"Penyihir."
Aku mendengar suara yang langsung menusuk gendang telinga. Aku berhenti dan melihat sinis untuk menemukan yang sudah berani mengejekku. Tania berdiri dengan punggung menyandar ke ruang kelas banyaknya yang tidak begitu jauh dari kantin. Dia sudah memakai seragam. Bersih dan rapi jali.
"Oh, si Putri Raja," kataku dengan suara yang manis-manis berduri.
"Aku cuma mau bilang kamu harus hati-hati dari sekarang," desis Tania dingin.
Apaan sih? Aku menikmati mengejek setelah mendengar perkataannya.
"Oke, terima kasih," jawabku tersenyum manis dan bersedekap.
Tania diam. Kupikir dia sudah selesai bicara. Jadi, aku mengangkat dagu tinggi-tinggi, menyibakkan rambut, dan berjalan dengan gaya anggun.
"Pemeriksaan dari Adnan dan berakhir jadian!" seru Tania sukses membuatku berhenti.
Aku menengok. "Mimpi kamu itu terlalu tinggi, Sayang."
"Kamu liat aja nanti," kata Tania tersenyum simpul, membuatku muak. "Aku selangkah lebih maju daripada kamu yang katanya pacar Adnan. Adnan bahkan nggak cinta sama kamu."
Ngaco dia!
"Kata siapa?"
Tania mengangkat bahu, berjalan mendekatiku. "Aku beritahu satu rahasia," Tania berbisik, "Adnan cintanya sama aku seorang."
Tania melirik jahat padaku, menabrak bahuku, lalu pergi melewatiku.
Aku menatap garang punggung Tania. Kedua tanganku terkepal erat. Cewek itu melambaikan tangan di udara tanpa melihatku sembari berjalan sok selebriti. Aku berjalan mengikuti Tania yang masih melambai, lalu memegang pundaknya, membalik tubuhnya, dan langsung menonjok wajah sok terkejutnya. Dia terjatuh dengan gaya tidak cantik.
Aku mencengkeram kerah kemejanya. "Kamu mau Adnan? Ambil gih bekas aku!"
Tadi itu akting. Aku tidak semudah itu menyerah. Aku akan mempertahankan Adnan selama mungkin.
"TANIA!"
"NURUL!"
Dua orang mendengungkan namaku dan cewek ala putri raja secara bersamaan. Dua-duanya aku mengenali. Sedikit merasa kecewa karena seseorang yang aku harapkan akan menyebut namaku, malah menyebut nama cewek lain.
Aku melepaskan cekalanku dan berdiri tegak siap menghampiri badai. Adnan menyeruak menghampiri Tania. Tania memanfaatkan itu untuk memeluk Adnan. Dia meringis kesakitan dengan mata berkaca-kaca. Idih, lebay banget. Kurasa dia sedang berakting sebagai pemeran pembantu yang tertindas.
Adnan menatapku dengan ekpresi yang sulit dibaca. Dia tidak bicara apa pun. Sementara itu, aku merasakan kuping kananku sakit. Ternyata, kupingku dijewer Bu Ngadiatmi, guru sekolahku yang galaknya minta ampun.
"Ikut ibu ke kantor bimbingan konseling!" kata Bu Ngadiatmi tanpa melepaskan kupingku.
"Aduuh, duh, duh, Bu. Sakit Bu," keluhku sambil memegang kuping. Takut copot.
"Adnan, bawa Tania ke UKS!" perintah Bu Ngadiatmi tegas.
Adnan mengangguk. "Baik, Bu."
Aku melihat Tania pura-pura tidak bisa berdiri, lalu Adnan mengendongnya ala pengantin baru yang mau masuk ke kamar seperti di film-film. Oh, hatiku nyeri! Tania menyunggingkan senyum kemenangannya, kepalanya bersandar di dada Adnan. Ugh, aku ingin sekali menyeretnya turun, menghajarnya sampai babak belur, tetapi aku sendiri tidak bisa berkutik.
"Ayo, Nurul!" tegas Bu Ngadiatmi masih menjewer kupingku sambil berjalan.
Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku bersorak, selamat datang hukuman.
***
"Kamu cabut habis pelajaran olahraga? Kok nggak ngajak-ngajak sih?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mayang. Cabut apanya? Aku kena semprot sampai kupingku melepuh dan mendapat hukuman. Sialnya aku harus menjalani hukuman tambahan selama sebulan. Dimulai dari besok pagi. Memangnya dia tidak tahu? Ha-el-ah.
"Hm, sori," kataku singkat.
Mayang mengerutu beberapa saat dan kubiarkan saja.
"Kamu nggak ngapa-ngapain Tania, kan? Wajah dia gitu bukan karena kamu, kan?" tanya Mayang lagi.
"Kalau karena aku, bagaimana?" Aku balas bertanya dengan nada santai.
"Ya janganlah!" jerit Mayang terdengar gemas. "Saranku, jadilah pacar Abang yang bodo amat."
Aku menatap Mayang tak percaya. Mana bisa aku begitu.
"Ya, syukurnya itu karena aku," jawabku datar, membuang muka, menatap ke depan dan berjalan menuju gerbang sekolah.
Mayang tidak berkomentar lagi, kemudian sahabatku itu tiba-tiba bercerita tentang Adnan yang setelah semalam mengantarku pulang. Katanya, kakaknya itu menyita semua CD film yang baru dia beli dan baru akan dikembalikan kalau Mayang selesai mengerjakan tugas matematika. Sampai di sini, maksudku ceritanya, Mayang menggerutu sendiri, membuatku terkekeh. Ngomong-ngomong soal tugas matematika, aku juga baru mengerjakan beberapa biji, tetapi lumayanlah.
Sesi menggerutu selesai, Mayang menceritakan lanjutan ceritanya. Namun, terputus. Dia menarik lengan dan mengajakku bersembunyi di semak-semak. Kenapa sih ini anak? Untung saja aku tidak terjengkang tadi.
"Ad—"
"Stttt ...." Mayang membekap mulutku dengan satu tangan sementara tangan satunya menunjuk sesuatu.
Aku mengikuti arah telunjuk Mayang.
Mataku melotot seketika. Adnan duduk berduaan dengan Tania di taman sekolah—tak jauh dari semak-semak tempatku bersembunyi—dan di jam sekolah sudah bubar. Ini mencurigakan. Aku mengedarkan pandanganku. Sudah mulai sepi. Kalau ada yang tanya aku dan Mayang masih di sekolah, yeah, aku harus menjalani hukuman. Membersihkan Perpustakaan serta membereskan buku yang seenaknya ditinggal oleh oknum yang tidak bertanggung jawab ke rak dan Mayang membantuku.
"Yang kemarin, aku senang sekali," aku Tania.
Mendengar intro dari Tania, jantungku rasanya tertikam benda tajam. Aku memegang tangan Mayang yang membekapku dan menjauhkannya. Aku sulit bernapas. Mayang meringis menatapku, lalu kembali menatap dua sejoli itu.
Yang kemarin? Ada apa dengan kemarin? Kemarin aku di rumah Mayang. Setahuku Adnan tidak bertemu Tania. Keningku mengernyit. Tunggu! Kemarin Adnan telat pulang. Apa itu artinya Adnan dan Tania memang sempat bersama?
Kudengar Adnan bergumam panjang.
"Adnan, apa kita boleh mulai dari awal lagi?" tanya Tania kemudian.
Dengan cepat Adnan menoleh, menatap Tania. Aku shock! Adakah ambulance di sini? Aku tidak percaya Tania bergerak dengan cepat. Maksudku, kenapa itu cewek tidak mencari cowok lain yang masih jomlo?
Hening.
Sumpah mati aku bisa melihat Adnan yang tidak juga berkedip menatap Tania. Sementara Mayang sekarang menggenggam erat tanganku yang berkeringat dingin.
"Apa kamu bisa memberiku kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahanku yang dulu?" tanya Tania lagi.
Adnan masih diam. Aku pusing!
"Seharusnya dulu aku nggak perlu pura-pura nggak tahu kalau kamu suka aku. Aku pikir saat itu aku masih SMP, harus pindah rumah mengikuti orang tua, dan nggak sanggup LDR. Aku bodoh, ya?" Tania menunduk.
Adnan tetap diam. Aku tambah pusing!
"Kamu pasti benci banget sama aku," lanjut Tania.
Adnan berdeham sekali, menyentuh pundak Tania. "Nggak kok. Aku nggak benci kamu."
Aku menggertakkan gigiku geram. Sentuhan itu hanya apalah. Tidak berarti apa-apa. Tania tersenyum yang pasti menurutnya manis sekali. Cih! Hoek!
"Jadi," Tania menoleh kepada Adnan. "apa kamu mau memberiku kesempatan? Kita mulai dari awal lagi?"
Jantungku! Duh, bisa-bisa aku mati muda.
Jangan mati dulu, Nurul. Aku berusaha menyemangati diri.
Lama Adnan terdiam lagi. Sepertinya dia sedang memikirkan jawaban apa yang akan diberikan kepada Tania. Semilirnya angin mengibarkan rambut Tania yang tergerai, membuat cewek itu beberapa kali menyelipkan rambutnya di balik telinga.
Apa pun yang ada dipikiranmu saat ini, tolong jangan kecewakan aku, pintaku dalam hati untuk Adnan, meski tak tersampaikan.
"Posisiku di hatimu apa benar sudah terganti oleh Nurul?" tanya Tania memecahkan keheningan.
Aku menaikkan satu alisku. Haruskah itu diperjelas lagi?
"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulut Adnan.
"Ini tentang Nurul, apa kamu cinta dia?" tanya Tania lagi.
Aku tersenyum miring. Dasar cewek! Eh, aku juga cewek. Ralat. Dasar abcdfghiwey! Sepet banget! Aku tahu apa rencana Tania, sekarang. Semuanya terlihat jelas. Si Putri Raja itu berusaha memanipulasi atau apalah namanya, merasa dia itu paling merana mencintai Adnan sendirian, membuat Adnan menyesal dan bingung, lalu mendapatkan Adnan.
"Aku ...." Adnan tidak meneruskan kata-katanya. Namun, pada menit sekian, dia menggenggam tangan Tania.
Aku sekarat. Mataku terpejam sejenak. Sudah berakhir. Cukup sudah aku melihat dan mendengar. Aku merogoh saku, mengeluarkan iPod, menyumpel telinggaku dengan headset.
Sebelum lagu Coldplay mengalun kencang—dikarenakan aku memaksimalkan volume—sempat, aku mendengar Adnan berkata, "Aku suka ...."
Hanya itu. Aku tidak ingin mendengar jawaban Adnan, jujurnya. Katakan aku pengecut, tetapi siapa yang peduli. Aku hanya ingin menjaga hatiku saja. Hell-o! Umurku masih belasan tahun dan aku tidak ingin tahu apa itu rasanya terpuruk dalam patah hati. Sekarang saja hatiku sudah hancur berkeping-keping melihat Adnan dan Tania yang saling berpelukan.
Egoku menolak keras untuk diam saja!
Aku melepas paksa headset, keluar dari semak-semak. Langkahku berderap, menghampiri dua sejoli yang masih berpelukan.
Tanpa harus meminta ijin, aku menarik Tania hingga pelukannya terlepas, lalu membantingnya. Napasku terengah-engah penuh emosi menatap Tania yang mengenaskan.
Seseorang mencekal lenganku, menyentaknya keras, membuatku membalikkan badan, dan berhadapan langsung dengan si pencekal. Adnan.
Hitler, pinjamkan rohmu sebentar saja.
"Dua kali kalian berpelukan di depan mataku!" desisku marah. "Yang pertama aku masih toleran karena ada Bu Ngadiatmi, tapi barusan aku nggak bisa."
"Masalah?" tanya Adnan dingin. Dia mengeratkan cekalannya pada lenganku
Aku tergagap-gagap. Astaga! Kenapa roh Hitler belum masuk-masuk juga? Aku butuh kekejaman yang tidak pandang bulu jika berhadapan langsung dengan Adnan.
Adnan mendengkus. "Kamu iri?"
Aku masih tergagap-gagap. Aku sendiri bingung kenapa bisa? Ha-el-ah.
"Kamu pengin aku peluk?" Adnan berkata lagi. Aura yang terpancar dari sikapnya benar-benar menakutkan.
Belum sempat aku bergidik ngeri, Adnan menarikku mendekat dan memeluk tubuhku erat. Untuk beberapa saat aku menikmatinya. Ternyata seperti ini jika dipelukan Adnan. Rasanya, nyaman. Aku ingin membalas pelukannya. Namun, semakin lama, aku merasa tubuhku akan rontok, napasku juga pendek-pendek.
"Le-pas-in!" kataku susah payah seraya meronta-ronta. "Ka-mu menyakitiku!"
Adnan semakin mengeratkan pelukannya sampai aku kesulitan bernapas. Aku memejamkan mata dan tetap meronta sekuat yang aku bisa.
"ABANG!"
Aku mendengar teriakan Mayang yang histeris. Dan, tak berapa lama, aku merasa pinggangku disentuh-sentuh sambil lalu. Aku menebak Mayang sedang berusaha melepaskan kedua tangan Adnan yang terjalin.
"Lepasin, Bang!" hardik Mayang tegas. "Uyung nggak bisa napas!"
Adnan seperti menulikan telinga. Dia tidak peduli akan perintah Mayang dan memilih membenamkan wajahnya ke lekukan leherku.
"Abang, Uyung bisa mati!" sambung Mayang horor.
Tubuhku luruh begitu Adnan melepaskan pelukannya. Aku terbatuk-batuk hampir menangis, tetapi tidak. Aku menelan bulat-bulat isakan yang hampir melompat. Mayang merapikan rambutku dan mengelus punggungku seraya menangis pelan.
"Apa ini pertengkaran pertama kita?" tanyaku tegar seolah yang tadi itu bukan masalah.
"Anggap saja seperti itu," jawab Adnan datar tanpa melihatku, melainkan jalan melewatiku dan, berani taruhan, kalau cowok itu sedang membantu Tania.
Benar, ini adalah pertengkaran pertamaku dengan Adnan. Bukan pertengkaran lewat kata-kata tidak penting, melainkan perbuatan nyata. Translate-nya, Adnan marah besar.
"Setelah ini, bersikaplah biasa saja seperti sebelum kita pacaran!" tandas Adnan sebelum pergi dengan memapah Tania.
Aku terpekur diam. Maksud kata-kata Adnan itu apa? Kami tidak putus, kan? Kami masih baik-baik saja, kan? Atau sebenarnya kami memang putus.
Aku menghela napas panjang. Untuk apa meribetkan apa kata Adnan dengan segala pikiran-pikiran yang tidak seharusnya dipikirkan. Itu sangat merugikan. Yang pertama, Adnan itu hanya pacar, belum tentu dia menjadi milik pribadi. Yang kedua, kurang kerjaan. Yang ketiga, kalau dia memutuskan hubungan kami karena mencintai perempuan lain, aku masih bisa mengubahnya—perasaan itu bisa berubah, hari ini benci, besok cinta, hari ini tidak cinta, besok bisa cinta setengah mati—atau kalau sudah berada dititik terletih, ya sudah tinggalkan saja. Dunia ini luas buat Tuhan menyelipkan jodoh buatku atau kalian yang senasib denganku.
Toh, Adnan hanya bilang untukku bersikap biasa, belum ada kata putus di antara kami.
Namun, sejatinya aku hanya sedang beromong kosong, menguatkan dan menguatkan diri. Sudah tersirat, Adnanaksa bersikap biasa sebelum kami berpacaran. Singkatnya, dia memutuskan hubungan kami. Pintarnya, aku tidak mau putus.
Aku menggigit bibir bawahku keras. Tidak! Aku tidak akan menangis. Aku memukul-mukul dada sebelah kiri yang terasa terhimpit dan panas terbakar dalam satu waktu.
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu