Read More >>"> simbiosis Mutualisme seri 2 (Woooow eh Subhanallah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - simbiosis Mutualisme seri 2
MENU
About Us  

Pagi ini gue masih di kamar, di depan notebook merah kesayangan gue. Kesepuluh jari gue masih semangat di atas papan notebook dan kedua mata gue juga nggak lepas dari layar notebook merah. Dari sepulang dari masjid tadi subuh gue serius menulis, pastinya setelah gue mandi dan baca Quran. Seperti kata Nyokap kalo baca Quran sama terjemahannya itu kewajiban setiap muslim, jadi nggak boleh terlewat walau cuma satu hari.

Keadaan rumah ini sedikit terasa sepi soalnya Nyokap sama Vita lagi ke Bandung, ke rumah Eyang plus liburan, dan malah udah kira-kira...seminggu di Bandung. Tadinya gue bakal merasa tenang kalo Vita nggak ada di rumah ini, soalnya pasti nggak ada yang resek lagi sama gue dan pastinya gue nggak antar jemput si Vita ke sekolahnya. Haaa tapi ternyata semua itu cuma keinginan gue yang nggak kesampaian dan perkiraan gue salah besar. Selama liburan ini gue mendapat tugas baru dari Bokap, dan sebagai anak yang baik dan penurut gue nggak bisa menolak perintah dari Bokap. Akhirnya dengan terpaksa dan enggak terpaksa gue harus menuruti Bokap. Mungkin udah digariskan kalo gue anak yang selalu dibutuhkan keluarga gue, sebagaimana gue membutuhkan Nyokap dan Bokap, keluarga gue. Bentar lagi pasti Bokap memanggil dan nyuruh gue siap-siap menjalankan tugas dari Bokap.

“Tok tok tok.” Suara ketukan pintu kamar ini, menyusul suara “Den, sudah ditunggu Bapak di meja makan.”

“Iya Mang Encep, bentar lagi.” Kata gue agak keras tanpa menoleh sambil terus ngetik.

“Tok tok tok.” Suara ketukan pintu di kamar gue. Kemudian menyusul suara Mang Encep “Den, kata Bapak cepat makan dulu.”

“Iya Mang Encep, bentar lagi turun.” Jawab gue sambil melihat layar notebook dan terus ngetik.

“Tok...”

“Iya Mang Encep sekarang Deni turun.” Suara gue tegas sebelum Mang Encep melanjutkan mengetuk pintu kamar, trus sigap bediri dan membuka pintu kamar ini. Ternyata Mang Encep masih berdiri di depan pintu kamar gue, sambil tersenyum lagi.

Sejenak gue menghela nafas, trus bilang datar “Deni ganti baju sama celana dulu, dan matikan notebook.”

Setelah menutup pintu gue cepat mengganti celana dan kaos. Karena gue udah mandi tadi subuh, jadi gue cuma merapikan rambut gue dan pastinya pakai parfum, biar wangi.

“Tok tok tok.”

“Aduuuh iya-iya Mang Encep! Ini lagi ngambil jaket sama handphone.” Di ujung perkataan gue membuka pintu kamar.

Eh ternyata Bokap yang ketuk pintu. Gue pun cuma nyengir di hadapan Bokap yang tegas menatap gue. Pelan gue bilang “Iya, Deni turun sekarang Pak.”

Setelah itu Bokap balik badan dan turun tangga. Sejenak gue menghembuskan nafas dan lemas menggelengkan kepala. Trus gue turun tangga, mengikuti Bokap yang pergi ke ruang makan. Mang Encep cepat mengeluarkan kursi untuk Bokap, setelah itu Bokap pun duduk. Mang Encep mau mengeluarkan kursi untuk gue, tapi gue cepat duduk di kursi lain, di depan Bokap, di kursi si Vita. Sejenak gue tersenyum pada Mang Encep yang rajin banget melaksanakan setiap tugas, bahkan tambah rajin saat Nyokap nggak ada di rumah.

Kedua mata gue teliti melihat penampilan Bokap hari ini, trus kening gue berkerut dan gue geleng-geleng kepala. Haaa Bokap...Bokap, kenapa sih nggak kayak kemarin-kemarin, udah mandi jadi kelihatan seger, rapi pakai seragam kantor, dan rambut juga udah licin. Tapi hari ini gue baru sadar setelah gue perhatikan benar-benar ternyata Bokap masih memakai seragam sarapan pagi, sarung sama kaos oblong.

“Eh Deni, kenapa sih lihat Bapak seperti itu?” Tanya Bokap tegas.

Sejenak gue menghela nafas, trus dengan lemas bilang “Pimpin doa dulu Pak, nanti makannya kesiangan.”

“Ya sudah, kita berdoa dulu.” Setelah itu Bokap memimpin doa dengan agak mengeraskan suara, seperti biasa cuma gue sama Bokap yang dengar.

Selesai berdoa Bokap menyeruput kopi panas dalam cangkir sambil sesekali meniupnya, trus mengambil roti bakar selai kacang coklat dan omlet sosis toping keju. Gue cepat mengikuti Bokap, menyeruput susu panas, tapi gue lupa meniupnya jadinya lidah gue kepanasan. Gue cepat minum air putih, trus gue membuka mulut dan mengipasinya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan gue bergantian mengambil roti bakar dan omlet sosis toping keju. Hmm manis dari roti selai kacang coklat dan gurih dari omlet sosis toping keju, sedaaap, walaupun lidah gue masih agak perih gara-gara minum susu panas.

Setelah menelan makanan dalam mulut, gue tanya ke Bokap “Pak, memangnya hari ini Bapak libur kerja ya?”

Bokap nggak segera menjawab, tapi dengan tenang Bokap masih mengunyah makanan, trus menenggak air mineral di gelas. Setelah itu Bokap menjawab “Bapak itu liburnya hari Sabtu dan Minggu.”

“Ooo...” Ucap gue sambil manggut-manggut, trus melahap roti bakar dan omlet.

Sejenak gue melirik jam dinding di ruang makan, tepatnya di sebelah kiri Bokap. Ternyata udah jam 7 lebih 50 menit. Gue tanya Bokap lagi “Jadi hari ini Bapak masuk siang?”

Bokap nggak menjawab, tapi menggeleng-gelengkan kepala sambil mengunyah makanan. Gue kembali menghela nafas, trus hati gue ikut ngomong “Kayaknya Bokap sama kayak gue dulu nih, waktu hampir telat datang wisuda.”

Gue pura-pura batuk dan tersedak, tapi ternyata gue malah tersedak beneran. Sigap tangan kanan gue meraih gelas di meja, trus gue minum air mineral.

Sambil menegakkan tubuh Bokap cepat tanya “Deni, kamu kenapa?”

Gue nggak menjawab tapi masih minum air mineral, trus tangan gue memberi isyarat menunjuk jam dinding. Sigap Bokap melihat ke arah jari telunjuk gue. Tiba-tiba aja wajah Bokap kaku, trus tanpa bilang apapun cepat masuk ke kamar. Setelah minum air, gue masih sedikit terbatuk-batuk. Sejenak gue menghela nafas, tanda kalo gue udah lebih lega

Astagfirullah haladziim...” Ucap gue pelan.

Kening gue sigap merapat saat nggak melihat Bokap di depan gue. “Wah, ke mana Bokap ya?”

“Ooo gue inget tadi Bokap kan ke...” Gue nggak melanjutkan perkataan saat mendengar suara pintu kamar terbuka agak keras, hingga membuat gue kaget dan cepat menoleh.

Ternyata Bokap yang keluar kamar dengan tergesa sambil merapikan rambutnya dan menjinjing tas hitam. Tegas Bokap bilang “Deni, cepat sekarang berangkat.”

“Yaaa makanan Deni kan belum abis Pak. Lagian kata Ibu itu kalo makanan harus dihabiskan, nggak boleh ada sisa makanan dipiring. Dan tuh punya Bapak di piring juga masih ada setengah.” Kata gue panjang lebar.

