Sepulang mengirim naskah ke kantor Penerbit gue masih tersenyum bahagia. Sejenak gue melihat kedua mata gue dari kaca spion, terlihat berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. Kenyataannya gue emang baru mendapat hadiah yang mahal dan indah banget. Dan bagi gue kabar dari Nilam adalah hadiah yang paling mahal, bahkan lebih dari sebuah hadiah, tapi suatu nikmat dari Allah.
Sambil senyum-senyum gue santai memacu scoopy di jalan yang lumayan nggak macet. Sesekali pandangan gue terbang ke langit biru yang cerah, dan ternyata pikiran gue juga ikut melayang terbang ke mana-mana, tapi benangnya masih dipegang sama Dokter Meyda. Senyum gue pun semakin lebar saat otak gue mengingat Dokter Meyda. Setelah itu sorot mata gue kembali ke jalan di depan, tapi gue kaget bersamaan tangan kiri menarik rem tangan kuat-kuat, hingga scoopy hitam pun berhenti mendadak, tepat di depan laki-laki berbadan besar, berkumis dan berjenggot tebal.
“Haduh, kayaknya ini orang mau malak gue nih.” Bisik hati gue dengan jantung deg-degan melihat laki-laki berkumis dan berjenggot tebal berdiri di depan scoopy hitam manis kesayangan gue.
Tiba-tiba laki-laki itu cepat memegang tangan gue dan berdiri di samping gue. Dengan wajah memelas dia bilang “Mas Mas tolong saya Mas, tolong antar istri saya ke rumah sakit Mas. Istri saya mau melahirkan, tolong Mas.”
“Me..meme...me..me mela..melahirkan???” Gue terbata-bata dan kaget.
“Iya Mas, dari tadi saya nyari taksi tapi nggak ada taksi lewat, saya telepon pangkalan taksi tapi nggak ada taksi lagi mangkal semua lagi narik, saya cari ojek semuanya juga lagi narik, makanya saya mau malak Mas buat nganter istri saya ke rumah sakit. Tolong Mas...istri saya udah pembukaan...tiga kayaknya.” Di ujung perkataan laki-laki itu menarik tangan gue, hampir gue jatuh dari scoopy.
“Eee eeh ii iiiya Pak, sebentar-bentar kaki saya nyangkut di scoopy.”
“Oh iya Mas maaf maaf.”
Gue cepat mendorong scoopy agak ke tepi jalan, trus mengeluarkan besi di kolong scoopy dan menguncinya bersamaan laki-laki berbadan gempal itu cepat menarik tangan gue masuk ke salah satu gang. Ternyata benar istrinya udah menunggu sambil ngos-ngosan di pos ronda dan ditunggu sama banyak Ibu-Ibu.
“Ini istri saya Mas, tolong Mas cepet.”
“Oh ini Mas Dokter?” Tanya Ibu pertama. Ibu-Ibu yang lain mengiyakan.
“Wah masih muda Mas Doker ini...” Sahut Ibu kedua. Ibu-Ibu yang lain mengiyakan.
“Cakep lagi.” Celetuk Ibu ketiga. Ibu-Ibu yang lain mengiyakan sambil mengangguk.
“Oh...bu...bu...bukan, saya bukan Dokter.”
“Tolong istri saya Mas, sama calon anak pertama saya.” Laki-laki itu menangis tersedu.
Sejenak gue membatu dengan jantung tambah deg-degan melihat perempuan mau melahirkan. Setelah itu tegas gue bilang “Oke Pak, tunggu dulu di sini saya ambil scoopy. Abis itu kita ke rumah sakit.”
Gue cepat berlari mengambil scoopy di tepi jalan, kemudian scoopy gue gas mundur masuk ke gang, tepat di pos ronda gue berhenti. Keras dan tegas gue bilang “Udah Pak, cepet angkat istrinya ke scoopy.”
Laki-laki itu cepat mengangkat istrinya, trus didudukkan di atas scoopy. Sambil kesakitan tangan istrinya langsung melingkar di leher gue. Membuat gue kaget dan sedikit syok, soalnya gue merasa dicekek, hampir nggak bisa nafas.
“Ayo Mas cepet jalan.”
“Trus Pak brewok naik apa?”
“Saya naik sepedah gowes di belakang Mas.” Jawab laki-laki itu yang ternyata udah siap naik sepedah gowes. Sejenak gue masih tertegun di atas scoopy sambil melihat sepedah gowes yang nggak sebesar yang naik. Kayaknya itu sepedah...anaknya, eh tapi katanya dia baru mau punya anak yang bentar lagi mau lahir.
“Ayo Mas cepet, nanti keburu lahir.” Suara laki-laki itu keras.
“Iii ii iya iya.” Gue kaget sambil cepat ngegas scoopy. Sementara laki-laki itu sigap dengan sepedah gowesnya.
Akhirnya scoopy keluar gang dan dan melaju di jalan raya. Mendadak perempuan yang mau melahirkan di belakang gue semakin beringas, sampai-sampai rambut, leher dan muka gue jadi lecek gara-gara di acak-acak sama perempuan yang lagi menahan sakit karena mau melahirkan. Gue cuma bisa nyengir kesakitan sambil terus memacu scoopy dan menjaga keseimbangan supaya nggak oleng. Sementara laki-laki berbadan besar, berkumis dan berjenggot lebat masih terus ngegowes sepedahnya di belakang gue.
“Addduuuh Papa...sakit...” Teriak perempuan hamil di belakang gue sambil menjambak rambut gue.
“Adduudduuuh sakit Bu...jangan tarik rambut saya...” Gue nyengir sambil kesakitan.
“Maaf Mas reflek....”
“Tenang sayang sebentar lagi sampai rumah sakit.” Teriak laki-laki brewok di belakang scoopy.
Tanpa diduga beberapa kendaraan yang menyalip scoopy ini memberi semangat sama perjuangan gue memacu scoopy yang jalannya kayak keong.
“Ayo Kakak semangat...maju terus...” Teriak anak SD yang lewat dengan sepedah motor di bonceng Nyokapnya.
“Ayo Mas buruan kasihan Ibunya...” Teriak siswi SMA yang memacu motornya sama temannya.
“Mas cepet Mas....ayo...bentar lagi garis finis...terus berjuang....” Teriak laki-laki yang kayaknya anak kuliahan sambil memacu motor ninja. Sementara laki-laki kedua yang dibonceng malah asik menjepretkan kamera di handphone-nya ke gue. Dengan wajah panik sesekali gue menoleh dan gue kesel banget sama orang yang mengambil gambar gue. Dia nggak tahu apa! Gue lagi syok, eh dia malah sempat-sempatnya foto-foto gue.
“Ayo Mas semangat...rumah sakit di depan...sebentar lagi...” Teriak seorang perempuan yang naik mobil sedan sambil melongok membuka kaca samping kiri mobil.
“Oh iya iya.” Suara gue keras sambil sejenak melihat wanita itu. Setelah itu gue semakin serius memacu scoopy, walaupun masih disalipin sama kendaraan yang lain.
“Udah nyampe belum Mas...” Teriak perempuan hamil di belakang gue.
“Bentar lagi Bu...”
Scoopy hitam ini masih terus melaju di jalanan dan masih disalipin sama motor dan mobil yang juga masih memberi semangat sama gue dan scoopy. Akhirnya gue melihat tulisan “Rumah sakit” di samping kiri jalan. Gue pun memutar gas lagi, hingga scoopy pun bertambah cepat dari sebelumnya, tapi tetap aja nggak bisa secepat motor dan mobil di jalan ini. Sejenak gue melihat kaca spion, mendadak gue kaget soalnya gue nggak melihat laki-laki gede brewokan tadi, suaminya perempuan yang mau melahirkan ini. Perlahan gue pun mengendorkan gas, jadi scoopy melaju lebih pelan. Sementara kedua mata gue masih terpaku pada spion, mencari laki-laki tadi yang naik sepedah gowes.
“Mas, kok berhenti? Rumah sakitnya kan di depan. Ayo cepet, saya udah nggak kuat...” Kata Perempuan di belakang gue yang mau melahirkan.
“Astagfirullah haladziiiim.” Gue kaget dan sadar, gue kan lagi mengangkut perempuan yang mau melahirkan.
Akhirnya gue cepat memutar gas scoopy lagi, trus di depan gue belok kiri masuk ke halaman rumah sakit. Gue langsung pacu scoopy ke ruang UGD, walaupun ada seorang Satpam berdiri di depan gue karena meminta gue berhenti dan belok ke tempat parkir. Di depan UGD scoopy berhenti mendadak. Gue cepat mengeluarkan besi di kolong scoopy, trus gue membantu perempuan yang mau melahirkan.
Terlihat Satpam kurus di pintu rumah sakit cepat berlari menghampiri dan berhenti sambil menuntun si perempuan yang mau melahirkan.
“Istrinya kenapa Mas?”
“Mau melahirkan Pak, kursi roda kursi roda mana?”
“Oh iya Mas.” Satpam kurus balik badan, tapi dia cepat balik badan lagi dan bilang “Tapi kalau mau melahirkan bukan di sini Mas, di sini buat pasien kecelakaan. Kalau mau melahirkan di ruang sebelah sana.”
“Addduuuh Paaak, sama aja. Ibu ini mau melahirkan, darurat.” Kata gue keras sambil menahan berat perempuan di samping gue.
“Aduuuh Mas cepet....mana dokternya, saya nggak tahan ini...” Ucap perempuan di samping gue sambil meringis menahan sakit.
“Tuh kan, cepet Pak kursi rodanya mana? Biar langsung bisa dibawa ke dokter, nanti keburu brojol di sini.”
“Oh iya iya.” Kata Pak Satpam, lalu berlari mencari kursi roda. Sementara gue masih panik dan terengah-engah memapah perempuan yang mau melahirkan, dua suster terlihat berlari mendekat.
“Mas istrinya mau melahirkan ya?” Tanya Suter pertama panik.
“Iya Mbak ini mau melahirkan, di mana ruangannya yang deket?”
“Di sebelah sana aja Mas.” Dua Suster serentak dan menunjuk ke arah yang berbeda.
“Suster yang bener ini darurat. Dibawa ke ruangan terdekat aja, nanti keburu brojol bayinya.”
“Oh iya Mas ayo saya bantu.” Suster pertama dan Suster kedua serentak.
Alhamdulillah...akhirnya Pak Satpam datang tergesa sambil bawa kursi roda. Setelah itu gue mendudukkan perempuan yang mau melahirkan ini di kursi roda, trus gue cepet mendorong. Sementara dua suster ikut berlari sambil menunjukkan ruangan untuk melahirkan. Ternyata perempuan yang mau melahirkan yang duduk di kursi roda ini bertambah beringas, kayaknya sih dia udah nggak tahan.
“Ke mana Suster ruangannya?” Suara gue keras.
“Di sebelah sana Mas, sebentar lagi.” Kata Suster pertama sambil berlari di depan gue.
“Ibu ambil nafas dulu...lagi yang panjang...ambil nafas lagi dari hidung...trus keluarkan dari mulut...” Kata Suster kedua yang berlari di samping kursi roda yang gue dorong dan menemani perempuan yang mau melahirkan.
Setelah cukup lama mendorong perempuan yang mau melahirkan di atas kursi roda, akhirnya gue melihat Suster di depan gue berhenti sambil membuka lebar-lebar sebuah pintu. Suster itu memberi tanda dengan salah satu tangannya supaya gue masuk ke ruangan yang pintunya udah dibukakan. Sementara Suster kedua masih berlari di samping kursi roda yang gue dorong dan berusaha menenangkan perempuan yang udah nggak tahan mau melahirkan.
Nggak lama kemudian gue langsung masuk ke dalam ruangan yang ditunjukkan Suster tadi. Nggak lama setelah itu seorang Dokter masuk dan gue pun disuruh keluar sama Suster tadi. Dengan jantung deg-degan dan nafas terengah-engah gue berjalan mondar-mandir di depan ruangan tempat orang melahirkan. Masya Allah...saat ini gue panik, kaget, syok dan bingung banget.
“Astaghfirullahhaladziiiim.” Ucap gue pelan sambil mengelus dada, trus memegang dada kiri, tepat di atas jantung gue.
Sejenak gue merasakan detak jantung yang masih cepat berdetak dan nggak beraturan. “Tenang...tenang...tenang...Deni, rilekskan jantung lo. Sekarang ambil nafas”.
Gue mengambil nafas panjang, trus perlahan membuangnya. Sekali lagi gue mengambil nafas panjang, trus membuangnya perlahan. Alhamdulillah...gue pun mencoba tersenyum. Setelah itu berjalan pelan, mendekati kursi tunggu.
Tapi mendadak gue berhenti melangkah bersamaan senyum di wajah gue hilang, sementara pandangan gue terpaku ke depan. Otak gue baru ingat sama suami perempuan yang mau melahirkan tadi, laki-laki berbadan besar, berkumis dan berjenggot tebal alias Mas brewok. Astagfirullahhaladziiim....ke mana si Bapak???
Mendadak gue jadi bingung antara menunggu perempuan yang sedang melahirkan ini atau mencari suaminya yang naik sepedah gowes, soalnya gue khawatir suaminya nyasar ke rumah sakit lain. Tanpa sadar gue pun kembali jalan mondar-mandir dan semakin cepat, memikirkan perempuan yang mau melahirkan dan Mas brewok suaminya. Aduuuh gue harus gimana dong???
Akhirnya gue berhenti berjalan dengan wajah tegas dan bilang dengan tegas juga “Gue harus nyari Bapaknya. Dia harus tanggung jawab!”
Gue melangkah, tapi langkah gue terhenti saat suara Suster keras menghentikan gue “Mas, anaknya udah lahir.”
Dengan mulut menganga gue kaget banget sambil sejenak terpaku. Terdengar Suster di belakang gue kembali memanggil gue lebih keras. Akhirnya pelan gue balik badan dan memandang Suster yang masih tersenyum di depan pintu ruang melahirkan.
“Alhamdulillah...” Ucap gue sambil mengusap kedua tangan ke wajah.
“Ayo cepat langsung diazanin.” Kata Suster.
“Oh saya?” Gue mengulang kaget. Tiba-tiba aja gue ingat perkataan Nyokap “Kalau bayi baru lahir itu harus cepet-cepet diadzanin, sebelum keduluan sama bisikan setan-setan.”
“Mas ayo cepet.” Seru Suster lagi.
“Oh iya Suster.” Gue cepat melangkah.
Tiba-tiba seseorang menarik keras pundak gue, jadi mendadak gue berhenti melangkah. Pelan gue menoleh, ternyata Mas brewok yang berbadan besar berdiri di belakang gue sambil terengah-engah.
“Istri saya mana Mas?” Tanyanya sambil terengah-engah dan mengusap keringat di kening.
“Alhamdulillah....” Gue mengelus dada.
“Mas ayo cepat masuk bayinya cepat diazanin.” Seru Suster tegas.
“Oh ini Suster Bapaknya udah datang.” Gue menarik tangan laki-laki di samping gue.
“Bapaknya?” Suster mengulang bingung dengan kening merapat sambil melihat kami berdua.
Akhirnya gue sama laki-laki brewok masuk ke dalam ruangan. Sambil menggendong bayinya Mas brewok alias Bokap dari bayi yang baru lahir mengumandangkan azan di telinga kanan bayi dan gue mengumandangkan iqomad di telinga kiri bayi. Ternyata sang bayi perempuan itu masih menangis keras. Duh mudah-mudahan bukan menangis karena keduluan bisikan setan yang amat sangat jahat dan selalu menyesatkan manusia dari mulai masih dalam kandungan setiap Ibu.
Dengan sabar sang Bapak alias Mas brewok masih senyum-senyum bahagia menggendong sang bayi yang terus menangis dan belum dikasih nama. Sementara istrinya tersenyum di tempat tidur pasien.
“Cup cup cup jangan nangis Nak, Papa di sini.” Ucap laki-laki itu pada bayinya yang masih terus menangis keras.
“Suster kenapa anak saya nangis terus ya? Apa lapar Sus?” Tanya laki-laki itu.
“Mungkin Pak, dikasihkan Ibunya saja biar langsung disusui.”
“Oh iya Suster.”
Dengan tenang gue pamitan sama laki-laki itu dan istrinya, tapi sejenak laki-laki itu meneliti gue dengan kening berkerut.
“Astaghfirullahhaladziim...saya sampai lupa, maaf Mas. Mas kan tadi udah nolong istri dan anak saya, saya pingin foto Mas sama bayi saya. Jadi tolong gendong sebentar Mas ya, biar saya foto.” Di akhir perkataan lak-laki itu tersenyum. Gue sedikit kaget soalnya gue belum pernah gendong bayi dan gue takut bayinya kenapa-kenapa kalo gue gendong.
“Udah Mas nggak apa-apa, bener kan Suster?”
“Iya Pak.” Jawab Suster sambil tersenyum.
Akhirnya gue memberanikan diri menggendong si Bayi sambil diajarkan sama Suster. Tiba-tiba aja bayi perempuan yang cantik ini berhenti menangis dan tersenyum di gendongan gue. Membuat gue kaget melihat si bayi cewek ini nggak menangis, tapi malah senyum-senyum sama gue. Padahal yang gue tahu dari Nyokap bayi baru lahir itu belum bisa melihat dunia sekitarnya sebelum 40 hari.
“Waaah bayinya nggak nangis, jodoh nih sama Masnya.” Celetuk Suster.
“Lihat sini Mas biar saya foto.” Sahut laki-laki itu.
“Jepret...jepret...jepret...” Suara kamera dari handphone laki-laki brewok itu.
Laki-laki brewok sama istrinya tersenyum lebar. Sementara gue memaksa senyum sambil hati gue berbisik “Jodoh???” lalu gue melihat bayi di tangan gue yang masih senyum-senyum dan nggak menangis. Kayaknya bayi ini cuma senyum untuk satu orang, dan itu...gue.