BURUNG-BURUNG
Ibray mengusap lembut luka di pojok bibirnya sembari membaringkan tubuh lelahnya di atas sofa.
“Habis berantem kamu?” tanya Ayah Ibray, yang tiba-tiba muncul di samping Ibray. Baru tumben sudah pulang kerja.
“Yang Ayah lihat?” jawab Ibray dengan malas tanpa menatap wajah Ayahnya. Suasana hatinya masih buruk.
“Sudah menjadi kebiasaan kamu, selalu saja melakukan hal-hal yang tak berguna. Bisa tidak sikap burukmu itu kamu buang jauh-jauh?”
“Apa Ayah nggak sadar kalau semua sikap aku seperti ini gara-gara sikap ayah pada Ibray.” Ibray berdiri dari tempat yang didudukinya. Emosinya mulai meluap.
“Apa maksud kamu?”
“Sikap Ayah yang selalu mementingkan pekerjaan dibanding dengan anaknya sendiri. Bahkan saat Ibray sakit, sedikitpun nggak ada rasa perduli dari Ayah.” Jelas Ibray sambil tersegal, dadanya terasa sesak, penuh luapan emosi yang ditahannya.
“Ayah itu bekerja untuk kamu, cari uang untuk kamu. Kamu ini benar-benar anak yang tak mau diuntung ya!” seru Ayah Ibray yang juga mulai ikut emosi.
“Itu bukan yang Ibray mau.” Ibray mengambil kunci motor lalu pergi. Mengabaikan semua perkataan dan supah serapah dari Ayahnya. Suasana hati yang masih buruk malah tambah diperburuk menjadikan emosinya meluap-luap hingga menjadikannya kalap.
Ibray mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, tanpa memikirkan kembali dirinya. Meliuk-liuk di tengah padatnya jalanan kota sore itu. Matahari sudah akan tumbang di ufuk barat, menyisakan semburat jingga kemerahan. Peduli amat Ibray dengan ke indahan senja itu, juga peduli amat dengan makian orang-orang yang merasa dirugikannya. Dia sedang meluapkan emosinya, ingin mengeluarkannya habis dari dalam dirinya.
Entah kenapa tiba-tiba dia menangis, pandangan matanya menjadi huram, kabur. Ketika dia ingin mengusap air mata sialan itu tiba-tiba,
BRAKKK
Kecelakaan hebat dialami oleh Ibray. Orang-orang yang melihat kejadian langsung membawa Ibray ke rumah sakit.
Kring... Kringggg...
“Iya selamat malam.” Ayah Ibray mengangkat telepon rumahnya. “Iya dengan saya sendiri,” jawab Ayah Ibray setelah mendengar orang diseberang menanyakan apakah benar dia adalah orang tua dari Ibray. Orang itu ternyata memberi kabar bahwa Ibray terkapar koma di rumah sakit.
“Apa? Anak saya kecelakaan?
“Ya Gusti!” Bi Ipeh yang tak sengaja mendengar juga ikut berseru panik.
Ayah Ibray segera menuju rumah sakit.
Tak lama setelah itu, Tobi datang kerumah Ibray. Rencana awal ingin membantu meluruskan masalahnya dengan Reno, memberitahu alasan sebenarnya Reno melakukan itu, tetapi malah justru Tobi mendapatkan kabar buruk dari Bi Ipeh. Tobi segera menghubungi Reno.
***
Kondisi Ibray cukup parah hingga menyebabkannya dinyatakan koma. Terjadi pendarahan di otaknya. Beberapa alat medis juga melilit disekujur tubuhnya.
Ayah Ibray menatapnya dari luar pintu yang terdapat lubang kaca kecil. “Maafkan ayah Nak, ayah bekerja juga demi kamu, tapi jika itu malah menyakitimu ayah minta maaf, Nak. Sebenarnya ayah egois, menyibukkan diri sendiri hanya demi keuntungan utuk ayah agar bisa melupakan ibumu yang berhianat itu,” gumam Ayah Ibray.
“Om gimana keadaan Ibray?” tanya Reno yang sudah tiba bersama Tobi. Berdiri disebelahnya dengan menatap Ibray sedih.
Ayah Ibray menoleh, cepat-cepat mengusap air matanya. “Kata dokter Ibray koma. Ini semua salah Om. Om yang menyebabkan dia pergi dengan keadaan marah hingga terjadilah semua ini.”
“Sudahlah Om, tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini, semua sudah di rencanakan oleh yang di atas, kita hanya dapat menjalaninya Om. Sekarang lebih baik kita berdoa aja, agar Ibray dapat segera diberi kesembuhan.”
Tobi yang sedari tadi diam malah sekarang terisak. Bagaimana mungkin dia tega melihat sahabatnya yang dia agung-agungkan terbaring mengenaskan didalam sana. Dia juga terharu melihat seoarang Ayah Ibray yang begitu keras tiba-tiba sekarang bisa menangis.
Ayah Ibray duduk di bangku samping ruangan Ibray dirawat. Mengusap kepalanya.
Reno memutuskan untuk menghubungi Bintang.
“Siapa sih malam-malam nelpon, ganggu orang belajar aja.” Bintang mencari ponselnya. Melihat siapa yang menghubunginya.
Di tolak panggilan masuk dari Reno. Malas menerimanya. Dia masih marah pada Reno, kekecewaan masih melekat dalam hatinya. Mungkin memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan baik seperti semula.
Reno menghela nafas. Memutuskan untuk pengirimkan pesan saja.
***
“Saya kira tidak masuk.” Siti mendekat ke arah Bintang, duduk di bangku samping Bintang.
“Masuk lah Ti. Gue kan nggak apa-apa, cuma masalah kecewa aja masa nggak masuk sih, yang benar saja,” jawab Bintang tak mengerti apa yang Siti maksud.
“Bukan itu kali Bin, saya kira kamu nemani Ibray?”.
“Hah? Memangnya kenapa Ibray?”.
“Loh tidak ada yang memberitahu kamu kalau kak Ibray koma di rumah sakit?” tanya Siti.
“Apa!” seru Bintang yang terkejut. Suasana kelas masih sepi, jadi tidak mengundang perhatian.
“Iya Bin, mas Tobi yang memberitahu. Mas Tobi bilang kamu mungkin sudah diberitahu kak Reno jadi tidak perlu aku kasih tau lagi semalam.”
Bintang menggeleng lemah. Matanya berkaca-kaca. Kemudian Bintang tersadar, semalam Reno menelponnya, mungkin itu untuk memeritahu tentang Ibray.
“Kak Reno semalam menepon, tapi nggak gue angkat.”
Siti menghela nafas. Wajar memang jika Bintang tak mau mengangkat telepon dari Reno.
“Gue mau kesana,” Bintang bangkit dari duduknya. Dia memutuskan menuju rumah sakit. Peduli amat jika dinyatakan bolos, sekali-kali tak apa-apa. Hatinya sekarang tak tenang memikirkan Ibray.
“Eh Bintang tunggu!” Seru Siti. Bagaimana nanti menjelaskan pada guru kenapa Bintang tak masuk hari ini. Masa harus bilang Bintang jenguk Ibray dirumah sakit? Yang ada nanti mengundang banyak tanya karena Bintang yang bukan siapa-siapa Ibray rela tak berangkat sekolah hanya demi menjenguk Ibray. “Saya bilang sakit sajalah,” batin Siti.
***
“Kondisi Ibray bagaimana?” tanya Bintang sambil terisak, air matanya tak bisa ditahan.
Reno dan Tobi sedang duduk di bangku tunggu sebelah ruangan Ibray. Menggunakan seragam sekolah. Rencananya mereka akan berangkat ke sekolah nanti ketida ayah Ibray sudah kembali dari rumah untuk memberishkan diri. Bodo amat datang telat, itu sudah biasa bagi mereka.
“Masih sama,” jawab Reno. Berdiri lalu membantu Bintang duduk karena Bintang terisak begitu hebat.
“Lo yang tenang Bin,” ucap Tobi yang juga ikut menenangkan Bintang.
“Kenapa ini bisa terjadi Kak? Ini semua pasti salah aku. Aku nggak bisa jaga sahabat aku,” ucap Bintang disela-sela isakannya.
Reno menatap wajah Bintang mencoba menjelaskan kepadanya. “Ini semua udah ada yang ngatur Bin, bukan salah kamu. Lebih baik jika kamu mendoakannya, agar Ibray cepat sadar Bin.” Reno mengusap air mata yang jatuh dari pipi Bintang, merengkuhnya. Bukan bermaksud apa-apa, hanya saja tak tega melihat Bintang menangis seperti ini. Sebenarnya dia juga yang membuat Bintang menangis waktu itu.
Dalam pikiran Tobi tiba-tiba terbesit, jika saja situasinya tidak seperti ini, mungkin Bintang sudah memukul Reno dengan sepatu karena berani memeluknya.
Bintang mengangkat kepalanya dari bahu Reno. Mengusap air matanya yang terus saja mengalir. “Aku mau masuk.”
Reno dan Tobi mengangguk.
“Mengambil kesempatan dalam kesempitan,” ucap Tobi setelah Bintang sudah berada didalam ruangan Ibray.
“Maksud lo?” tanya Reno tak mengerti.
“Tadi, peluk-peluk Bintang.”
Reno menonyor kepala Tobi. “Gue cuma nenangin dia bego. Memangnya lo tega ngelihat cewek nangis sampe kayak gitu?”
“Nggak tega juga sih.” Tobi membenarkan, cengar-cengir.
“Ibray, bangun dong ... jangan kayak gini,” bisik Bintang. Dia duduk di kursi sebelah Ibray yang berbaring tak berdaya.
“Gue minta maaf Bray, gue sahabat yang jahat, nggak bisa jagain lo seperti janji yang kita ucapkan sewaktu kecil, bahwa kita akan saling menjaga. Gue jahat, ninggalin lo tiba-tiba waktu itu tanpa memberitahu lo terlebih dahulu. Gue juga jahat karena hanya diam tak membantu ketika lo punya masalah.” Bintang membenarkan posisi duduknya. Menggenggam tangan Ibray.
“Walaupun sekarang lo telah berubah, gue yakin didasar hati lo, lo masih ingat akan persahabat kita dulu. Lo masih ingat kan Bray?” Bintang kembali terisak. Memori indah bersama Ibray sewaktu kecil berkelebatan dikepalanya.
“Gue mohon ... bangun Bray. Gue nggak tega ngelihat lo kayak gini. Gue akan ngelakuin apa aja buat lo asal lo bangun. Gue sayang sama lo Bray.”
Tobi yang mengintip bersama Reno dibalik kaca pintu ikut meneteskan air mata.
***
Esoknya hari Libur. Bintang memutuskan untuk menjenguk Ibray kembali dengan membawa sejumlah burung kertas dari origami, seperti yang sering dia buat bersama Ibray semasa kecilnya. Saat dia sakit, Ibray membuatkannya untuknya. Juga dituliskan harapan agar Bintang cepat sembuh. Sekarang giliran Bintang yang melakukannya untuk Ibray.
Reno yang sudah ada disana menatap bingung ratusan burung kertas yang berada di kantong plastik yang dipeluk Bintang. Bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang akan Bintang lakukan dengan ratusan burung kertas yang dibawanya.
Bintang masuk ke ruangan Ibray. “Maaf Om, izinkan saya memasang burung kertas ini di ruangan Ibray,” ucap Bintang kepada Ayah Ibray yang tengah duduk di kursi dekat keranjang Ibray.
Ayah Ibray menyetujuinya, tahu maksud dari Bintang. Kemudian ayah Ibray bilang hendak ke kantin sebentar, sarapan. Meminta Bintang untuk menjaga Ibray.
Bintang memasang ratusan urung kertas di pojok-pojok ruangan, juga di keranjang tidur Ibray. Reno yang sedari tadi mengintip memutuskan untuk masuk dan membantu Bintang.
“Bin aku minta maaf,” ucap Reno. Berbicara pelan namun bisa bisa dengan jelas di dengar Bintang.
Bintang menghela nafas. Menghentikan sejenak gerakannya untuk memasang burung-burung itu. Menoleh, menatap Reno. “Kenapa Kakak tega ngelakuin itu sama aku?”
Reno menjelaskan semuanya.
Bintang mendengarkan diam dalam keterkejutan. Dia tak menyangka Reno melakukan semua itu.
“Maaf Bin, jika cara gue salah menurut elo dan Ibray. Jika lo mau benci gue, gue memang pantes nerima.”
“Aku juga minta maaf. Aku juga sebenarnya salah_”
“Lo salah karena manfaatin gue untuk menikam perasaan lo bukan?” tebak Reno memotong ucapan Bintang.
“Kok Kakak tahu?”
Reno mengendikkan bahu. “Jadi gimana nih? Dimaafin atau tidak?”
Bintang mengangguk. “Aku justru berterima kasih pada Kakak.”
***
“Sudah dari tadi Bin?” tanya Siti yang baru tiba bersama Tobi juga teman-teman se kelas Ibray.
Bintang mengangguk. Dia duduk bersama Reno di depan ruangan Ibray.
Mereka tidak diijinkan masuk semua karena itu akan mengganggu Ibray nantinya. Teman-teman Ibray paham akan itu dan memutuskan untuk mengintipnya dari kaca pintu saja.
Ayah Ibray keluar ruangan. “Loh, kok rame?”
“Iya Om, kita temen sekelasnya Ibray,” ucap Reza.
Ayah Ibray mengangguk. “Terima kasih sudah mau menjenguk.”
Mereka mengangguk serempak. “Kita pamit dulu ya Om, semoga Ibray cepet sembuh,” ucap Reza mewakili. Diikuti anggukan serempak kembali.
“Loh kok sebentar saja?”
“Sebenarnya sudah dari tadi sih Om, karena nggak diijinkan masuk rame-rame sama suster jadi jenguknya sambil ngintip di pintu saja.” Tobi yang menjawab.
Ayah Ibray tersenyum.
Mereka satu persatu bersalaman pada ayah Ibray. Menyisakan Bintang, Reno, Tobi dan Siti.