Aku menyisir rambutku perlahan, menghela napas, lalu tersenyum menatap sebuah bingkai berisi potret Adnan. Semalam aku dan Adnan memang tidak banyak bicara, tetapi perasaanku menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Saat tahu pasti dan jelas bahwa semalam yang duduk di samping Alfa itu Adnan, aku merengek-rengek minta pulang dengan suara sepelan mungkin kepada Alfa, tetapi di tengah usahaku mengiba tiba-tiba Adnan memanggil namaku. Refleksnya, aku menoleh sehingga pandangan kami saling mengunci. Dan, dari pandangan saja aku tahu bahwa kami butuh bicara.
Tanpa basa-basi yang berarti, aku mengajak Adnan ke minimarket yang berjarak kurang lebih lima puluh meter dari penjual martabak dengan berjalan kaki. Cowok itu tidak menjawab pun tidak juga menolak. Dia berdiri dan berjalan mendahului. Aku berdecak sebal dan meminta Alfa untuk mengizinkanku pergi. Setelah izin didapat, aku menghampiri Adnan yang berdiri tak jauh dari gerobak martabak. Ternyata dia menungguku.
"Kenapa kamu lari saat melihatku?"
Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Adnan. Aku membuka mulut sedikit, tetapi mengatupkannya lagi. Kenapa dia masih bertanya padahal dia sendiri yang memintaku untuk bersikap biasa saja seperti saat kami belum berpacaran?
"Aku sedang bicara dengan manusia, bukan tembok!"
Aku meringis lirih mendengar sindiran Adnan. Dengan berani, aku menatap tepat ke manik matanya.
"Aku hanya menuruti apa katamu yang menginginkanku bersikap biasa saja sebelum kita pacaran," jawabku berusaha setenang mungkin tanpa memperlihatkan emosi yang sebenarnya. Seperti berteriak, memuncratkan iler ke mana-mana, dan amarah yang memuncak.
Alis Adnan bertaut. "Dengan lari setiap kita bertemu?"
Aku diam, tidak bereaksi apa pun.
"Aku memintamu bersikap biasa sebelum kita pacaran, bukan sebelum kamu suka aku," kata Adnan, membuat otakku mencerna cepat kata-katanya. Kalau sebelum aku menyukainya memang aku akan lari. Jadi, maksud dari bersikap biasa sebelum kami pacaran itu, aku yang berusaha menempel terus kepadanya meskipun seringnya dia tidak menanggapi dan judes padaku.
Aku menyengir gugup menyadari kesalahan otakku dalam menafsirkan kata-kata Adnan.
"Bodoh!" Adnan tersenyum. Dia maju selangkah lebih dekat denganku. Lalu, cowok itu mengangkat tangan. Spontan, aku memejamkan mata dan melindungi diri dengan gerakan tak berarti.
"Mau apa?" tanyaku.
Hening untuk beberapa saat. Aku tidak tahu reaksi apa yang ditunjukkan Adnan setelah melihat tingkahku. Namun, sesuatu hal yang hanya ada dibayanganku saja terjadi. Adnan memelukku, membuatku tertegun dengan hati berdebar-debar seketika.
"Aku hanya mau melakukan ini," kata Adnan lembut.
Mataku mengedip beberapa kali. Merasa tidak percaya bahwa Adnan bisa semanis ini. Kupikir tadinya Adnan akan memukulku. Pikiranku memang terkadang suka melantur yang tidak-tidak.
"Aku kangen kamu," ucap Adnan. Helaan napas panjang cowok itu terdengar di telingaku. "Kangen banget, Nurul."
Aku merasa Adnan mempererat pelukannya. Kali ini pelukannya bukan untuk menyakitiku, melainkan seperti sedang menyalurkan segala rasa.
Perlahan senyumku mengembang mendengar pengakuannya. Aku membuka mulut untuk mengatakan bahwa aku juga merindukannya dan akan membalas pelukannya, tetapi suara Alfa yang menyerukan namaku serta tindakannya yang memisahkanku dengan Adnan secara paksa membuat buyar semua kesan romantis yang terjadi.
Aku menatap sengit Alfa yang memasang sikap sok kebapakan yang sangat menyebalkan, menunjuk Adnan untuk tidak melakukan adegan peluk-pelukan di jalan, membuat Adnan meringis seraya mengelus tengkuk salah tingkah. Puas berkhotbah ria tanpa memberi kesempatan untukku berbicara sepatah dua patah kata kepada Adnan, Alfa mengajakku berjalan setengah menyeret ke mobil. Bermaksud pulang.
Aku mendesis sebal menginggat kejadian semalam. Terutama di bagian Alfs yang sangat menganggu.
"Nurul."
"Ya!" jawabku begitu menoleh ke sumber suara, mendapati Ayah yang siap mengantarku ke sekolah.
***
"Pacar!" seruku ketika melihat Adnan yang baru masuk ke gerbang sekolah. Kali ini cowok itu sendirian. Hal yang aku suka karena selama ini selalu ada setan yang menguntitnya. Sebut saja setan itu Tania.
Ajaib! Cowok yang kuharap menoleh ke arahku itu membalikkan tubuh. Aku tersenyum lebar, berjalan menghampirinya.
"Pagi," sapaku ceria saat sudah berhadapan dengannya.
Perasaanku waswas. Adnan terlihat tidak seantusias sepertiku, tetapi akhirnya senyum bahaya-nya terbit juga. Aku menghela napas lega. Tahu kalau hubungan kami memang baik-baik saja. Adnan mengacak-ngacak rambutku sayang, lalu beralih mengelus pipiku. Duh, perlakuan Adnan saat ini membuatku meleleh. Please, jangan pingsan sekarang. Aku mengulurkan tangan untuk mencengkeram pinggiran seragam Adnan.
"Adnan, ayo kita kencan!" kataku memberanikan diri.
Yeah, kalau bukan aku duluan yang mengajaknya nge-date siapa lagi coba? Aku harus agresif. Kalau sama-sama pasif, hubungan ini cuma akan jalan di tempat.
Adnan mengangguk. "Ayo."
"Wah, yang bener? Kita akan kencan?" Aku sangat bersemangat saat Adnan tidak menolak ajakanku.
"Ya, tapi bukan minggu-minggu ini," jawab Adnan, mengantongi tangan yang tadi mengelus pipiku.
Aku mendesah kecewa, menundukkan kepala, dan memanyunkan bibir.
"Kalau kamu pengin nilai ulanganku ancur, besok deh kita pergi kencan," kata Adnan, yang langsung membuatku mengangkat wajah, manatapnya.
"Jangan! Aku kuat nunggu kok," jawabku mengenggam lengan tangan Adnan erat. "Kalau nggak minggu-minggu ini, berarti minggu-minggu depan. Tapi, itu kapan, ya?"
"Dua minggu dari sekarang," jawab Adnan. Dia melepas genggamanku dan berganti menyelipkan jari-jarinya ke sela jari-jariku sehingga tangan kami saling bertaut.
Aku tersenyum lebar. "Janji?" Aku mengacungkan jari kelingking tanganku yang lain.
Adnan balas tersenyum. Dia mengaitkan kelingking tangannya yang tadi dikantongi ke jariku. "Janji."
Melupakan situasi yang ada di sekitar, aku bersorak senang bukan main. Aku baru menutup mulutku dengan kedua tangan saat tahu beberapa anak memperhatikanku.
Aku dan Adnan berjalan bersisihan. Baru beberapa langkah, aku menoleh ke belakang, ingat sesuatu. Ayah berdiri di samping mobil dengan berkacak pinggang. Aku tertawa geli dan melambaikan tangan. Adnan ikut menoleh ke arah yang kutuju. Dia menundukkan kepala hormat, lalu kami melanjutkan perjalanan lebih ke dalam area sekolahan.
"Aku ke kelas dulu," kata Adnan, membuatku menoleh kepadanya sekilas dan beralih menatap sekitar. Demi apa Adnan mengantarku sampai kelas? Senyumku mengembang sempurna tanpa bisa kututup-tutupi.
"Dadah pacar." Aku beralih kembali menatap Adnan seraya melambaikan tangan. "Fokus ya kalau lagi belajar, biar pinter." Aku memasang wajah se-cute mungkin.
Adnan mendengkus. Dia berbalik arah, berjalan menuju kelasnya. Aku terkikik entah untuk alasan bahwa Adnan mengantarku sampai di depan kelas atau Adnan yang memasang wajah kesal setelah mendengar ucapanku yang pasti menurutnya konyol. Tanpa aku mengatakannya pun, Adnan pasti akan fokus belajar.
Memasuki kelas, aku melihat Tania terang-terangan. Dia tampak rajin dengan menengkuri sebuah buku. Ketika aku lewat di sampingnya, mataku melirik Tania untuk sekadar tahu buku apa yang dia baca. Ternyata dia membaca buku yang terbalik halamannya. Mengangkat bahu tidak peduli, aku duduk di bangkuku. Seseorang mencolek bahuku, membuatku menoleh ke belakang. Ternyata Abror. Dia bertanya, apa aku kesepian yang kubalas dengan dengusan sebal, tetapi akhirnya kami berbincang-bincang tidak penting mulai dari kenapa hari ini tidak ada PR (bukannya bagus kalau tidak ada PR?), sampai membicarakan tentang gosip artis.
Suasana kelas mulai ramai. Di depan kelas, seseorang bertampang kutubuku memanggil Abror, membuat cowok itu berlalu pergi setelah berpamitan denganku. Di dekat meja guru, Mayang sedang cekikikan sambil membawa kemonceng bersama Latifa yang juga cekikikan seraya memegang sapu. Di depanku posisi Tania masih sama sejak aku melihatnya dan itu terlihat aneh di mataku, tetapi apa peduliku?
Mayang duduk di sampingku begitu bel masuk berbunyi. Pak Slamet masuk lima menit setelahnya dengan pandangan mengedar dan meminta semua muridnya untuk mengumpulkan tugas matematika.
Mampus! Aku belum selesai mengerjakan.
Aku mengambil satu bundel lembaran kertas yang terselip di buku paket matematika dengan perasaan tidak rela. Lebih tidak rela bin tidak ikhlas lagi ketika aku menyerahkan tugas matematikaku kepada Pak Slamet. Sempat kami melakukan adegan tarik-menarik yang membuat Pak Slamet menyentil keningku sehingga mau tidak mau, aku harus pasrah diri.
Tamat sudah nilai matematikaku.
***
"Serius nih? Kamu dan Abang tetep baik?"
Mata Mayang berbinar semangat saat aku menceritakan tentang sekolah hari ini sangat menyenangkan, karena seharian ini Mayang yang menempel terus dengan Latifa—entah sedang berbisnis apa—membuatku di berbagai kesempatan selalu bersama Adnan. Di kantin, di perpustakaan atau di koperasi. Pokoknya aku pepet terus. Toh, dia tidak menolak keberadaanku dan kami terlihat seperti pasangan kekasih normal lainnya. Saling bercanda, saling tertawa, dan sedikit merajuk.
"Seriuslah," jawabku sambil memasukkan buku-buku ke ransel.
"Syukurlah, aku udah mikir yang nggak-nggak," kata Mayang.
Aku hanya menatap Mayang bingung.
"Aku pikir persahabatan kita ikut rusak setelah Abangku bebuat jahat sama kamu," kata Mayang lagi.
Aku menonyor kepala Mayang. "Ngapain mikir gitu."
Mayang cemberut. "Habisnya Abangku gitulah. Kamu juga nggak mau aku traktir es krim."
Aku terdiam.
"Maaf, Uyung," ucap Mayang lirih.
"Ngapain minta maaf?" tanyaku heran.
"Jujur, aku nggak enak sama kamu setelah Abangku berbuat begitu ke kamu," jawab Mayang pelan.
Aku merangkul Mayang. "Sudahlah. Kita baik. Semuanya baik."
Mayang melepas rangkulanku lalu mendorong tubuhku. "Ya udah sana balik. Aku masih ada ektrakulikuler."
Aku mencebik lalu berjalan ke arah pintu kelas setelah meraih dan mencangklongkan tas ransel. Di ambang pintu, aku menoleh ke arah Mayang yang sedang mengucir rambut.
"May," panggilku, membuat sahabatku menatap heran kepadaku. "Kalau hubunganku dan Adnan nggak berhasil, kita masih sahabatan, kan?"
Mayang mengangguk sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. "Jadi, nggak usah mikir aneh-aneh."
"Iya." Mayang mengangguk keras.
Aku kembali berjalan, menyusuri koridor-koridor sekolahan. Mendekati gerbang sekolah, aku melihat Adnan berdiri sendirian dengan kedua tangan mengantongi saku celana. Dari gayanya, aku tahu dia sedang menungguku.
"Pacar," sapaku saat berada di depan Adnan.
Adnan tersenyum tipis. "Mau mampir sebentar ke suatu tempat?"
"Ke mana?" tanyaku semangat.
"Nanti juga tahu," kata Adnan seraya berjalan mendahului.
Aku cemberut. Belum juga menganggukkan kepala atau menyetujui sudah ditinggal saja. Namun, aku yakin bahwa dia tahu aku pasti akan membuntutinya. Dan, memang begitulah yang kulakukan.
"Woi, Nurul! Di sini, woi!"
Aku menoleh, merasa ada yang memanggil namaku. Pandanganku mengedar dan melihat Alfa berdiri di samping mobil dengan tangan melambai-lambai. Kenapa dia ada di sini?
Aku membuang muka, sudahlah abaikan saja meskipun akibatnya Alfa meneriaki namaku berkali-kali, membuat Adnan berhenti untuk menatap siapa pun yang ada di belakangku. Aku mendecakkan lidah, memutar tubuh untuk melayangkan tatapan berang kepada Alfa yang sedang menghampiriku. Namun, saat itu juga seseorang menabrak tubuhku, membuatku terjatuh dengan gaya yang tidak cantik.
"Eh, maaf, maaf. Aku nggak sengaja."
Aku menatap pemilik wajah cantik di hadapanku. Aku mengenalnya sebagai kakak kelasku. Ya, tidak begitu mengenalnya. Aku hanya tahu dia ketua klub teater dan sekelas dengan Adnan. Namanya, Citra.
"Duh, maaf, ya. Aku buru-buru tadi." Citra menyatukan kedua tangan dan menempelkannya di mulut.
Aku hanya mengangguk.
"Mau sampe kapan sih ngelemprak di situ?" tanya Alfa sinis. "Tuh, kembang-kembangnya keliatan."
Wajahku memanas seketika. Segera kututup rokku yang ternyata tersingkap. Alfa membungkuk, menyelipkan kedua tangan di ketiakku, membantuku berdiri.
"Nggak baca pesan Kakak?" tanya Alfa kepadaku yang sedang kibas-kibas rambut, kibas-kibas rok.
"Pesan apa?" Aku balas bertanya.
"Pesan Kakak bakal jemput," jawab Alfa gemas.
"Aku mau pulang bareng Adnan," kataku.
"Yang bener aja deh. Kakak udah capek-capek dateng ke sini. Mana jauh jaraknya," keluh Alfa.
"Tapi, aku maunya pulang sama Adnan!" kataku tegas.
Tolong dong ngertiin, ahelah! batinku menjerit.
Alfa menatapku tajam. "Jangan bikin repot orang. Mama nyuruh Kakak jemput kamu. Kita juga disuruh langsung ke rumah Om Candra. Kamu lupa, Om Candra lagi ngadain syukuran?"
Dasar menyebalkan!
"Aku nggak mau ikut ke rumah Om. Aku mau pulang sama Adnan saja," kataku final.
Alfa menatap ganas.
"Mending kamu balik sama kakakmu," ucap Adnan yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.
Aku membalikkan badan. "Jadi, aku ngerepotin?" tanyaku pura-pura polos kepada Adnan, berharap bahwa cowok itu mematahkan apa yang Alfa katakan sehingga kami bisa pulang bersama.
"Iya."
Astaga!
"Kamu nggak mau pulang sama aku?" tanyaku lagi.
"Nggak mau."
Mulutku melongo sebentar atas jawaban Adnan yang nyaris tanpa berpikir. Dengan kesal, aku membalikkan badan, lalu melangkah menuju tempat di mana Alfa memarkirkan mobil, mengabaikan kakakku yang menyeringai dan Citra yang ternyata masih berada di sekitarku.
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu