"Dek, ambilin tempe dong."
Aku yang mau menyuapkan nasi ke mulut tidak jadi. Mataku melirik Alfa yang sedang makan dengan lahap di sampingku. Kuhela napas panjang, lalu mengambil tempe dan meletakkannya di piring Alfa.
"Minum dong sekalian tuangin."
Aku menatap Alfa tak suka. Namun, kuturuti perintahnya dalam diam. Katakan aku memang menurut, tetapi percayalah, dalam benakku sudah berderat berbagai alat perkakas yang bisa membunuh Alfa.
"Terima kasih."
Aku tidak menjawab ucapan Alfa dan mulai fokus pada makananku sendiri yang masih utuh.
"Dek—"
Aku mengebrak meja. "Apa lagi sih, Kak? Aku mau makan."
Alfa hanya melongo sambil menatap bego kepadaku.
"Nurul Arini."
Terdengar suara Ayah memanggil nama lengkapku secara dalam dan keji, membuat tubuhku menegang. Lambat-lambat aku menoleh kepada Ayah, memasang cengiran polos yang tidak berhasil karena Ayah melototiku penuh peringatan.
"Ah, tahulah. Aku makan di sekolah saja!" seruku seraya memundurkan kursi dan berdiri.
"Nurul, duduk. Kamu makan dulu. Udah jangan dengerin Alfa," kata Mama.
Aku menatap Alfa yang menyeringai, membuatku mendengkus sebal.
"Bodo, ah. Aku makan di sekolah aja. Nggak mau dianter. Aku mau berangkat bareng Adnan," sahutku ketus.
Aku mencium punggung tangan Mama dan Ayah, lalu menonyor kepala belakang Alfa sampai kakak laki-lakiku itu berteriak tak terima.
Langkahku berderap cepat. Aku berlari dengan tawa menyembur. Di belakang terdengar suara Ayah dan Mams yang saling tumpang tindih. Katakan, aku ini anak kurang ajar kepada orang yang lebih tua. Akan tetapi, semua itu kulakukan karena aku tidak suka dengan perbuatan Alfa yang seenaknya kepadaku.
Aku berhenti berlari. Napasku ngos-ngosan. Merasa lelah sekali, aku duduk selonjoran dan menyandarkan punggung ke gerbang rumah sambil mengatur napas. Tangan kananku terangkat. Sudah jam 06.38. Keningku mengkerut. Kenapa Adnan belum juga datang? Padahal semalam Adnan mengirim pesan mau menjemputku.
Aku menoleh ke arah Adnan biasanya muncul. Namun, sampai jam tujuh kurang lima menit pacarku itu belum tampak batang hidungnya.
Berdiri, aku menepuk-nepuk pantat dan mendesah panjang. Kurasa Adnan tidak menjemputku.
***
"Ngapain di sini?"
Aku terlonjak kaget, menatap ke arah sumber suara. Ternyata hanya seorang Feri. Kembali aku membaringkan diri, menutup mata menggunakan lengan tangan.
"Lha, kamu sendiri ngapain di sini?" balasku bertanya malas.
Aku mendengar suara kursi ditarik, membuat pendengaranku terganggu. Aku mendesis sebal. Kenapa dia tidak mengangkatnya saja? Biar tidak menimbulkan bunyi yang ngilu.
"Pengen aja," jawabnya santai diiringi desahan napas panjang.
"Oh."
"Jadi, ngapain di sini?"
"Tidur."
"Oh."
Seketika hening. Hening banget.
Aku yakin hampir tertidur, tetapi tiba-tiba Feri bersuara yang membuatku membuka mata dan terduduk cepat.
"Apa yang kamu bilang tadi?" tanyaku.
Feri menghela napas panjang. "Kamu putus cinta makanya tiduran di sini?"
Mataku melotot. "Ih, kata siapa?"
"Aku."
"Ngawur," kataku sebal. "Aku tidur di UKS ini karena aku ngantuk," ucapku berbohong. Padahal, aku terlambat ke sekolah karena menunggu Adnan. Jam pelajaran pertama diisi guru killer, membuatku malas diberi hukuman. Jam pelajaran kedua, aku belum mengerjakan PR, membuatku malas juga kalau hukumannya ditambah. Jadinya, saat bertemu guru piket di gerbang sekolah tadi pagi, aku berakting kesakitan dan berakhirlah di sini.
"Oh."
Aku mendengkus. "Makanya jangan sok tahu."
"Iya juga. Kalau kamu patah hati, ya masa matamu nggak bengkak? Tapi, bisa saja sih nggak bengkak yang artinya ternyata kamu nggak mencintainya sedalam itu," kata Feri manggut-manggut sendiri.
Aku menyipitkan mata. Feri ngomong naon ih.
"Nggak jelas!" seruku ketus.
Tak berapa lama, bel tanda istirahat berbunyi. Aku beranjak dari ranjang, menyambar tas, dan keluar dari UKS tanpa memedulikan Feri. Aku berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Bisik-bisik aneh terdengar di kanan-kiriku. Aku berhenti untuk menoleh ke sekumpulan cewek yang tadi berkasak-kusuk, tetapi semuanya membubarkan diri dan salah tingkah. Ada apa dengan mereka? Aku menyusuri tubuhku sendiri, kali saja aku memakai kolor bukannya rok ke sekolah. Namun, tidak. Penampilanku normal-normal saja. Mengendikkan bahu cuek, aku kembali berjalan.
Di dalam kelasku yang masih ada beberapa anak, aku mendapat tatapan prihatin dari Tania. Aku melengos. Pasti aku gila sudah salah mengartikan tatapannya. Mana mungkin Tania menatapku seperti itu?
"Eh, May, kantin yuk?" ajakku kepada Mayang yang sedang duduk bersama Latifa. Di depan mereka ada Vita yang duduk menyamping dan menompang dagu.
Mayang mengangkat wajah, menatapku. Dan, saat itu juga aku baru menyadari bahwa sahabatku itu sedang menangis.
"Kamu kenapa?" tanyaku, duduk di samping Vita.
Mayang menggeleng, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Aku mengerling ke arah Latifa dan Vita yang langsung gelisah dan menggelengkan kepala kompak.
Aku menghela napas panjang. "Ya udah kalau pada geleng-geleng. Mending ke kantin yuk? Aku laper banget asli nggak bohong."
"Kamu baik-baik saja?" tanya Latifa kemudian, menatap tepat ke manik mataku.
Aku mengangguk. "Baik."
"Bener?"
Mataku beralih menatap Vita. Keningku mengernyit, curiga. "Iya. Kenapa sih?"
"Yuk, ke kantin. Jajan enak," kata Mayang serak.
Aku berdiri, meletakkan tas di bangkuku dan menyusul Mayang, Latifa, dan Vita yang menungguku di pintu. Vita mengira aku tidak masuk sekolah karena sesuatu hal, tetapi kubantah dengan menceritakan keterlambatanku, lalu obrolan biasa disertai tawa dan canda mengisi perjalanan kami menuju kantin. Namun, tidak untuk Mayang. Dia hanya diam dan seringnya menunduk, membuatku gemas kepadanya. Kenapa sih dengannya?
Aku menarik Mayang ke arahku ketika dia akan bertubrukan dengan seseorang cowok yang berlari di koridor, membuat cewek itu terkejut dan meminta maaf kepadaku. Untuk beberapa detik aku terbengong-bengong. Kemudian, Mayang menepis lembut cekalanku di lengannya dan menyusul Vita dan Latifa yang masih asyik mengobrol sampai tidak menyadari aku dan Mayang yang sempat berhenti.
Seseorang merangkul pundakku akrab dan satu butir sukro masuk ke dalam mulutku. Refleks, aku mengunyah dan menelannya.
"Dia aneh," kataku, tanpa menatap siapa yang merangkulku.
"Aneh."
"Kenapa, ya?" tanyaku, mulutku mangap tanda minta sukro lagi yang alhamdulillah-nya dia peka menyuapiku tiga sukro yang langsung kukunyah.
"Kenapa, ya?"
Aku berhenti mengunyah, menoleh kepadanya yang menatap ke depan dengan mulut mengunyah.
"Ih, dasar nggak guna!" seruku, menyentak tangannya yang ada di pundakku.
Feri tertawa. Aku berlari kecil menyusul teman-temanku yang sudah jauh di depan.
Suasana kantin sangat ramai ketika aku tiba di sana. Semua kursi hampir terisi penuh. Pandanganku mengedar mencari-cari sesuatu. Atau lebih tepatnya seseorang.
Senyumku mengembang sempurna begitu melihat Adnan duduk bersama teman-temannya. Aku melupakan sejenak sikap aneh Mayang, juga lupa keberadaan Latifa dan Vita. Pandanganku sudah tersedot penuh kepada Adnan. Aku melangkah mendekatinya, tetapi sebelum berada didekatnya, aku terhenti. Senyumku raib tak berbekas. Ada yang aneh. Benar-benar aneh.
Adnan memang duduk dengan teman-temannya. Namun, di antara mereka, ada Citra. Cewek itu ikut duduk di sana. Tepat di samping Adnan.
Tadinya, aku tidak begitu peduli dengan keberadaan Citra yang mengobrol dengan teman di samping kirinya, tetapi begitu Adnan mengatakan sesuatu di telinga Citra sehingga membuat cewek itu menoleh, bergelendotan manja seraya tertawa bersama, dan Adnan mengacak rambutnya gemas, membuat hatiku hancur seketika.
Seseorang di samping kanan Adnan mencolek lengannya dan mengendikkan dagu ke arahku. Adnan mengikuti arahannya, menangkap tatapanku. Seketika senyumnya menghilang. Beberapa teman Adnan, termasuk yang tadi mencoleknya beranjak pergi.
Aku masih menatap Adnan, tidak berusaha membuang muka sampai tanganku digenggam seseorang, membuatku menoleh sekejap kepadanya. Ternyata Azka. Dia mendengkus sinis dan tersenyum miring. Parahnya, dia menarikku dan duduk semeja dengan Adnan.
Aku menatap sakit tangan Adnan dan Citra yang saling menggenggam di atas meja, meskipun tanganku juga masih digenggam Azka dan diletakkan di atas meja, tetapi tidak terasa.
"Boleh, kan, Cit, kita duduk di sini?" kata Azka kepada Citra, lalu dia berteriak ke Mang Ujang, memesan dua mangkok soto yang dibalas jempol oleh Mang Ujang.
"Boleh."
"Nurul, kamu mau es teh apa jus?" tanya Azka terdengar polos.
Aku melirik Azka yang sedang menatapku dengan satu alis terangkat.
"Es teh," jawabku pelan.
"Sip!" seru Azka semangat.
Pesanan Azka datang. Cowok itu mengucapkan terima kasih sekaligus memesan dua es teh manis kepada Mang Ujang.
"Hey, Azka sejak kapan kamu dekat dengan berjenis kelamin perempuan?"
Mataku menatap Citra yang sedang tersenyum cantik. Kuakui, dibanding denganku, Citra jauh lebih cantik. Pembawaannya anggun, sikapnya ramah, dan berotak cerdas sehingga menjadikannya idaman para cowok satu sekolahan atau satu negara.
"Sejak aku jatuh cinta," jawab Azka kalem.
Citra menatap takjub kepada Azka. "Wow! Apa kalian berdua pacaran sekarang?"
"Ada arah ke sana," jawab Azka, membuat leherku hampir patah karena menoleh kepadanya terlalu cepat.
Azka melepas genggamannya. Dia berbicara seperti sambal dan kecap kepadaku yang kubalas anggukkan kepala.
"Aku udah bilang cinta," kata Azka tiba-tiba sambil menatapku dalam. "Tapi, dia nggak terima karena udah punya pacar."
Azka beralih menatap Citra dan mengulas senyum menawan.
"Berhubung sekarang udah putus, aku akan memperjuangkannya lagi," tambah Azka.
Aku melirik Citra yang salah tingkah dan merasa kalau Adnan sedang menatapku, tetapi aku mendadak tertarik menatap tangan Azka yang sedang mengaduk soto.
"Sukses, Ka," kata Citra tersekat.
Sukses katanya? Tidak sukses, menurutku.
"Hai, Dek Nurul," sapa Citra, membuatku menatapnya. "Jangan nolak Azka lagi! Keren begini," lanjutnya, lalu tertawa imut.
Aku sendiri tidak tertawa. Tersenyum untuk basa-basi juga tidak.
"Ya, gitu deh kalo Nurul udah setia ya setia. Tapi, mulai sekarang akan kubuat dia melihatku," kata Azka, menepuk kepalaku lembut dan mengacak poniku.
Citra tersenyum. "Bagus, bagus."
Azka duduk menyamping menghadapku. Dia mencolek daguku, membuat perhatianku sepenuhnya kepadanya.
Setelah berbicara ngaco ke sana-sini, sekarang apa Azka? Aku membatin lelah.
"Nggak apa-apa kalau kamu mendadak jiper karena merasa kalah sama Citra si idola sekolahan, tapi kamu makan dulu. Aaaaa ...." Azka mengacungkan sesendok soto di depan mulutku.
Aku menelan ludah. Sepersekian detik setelah menimang mau memakannya atau lari ke toilet untuk bersembunyi dan menangis terisak-isak, akhirnya aku membuka mulut. Azka menyuapiku, mengelus sudut bibirku sayang. Sayang? Aku hampir tersedak soto begitu mengira Azka seperti itu.
"Ya Allah, Azka! Romantis banget sih, Ka! Aku iri!" seru Citra histeris sendiri.
Azka tertawa, entah bermaksud apa. Kantin masih ramai, tetapi aku tahu hatiku sama sekali tidak ramai dengan teriakan yang menyebut nama Adnan berkali-kali seperti biasanya. Hatiku sepi, suram, dan perlahan mulai mati.
Aku mendesah keras, meletakkan kepala di atas meja. Pertanda frustrasi berat. Mengetahui Adnan mesra-mesraan bersama Citra di depan mataku merupakan pukulan berat untukku. Kalau yang berada di posisi Citra saat ini adalah Tania, aku sudah ribut dan berkelahi dengannya. Tetapi, ini Citra! Aku bisa dimusuhi satu sekolahan jika berani menyakitinya dengan kekerasan. Juga akan di-bully habis-habisan dan tidak ada yang membela.
"Katanya sayang, tapi aku nggak tahu sisi lainnya. Katanya cinta, tapi aku tetap saja nggak bisa meraba perasaannya kepadaku." Aku mengangkat kepala dan langsung menatap dingin Adnan yang juga menatapku.
Nyeri, Adnan, nyeri sekali rasanya, kataku melalui sorot mata.
Pandanganku beralih menatap Azka. Mencondongkan tubuh, kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik, "Follow me."
Azka tertawa kecil seraya menggelang-gelengkan kepala. Dia mengeluarkan dompet dan meletakkan uang dua puluh ribu di atas meja. Aku berdiri yang diikuti olehnya. Azka merangkul pundakku secara posesif yang kubiarkan saja. Kami pun berlalu dari kantin meninggalkan siulan dan cie-cie untuk Azka yang katanya baru tertarik dengan cewek.
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu