9. Mengalah
Cinta tak pernah dibentuk dari sebuah keterpaksaan. Melihatmu bahagia dengan pilihanmu sendiri, tentu menjadi bahagia yang harus kuakui juga.
Setiap orang menginginkan sebuah keputusan yang tak mengundang penyesalan. Pun halnya dengan urusan hati. Tiara tak ingin suatu saat menyesali keputusan yang begitu cepat diambilnya. Mendengar Randi mengungkapkan perasaan hatinya semalam, membuat Tiara tak bisa memejamkan mata saat hendak tidur. Dia belum memberi jawaban apa-apa pada Randi. Hatinya bimbang.
“Aku menyukaimu. Tiara, kamu mau jadi pacarku?” Ucap Randi, saat Tiara menatap langit malam di hadapannya.
Cukup lama Tiara terdiam. Kata-kata yang begitu saja datang dengan mengejutkan itu seakan mampu beradu kuat dengan pikiran dan hatinya. Namun, dirinya tidak boleh terus menerus diam. Otaknya harus mampu memikirkan jawaban yang harus dikeluarkannya saat itu juga. Tapi, jawaban apa yang harus dia beri?
“Randi..” Tiara memberanikan diri menoleh, menatap kedua mata laki-laki yang duduk di sampingnya itu. “Kamu butuh jawabannya sekarang?”
Randi menggeleng, lalu tersenyum. “Kalau kamu butuh waktu untuk berpikir, aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang.”
Suara laki-laki itu masih saja terngiang di kepalanya. Tentu saja, Tiara membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya. Mereka baru saja bertemu dua bulan lalu, dan baginya itu terlalu cepat untuk memulai hubungan yang lebih dari sekadar teman biasa. Kalau sebagian besar manusia di bumi ini lebih memilih mengikuti kata hati, Tiara tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Laki-laki itu datang di saat dirinya mulai berusaha membuka hati, dan mungkin ini adalah waktu yang tepat.
Semesta tak pernah mau memberitahu kapan seseorang hadir untuk memberi warna di sebuah rumah kosong tak berpenghuni. Ya. Hatinya adalah rumah kosong yang selama ini tidak memiliki warna di tiap-tiap sudut ruangnya. Pemiliknya seakan bertanya, akan adakah orang yang bersedia untuk bertamu? Akan adakah seseorang yang datang untuk mengisi kekosongan yang ada di tiap-tiap ruangnya? Akankah orang itu datang untuk menetap, atau hanya datang untuk bertamu lalu pergi begitu saja?
Terlalu banyak hal yang menjadi pertimbangan bagi sang pemilik untuk membiarkan orang lain datang memasuki rumah kosongnya. Dia sudah cukup terbiasa dengan kesunyian. Pun rasa sepi sudah menjadi teman yang tak lagi mengganggu.
Tiara beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya mendekat pada vas bunga kaca yang ada di atas meja dekat jendela kamarnya. Dia menatap bunga pemberian Randi di acara makan malam beberapa hari lalu. Bunganya masih terlihat segar karena Tiara sudah mengganti airnya. Melihat bunga itu, jantung Tiara kembali berdebar. Seakan melihat Randi ada di hadapannya, dan meminta jawaban atas ungkapan perasaannya semalam.
Jawaban apa yang harus diberinya? Haruskah dirinya mengikuti kata hati? Atau tetap menurut pada logika yang sebetulnya tak pernah tahu apa yang dirasakan hati?
Tiara mengambil ponselnya, mengetikkan sebuah pesan di sana. Dia butuh bertemu dengan Aldi. Laki-laki itu selalu mengerti perasaannya. Mungkin, sekarang dia sudah tahu jawaban apa yang akan diberikannya. Entah yang dibutuhkannya dari Aldi saat ini adalah sebuah saran, atau pembenaran atas apa yang dirasakannya, dia sama sekali tidak tahu. Setelah mendapat balasan dari pesannya itu, Tiara langsung mengambil cardigan dan pergi menuju rooftop gedung yang sudah menjadi tempat khusus bagi dirinya dan Aldi.
Matahari tidak terlalu memancarkan sinar yang terik. Tiara memilih pergi dengan sepeda kesayangannya, menembus jalan dengan hati yang gelisah. Kira-kira, apakah Aldi akan mendukung hubungannya nanti? Apakah laki-laki itu akan sebahagia Rani ketika mendengar jawabannya nanti? Entahlah. Tiara memang belum menghubungi Rani, tapi dia tahu, perempuan itu pasti sangat bahagia mendengarnya. Rani yang selama ini selalu memintanya untuk membuka hati, tentu sangat mendukung jawaban hatinya sekarang. Dia juga yang meyakinkan Tiara kalau Randi adalah laki-laki yang baik, dan dirinya tidak akan salah dalam memilih.
Sesampainya di rooftop gedung, Tiara melihat Aldi sudah ada di sana. Dengan mengenakan jaket berwarna cokelat, laki-laki itu berdiri menghadap ke arah jalan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana menghindari tiupan angin yang tak lagi menghangatkan.
Menyadari kedatangan Tiara di belakangnya, Aldi berbalik badan. Dia melihat Tiara dengan tatapan matanya yang tajam. Perempuan itu mendekat, lalu berdiri di hadapannya. Dia terdiam, menunggu Tiara bicara lebih dulu maksud keinginannya untuk bertemu.
“Al,” Tiara berseru pelan, dengan napas yang sedikit tersengal, dia berusaha mengawali pembicaraan.
Tiara sedikit menunduk, tak berani melihat tatapan Aldi yang tak seperti biasanya. Saat belum menuju tempat itu, dirinya begitu yakin untuk menceritakan semua yang dialaminya kemarin, dia begitu yakin untuk menceritakan Randi pada laki-laki di hadapannya itu. Tapi, saat berhadapan dengan Aldi seperti ini, mengapa rasanya ragu untuk menceritakan semuanya? Mengapa rasanya dia tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan?
“Ada apa, Ra? Ada sesuatu yang menggangu kamu?” Aldi bertanya, dengan suara yang tenang, membuat Tiara kembali menaikkan pandangannya.
“Ada yang ingin aku ceritakan.”
“Tentang apa?” Aldi menelan ludah. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi kalut mengingat kejadian terakhir kali saat makan malam di rumah Tiara. “Apakah ceritanya penting untuk aku tahu?”
Tiara terdiam sejenak. Dia tidak bisa menjawab.
“Tentang seorang putri yang sedang jatuh cinta?” Lanjut Aldi.
“Al,” Tiara mengulangi seruannya. Dia menarik napas samar, dan langsung mengatakan apa yang menjadi poin penting dari ceritanya. “Randi menyatakan perasaannya ke aku semalam.”
Tiara bisa melihat kekejutan di wajah Aldi. Laki-laki di hadapannya itu terdiam cukup lama dan tidak memberi tanggapan apa-apa. Aldi masih menatapnya dengan tatapan yang tajam, dan… terlihat dingin.
Memang terkadang, ada hal-hal yang membutuhkan jawaban, namun sebetulnya sangat tak perlu untuk dijawab. Dan Aldi, begitu terkejut dengan apa yang didengarnya barusan. Dia benar-benar tidak bisa berpikir. Pernyataan yang didengarnya begitu mengejutkannya. Bagaimana bisa? Mereka belum cukup lama saling mengenal. Lalu bagaimana bisa semua ini terjadi diluar perkiraannya?
“Lalu? Kamu menjawab apa?” Aldi berusaha memperlihatkan ketenangan di wajahnya. Dia tidak ingin meluapkan emosinya di hadapan Tiara.
“Aku belum memberi jawaban apa-apa.” Tiara menarik napas pelan, meyakinkan diri dengan apa yang akan dikatakannya. “Tapi, sepertinya, aku juga menyukai dia, Al.”
Menyukai dia? Aldi menundukkan kepala,menarik napas dalam-dalam, berusaha menyerap kesabaran dari apa yang ada di sekitarnya. Pandangannya melihat ke arah jalan, dan tangan kanannya terkepal di dalam saku celana. Semuanya menjadi semakin kalut, dan Aldi sama sekali tidak tahu harus memberi jawaban apa.
***
Aldi mempercepat kecepatan motornya. Pikirannya benar-benar terasa kalut. Mendengar apa yang dikatakan Tiara tadi membuat hatinya kecewa. Dia tidak habis pikir dengan Tiara yang begitu cepat menjatuhkan hati pada seseorang yang baru dikenalnya. Aldi begitu yakin, Tiara belum sepenuhnya mengenal laki-laki itu. Dia benar-benar tidak habis pikir. Sebagian orang di dunia ini tidak ingin merasakan sakitnya jatuh cinta. Tapi, apa usaha mereka untuk melindungi hatinya dari kepahitan yang sudah menjadi risiko dari kecerobohannya? Bodoh! Sumpah serapah yang ingin dikeluarkannya untuk orang-orang yang ceroboh dalam memilih.
Selama ini, Aldi belum pernah dibuat kecewa oleh Tiara. Perasaannya benar-benar tulus untuk menjaga perempuan itu dan membuatnya bahagia. Dia hanya tidak ingin Tiara menjatuhkan hatinya pada orang yang salah. Jatuh cinta tidak selamanya indah seperti yang selalu dibayangkan oleh sebagian orang. Dan Aldi tahu, perempuan yang disayanginya itu sebentar lagi akan jatuh pada lubang kesedihan dari perasaannya sendiri.
Perempuan yang disayanginya? Baiklah. Hatinya sudah berkata jujur. Empat tahun mengenal perempuan itu, membuat Aldi tidak menyadari akan perasaannya sendiri. Selama ini, dirinya selalu mengelak dengan apa yang dirasakannya. Aldi selalu berusaha menutupi semua itu agar Tiara tetap merasa nyaman berada di dekatnya. Dia tidak ingin perempuan itu merasa terganggu dengan apa yang Aldi rasakan.
Jalanan yang lengang membuat Aldi semakin mempercepat kecepatan motornya. Dia tidak memedulikan beberapa kendaraan yang memberinya klakson teguran. Tatapannya tetap kosong ke arah depan, beradu dengan pikirannya yang terasa kalut. Hanya satu tempat yang akan ditujunya saat ini. Aldi butuh menenangkan hati dan pikirannya di gedung tempatnya berlatih basket. Akhir-akhir ini memang dirinya sedang sibuk untuk mempersiapkan pertandingannya dua bulan lagi. Itu sebabnya Aldi belum sempat bertemu dengan Tiara setelah acara makan itu. Sampai Tiara sendiri yang menghubunginya, meminta untuk bertemu hanya untuk membicarakan hal yang sama sekali tidak penting baginya.
Aldi memberhentikan motornya tepat di samping gedung. Lapangan basket yang benar-benar sepi membuat dirinya lebih leluasa untuk meluapkan emosi. Dia meletakkan tasnya di pinggir lapangan, mengambil bola dan mulai memantulkannya ke lantai. Langkahnya yang gesit, membuat bolanya beberapa kali masuk ke dalam ring. Sesekali Aldi melampiaskan kegeramannya dengan suara yang menggema di dalam gedung. Dia tak peduli akan ada orang yang mendengarnya atau tidak. Emosi yang begitu memuncak membuat dirinya sedikit hilang kendali. Bola yang dilemparnya hanya mengenai papan dan tak masuk ke dalam ring.
Membiarkan emosi tetap bersarang di dalam diri tidaklah selamanya baik. Aldi tidak pernah melampiaskan emosinya seperti ini. Dia melempar jauh bola basketnya, lalu mengambil botol minumnya, dan duduk di pinggir lapangan. Helaan napas yang berkali-kali dilakukannya, cukup membuat hatinya yang tadi sesak, kembali terisi udara. Aldi memejamkan mata, dan berusaha menenangkan pikirannya.
Kini, Tiara sudah memiliki seseorang yang akan menjaganya. Bisik Aldi dalam hati. Berkali-kali bisikan itu mengganggu pikirannya yang masih belum dapat mencerna. Hatinya masih belum dapat percaya dengan apa yang terjadi. Selama empat tahun ini Aldi menjaga perempuan itu, kini akan ada yang mengganti keberadaannya? Aldi belum bisa menerima hal itu. Dia kembali membuka matanya, dan mengerjap ketika tahu ada seseorang yang berdiri di balik pintu masuk. Orang itu seperti mengumpat. Ujung sepatunya yang terlihat, membuat Aldi sadar ada yang memerhatikannya.
Aldi kembali menenggak botol minumnya, lalu berdiri dan mendekat pada pintu itu. Langkahnya yang mungkin terdengar, membuat ujung sepatu itu sedikit demi sedikit bergerak mundur. Siapa yang tahu dia ada di sini? Siapa orang yang mengintipnya dari balik pintu itu?
Langkah Aldi semakin mendekat. Pandangannya masih melihat kedua ujung sepatu milik seseorang yang mengumpat di balik pintu. Aldi terkejut saat melihat seorang perempuan yang menutup mulutnya dengan kedua tangan, menjatuhkan bunga dan cokelat yang digenggamnya. Perempuan itu perlahan mundur, dan berlari pergi. Aldi hendak mengejar perempuan itu, namun dia mengurungkan niatnya. Tangannya terulur mengambil bunga dan cokelat yang jatuh dari genggaman perempuan tadi. Dahinya mengerut. Dia seperti mengenal perempuan itu..
***
Langit sudah gelap saat Aldi memasukkan barang-barangnya ke dalam tas perlengkapan basket. Dia sudah menghabiskan setengah harinya di lapangan ini, dan hatinya sudah sedikit lebih baik. Pandangannya beralih pada bunga dan cokelat yang diletakkannya di samping tas, lalu ikut memasukkannya ke dalam tas untuk dia bawa pulang. Selama ini memang tidak jarang dirinya mendapat hadiah-hadiah kecil, namun rasanya baru pertama kali ada yang sampai datang ke tempat gedung latihannya hanya untuk memberikan bunga dan cokelat seperti ini.
Aldi merogoh ponselnya dari dalam tas. Dia mengirimi beberapa pesan untuk Tiara. Setelah bertemu di rooftop tadi, memang dirinya tidak memberi tanggapan apa-apa pada perempuan itu. Aldi menyadari itu adalah sebuah kesalahan, dan dia ingin meminta maaf. Namun tidak ada balasan apa-apa dari Tiara. Beberapa kali dia melakukan panggilan pun tak juga diangkat oleh perempuan itu.
Ke mana dia? Aldi bertanya-tanya dalam hatinya. Kalau sudah seperti ini, dia tidak bisa dibuat khawatir. Tiara hampir jarang sekali tidak membalas pesan atau mengangkat panggilannya. Aldi langsung merapatkan tasnya, dan beranjak menuju rumah Tiara. Jalanan ibu kota malam itu cukup terbilang lancar dan tidak membuatnya harus berlama-lama ada di perjalanan. Aldi memarkirkan motornya di depan rumah Tiara. Dia tidak masuk ke dalam. Jendela kamar Tiara yang gelap sudah cukup jelas menandakan kalau perempuan itu sedang tidak ada di rumah.
Aldi berdiri dan sedikit menyandarkan tubuhnya di samping motornya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dan pandangannya masih melihat kamar Tiara yang gelap. Ke mana dia?
Dari arah samping, tiba-tiba ada sebuah mobil yang datang dan sorot lampunya cukup menyilaukan mata Aldi. Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Pada saat sorot lampu mobil itu dimatikan, Aldi bisa melihat Tiara ada di dalamnya, bersama laki-laki yang tak ingin dia sebut namanya itu.
Aldi menghela napas, dan melirik jam tangan yang dikenakannya. Sudah jam 9 malam. Dia tidak tahu pergi kemana mereka berdua sampai baru tiba di rumah jam segini. Pakaian yang dikenakan Tiara pun masih sama seperti saat bertemu di rooftop gedung tadi siang.
Tiara keluar dari mobil itu, dan Aldi berdiri tegak menunggu perempuan itu datang menghampirinya.
“Aldi?” Seru Tiara, memperlihatkan senyum bahagianya. “Kamu sudah lama menunggu di sini?”
Aldi masih diam, tak menjawab. Dia menunggu perempuan itu mengatakan apa yang ingin didengarnya saat ini. Dia ingin Tiara menjelaskan mengapa pesan dan panggilannya tidak dijawab. Itu benar-benar membuatnya khawatir.
“Aku habis pergi dengan Randi tadi. Menemaninya kerja.” Sambung Tiara, dengan wajah yang masih memperlihatkan raut bahagianya.
Mendengar hal itu, Aldi melirik ke arah Randi yang masih ada di dalam mobilnya, memperhatikan dirinya dan Tiara yang sedang berbicara berhadapan. Tatapannya kembali pada Tiara yang masih memperlihatkan senyum padanya. Aldi membalas senyum itu. Dia memajukan kakinya selangkah, mendekati Tiara, dan mengulurkan tangan kanannya pada pada perempuan itu.
“Selamat, Ra. Aku harap dia bisa selalu buat kamu nyaman, dan buat kamu bahagia. Jaga diri kamu baik-baik, ya?”