Sebelum menjawab Bokap cepat melihat jam tangannya yang nggak dipakai, tapi langsung memasukkannya ke saku baju. Trus keras bilang “Mang Encep, cepat bungkus makanan di piring yang belum habis.”

Dengan tergesa Mang Encep datang  sambil menjawab tegas “Siap Pak.”

Sigap Mang Encep menghampiri meja makan, mengambil roti dan omlet di piring di depan gue, tapi mendadak kedua tangannya berhenti bergerak. Mang Encep pun tanya “Mau dibungkus pakai apa Pak?”

“Pakai apa ajalah yang penting dibungkus.” Suara Bokap tegas sambil memakai dasi, trus bilang tegas juga pada gue “Deni, cepat panaskan motornya.”

“Oh, siap Pak.” Suara gue tegas kebawa seperti Mang Encep, sambil cepat berdiri.

Sejenak gue menoleh ke dapur, trus bilang keras “Mang Encep, roti sama omlet-nya dibungkus sama kotak makan warna merah sama biru.”

“Deni cepat panaskan motornya.” Kata Bokap sambil melotot.

“Siap Pak.” Kata gue sambil cepat pergi ke garasi, tapi gue lupa membawa jaket di kursi meja makan dan kunci motor di dekat kulkas.

Akhirnya gue cepat masuk rumah lagi, trus mengambil jaket dan kunci motor. Abis itu gue cepat keluar bersamaan dengan Bokap tergesa keluar rumah. Gue cepat mengeluarkan scoopy hitam dan menyalakannya, sementara Bokap menanti dengan gelisah. Tiba-tiba Mang Encep keluar rumah sambil membawa dua wadah makan berbentuk persegi, satu wadah minum dan cangkir, yang kayaknya cangkir kopi Bokap deh.

Tepat di samping Bapak sigap Mang Encep berhenti dan bilang “Pak, ini bekal sama susunya trus sama...kopinya.”

Dengan wajah kaku sejenak Bokap menghela nafas, terdengar berat. Kemudian tanpa mengalihkan kedua matanya dari Mang Encep Bokap mengambil wadah makan warna biru. Setelah memasukkan wadah makan ke dalam tas Bokap mengambil cangkir kopi dari tangan Mang Encep, tapi sebelum meminumnya Bokap bilang “Deni cepat ambil wadah makan kamu.”

Tapi sebelum gue mengambil dari tangan Mang Encep, kali ini Mang Encep sigap menghampiri gue dan memberikan wadah bekal makan warna merah. Setelah itu Mang Encep cepat menghadap Bokap lagi.

“Sudah Pak.” Suara Mang Encep tegas.

Setelah gue rasa mesin scoopy cukup panas, gue cepat naik dan mengaitkan wadah bekal yang dibungkus keresek putih di bawah stang scoopy. Berikutnya Bokap cepat menghampir, tapi mendadak Bokap berhenti, trus balik badan dan bilang tegas ke Mang Encep “Mang Encep, jangan lupa nanti ganti batu jam dinding di kamar saya.”

“Siap Pak.” Suara Mang Encep tegas sambil berdiri tegap, kepala tegap dan kedua tangan tegap lurus di samping kanan dan kiri.

Setelah itu Bokap cepat duduk di belakang gue sambil tergesa memakai helem dan bilang “Ayo Deni berangkat.”

“Siap.” Gue tegas sambil memutar gas scoopy. Hingga scoopy hitam manis ini akhirnya melaju di jalanan kompleks. Mendekati gerbang kompleks terlihat Pak Satpam sama si Beki. Pak Satpam yang sibuk menyapa dan si Beki yang siap siaga.

“Selamat pagi...” Ucap Pak Satpam keras saat gue melewati gerbang kompleks. Nggak lama kemudian si Beki menggonggong keras, hingga gue dan Bokap tersentak kaget.

Hingga akhirnya gue sama scoopy melaju di jalan raya, membuat gue lega banget, tapi cuma Bokap yang masih terlihat panik. Ya ini, tugas baru gue dari Bokap, antar jemput Bokap ke kantor. Soalnya mobil Bokap dibawa ke Bandung buat mengantar Vita sama Nyokap rumah Eyang, sekaligus menemani jalan-jalan di sana. Dan yang jadi supir udah pasti pegawainya Bokap yang jago mengemudi, tapi nggak punya riwayat kebut-kebutan. Tadinya gue sempat protes dan cemberut karena di saat liburan ini ternyata gue nggak dapat cuti antar jemput, tapi sebagai anak yang baik dan berusaha jadi anak sholeh, gue pun nggak bisa menolak perintah Bokap, soalnya gue takut sama Allah.

Scoopy masih terus melaju yang pada pagi menjelang siang ini sedikit tersendat. Sepanjang perjalanan Bokap yang duduk di belakang gue nggak berhenti ngomong, tapi dengan sabar gue manggut-manggut aja sambil mendengarkan Bokap yang lagi panik. Hati gue nebak nih, mungkin Bokap geregetan sama scoopy yang nggak bisa melaju secepat Yaris Merah. Akhirnya berkali-kali juga gue bilang sama Bokap kalo ini scoopy bukan Yaris, ini scoopy bukan motor sport, dan ini motor santai bukan mobil yang bisa dikebut, tapi Bokap nggak mau tahu dan tetap aja minta scoopy hitam dipacu lebih cepat.

Setelah berjuang melewati kemacetan di jalanan Ibu Kota, akhirnya kami sampai juga di kantor Bokap. Sigap Bokap turun sebelum melepas helem, trus tegas menatap gue dan bilang “Tuh kan, Bapak bilang apa! Makanya tadi putar gasnya, gasnya Deni! Jadi Bapak telat nih.”

Lemas gue menghela nafas, trus santai bilang “Aduuuh Pak, kenapa sih Bapak takut telat masuk kantor? Kan yang punya kantor Bapak sendiri, jadi...”

“Bapak harus kasih contoh yang baik sama pegawai Bapak di kantor! Jadi nggak boleh seenaknya masuk kantor. Dan telat itu pelajaran yang buruk untuk pegawai.” Bokap tegas memotong.

Lagi-lagi lemas gue menghembuskan nafas, trus bilang “Iya Pak..., tapi kan Bapak bisa telepon kalo Bapak telat masuk kantor. Dan Bapak itu Bos, jadi sekali-kali telat juga nggak apa, nggak akan ada yang marahin, asal telatnya bukan disengaja. Inget Pak, sekali-kali bukan sering dan nggak disengaja alias darurat. ”

Mendadak Bokap langsung tertegun, trus keningnya berkerut sementara kedua matanya ikut terpaku.

“Deni mau pulang, mana helemnya Pak?”

Tanpa berkata apapun Bokap melepas helem dan memberikannya pada gue. Setelah itu pandangan Bokap beralih pada jalan raya di depan kantor “OmahTravel”, terlihat menerawang. Pelan Bokap bilang “Iya ya, kenapa tadi nggak telepon aja ke kantor kalau Bapak datang telat! Karena ada musibah di rumah.”

“Musibah apa Pak?” Tanya gue cepat dengan sedikit terkejut.

“Musibah jam dinding di kamar Bapak mati dan jam tangan Bapak ngaco!” Suara Bokap tegas sambil melotot pada gue.

“Kamu hati-hati pulangnya, jangan lupa jemput Bapak nanti sore.” Lanjut Bokap agak tegas, trus balik badan dan melangkah masuk ke dalam kantornya.

Gue menggelengkan kepala melihat Bokap berjalan menjauh dan masuk ke dalam kantor. Sejenak gue menghela nafas, trus hati gue ngomong “Ini siapa yang ikut-ikutan dan siapa yang ngikutin ya? Eh siapa yang ngikutin dan siapa yang kebiasaan lupa?”

Setelah itu gue menghidupkan scoopy dan keluar dari halaman kantor “OmahTravel”, trus melaju di jalan raya yang udah lumayan lancar. Hingga akhirnya laju scoopy terhenti di perempatan jalan, tepat di belakang garis-garis putih, soalnya lampu merah menyala. Menyusul kemudian kendaraan lain berhenti di samping dan di belakang gue. Sejenak gue nyengir menahan panas matahari yang udah terasa mulai mengancam, trus gue mengalihkan kedua sorot mata gue pada sebelah kanan dan melihat sebuah minibus membuka kaca samping. Ternyata minibus ini bis sekolah, soalnya banyak anak TK di dalamnya yang lagi nyanyi “Tik tik tik bunyi hujan di atas genting...”

           “Airnya turun tidak terkira,”

           “Cobalah tengok dahan dan ranting,”

           “Pohon dan kebun basah semua...”

Sejenak gue tersenyum kecil, trus hati gue ikut ngomong “Haaa dasar Deni! Lo itu kurang syukur. Dikasih panas lo kesel kepanasan, dikasih hujan lo ngomel. Coba kalo sekarang hujan, lo pasti nggak kering.”

Kedua mata gue bergeser lagi ke body minibus. Kening gue cepat berkerut saat mencoba membaca tulisan di body minibus itu, soalnya tulisannya udah pudar sebagian. Jadi yang terbaca cuma “x_x_lax Tx”, harusnya “Sekolah.”

Sambil nyengir gue mengalihkan pandangan gue pada sebelah kiri.

Astagfirullah haladziim...jaman sekarang makin nggak punya malu aja nih anak muda. Masih bau kencur udah nempel-nempel. Nggak pernah diajarin nih sama Bokap dan Nyokapnya di rumah.” Ucap gue dalam hati saat melihat dua anak muda memakai seragam SMA dan SMP berbocengan motor sport yang udah dimofikasi bagian joknya jadi lebih turun ke depan.

Tiba-tiba si cowok yang duduk di depan menoleh pada gue, trus keningnya merapat dan tegas melihat gue. Keras dia tanya “Apa Kak lihat-lihat? Kakak suka sama adik saya? Boleh banget, asal mau antar jemput tiap hari ke sekolahnya.”

“Waduh, kayak gue salah nebak nih. Astagfirullah haladziim...maafin gue ya Allah.” Ucap gue dalam hati. Kemudian hati gue melanjutkan “Ternyata bukan cuma gue aja yang ditakdirkan selalu antar jemput si Vita alias adik gue ke sekolahnya.”

“Bang, jangan marah-marah dong, kan kasihan.” Kata Adiknya tegas pada anak cowok di depannya.

Akhirnya lampu hijau menyala. Perlahan semua kendaraan bergerak termasuk gue, tapi gue berhenti mendadak tepat di zebra cross saat handphone di saku jaket berbunyi dan bergetas keras. Karena berisik dan geli, gue mau cepat mematikan handphone. Tangan gue cepat merogoh handphone di saku jaket, membuat gue sejenak terpaku di zebra cross perempatan jalan. Mendadak gue kaget mendengar suara klakson mobil yang keras dan panjang dari belakang. Sejenak gue menoleh dan melihat laki-laki nggak berkumis mengacungkan jari telunjuknya. Gue cuma nyengir soalnya gue yang salah jadi patung di tengah jalan di zebra cross, padahal udah lampu hijau. Akhirnya sigap gue memutar gas scoopy hitam manis.

Setelah melewati perempatan, perlahan gue menepikan scoopy, trus cepat merogoh handphone dan melihat layar. Ternyata nomor baru yang nggak ada di phone book gue.  Pelan gue bilang dengan kening merapat “Siapa yang nelepon gue ya? Nggak biasanya gue dapat telepon.”

Sejenak gue menghela nafas, trus bilang tegas “Boro-boro telepon! SMS aja jarang.”

Gue kembali memasukkan handphone ke saku jaket, tapi tiba-tiba handphone di saku kembali berdering. Sejenak gue membuang nafas, trus merogoh handphone di saku dan melihat layar. Kening gue cepat berkerut saat membaca “Nyokap” di layar handphone, tapi gue nggak cepat menjawab.

“Kira-kira ada apa Nyokap telepon gue ya? Apa...udah mau pulang? Atau nyuruh gue nyusul ke rumah Eyang, atau... “ Ucap gue pelan.

Setelah itu gue cepat menjawab telepon, tapi mendadak nggak ada suara sama sekali. Gue cepat melihat layar handphone lagi, dan ternyata handphone gue mati.

“Haaa gue lupa nge-charge tadi malam.” Ucap gue pelan sambil melihat layar handphone. Haaa akhirnya gue memasukkan lagi handphone ke dalam saku. Saat itulah kedua mata gue tanpa sengaja melihat kresek putih menggantung di bawah stang scoopy. Kemudian kening gue merapat karena heran dengan kresek putih ini. Setelah itu kedua tangan gue mengambil kresek, trus membukanya.

“Ini kan...” Gue nggak melanjukan perkataan, tapi otak gue ikut ngomong setelah gue menghembuskan nafas “Roti, omlet sama....”

Dengan berat gue menghela nafas, trus kesal dan bilang tegas “Ngapain gue bawa bekal segala! Abis ini kan gue pulang ke rumah. Dasar Deni! Makanya tadi pikir, pikir pikiiiir.”

Gue nggak habis pikir sama kejadian tadi pagi saat kepanikan meletus di rumah, cuma gara-gara Bokap! Haaa akhirnya gue jadi nggak sempat mikir lagi kenapa gue juga harus ikut-ikutan membawa bekal, padahal gue kan pasti bakal pulang ke rumah lagi setelah mengantar Bokap. Haaa Deni...Deni! Lemas dan kesal gue cuma menggeleng-gelengkan kepala melihat wadah bekal dan tumbler warna merah ini. Dengan kening semakin rapat gue mengambil tumbler/tempat minum yang isinya susu, yang belum gue habiskan.

“Ya udah mumpung belum dingin, gue minum aja susunya sekarang. Lagian gue haus.” Di ujung perkataan gue membuka tumbler, trus menenggak susu yang masih hangat.

“Tiiin...” Suara klakson mobil dari belakang mengagetkan gue, hingga susu yang gue minum tumpah sebagian ke wajah dan baju gue, trus gue tersedak, terbatuk-batuk di atas scoopy.

Tiba-tiba dari belakang seseorang menyodorkan air mineral dalam kemasan ke depan gue yang masih terbatuk-batuk. Tanpa melihat siapa yang menyodorkan, gue langsung membuka kemasan air mineral, trus gue tenggak sambil sesekali menghela nafas.

Alhamdulillah...” Ucap gue sambil mengelus dada, tanda gue lega banget.

“Terima kasih ya, udah...” Gue nggak melanjutkan perkataan saat melihat Kak Fifi berdiri di belakang gue.

Sejenak gue tertegun dan sejenak juga gue melihat air dalam kemasan botol plastik, trus gue kembali melihat Kak Fifi yang masih senyum.

“Hmm harus bayar ya Kak?” Gue bingung mau ngomong apa, setelah itu gue nyengir.

“Aduuuh maaf ya? Tadi ngagetin. Tadinya cuma mau mastikan aja yang di atas motor itu Deni, eh tapi kepencet lama.” Kata Kak Fifi sambil memelas dengan kedua tangan di depan kerudungnya

Mendadak Otak gue lari-lari kecil nih, memikirkan suara klakson mobil yang keras dari belakang gue tadi. Setelah menangkap korelasi alias hubungan antara klakson mobil dengan Kak Fifi, gue langsung tanya tegas “Ooo jadi itu suara mobilnya Kak Fifi?”

“Iya, maaf maaf. Tadi nggak tahu kalo Deni lagi minum...” Kakak Fifi nggak melanjutkan saat melihat sedikit susu di dalam wadah minum dan baju gue yang basah.

“Susu?” Ucap Kak Fifi pelan, tapi terdengar sama gue.

“Oh, ehmm...ini...su...ehmm susu Mang Encep eh eee dibekelin Mang Encep maksudnya.” Gue terbata-bata dan gugup, trus cepat menutup tempat minum, memasukkan ke dalam keresek dan menggantungkannya di bawah stang. Gue juga cepat mengusap dagu dan mulut, trus membersihkan baju depan yang basah sama susu putih.

Setelah itu gue tersenyum lebar di hadapan Kak Fifi, hati gue bilang “Wah bisa gawat nih kalo Dokter Meyda tahu, gue masih minum susu. Huu uu Nyokap sih selalu maksa gue minum susu, jadinya keterusan deh.”

Gue cepat turun dari scoopy, trus cepat juga mengeluarkan besi di kolong scoopy. Setelah itu gue tersenyum lagi di hadapan Kak Fifi yang masih senyum-senyum, mungkin Kak Fifi masih heran berlipat-lipat sama gue, gara-gara memergoki gue sedang minum susu di atas scoopy. Haaa masya Allah...mudah-mudahan Kak Fifi nggak menuduh gue nggak gentle, walaupun gue cowok yang suka minum susu sapi.

Gue mau tanya sama Kak Fifi, tapi pandangan gue sejenak pergi ke Nissan putih di belakang scoopy, mobil yang dipakai Kak Fifi. Ternyata Kak Fifi nggak pergi sendiri, soalnya terlihat ada beberapa orang di mobilnya dan kayaknya...semua cewek deh. Membuat gue mendadak tertegun dengan kening merapat tipis.

“Deni mau pulang?” Tanya Kak Fifi.

“Oh, ehmm iya mau pulang Kak Fi.”

“Ya udah kalau gitu, saya duluan ya. Sekali lagi maaf, tadi bukan disengaja mencet klaksonnya keras.” Kata Kak Fifi sambil tersenyum.

“Iya Kak, eh tapi Kak Fifi nggak ngajar di sekolah sekarang?”

Dengan kening merapat Kak Fifi nggak segera menjawab, trus tiba-tiba tersenyum lebar dan bilang “Sekolah kan masih libur... “

Astagfirullah haladziim, gue lupa. Haaa lo nggak sekolah sih, kerja apalagi.” Celetuk gue pelan sambil memukul helem yang masih gue pakai.

“Jadi Kak Fifi mau liburan sekarang?” Tanya gue. Hati gue langsung bilang tegas “Eh Deni, lo kepo amat sih! Nanya-nanya liburan segala, sok deket lo! Kayak yang suka liburan aja, padahal paling anteng di rumah.”

Mendengar perkataan hati gue membuat gue nyengir sendiri. Sejenak Kak Fifi menghela nafas, trus sejenak juga menoleh dan memberi tanda pada orang-orang di dalam mobil di belakang scoopy untuk keluar. Nggak lama kemudian tiga cewek berkerudung keluar dari dalam Nissan putih, trus menghampiri Kak Fifi dan berdiri di sampingnya.

“Kenalkan yang langsing dan agak sedikit lebih tinggi dari saya, namanya Zein, lengkapnya Fariha Zein.”

“Panggil Zein aja.” Potong Kak Zein sambil tersenyum.

Sejenak gue menganggukkan kepala dan tersenyum. “Deni, Kak Zein.”

“Temenku yang original ini namanya Imeh aja.” Kata Kak Fifi.

“Panggilannya juga Imeh aja.” Sahut Kak Zein memotong. Sementara Kak Imeh yang hitam manis kayak scoopy gue, cuma tersenyum.

“Imeh aja? Jadi Kak Imeh aja?” Gue mengulang dengan kening berkerut.

“Bukan, maksudnya Imeh doang, titik nggak pake koma nggak pake kepanjangan.” Suara Kak Fifi agak tegas.

“Ooo...salam kenal Kak Imeh, gue Deni.” Di akhir perkataan gue tersenyum dan sejenak menganggukkan kepala, tapi gue cepat mengerutkan dahi saat ingat kata “Original.”

Gue pun langsung tanya “Maksud original apa ya Ka?”

Original itu kelihatan asli banget nggak ada campurannya dan paling manis.” Jawab Kak Fifi.

“Ooo...gue baru tahu, ternyata orang juga ada yang original juga ya, kirain cuma makanan doang.” Ucap gue pelan.

“Udah nggak perlu didengerin, biasa aja lagi.” Sahut Kak Imeh

“Maksudnya antik Den. Imeh itu paling suka sama yang antik-antik ya kan beb?” Di ujung perkataan Kak Zein menoleh pada Kak Imeh.

“Haaa terserahlah...mau panggil apa juga, yang penting baik dan enak didenger sama gue.” Sahut Kak Imeh santai. Dengan kening semakin rapat gue cuma manggut-manggut, soalnya gue masih bingung sih.

“Nah yang terakhir, yang pakai kacamata ini temenku yang paling nggak suka disebutin nama aslinya.” Kata Kak Fifi tegas. Sementara temannya yang berdiri paling ujung cuma tersenyum kecil, setelah sejenak menghela nafas.

“Bukan berarti nama aslinya jelek, tapi karena dia punya prinsip cuma pangeran hatinya yang boleh menyebut namanya.” Di akhir perkataan Kak Zein tersenyum dan melirik cewek berkerudung paling ujung.

Lagi-lagi gue nggak mengerti maksud Kak Fifi dan Kak Zein, jadinya kening gue tambah tebal kerutannya. Gue tanya ”Jadi saya panggil...emm He Kak ehmm Ka He?”

“Panggil aja Han atau Hon, ya kan beb?” Sahut Kak Zein. Di ujung perkataan Kak Zein menoleh dan tersenyum pada Kakak yang dipanggil Han Hon, Kak Han Kak Hon.

Sejenak Kak Hon menghela nafas, trus bilang “Yaaa sama deh kayak Imeh, mau panggil apa aja boleh yang penting enak didenger sama aku alias diridhoi dan baik.”

“Panggilan yang aneh.” Bisik hati gue, trus gue tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Kakak berkerudung yang dipanggil Han atau Hon, jadi gue panggil Kak Han atau Kak Hon?

Akhirnya gue bilang “Gue Deni, Kak Hon Kak Han.”

“Ehmm semua temennya Dokter Meyda juga ya? Waaah jangan-jangan Dokter juga, atau sama kayak Kak Fifi guru bahasa Indonesia.” Tanya gue sambil tersenyum.

“Mending kamu jangan tahu aja pekerjaan mereka daripada nanti kamu jatuh hati sama mereka.” Kak Fifi tersenyum. Serentak ketiga temannya ikut tersenyum, cuma gue yang bengong.

“Masak sih?” Tanya gue pelan, trus sejenak gue membatu dan hati gue bilang “Kayak judul lagu aja, jatuh hati.”

“Bercanda tuh si Fifi Den, nggak usah dianggap serius.” Sahut Kak Zein. Sementara Kak Imeh dan Kak Hon eh Kak Han cuma senyum-senyum aja dari tadi.

“He Deni, kamu nggak apa kan?” Suara Kak Fifi agak keras sambil menggerakkan tangannya di depan wajah gue.

Membuat gue terkejut dan langsung tersadar sambil bilang “Kalo jatuh hati kayaknya semua manusia harus jatuh hati deh Kak, cuma...jatuh hatinya harus sama yang baik-baik. Sama kayak jatuh cinta harus sama yang baik-baik, tapi...hati gue eh saya udah jatuh sama Dokter Meyda.”

Sontak serentak empat cewek berkerudung di hadapan gue tersenyum lebar. Sementara gue juga ikut tersenyum mencurigakan, soalnya gue agak sedikit bingung kenapa mereka malah hampir ketawa dan kenapa gue jadi puitis gitu ya? Pake sok tahu, bilang jatuh hati dan jatuh cinta segala.

“Hari ini kita ada kegiatan aja, jadi maksud Fifi itu kalo kamu tahu kegiatan kita kamu bakal jatuh hati gitu.” Kata Kak Hon.

“Hem em.” Ucap Kak Zein tegas sambil mengangguk.

“Kalo kerjaan tetap pasti kita belum punya, soalnya masih kuliah.” Kata Kak Imeh.

“Ooo masih kuliah?” Gue mengulang pelan.

“S2 Den, makanya mereka kerja part time.” Sahut Kak Fifi.

“Wooow S2...keren...pake uang sendiri lagi” Ucap gue sambil tersenyum.

“Ya udah yuk kita berangkat sekarang, nanti keburu bedug.” Kata Kak Zein.

“Oke yuk. Deni sekali lagi saya minta maaf tadi ngagetin kamu. Ada kegiatan yang nunggu kita.”

“Oh iya Kak.”

Setelah itu Kak Hon, Kak Imeh, Kak Zein dan Kak Fifi balik badan, trus menghampiri Nissan putih. Sementara gue masih terpaku di samping scoopy, melihat mereka berempat membuka pintu mobil. Mendadak gue jadi penasaran, mereka mau ngapain ya? Kegiatan apa yang udah nunggu?

“Kak Fifi.” Suara gue agak keras, trus cepat menghampiri Kak Fifi.

Akhirnya Kak Fifi nggak jadi masuk mobil. Gue emang nggak mau dibilang kepo, tapi nggak tahu kenapa gue pingin tahu apa sih yang mau mereka lakukan? Hmm gue yakin yang pasti bukan belanja-belanja kayak Nyokap, soalnya mereka nggak ada potongan tukang belanja nih. Setelah bilang sama Kak Fifi kalo gue mau ikut sama kegiatan mereka, tapi Kak Fifi nggak segera menjawab dan berembug dulu sama ketiga temennya di dalam mobil. Sedangkan gue masih menanti duduk di atas scoopy, tapi pandangan gue pergi ke Nissan putih di belakang gue.

Setelah cukup lama akhirnya Kak Fifi keluar juga dan menghampiri gue. Sigap gue langsung berdiri dan tersenyum, trus tanya “Gimana Kak?”

“Mmm boleh, tapi nggak satu mobil sama kita kan?”

Dengan hati bahagia gue langsung tersenyum lebar dan menjawab “Ya pasti dong Kak. Bukan muhrim satu mobil sama cewek-cewek. Mana gue cowok sendiri, bisa abis gue.”

Kening Kak Fifi cepat merapat nih setelah mendegar candaan gue. Sambil nyengir gue cepat bilang “Maksudnya gue abis sama dosa.”

Sejenak Kak Fifi, setelah itu balik badan dan pergi ke Nissan putih sembari bilang  “Ya udah yuk, nanti keburu siang.” 

Tapi mendadak gue malah terpaku memandang Kak Fifi berlalu.  Saat itu tiba-tiba hati gue bilang “Ngapain sih Den lo ikut mereka? Lo kan harus buru-buru pulang. Inget naskah novel elo belum selesai! Cepet selesaiin mumpung si Vita nggak ada di rumah.”

“Iya ya kenapa gue pingin ikut mereka? Mending gue pulang. Kayaknya gue juga udah laper nih.” Di ujung perkataan gue mengusap perut.

“Deni, ayo ikutin mobil ini dari belakang.” Suara Kak Fifi keras lewat kaca mobil sebelah kiri yang terbuka, setelah itu Nissan putih melaju lebih dulu.

“Waduh, gimana ya? Masak gue kabur, nggak jadi ikut. Kan nggak sopan banget, soalnya gue yang minta ikut, eh malah kabur.” Sejenak gue melihat Nissan putih dengan nomor polisi B 6601 TXX semakin jauh. Kemudian lemas gue menghembuskan nafas.

“Ya udah ikut ajalah, daripada gue jadi tukang ingkar janji eh ehmm tukang asal ngomong tapi nggak konsekuen. Lagian kalo laper kan gue bawa bekel roti sama omlet.” Gue tegas sambil naik scoopy, trus cepat memutar kontak.

Akhirnya scoopy hitam manis kesayangan gue melaju di belakang Nissan putih. Semakin lama pandangan gue semakin serius tertuju pada Nissan putih berplat B 6601 TXX, soalnya berkali-kali gue kehilangan jejak karena disalip sama mobil dan motor yang lebih kencang larinya. Mendadak kening gue berkerut saat gue sadar kalo jalan yang gue lalui ini adalah jalan yang menuju ke pasar, tempat belanja Nyokap. Menyusul hati gue berbisik “Kok arahnya mau ke pasar nih? Apa Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh sama Kak...Hon ehmm Kak Han mau belanja dulu sebelum ke tempat yang dutuju? Atau...jangan-jangan kegiatannya di pasar? Kalo kegiatannya di pasar..., pasti nggak jauh-jauh dari belanja nih, atau...jualan?”

Dengan berat gue menghela nafas, trus hati gue bilang tegas “Tuh kan Deni! Elo sih, mau ikut mereka segala. Kayaknya lo harus siap-siap angkat barang.”

Mendengar perkataan hati ini, gue lemas mendadak. Soalnya gue membayangkan capeknya belanja keliling-keliling di pasar tradisional, tempat favorit Nyokap belanja yang nggak menjalankan SOP alias Standard Operating Procedure untuk keselamatan dan kenyamatan pengunjung alias pembeli. Kayaknya pemerintah daerah ini harus tegas dan serius mengelola pasar tradisional deh jadi lebih modern alias tertata kebersihan dan kerapiannya, tapi isinya tetap tradisional buat masyarakat menengah ke bawah. Juga disediakan tempat parkir yang luas dan aman, nggak kayak kemarin waktu gue mengantar Nyokap ke pasar, hampir aja jiwa gue terancam gara-gara ketemu si jeruk eh si Om genit, hiii.

Hmm sepertinya ide mantan Gubernur DKI, Pak Basuki yang berencana membangun pasar tradisonal menjadi lebih tertata sekaligus menambah fasilitas parkir dan hiburan atau bioskop murah di sekitar pasar supaya lebih ramai sama pengunjung, masuk akal banget. Gue akui kalu gue suka sama pemikiran dan ketegasan beliau untuk membangun masyarakat Jakarta dan Kota Jakarta supaya lebih baik, tangguh secara mental dan nyaman tinggal di Jakarta. Tapi sayangnya beliau kalah dalam Pilgub DKI, yang alasannya cuma karena beda agama aja dengan mayoritas warga Jakarta. Padahal dalam tafsir Al-Maidah ayat 51 itu mempunyai dua tafsiran yang saling bertolak belakang.

Haaa.... dan yang masih mengganjal di hati dan otak gue sampai sekarang itu, gue masih nggak mengerti kalo cuma gara-gara Surah Al-Maidah ayat 51, sebagian orang-orang muslim jadi saling membenci saudara muslim yang lain yang mempunyai perbedaan tafsir Al-Maidah ayat 51. Padahal kalo beda tafsir dan pandangan tentang Al-Maidah ayat 51 atau lainnya, ya udah! Beda aja, nggak apa-apa, asal jangan ada benci di hati, apalagi sampai dendam yang ujung-ujungnya memfitnah. Karena benci di hati dan fitnah yang akhirnya menjadi permusuhan itu udah pasti akal-akalannya iblis untuk menghasut orang-orang beriman, supaya semakin jauh dari Allah dan supaya orang-orang yang membenci itu mempunyai persangkaan yang jahat yang dianggap paling benar oleh mereka, yaitu persangkaan merasa pendapat tentang tafsir milik mereka paling benar, padahal cuma Allah yang mengetahui tafsir ayat yang ditulis-Nya.

Gue jadi teringat sama sebuah tulisan dari Maulana Jalaluddin Rumi “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan. Jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan cermin itu, lalu berpikir telah memiliki seluruh kebenaran.”

Benar-benar kecewa gue, mereka nggak memahami Islam sepenuhnya dan nggak mengenal Nabi apalagi Allah yang menulis Kitab Suci Al-Quran. Buktinya mereka mudah tersulut kebencian pada sesama manusia, apalagi saudara seiman, dan merasa paling benar, paling layak untuk mendapatkan surga, walaupun dengan memfitnah. Naudubillah himindzalik.

Setelah sejenak nggak fokus kedua mata gue kembali fokus melihat Nissan putih di depan scoopy, tapi ternyata mobilnya udah hilang tak berbekas alias nggak ada di depan gue. Membuat gue bingung dan sedikit panik dengan kedua mata selalu bergerak, mencari ke mana Nissan Putih dengan nomor polisi B 6601 TXX? Hingga gue sampai dibelokan arah masuk pasar dan jalan lurus ke arah stadion sepak bola. Akhirnya sejenak gue berhenti di tepi jalan, tepat sebelum belokan ke pasar. Dengan dahi berkerut kedua sorot mata gue mencari jejak Nissan putih dan otak gue nggak berhenti berputar, ke mana gue harus jalan? Belok apa lurus ya?

“Gara-gara elo sih Den! Dari tadi ngomong sendiri, jadinya lo nggak fokus ngikutin.” Bisik hati gue tegas. Setelah itu dengan berat gue menghembuskan nafas, trus manyun sendiri di atas scoopy.

Pelan gue bilang “Ya Allah, gue nggak tahu harus ke mana cari mereka. Kalo Engkau pingin gue ikut mereka, tolong kasih tahu gue ya Allah, ke mana mereka? Apa gue harus belok ke pasar atau gue harus lurus ke arah stadion sepak bola?”

Setelah itu gue menyalakan scoopy lagi. Sebelum memutar gas, gue mengucap “Bismillahhirrohmannirrohiim.

Perlahan tangan kanan gue memutar gas scoopy, hingga akhirnya scoopy melaju. Tepat di pertengahan belokan ke pasar gue menoleh, gue pingin masuk ke pasar. Soalnya gue pikir pasti mereka ke pasar, tapi ternyata tanpa gue sadari tangan kanan gue malah memutar gas scoopy lebih kencang. Jadinya scoopy ini nggak bisa belok ke pasar, tapi lurus dan anteng banget nih scoopy hitam manis.

Setelah melewati belokan pandangan gue semakin serius melihat ke depan, mencari Nissan putih B 6601 TXX. Hingga akhirnya gue kembali berhenti di tepi jalan di pertigaan jalan sebelum stadion sepak bola. Sejenak gue menghela nafas sambil menggelengkan kepala, trus kening gue merapat.

“Kayaknya...Allah nggak ngijinin gue ikut mereka dan tahu yang mau mereka lakukan.” Ucap gue pelan.

“Eh eluh Deni ya?” Suara laki-laki dengan logat betawi keras dari belakang gue.

Terkejut gue sambil sigap menoleh ke belakang. Saat itulah kening gue semakin rapat berkerut melihat laki-laki berpeci hitam, kaos oblong putih pucat dan celana...silat kayaknya warna hitam dan panjang, trus di bahu sebelah kiri ada handuk kecil. Dalam hati gue bilang “Kok dia tahu nama gue? Apa...”

Perkataan hati gue harus terpotong saat laki-laki berkulit coklat itu tanya “Eluh Deni anaknya Bu Sumantri kan? Eh Bu Sri Sumantri maksud gua.”

Senyum yang semakin lebar langsung menyambar dari wajah laki-laki itu. Trus ngomong lagi sebelum gue menjawab pertanyaannya. “Gua Paryoh, pedagang bebek di pasar dan langganannya Enyak eluh.”

“Ooo...”

“Kagak salah lagi dah, gua yakin eluh Deni anaknya Bu Sri Sumantri.” Bang Paryoh memotong sambil meneliti wajah gue.

“Kok tahu Bang?”

“Ya elah masak kaga tau, gua kan sering liat eluh belanja ama Enyak luh di pasar. Jadi gue hapal sama muke eluh.”

“Waduh, gawat nih rupanya gue udah terkenal di pasar gara-gara sering nemenin Nyokap belanja. Bukannya terkenal karena tulisan gue, tapi malah terkenal gara-gara sering belanja sama Nyokap di pasar. Gawat banget nih.” Ucap gue dalam hati.

“Sekarang eluh ikut gua, soalnya Enyak eluh udah telepon tadi pagi-pagi bener, kalo si Deni mao ngambil bebek di lapak gua.”

“Bebek? Bebek hidup Bang?” Tanya gue kaget.

“Ya iya lah, kalo mati bukan bebek namanya, tapi daging bebek.” Jawab Bang Paryoh.

Mendadak gue langsung bengong, trus teringat telepon dari Nyokap tadi setelah mengantar Bokap, tapi gue nggak sempat menjawab soalnya mendadak handphone gue mati. Mungkin Nyokap mau nyuruh gue mengambil bebek di lapaknya Bang Paryoh di pasar.

“Ya udah yuk, ikuti gua bae.” Di ujung perkataan Bang Paryoh naik sepedah gowes model lama alias tua sama dengan kuno.

Lemas gue menghela nafas, trus bilang pelan “Masak gue harus mutar lagi, ini kan jalan satu arah. Kalo mau ke pasar harus muter keliling stadion dulu, baru lewat taman terbuka hijau, trus ke....”

“Deni ayo kok malah melongo di sono.” Suara Bang Paryoh keras dari atas sepedah gowes tua.

 Hingga gue tersentak kaget karena kerasnya suara Bang Paryoh, tapi setelah itu gue malah tertegun memandang Bang Paryoh yang ngegowes sepedahnya ke arah Utara, bukan ke Timur. Harusnya kalo mau ke pasar kan lewat ke depan stadion dulu, jadi ke arah Timur, bukan ke Utara. Akhirnya terpaksa keras gue bilang “Bang Paryoh mau ke mana sih? Pasar kan bukan ke sana, tapi ke sana dan harus mutar soalnya ini jalan satu arah.”

“Aaah kelamaan! Lewat sini bae, lewat belakang pasar. Hayuk cepet!” Setelah itu Bang Paryoh semakin cepat ngegowes sepedahnya.

Dengan kening berkerut dan malah semakin rapat gue masih duduk terdiam di atas scoopy, memikirkan perkataan Bang Paryoh “Lewat belakang pasar.” Setelah itu otak gue menangkap gambaran dari masa lalu, ehmm beberapa bulang yang lalu. Pelan dan tegas gue bilang “Jangan-jangan belakang pasar yang dulu itu, yang gue digencet sama anak gendut gara-gara dia nggak mau ngalah sama gue. Huu uu sebel banget kalo gue inget diri gue saat itu digencet kayak cicak-cicak di dinding!”

“Ya Allah lindungi gue supaya gue nggak digencet anak kecil gendut itu lagi...amiin.” Di ujung ucapan gue mengusapkan kedua tangan pada wajah.

Astaghfirullah haladziim, Bang Paryoh ninggalin gue.” Ucap gue kaget setelah melihat Bang Paryoh udah nggak ada. Sigap gue menyalakan scoopy, trus belok di pertigaan dan cepat mengikuti jejak Bang Paryoh.

Setelah masuk lebih jauh dari pertigaan tadi, Alhamdulillah akhirnya gue melihat Bang Paryoh sedang ngegowes sepedah tuanya. Gue lebih cepat memacu scoopy hingga tepat di belakang Bang Paryoh. Setelah melewati beberapa rumah dan toko klontong, Bang Paryoh belok ke lapangan nggak berumput. Trus berhenti di samping warung klontong dan memarkir sepedah ontelnya.

Sejenak gue tertegun di atas scoopy saat melihat sekolah di seberang warung. “Ehmm kayaknya...gue kenal nih sama bentuk sekolahnya.”

“Pasti di sebelahnya ada kantor Rw atau...kantor Desa.” Ucap gue pelan sambil melihat sekolah.

Setelah memarkir sepedah dan ngobrol sebentar sama pemilik warung, sigap Bang Paryoh berjalan dan sedikit menoleh sambil bilang keras “Ayo Den cepet.”

Gue cepat turun dan mengunci scoopy, trus cepat mengikuti Bang Paryoh. Sambil berjalan pandangan gue masih meneliti sekolah yang gue lewati. Gue terkejut melihat Nissan putih B 6601 TXX terparkir di bawah pohon dalam halaman sekolah itu. Membuat gue sejenak berhenti tertegun dengan kening berkerut, trus hati gue tanya “Kayaknya itu mobil Kak Fifi deh.”

Setelah itu pandangan gue bergeser, melihat sekolah yang ternyata sekolah PAUD alias Pendidikan Anak Usia Dini.

“Dan kayaknya gue kenal nih sama sekolah PAUD ini. Kalo nggak salah inget dulu gue pernah ke sini, nganterin kue ulang tahun buat anak-anak PAUD dan ketemu sama tiga anak gendut kembar.” Ucap gue pelan, trus manggut-manggut.

“Eh Deni, napa ngejogrok di situ? Ayo cepet sini.” Suara Bang Paryoh keras.

“Oh iya Bang.” Gue cepat berlari menghampiri.

Hmm ternyata dugaan gue benar nih, kita berdua masuk ke dalam gang yang kecil banget, cuma bisa dimasuki satu orang. Jalan yang sama saat gue digencet sama anak kecil gendut yang nggak mau ngalah. Sementara di depan, ternyata Bang Paryoh udah  jauh melesat, hampir sampai di ujung jalan gang. Sigap gue ikut cepat berjalan setengah berlari dengan kata heran di otak gue melihat Bang Paryoh yang jalan lebih cepat, atau emang dari tadi Bang Paryoh jalan secepat itu ya?

Keluar dari jalan tikus, gue masuk ke pasar dan berjubel di dalam pasar daging unggas. Hingga akhirnya gue sama Bang Paryoh sampai juga di lapak paling pojok, yang suaranya lebih berisik karena banyak bebek yang dikandangin. Wooow ternyata gue kagum sama bebek-bebek di lapak Bang Paryoh, subhanallah...semuanya cakep-cakep kalo kata orang betawi, bersih nggak seperti bebek di sawah yang selalu kucel.

Setelah mengeluarkan satu bebek Bang Payoh mengikat kedua kaki bebek itu dengan tali rafia, trus mengikat mulut si bebek dilakban, mungkin biar nggak cerewet. Mendadak hati gue jadi nggak tega melihat si bebek mulutnya dirapet kayak gitu.

Selesai ditali dan dilakban si bebek diserahkan ke gue. Kata Bang Paryoh bayarnya nanti sama Nyokap setelah pulang liburan. Setelah pamitan gue kembali berjalan di pasar, tapi kali ini sambil mendekap si bebek dalam karung, biar nggak lepas. Melewati parkiran di pasar gue mempercepat langkah seperti Bang Paryoh, soalnya gue waspada sama si Om genit yang bisa muncul tiba-tiba. Setelah itu gue bertemu gang kecil tadi, tapi sejenak gue berhenti di depan mulut gang. Dengan mata berkaca-kaca gue melihat si bebek yang terdiam lemas di tangan gue. Kening gue pun merapat melihat lubang hidung si bebek yang ternyata kena lakban juga.

Masya Allah...kasihan banget si bebek nggak bisa nafas.”

Akhirnya gue berjuang membuka sedikit lakban yang menutupi hidung si bebek, tapi ternyata susah. Haaa nggak ada pilihan nih, kayaknya gue harus jadi superhero untuk si bebek dengan membuka semua lakban di mulutnya, baru nanti dilakban ulang. Hingga...alhamdulillah akhirnya lilitan terakhir dari lakban di mulut si bebek lepas juga. Dengan cepat si bebek menggap-menggap, mungkin kalo diterjemahkan sama bahasa manusia si bebek ini lega banget. Menyusul senyum lebar muncul di kedua pipi gue, tapi senyum gue kering eh surut saat tiba-tiba si bebek bersuara keras berkali-kali.

“Waduh, kayaknya gue harus lakban lagi nih mulut si bebek.” Ucap gue agak keras.

Sigap gue jongkok, trus kedua tangan gue bergerak cepat melilitkan lakban tadi pada si bebek yang gue apit di ketiak gue. Gue nggak perduli walaupun banyak orang yang terheran-heran melihat gue yang jongkok sambil mengapit si bebek di ketiak gue, daripada si bebek ini bawel nggak mau diem. Setelah berjuang sampai keringetan akhirnya selesai juga gue melakban mulut si bebek. Haaa masya Allah...bandel banget nih bebek, sampai membuat gue keringetan gini. Mudah-mudahan aja masih lengket nih lakban, dan kalo gini kan si bebek jadi nyaman dibawa pulang, nggak pakai sesak nafas segala dan nggak berisik juga.

Sembari menghela nafas gue berdiri dan kembali mendekap si bebek di sebelah kiri. Sejenak gue menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum gue masuk ke dalam gang dan sejenak juga pandangan gue meneliti ujung gang jauh di depan gue. Dalam hati gue bilang “Mudah-mudahan gue nggak ketemu sama orang atau anak gendut, soalnya jalannya cuma muat satu orang. Ya Allah mohon lindungi gue.”

“Bismillahirrohmannirrohim.” Ucap gue pelan, trus melangkah masuk ke dalam gang kecil.

Semakin lama langkah gue semakin cepat sambil deg-degan melihat ujung gang yang masih jauh di depan gue. Mendadak gue kaget sama suara bebek di tangan gue. Ternyata lakbannya lepas lagi, mungkin karena udah nggak lengket lagi. Gue cepat mengambil lakban yang jatuh, lalu sambil jongkok gue berusaha mengikatkan lakban ini di mulut si bebek yang terus berontak.

Sejenak gue menghela nafas sambil mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan. Mendadak gue tersentak kaget lagi saat sadar gue masih di tengah-tengah gang yang sempit. Sigap gue berlari karena khawatir ada orang yang tiba-tiba masuk dari ujung jalan gang di depan gue. Tiba di ujung jalan gang gue ngerem mendadak, hampir menubruk seorang Ibu gendut dan tiga anaknya yang kembar gendut, yang kayaknya mau masuk gang ini.

Sambil terengah-engah gue tanya “Ibu mau masuk gang ini ya?”

“Oooh, enggak tenang aja... saya sama anak-anak mau ke PAUD, yuk Nak.” Di ujung perkataan si Ibu gendut melangkah pergi sama ketiga anaknya yang gendut.

“Haaaa lega banget rasanya, hampir aja gue balik lagi, kalo Engkau nggak menolong gue ya Allah. Astaghfirullah haladziiim...alhamdulillah.” Gue lemas.

 Setelah itu pandangan gue mengikuti si Ibu dan ketiga anaknya yang berjalan menjauh dari gue. Lagi-lagi kening gue merapat, tapi kali ini kening gue merapat saat baru ingat sama Nissan putih B 6601 TXX di depan PAUD di bawah pohon.

“Kayaknya gue harus ikuti Ibu itu deh, soalnya gue yakin tadi itu mobilnya Kak Fifi. Tapi ngapain Kak Fifi sama temen-temennya di PAUD ya? Hemm kayaknya gue harus kepo lagi nih.” Ucap gue pelan, trus di ujung perkataan kerutan di dahi gue semakin tebal.

Setelah itu gue kembali berjalan sambil mengamati si Ibu dan ketiga anak kembarnya yang gendut-gendut. Sampai di depan PAUD ternyata udah banyak orang, Ibu sama anaknya yang seliweran masuk ke halaman PAUD dan masuk ke dalam ruangan-ruangan. Setelah itu Ibu-Ibu tadi langsung keluar ruangan dan menunggu di luar, sedangkan beberapa langsung pulang. Hati gue menebak “Mungkin mereka lagi daftar ulang mau masuk PAUD.”

“Tapi masak mau masuk PAUD usianya nggak sama, malah kayaknya yang seumuran anak PAUD dibawa pulang lagi. Trus yang ditinggal di ruangan nggak ada potongan anak PAUD, tapi lebih cocok jadi anak SD.” Ucap gue tegas sambil mengerutkan dahi.

“Deni.” Suara seseorang agak keras yang kayaknya gue kenal dari sebelah kanan. Tanpa mikir dan menebak siapa yang memanggil gue cepat menoleh dan melihat orang yang memanggil gue, yang ternyata Kak Zein. Ternyata bener tebakan hati gue, kalo Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh dan Kak...Hon ehmm Kak Han ada di sini. Subhanallah...nggak nyangka bisa ketemu mereka di sini setelah gue kehilangan jejak.

“Ke mana aja? Baru nyampe.” Tanya Kak Zein.

“Oh ehmm...” Gue bingung mau jawab apa.

Sejenak pandangan Kak Zein bergeser ke si bebek di bawah ketiak sebelah kiri gue. Tiba-tiba si bebek bersuara keras dan membuat kaget Kak Zein, apalagi gue. Sigap tangan kanan gue mendekap mulut si bebek yang ternyata ikatan lakbannya terlepas, trus sejenak nyengir di hadapan Kak Zein.

“Beli bebek?” Tanya Kak Zein dengan kening merapat. Tanpa menjawab gue cuma nyengir di hadapan Kak Zein. Rupanya Kak Zein udah bisa nebak nih soal bebek di tangan gue, jadi Kak Zein cuma tersenyum dan menahan tawa sambil manggut-manggut.

“Yuk-yuk masuk, kayaknya Deni bisa bantuin kita.” Kata Zein sambil mendorong gue dari belakang.

“Waduh, masuk mana Kak?” Tanya gue sambil jalan pelan setengah terpaksa, kayak tahanan yang nggak bisa melawan dan mau kabur soalnya gue didorong-dorong dari belakang  sama Kak Zein.

Setelah itu gue sama Kak Zein berjalan di teras PAUD. Kata Kak Zein, menurut pengelola PAUD ini, di area PAUD ini ada 2 ruangan sederhana nggak besar dan nggak terlalu kecil. Semua ruangan itu sebenarnya adalah kantor RW, tapi sudah lima tahun nggak dipakai karena kantor RW yang baru dipindah ke sebelah PAUD ini yang lebih luas. Jadi kantor RW yang lama digunakan sebagai tempat belajar anak-anak usia dini.

Tetapi di hari libur ini nggak ada anak PAUD satu pun yang terlihat di dalam ruangan, malah yang ada anak-anak SD kelas 2 sama 3. Kata Kak Zein juga, setengah jam berikutnya giliran kelas 4 sama 5, trus terakhir kelas 6. Tiap-tiap kelas mendapat waktu belajar 30 menit, jadi nggak mengganggu waktu liburan mereka. Karena dalam satu kelas jumlah anaknya lebih dari sepuluh anak, maka setiap dua atau tiga anak harus didampingi satu mentor saat belajar di kelas dan satu orang yang menjelaskan di depan kelas. Dengan seperti itu proses belajar akan lebih efektif dan anak akan cepat memahami sekaligus menguasai materi yang dijelaskan.

Setelah tanya Kak Fifi, Kak Imeh dan Kak Hon, ternyata sebelum liburan sekolah mereka udah menyusun kegiatan di setiap Kelurahan untuk kegiatan bagi-bagi ilmu gratis. Dan ternyata nggak cuma Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh dan Kak Hon yang ikut dalam kegiatan yang digagas sama mereka berempat ini, tapi mereka juga melibatkan anak-anak muda baik itu tingkat SMA ataupun yang udah kuliah di Jakarta ini sebagai mentor atau Kakak Pendamping.

Kalo mendengar dari penjelasan Kak Hon, kegiatan bagi-bagi ilmu gratis ini awalnya dari keprihatinannya saat tahu ada anak sekolah yang belum bisa membaca dan belum bisa berhitung. Padahal usia mereka rata-rata udah 7 sampai 8 tahun, setingkat kelas 3 atau kelas 4 SD untuk yang belum bisa berhitung dan setingkat kelas 1 atau 2 yang belum bisa membaca.

Menurut Kak Fifi juga, anak-anak seusia mereka yang lahir dari keluarga kurang mampu mengalami perlambatan dalam perkembangan otak yang berakibat pada penurunan kecerdasan. Jadi daya tangkap anak-anak itu dalam menerima pelajaran di sekolah sangat buruk, karena itu anak-anak dari keluarga tidak mampu tumbuh menjadi anak yang liar dan tidak pandai. Ditambahkan Kak Hon, bahwa sebenarnya hal ini memang sangat erat hubungannya sama pola asuh dari orang tua, tapi sayang tidak dipahami keluarga kelas bawah dan sibuknya mereka mencari nafkah, serta rendahnya pendidikan.

Karena itu Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh dan Kak Hon menggagas kegiatan bagi-bagi ilmu gratis di setiap liburan sekolah pada anak-anak kurang mampu di setiap RW. Dalam menjalankan kegiatan bagi-bagi ilmu gratis, Kak Fifi dan ketiga temannya juga melibatkan anak-anak muda Jakarta. Supaya anak-anak muda di Jakarta bisa tumbuh dengan kepekaan terhadap sesama dan terlibat dalam kegiatan yang positif.

Untuk mengajar dan menjadi mentor pada kegiatan bagi-bagi ilmu juga nggak memerlukan banyak kelebihan karena yang diajarkan pada anak-anak itu hanya matematika dasar, termasuk pembagian dengan cara bagi kurung untuk kelas 2-3 dan matematika dasar, termasuk bagi kurung ditambah pecahan, desimal, persen dan bangun untuk kelas 4-6. Selain matematika mereka juga memberikan bahasa Inggris pada anak-anak kelas 3-6 untuk memacu semangat anak-anak mengusai hal-hal baru.

Kak Imeh bilang “Mendidik atau mengajar anak-anak dari keluarga kurang mampu nggak gampang, soalnya selain masalah daya tangkap otak yang rendah yang diakibatkan buruknya asupan gizi, juga pola asuh terhadap anak-anak yang salah. Saat Bapak dan Ibu kerja seharian, anak-anak hanya bersama Kakek, Nenek atau saudara, karena itu anak-anak lebih sering bermain sama teman-teman seusia mereka atau bahkan bermain dengan anak yang usianya lebih tua dari mereka.

Kak Fifi juga menambahkan kalo anak-anak seperti mereka tidak cukup hanya mendapatkan waktu belajar di sekolah dengan diawasi satu guru yang sekaligus menjadi pengajar, sementara jumlah murid dalam satu kelas bisa mencapai 40 anak. Jadi perlu asupan belajar dari luar sekolah, dan memastikan setiap anak mengerti dengan pelajaran yang tidak dikuasai.

Wooow eh subhanallah...banget! Gue baru tahu ternyata itu kegiatan yang dimaksud Kak Fifi dan yang lain. Gue sebagai anak gaul Jakarta mendukung banget kegiatan mereka, bagi gue kegiatan mereka wooow eh Subhanallah... keren banget. Sepertinya membuat gue jatuh hati sama mereka, seperti kata Kak Fifi.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Nobody is perfect
12138      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Babak-Babak Drama
421      287     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Story Of Me
3192      1148     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
994      630     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
NAZHA
397      297     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha
The War Galaxy
11253      2327     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9214      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5727      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance