sudah diikat untuk diletakkan di pintu belakang masuk pesantren. Sementara itu Marianti dan Ripah diminta untuk menunggu Arman di tepi sungai.
Berjalan di pematang sawah sembari memikul gulungan rumput tak melenyapkan tawa dari keempat anak itu. Sesekali pertanyaan malah keluar dari mulut Cak Nadir pada anak-anak Kampung yang tangguh itu. Pertanyaan tak terduga ternyata keluar saat sampai di depan pintu belakang pesanteren.
“Siapa yang sudah hatam Quran?” Tanya Cak Nadir keras.
Saat itulah tiba-tiba tak ada celotehan dari keempat anak di belakang Cak Nadir. Setelah meletakkan gulungan rumput, Tejo berkata “Kita belum hatam Quran Cak.”
“Apa bayarannya bisa membuat kita hatam Quran Cak?” Tanya Ajis.
“Jis, nek takon sing bener.” Celetuk Darso sembari menyikut Ajis.
“Maksudnya apa bayaran ngangkut ramput ini sama dengan hatam Quran Cak?”
“Ya jelas beda. Beda itu, gak bisa dibandingkanlah.”
“Bedanya apa Cak?” Tanya Arman.
Saat itu juga tiba-tiba kening Cak Nadir merapat sebelum menjawab pertanyaan Arman. Dalam pikirannya Cak Nadir mencoba menerka-nerka, apa yang dia tahu, itu karena Cak Nadir sendiri bukan orang yang rajin membaca Alquran, dan bukan orang yang setiap hari, setiap minggu, bahkan setiap bulan menghatam Quran. Quran yang tak dia hapal hanya dihatamkan setiap satu tahun sekali, saat bulan Ramadhan tiba, seperti kebanyakan orang-orang sibuk saat ini. Menghatamkan Quran hanya saat diberi waktu lapang dan tak membacanya di waktu sempit atau melupakannya saat diberi waktu lapang dan membacanya di penghujung waktu lapang.
“Ya jelas pahala keabaikannya lebih besar membaca Alquran. Kebaikan mengangkut rumput ini kecil, gak ada apa-apanya.”
“Ooo gitu ya Cak, berarti harusnya tadi kita baca Quran dan gak usah bawakan rumput-rumput ini ya Cak?” Tanya Arman dengan kening merapat.
“Oh, ya ndak gitu juga.” Sahut Cak Nadir.
“Trus gimana Cak?” Tanya Ajis.
Namun perbincangan itu terpotong saat suara pintu kayu di samping mereka terbuka. Menyusul kemudian Pak Bajol melongok dari balik pintu, dan berkata tegas “Sama siapa Dir?”
“Aku sama anak-anak Kampung Pak.”
“Ayo wis, cepat masukkan rumput-rumputnya, trus langsung kasih makan wedhus15 sama sapi.”
“Nggih Pak.”
“Wis wis iki dibagi-bagi ya.” Kata Cak Nadir sembari memberi uang empat ribu rupiah pada Ajis. Setelah itu Cak Nadir memasukkan gulungan-gulungan rumput, melewati pintu belakang pesantren.
Setelah itu Ajis, Darso dan Tejo berlari bahagia meninggalkan Arman yang masih membatu di samping pintu. Kemudian Arman kembali bertanya pada Cak Nadir setelah selesai mengangkut satu gulungan rumput ke dalam “Cak, jadi jawabannya apa?”
“Jawaban apa?” Cak Nadir mengulang dengan kening merapat.
“Iya, kebaikan menghatamkan Alquran sama kebaikan membantu orang yang kesulitan, mana yang lebih baik?” Tanya Arman agak tegas.
Namun belum menjawab Cak Nadir tiba-tiba saja dibuat bingung dengan pertanyaan Arman. Akhirnya Cak Nadir hanya bisa menghembuskan nafas dengan berat, kemudian berkata “Besok ae dijawab, sekarang kau pulang sana, nanti bagianmu diambil mereka.”
“Hmm...”
“Apa lagi? Ayo sana, aku mau ngasih makan wedhus sama sapi.”
“Iya Cak.” Setelah itu Arman berlari mengikuti ketiga temannya yang sudah tak terlihat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Kok siang Paman (Lek; singkatan dari Pak Lek arti Bapak Cilik, atau paman/adik dari Ibu atau Bapak kita. Bisa juga panggilan Lek untuk menghormati yang lebih muda di masyarakat Jawa.
2. Jangan ditanya Pak, seperti tidak tahu saja, kan penganten baru Lek Yusup ini.
3. Ah Mak Surti ini, apa hubungannya Mak?
4. Lah gimana toh, kamu ini masih tanya.
5. Sudahlah Mak, biasa Lek Yusup itu pura-pura tidak mengerti
6. Ualaah....Mak, aku itu sudah tua. Kalau menikah lagi ya pasti seneng, senang karena ada yang ngurus anak-anakku.
7. Ayo Nak, jalan lebih dulu di depan.
8. Iya Pak.
9. Mencangkul dimana sekarang Lek?
10. Di sawahnya Pak Karso Cak.
11. Oooh sawahnya Pak Karso yang bersebelahan dengan pesantren itu ya Lek?
12. Bekerja dekat pesantren.
13. Berkah dapat mantu anak pondok Lek.
14. Eh, anaknya masih kecil. Kalau berdoa itu yang bagus. Mudah-mudahan Arman bisa Nyantri, begitu kan Lek?”
15. Wedhus = kambing.