Hari pertama sekolah setelah kecelakaan, Retta diantarkan oleh ayahnya, selain karena ayah dan ibu nya masih trauma ditambah lagi mobil Retta hancur akibat tragedi kecelakaan tersebut.
“Yah masih sepi banget ini.” Ucap Retta sambil menengok ke arah gerbang sekolah ketika mereka sudah sampai, dilihatnya jam baru menunjukan pukul 06.05 WIB.
“Maaf ya sayang, abisnya kantor ayah jauh nanti takutnya kena macet di jalan,” ucap Tora, ayah Retta,“yang penting kamu bisa ayah antar dengan selamat.”
“Yaudah kalo gitu Retta turun ya yah,” ucap Retta sambil menyelami tangan ayahnya.
“Kalau kamu pulang duluan minta anter aja ke Una ya, kalo keburu nanti ayah jemput.”
“Iya yah, ayah hati-hati di jalan.”
“Iya sayang,” ucap Tora sambil mengelus rambut anak gadis satu-satunya itu.
Setelah mobil ayahnya pergi, Retta mulai berjalan memasuki area sekolah. Benar-benar sepi, batin Retta. Dan sialnya Retta sedang tidak ingin berada di tempat yang sepi. Walaupun Retta bisa melihat pa Amar, tukang bersih-bersih di sekolah ini, sedang membersihkan lapangan basket, dan beberapa siswa yang juga sama seperti dirinya, datang kepagian. Tapi tetap saja sepi.
Retta menaiki tangga menuju kelasnya. Baru saja Retta menginjakkan kaki di lantai dua, ia ingin seklai rasanya berlari ke arah pa Amar dan memilih membantu pa Amar membersihkan lapangan basket daripada harus berada di lantai yang sepi ini. Namun kaki Retta memaksa dirinya berjalan. Melewati beberapa kelas yang masih sangat sepi, Retta tidak pernah merasa setaku ini.
“Ini udah pagi Ret, tenang-tenang,” Retta meyakinkan dirinya sendiri.
XI IPA-4. Retta terdiam di depan kelasnya. Suasana pagi yang belum begitu cerah dan lampu kelas yang sialnya sudah dimatikan oleh petugas bersih-bersih, membuat kelas ini terasa menyeramkan.
“Assalamuallaikum,” tidak biasanya Retta mengucapkan salam saat akan masuk kelas, apalagi saat kelas sedang sepi seperti ini. Ia berharap dengan begitu bisa mengusir makhluk-mahkluk yang ada.
Kaki Retta melangkah masuk, utuk kali ini saja ia merasa menyesal memilih tempat duduk di pojok kelas. Seharusnya ia menuruti Una untuk duduk di depan agar bisa mendegarkan guru dengan baik, katanya. Retta baru saja duduk di bangku nya saat tiba-tiba spidol yang ada di meja guru terjatuh begitu saja. Reflex Retta berteriak.
“Tenang Retta tenang, itu angin, tenang.” Ucapnya pada diri sendiri.
BRAAK!!
“AAAAAAAAA!!” tiba-tiba saja pintu kelas tertutup sendiri, dan Retta berteriak sekencang-kencangnya sambil menutup matanya. Dirasakan seseorang menepuk pundaknya.
“Re? lo kenapa? Ini gue Nino!”
Retta membuka matanya, dan benar saja itu Nino. “NINOOOO GUE TAKUT!” ucap Retta sambil menarik Nino untuk duduk di sebelahnya.
“Takut apaan sih pagi-pagi gini, penakut lo!”
“Tadi pintunya ketutup sendiri.”
“Angin kali, udah deh, udah ada gue juga.” Ucap Nino sambil melirik tangan Retta yang memegang ujung kemejanya. Retta menyadari itu dan segera melepaskan tangannya dari kemeja Nino.
“Sorry.”
“Segitu takutnya ya lo?”
“Semenjak sadar dari koma gue emang sering ngerasa takut sih kalo sendirian.”
Nino melihatnya dengan ekspresi khawatir, mungkin merasa kasihan. “Mau gue nyalain lampunya?” tanya Nino dan hanya dijawab dengan anggukan oleh Retta. Nino menemani Retta di bangkunya sampai murid-murid yang lain datang dan kelas menjadi ramai.
***