TERUNGKAP
“Bray, bangun woi ... udah pagi, ayo pulang,” ucap Bintang membangunkan Ibray.
Ibray masih bergeming. Bagaimana mau langsung bangun, baru saja satu jam tadi dia benar-benar terlelap.
“BANGUN WOI!” teriak Bintang keras-keras tepat ditelinga Ibray.
“Apaan sih teriak-teriak?” ucap Ibray sebal.
“Ayo pulang, udah pagi nih.”
“Ck, ganggu orang tidur aja lo.” Ibray bangun dari tidurnya, mengucek matanya yang masih susah untuk dibuka.
“Ayo.” Bintang berjalan cepat di depan Ibray, ingin cepat pulang. Ngapain juga berlama-lama dihutan yang katanya banyak binatang buasnya kayak gini, walaupun tempatnya indah sekali.
Ibray segera menjajari langkah Bintang. “Bin.”
“Hm?” Bintang menoleh, masih sambil berjalan. Dia agak heran juga karena tumben Ibray memanggilnya dengan benar.
“Reno kayaknya cinta banget ya sama lo?”
Bintang terdiam, bungung. “Lo sebenarnya ngapain ngajak gue ke sini sih? Nggak jelas banget,” ucap Bintang akhirnya, mengalihkan pembicaraan.
“Iseng aja,” jawab Ibray asal. Sejak Reno menyuruhnya untuk memberi tumpangan ke Bintang tiba-tiba saja terbersit untuk mengajaknya ketempat ini, dia sendiri tidak mengerti apa alasannya.
“Aneh,” gumam Bintang, sambil hati- hati menuruni jalanan yang sedikit agak curam.
“Bin, lo cinta sama Reno?”
“Ya ... ya gitu.” Ibray lagi-lagi menanyakan hal yang sulit dijawab Bintang.
“Gitu bagaimana?” Ibray menghentikan langkah Bintang dengan berdiri tepat didepannya.
“Pertanyaan lo aneh,” ucap Bintang.
“Ck, jawab gitu aja susah lo, kalo cinta ya tinggal bilang aja, kalo nggak ya nggak kalo ragu ya jawab ragu.” Ibray berjalan mendahului Bintang.
“Masalahnya gue sendiri bingung Bray,” batin Bintang. Dia harap dengan menerima Reno dia bisa sepenunya melupakan perasaannya pada Ibray dulu. Dia pikir apa susahnya karena sejatinya dia juga mulai menyukai Reno. Tapi ternyata sampai sekarang Bintang sendiri masih bingung, yang dimaksud suka itu karena cinta ataukah hanya sekedar kagum belaka. “Bray tungguin dong.” Bintang berlari-lari kecil untuk berusaha mensejajari Ibray yang sudah berada lumayan jauh didepannya.
“Lambat lo, kayak siput, siputnya alien,” ucap Ibray lalu terkekeh.
Bintang cemberut.
“Mumi.”
Ibray menghentikan langkah tiba-tiba lalu menoleh ke Belakang ke arah Bintang yang lagi-lagi hampir menabraknya. “Gue udah nggak pake perban lagi bego, lo nggak lihat apa?”
Bintang mundur satu langkah. Mengamati Ibray dari bawah sampai atas. “Oh iya ya?” Bintang tertawa pelan.
Ibray menggeleng-gelengkan kepala.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, di mobil Ibray, Bintang sibuk memikirkan Reno. “Kenapa kak Reno nggak ngehubungin gue ya dari kemaren, buat sekadar nanya gue udah nyampe rumah atau belom, Ibray bikin ulah sama gue apa nggak. Sama sekali seperti nggak ada cemburu atau khawatir gitu saat gue sama Ibray. Kira-kira gimana ya reaksi kak Reno kalo tau gue berduaan sama Ibray tidur di hutan?” Batin Bintang, mengiringi perjalanannya.
“Diem mulu lo, mikirin apa?” tanya Ibray setelah tadi melirik sekilas dan melihat Bintang melamun.
“Nggak mikirin apa-apa.”
“Reno?” tebak Ibray benar.
Bintang terdiam.
“Ngapain mikirin Reno? Ada masalah kalian?”
Bintang menggeleng. “Dia nggak menghubungi gue dari kemarin.”
“Ck, gitu aja dipikirin, mungkin dia sibuk sampe-sampe nggak sempat buat ngehubungin elo.”
Bintang masih terdiam.
Tiba-tiba ponsel Ibray berdering. Diambilnya ponsel itu dari sakunya. Ibray menepikan mobilnya lalu menganggkat telepon dari Tobi.
“Apa Bi?”
“Lo dimana Bos? Kata bi Ipeh lo nggak pulang dari kemaren. Gue sama Reno ada dirumah lo nih,” ucap Tobi disebrang.
“Ngapain ke rumah gue?” tanya Ibray terkejut. Bisa kacau ini.
“Main lah Bos ... males dirumah. Lo dimana? Cepetan pulang.”
“Bentar lagi gue sampe,” ucap Ibray lalu memutus sambungan telepon. Melajukan mobilnya kembali.
“Kenapa?” tanya Bintang yang melihat raut wajah Ibray yang sepertinya agak panik.
“Reno sama Tobi dirumah gue.”
“Ngapain? Ada yang gawat? Kok lo kelihatan panik gitu?” tanya Bintang yang masih tak mengerti.
“Lo itu bego apa gimana sih? Reno bisa marah nanti kalo ngelihat kita berdua,” ucap Ibray yang gemas sendiri dengan Bintang.
“Waduh, terus gimana dong?” tanya Bintang yang ikutan panik. Dia baru paham dengan keadaan. Dia dan Ibray berduaan di mobil dengan masih memakai baju seragam kemaren yang sudah kucel. Reno akan curiga dan berfikir yang tidak-tidak nanti. Dan juga bisa berantem dengan Ibray karena cemburu, bisa tonjik-tonjokkan. Bintang ngeri sendiri dengan apa yang telak dibayangkannya. “Tapi benarkan kak Reno akan cemburu sama Ibray sampe segitunya?” batin Bintang.
“Nanti gue yang jelasin,” ucap Ibray akhirnya.
Tak lama kemudian mobil Ibray telah sampai didepan rumahnya. Mereka tidak bisa menghindar karena percuma saja jika Bintang tadi langsung berlari pulang kerumahnya, Reno dan Tobi yang duduk di teras rumah Ibray tentu saja akan bisa melihatnya.
“Ren, gue bisa jelasin,” ucap Ibray setelah dia dan Bintang berdiri di hadapan Reno. Ibray siap menerima sanksi karena memang dialah yang salah, mengajak pacar orang pergi seenaknya sendiri.
“Kalian dari mana?” tanya Tobi yang bingung melihat Ibray dan Bintang.
“Anu ... itu dari ... dari_“
“Biar gue yang jelasin.” Ibray memotong ucapan Bintang yang tergagap.
“Udah nggak perlu dijelasin.”
Ucapan Reno barusan membuat Ibray, Tobi dan Bintang terbingung-bingung. “Kak Reno sama sekali nggak ada tanda-tanda rasa cemburu ataupun akan marah,” batin Bintang. Ibray dan Tobi juga merasakan hal yang sama.
“Kalian ini kenapa ngelihatin gue kayak gitu?”
Tak ada yang menjawab.
“Gue justru seneng ngeliat lo yang sepertinya udah baikan sama Bintang,” ucap Reno pada Ibray.
“Kakak beneran nggak marah sama aku?” tanya Bintang takut-takut.
“Nggak lah, buat apa marah? Kalian cuma dari liburan berdua bukan?” tanya Reno. Menatap Bintang dan Ibray bergantian. Yang ditanya malah diam. “Lalu apa masalahnya jika pacar gue jalan sama sahabat lamanya yang juga merupakan sahabat gue? Udahlah tenang aja, gue nggak marah kok.”
Tobi yang sebenarnya tak terlibat justru yang dibuat paling pusing. Ibray yang tiba-tiba pulang entah darimana dengan Bintang lalu Reno yang seharusnya marah besar karena melihat mereka justru merasa senang. Ada yang tidak beres pikir Tobi.
“Kamu mendingan pulang saja ya Bin, mandi gih, kucel kayak gitu,” ucap Reno lalu terkekeh.
Bintang mengangguk. “Iya.”
“Maaf semalem nggak menelpon kamu, ponselku mati.”
Bintang kembali mengangguk lalu berjalan pulang kerumah. Pikirannya masih bingung dengan sikap Reno.
“Ayo masuk,” ucap Ibray kemudian, mengajak Tobi dan Reno masuk. Ibray juga bingung dengan sikap Reno. “Benarkan Reno mencintai Bintang? Sikapnya tadi tak menunjukkan itu.”
Sedangkan Reno, dalam hati dia merasa senang, sepertinya rencananya berhasil.
***
“Sampai disini dulu, nanti selesai istirahat kita lanjut lagi,” ucap Pak Heri, yang mengajar Kimia.
“Ke kantin yuk.” Ajak Siti kepada Bintang dan Loli setelah pak Heri keluar dari kelas.
Loli berdiri dari tempat duduknya. “Ayo.”
“Iya bentar gue mau nerusin nyatet nih, kalian duluan aja deh, entar gue nyusul.” Bintang masih sibuk dengan pena dan bukunya, masih mencatat, sedikit, nanggung.”
“Oke,” ucap Loli kemudian dia dan Siti meninggalkan Bintang sendiri. Perut mereka yang sudah keroncongan sedari tadi sudah tak bisa di tahan.
Beberapa saat kemudian.
“Akhirnya,” gumam Bintang. Membereskan alat tulisnya, dimasukkan ke laci lalu memutuskan pergi ke kantin.
Saat sampai di dekat kantin. “Eh.” Bintang kaget. Hampir bertabrakan dengan Ibray.
“Mau ke kantin?” tanya Ibray.
Bintang mengangguk.
“Sendiri?”
“Siti sama Loli udah nunggu di dalem.”
Ibray menggangguk. “Ya udah ayo bareng. Reno juga udah didalem, sekalian nanti lo bisa ikutan gabung.”
Bintang menurut saja. Beriringan berjalan dengan Ibray. Sebenarnya dia aneh dengan sikap Ibray yang tiba-tiba baik padanya. Sepertinya Ibray sudah tak membencinya.
Reno dan Tobi terlihat duduk dipojok selatan kantin. Menyantap makanan masing-masing. Bintang mencari-cari Siti dan Loli, mereka tak kelihatan, jadi Bintang memutuskan untuk mengikuti Ibray, bergabung dengan Reno dan Tobi.
Reno dan Tobi sedang asik bebicara hingga tampaknya tak menyadari kedatangan Bintang dan Ibray yang berjalan mendekati mereka.
“Oh iya Ren, tolong jelasin ke gue soal sikap lo kemarin.”
“Yang mana?” tanya Reno tak mengerti.
“Sikap lo yang sama sekali nggak ada cemburu-cemburunya sama Bintang,” jelas Tobi.
Mungkin ini sudah saatnya untuk bercerita pada Tobi. “Jangan ke Ibray dan Bintang dulu sebelum waktunya tepat.”
“Oke.”
“Akhirnya Bi, rencana gue udah mulai ada hasilnya. Ibray dan Bintang kayaknya udah mulai baikan.”
“Rencana apa maksud lo?” Tobi tak mengerti.
“Gue sebenarnya cuma mengingakat Bintang supaya deket sama gue hingga gue dengan mudahnya mendekatkan dia ke Ibray. Gue gemes sendiri dengan Ibray dan Bintang yang saling cinta tapi nggak mau mengakuinya, mereka terlalu jaim. Ibray pula, sok-sok an benci ke Bintang cuma hanya hal sepele dan cuma hanya untuk membentengi perasaan sukanya ke Bintang. Ibray merasa jika Bintang tak seharusnya di cintainya karena dia juga merasa Bintang tak mencintainya. Paham nggak lo maksud gue?”
Tobi mengangguk, dia paham. “Jadi elo sebenarnya nggak ada rasa sama Bintang?”
“Ya nggak lah, mana mungkin gue beneran cinta sama Bintang, yang benar saja_ ”
Tepat saat hanya pada kalimat terakhir itu Bintang dan Ibray sudah sampai disamping Reno. Mendengar jelas kalimat itu walaupun Reno mengatakannya dengan nada pelan. Air mata Bintang menetes tampa bisa dicegahnya, menatap nanar ke arah Reno yang masih terkejut dengan kedatangannya. Bintang berbalik, berlari meninggalkan kantin dengan diiring tatapan penasaran dari semua yang berada di kantin.
Loli dan Siti yang habis dari toilet dan telah sampai di pintu kantin pun dibuat bingung oleh Bintang yang berlari melewatinya. Tadi mereka ke toilet dahulu sebelum ke kantin karena beranggapan Bintang masih lama menyusulnya. Tanpa banyak fikir mereka juga berlari mengejar Bintang. “Bin, Bintang tunggu!” seru Loli.
Bintang mengabaikannya. Hinggga dia berhenti di salah satu bangku taman sekolah, duduk sambil menangis. Loli dan Siti ikut duduk disampingnya, menengangkan Bintang. Siti mengusap-usap punggung Bintang yang terisak. Sebenarnya dia dan Loli ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sekarang bukan waktunya meminta Bintang untuk menceritakan semua. Membiarkan Bintang meluapkan emosinya mungkin hal yang tepat dilakukan.
Saat itu pula Ibray, menatap tajam Reno yang sudah berdiri dan terdiam dihadapannya.
BUKKK
Tinju melayang ke arah wajah Reno. Reno terhuyung, berpegangan pada meja hingga dia tidak jadi terjatuh.
“Eh Bray, tenang dulu.” Tobi memegangi lengan Ibray yang terkepal dan bersiap kembali memukul Reno tetapi kemudian di tepis dengan keras oleh Ibray.
“Gue_“
BUKKK
Tinju sudah kembali melayang ke wajah Reno sebelum Reno melanjutkan kalimatnya. Kali ini mampu membuat Reno terjatuh.
Semua orang yang ada dikantin mendekat, penasaran. Tak sengaja membuat lingkaran yang mengerubungi Ibray, Reno dan Tobi. Seakan terjadi pertarungan tinju kelas dunia.
Tobi yang panik dan bingung sendiri akhirnya memutuskan berlari untuk memanggil siapapun guru yang dapat membantu melerai mereka karena Tobi tak bisa melerainya sendiri, yang bisa-bisa jutru dia sendiri nanti yang terkena tonjok. Dia juga tidak bisa membantu Reno untuk menjelaskan ke Ibray dalam situasi seperti ini. Menurut Tobi, Reno juga sebenarnya salah, caranya yang dimaksudkan untuk membantu Ibray itu salah dan justru akan menambah masalah.
Ibray berjongkok, menjajari Reno yang masih terduduk di lantai kantin dan mengusap darah diujung bibirnya. “Lo ternyata banci, pengecut yang bisa-bisanya nyakitin cewek,” ucap Ibray pelan namun bernada tajam. “Gue bener-bener nggak nyangka sama lo. Apa alasannya sampe lo tega nyakitin dia hah?”
Reno mendengus. Bisa-bisanya Ibray mengatai dia sebagai pengecut. “Lalu apa bedanya gue sama lo Bray? Lo juga pengecut, ngakuin perasaan lo sendiri aja nggak berani.” Suasana semakin panas.
Ibray sedikit terkejut dengan Reno yang sepertinya mengetahui segala rahasianya, tetapi Ibray dapat menjaga mimik wajahnya yang menatap tajam ke arah Reno. “Gue bukan elo yang seenaknya bermain-main dengan perasaan.”
Reno kembali mendengus pelan. Bukankah Ibray sendiri yang begitu bodohnya hingga tak sadar telah mempermainkan perasaannya sendiri. “Lalu dengan elo yang menikam perasaan cinta di hati lo dengan perasaan pura-pura benci itu bukan namanya bermain-main juga dengan perasaan?”
Ibray melemahkan tatapan tajamnya pada Reno. “Gue sadar jika gue salah. Dan sekarang gue ingetin, lo jauh-jauh dari Bintang,” ancam Ibray lalu berdiri.
Reno juga ikit berdiri. “Punya hak apa lo ngelarang-ngelarang gue?” pancing Reno.
Ibray menjadi geram.
BUKKK
Ibray kembali memukul Reno. Bisa-bisanya Reno berkata seperti itu, sudah tak menghargainya sebagai sahabat, pikir Ibray.
BUKKK
Kali ini Reno membalas. Sekali-kali menonjok wajah sahabatnya yang pengecut itu.
Ibray terhuyung, tetapi tak sampai jatuh. Sudut bibirnya berdarah. Emosinya semakin meluap-luap hendak menonjok Reno kembali tetapi gerakannya terhenti karena,
“Ibray, Reno cukup!” seru Bu Ida yang berjalan mendekati kerumunan bersama Tobi.
Kerumunan dengan sendirinya membuka jalan untuk Bu Ida dan Tobi mendekati Ibray dan Reno.
“Ikut saya ke ruang BK!” perintah Bu Ida galak.
Reno dan Ibray bergeming.
“Ayo!” Bu Ida semakin terlihat galak.
Reno dan Ibray menghela nafas kemudian mengikuti langkah Bu Ida menuju ruang BK. Tobi dan kerumunan siswa tadi pun ikut menguntit, penasaran dengan sanksi yang akan diberikan kepada mereka.
Mereka di nasehatin habis-habisan oleh pak Woko diruang BK, juga terkena hukuman disuruh membersihkan toilet guru.
Saat Ibray, Reno, Bu Ida dan Pak Woko keluar ruang BK, kerumunan yang menguping dan mengitip dikaca ruangan segera membubarkan diri karena bertepatan dengan itu bel berbunyi, tanda jam istirahat kedua telah usai. Tobi juga ikut terpaksa balik ke kelas, mengikuti dua jam pelajaran terakhir sebelum pulang.
Ibray dan Reno membersihkan toilet dengan diam, saling berjauhan. Pak Woko mengawasi mereka langsung karena jika tidak diawasi mungkin mereka akan berantem kembali.
Setelah lima belas menit akhirnya Pak Woko meninggalnya mereka karena sepertinya mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan berantem kembali dan melaksanakan hukuman dengan baik.
“Gue tau resiko ini, berantem sama lo, tapi gue seneng akhirnya bisa membantu lo buat sadar bahwa lo itu salah telah menyia-nyiakan perasaan lo, walaupun gue sedikit kesal karena lo telah ngata-ngatain gue dan nonjok gue sebelum mau dengerin penjelasan dari gue,” Batin Reno. “Lalu sekarang lo mau apa?” ucap Reno kemudian, memecah kesunyian yang dari tadi menyelimuti mereka.
Ibray tak menjawab, masih sibuk menyikat closet. Menunggu Reno berbicara kembali.
“Terus sekarang lo mau apa? Mau ngebuat Bintang kembali cinta ke elo setelah selama ini elo nyakitin dia, lo abaikan dia sehingga perlahan ngebuat dia begitu jauh dari elo? Ini berkaitan dengan hati Men, lo nggak bisa seenaknya ngebolak-balikin semudah ngebalik telapak tangan lo sendiri. Lo udah buat rasa cinta Bintang ke elo itu hilang dan sekarang lo mau rasa itu kembali, nggak semudah itu Bray.”
“Sok tau lo!” jawab Ibray kemudian.
Reno terkekeh. Ingin rasanya Ibray menonjoknya kembali, tetapi untung saja kali ini dia bisa menahan diri.
***
Bel pulang telah berbunyi. Pak Woko menghampiri Ibray dan Reno.
“Sudah sekarang pulang, kalian ini pasti sengaja berlama-lama bersihinnya agar tidak usah ikut pelajaran bukan?” tebak Pak Woko.
Ibray dan Reno malah cengar cengir, membereskan peralatan kebersihan lalu pergi dari tempat itu. Berjalan dalam diam menuju kelas, hendak mengambil tas masing-masing. Tetapi dari arah berlawanan terlihat Tobi sudah membawakan tas mereka. Baik bener rupanya.
“Bagaimana hukumannya? Enak?” gurau Tobi. Ibray menjitak kepalanya. Mengambil tas miliknya di gendongan Tobi.
“Gue pulang dulu,” ucap Ibray lalu berlalu.
Reno dan Tobi justru berjalan menuju kantin. Reno yang mengajak. Perutnya lapar.
“Ck, bego lo, malah panggil guru, makin ribet kan urusanya,” ucap Reno. Duduk di salah satu bangku kantin.
“Sorry, gue panik tadi.” Tobi duduk di depan Reno. “Seharusnya lo nggak perlu pake cara itu.”
“Gue sudah tahu sejak awal jika terlalu beresiko, tetapi nggak ada cara lain yang bisa gue lakuin.”
“Seharusnya lo biarin aja akan seperti apa alurnya, dan entah bagaimana nanti endingnya,” ucap Tobi serius. Jika tidak dalam situasi seperti ini mungkin Reno sudah menertawakan kata-katanya yang sok puitis.
“Gue kesel sendiri Bi, Ibray itu bego minta ampun, sampai kapan dia harus memaksa dirinya sendiri untuk berpura-pura benci banget sama Bintang? Padahal yang sebenarnya dia masih cinta ke Bintang. Sedangkan gue disini yang tahu akan itu hanya diam saja? Gue nggak bisa. Gue ingin melakukan sesuatu buat Ibray. Gue utang besar ke Ibray Men, gue pernah utang nyawa ke dia. Lo inget waktu itu?”
Tobi mengangguk, dia ingat dan dia merupakan salah satu saksi mata kala itu. Ibray pernah menyelamatkan Reno dari kecelakaan. Kejadian itu sejak awal kelas sepuluh. Reno hampir saja tertabrak truk dengan rem blong yang melintas cepat di jalan raya depan sekolah. Jika saja Ibray tidak datang dan menyelamatkan Reno, mungkin Reno sudah tewas seketika saat itu.
“Gue pengen Ibray seneng, dia sudah terlalu banyak menderita dengan segala permasalahan di keluarganya.”
“Jika gue adalah elo mungkin gue sudah melakukan hal yang sama. Sayangnya gue adalah Tobi, yang hanya bisa melihat lalu mengikuti alur kehidupan tanpa berani mengubah keadaan.”
Reno terkekeh mendengar kalimat Tobi barusan.
“Terus gimana sekarang? Ibray sama sekali nggak mau dengerin penjelasan elo tadi?”
“Nggak penting sebenarnya jika dia tahu untuk apa gue lakuin semua ini, yang penting dia dengerin petuah gue.”
Tobi menatap Reno tak mengerti.
Reno tertawa pelan tapi tak lama kemudian meringis, ujung bibirnya terasa perih.
“Bibir sobek masih aja maksa ketawa.” Tobi terkekeh. “Eh, tadi Bintang nangis loh. Yakin lo, dia masih cinta ke Ibray? Kalo dia ternyata sekarang cinta banget sama lo gimana?”
“Bintang itu suka sama gue cuma sekedar kagum. Dia nerima gue cuma buat ngalihin perasaan cintanya ke Ibray yang begitu menyakiti dia. Dengan sama gue, dia perlahan akan berusaha mencintai gue dan akan dengan mudah melupakan perasaannya pada Ibray seutuhnya. Sayangnya dia nggak bisa dengan mudah menikam perasannya sendiri. Gue yakin dia tadi nangis cuma karena kecewa dibohongi sama gue.”
“Lo ahli banget soal nanganin kisah cinta orang lain men, tapi sayang, ngurusin kisah cinta sendiri justru nggak bisa.” Tobi terkekeh.
“Sialan lo.”
“Lhah, bener kan? Selama ini lo nggak pernah cerita naksir sama cewek, lalu tiba-tiba secara mengejutkan pacaran sama Bintang, e ternyata cuma permainan lo aja. Sebenarnya lo beneran gay ya?”
“Ngawur lo.” Semprot Reno. “Emang belom ada cewek lain yang gue suka setelah almarhum Jesie.” Reno berubah murung.
“Gue kira lo sudah ngelupain dia Ren.”
“Sulit.”
Jesie itu cewek yang dicintai Reno sewaktu SMP, sayangnya sudah meninggal, kanker otak. Dia meninggal sebelum tahu jika Reno itu menyukainya. Anak SMP biasanya memang cuma cinta monyet, tetapi Reno berbeda, dia benar-benar menyukai jesie dan hingga sekarang pun masih sulit untuk melupakannya.
“Udah saatnya lo ngelupain dia Ren, biar dia terkubur dalam-dalam didasar hati lo, tidak harus lo lupain denga cara ngebuang dia dari sana.”
Reno mengangguk. Tobi benar. Dia akan berusaha melupakan Jesie.
“Terus, kapan lo putusi Bintang? Misi lo terbongkar lebih awal sih, baru aja mereka akur belum bener-bener deket lagi.” Tobi mengalihkan
“Bentar lagi gue putusin Bintang, tapi dengan kayak gini sebenarnya udah putus otomatis deh.”
Tobi terkekeh. “Hati-hati loh Ren.”
“Maksud lo?”
“Bisa jadi suatu saat lo tiba-tiba jatuh cinta sungguhan sama Bintang.”
***
“Udahlah lupain Reno mulai sekarang, buang jauh-jauh perasaan lo, buat apa cinta sama orang yang sudah hianatin elo,” ucap Loli.
Kamar Bintang penuh dengan tisu bekas ingus dan air mata. Bintang kembali menangis setelah sampai di kamarnya. Padahal sejak dua jam pelajaran terakhir dia terlihat sudah tenang.
Siti dan Loli tadi memutuskan untuk kerumah Bintang, sebenarnya memang ada tugas sekolah yang harus dikerjakan. Tetapi sekarang mereka justru mendapat tugas tambahan, menenangkan Bintang.
“Gue nangis bukan karena gue sakit hati karena cinta Lol, gue nangis lebih karena kecewa, kesel sendiri. Kenapa sih cowok yang deket sama gue pada ujung-ujungnya harus nyakitin gue? Nggak Ibray nggak kak Reno, sama saja.”
“Sabar ya Bin,” ucap Siti.
“Kak Reno enaknya dikasih pelajaran deh Bin,” saran Loli.
“Nggak usah, gue juga salah.” Bintang menggeleng. “Seandainya kak Reno beneran cinta sama gue, justru gue yang akan ngebohongi dia karena sejatinya sekarang gue menyadari bahwa gue udah manfaatin dia buat menikam perasaan cinta gue ke Ibray,” aku Bintang sambil masih terisak.
“What?” Loli mendekap mulutnya kemudian.
“Jadi kamu cinta ke kak Ibray?”
Bintang diam. Berarti iya.
“Sebenarnya juga dari awal gue sudah merasa ada aneh dengan hubungan lo sama kak Reno, tak seperti orang pacaran. Kak Reno memperlakukan elo seperti adiknya malah, sedangkan elo nggak masalah dengan itu.”
“Sebenarnya apa ya yang menjadi alasan kak Reno buat menipu Bintang?” gumam Siti.
“Nanti kita cari tahu ya Bin. Sekarang udah jangan nangis.”
“Gue kecewa sama kak Reno Lol, gue kira dia cowok yang baik. Lagian siapa sih yang suka dibohongi?”
Loli mengusap-usap punggung Bintang.