BIAR
“Eh Bos Ibray, kemana aja lo? Kemaren kok cabut?”
“Males belajar,” jawab Ibray santai. Duduk disamping Tobi lalu meneguk minuman yang baru saja dibelinya. Mengamati suasan kantin pagi ini yang tidak begitu ramai. “Reno mana?”
Tobi mengangkat bahu. “PDKT sama Bintang mungkin.”
Sekarang Ibray sedang tak ingin memikirkan mereka. Bodo amat, itu bukan urusan Ibray sekarang. Terserah mereka mau apa.
“Lo baca apaan? Coba lihat.” Ibray asal merebut surat yang ada ditangan Tobi. Penasaran.
Tawa Ibray meledak setelah selesai membaca surat itu. “Apaan ini? Hahahaha ...”
“Malah ketawa lo,”
Ibray menjitak kepala Tobi. “Norak bener.”
Tobi bangkit dari duduknya. “Biarin, gue mau cabut dulu, nyari pacar gue, keburu masuk,” ucap Tobi seraya berjalan meninggalkan Ibray.
“Kalo di inget-inget kelakuan Tobi mirip gue dulu waktu kecil,” gumam Ibray.
“Bintang,” panggil Ibray kemudian menghampiri Bintang yang duduk sambil memakan es krim ditaman impian.
“Ibray? Ada apa? Kamu kok tidak main sama mereka?” Bintang menunjuk kerumunan teman-teman mereka yang sedang bermain.
“Aku mau ngasih ini, buat kamu.” Ibray menyerahkan selembar kertas ke Bintang. Lalu pergi meninggalkan Bintang yang menatap tak mengerti kertas yang ada ditangannya.
Itu saat piknik SD, walaupun Bintang masih satu tingkat dibawah Ibray, dia bisa ikut juga karena memang yang berangkat dua kelas. Namun itu menjadi hari terakhir Ibray bersama dengan Bintang, sebelum Bintang pergi keluar kota. Esoknya Bintang tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa terlebih dulu memberitahu Ibray.
Hingga sekarang entah apa kabarnya surat itu, boro-boro akan dibalas, mungkin malah Bintang sudah lupa karena memang sudah bertahun-tahun lamanya. Atau bisa jadi Bintang mungkin tidak pernah membacanya, tidak penting.
“Ngapain lo pagi-pagi bengong?” ucap Bintang yang tidak sengaja bersimpangan dengan Ibray yang masih duduk disalah satu meja kantin. Menghentikan langkah.
“Terserah gue dong,” jawab Ibray acuh tanpa menatap kearah Bintang karena memang sedang tak ingin berurusan dengannya.
Bintang mengendikkan bahu lalu pergi begitu saja. Heran juga karena Ibray mengabaikannya. Tadi dia baru saja membeli minuman, pagi-pagi sudah haus saja karena menertawakan Siti dan kak Tobi habis-habisan yang baru tadi resemi berpacaran, lucu sekali mereka, pada salah tingkah semua.
***
“Kamu ini seenaknya saja ya, semalam tidak pulang kemana saja kamu? Pasti melakukan hal-hal bodoh kamu itu!” seru Ayah Ibray tiba-tiba saat Ibray baru saja melangkahkan kaki kedalam rumah, baru saja pulang sekolah.
Semalam Ibray memang tidur di saung, baru pulang tadi subuh dan jelas ayahnya tidak tahu, masih tidur hingga Ibray sudah berangkat kesekolah.
“Ayah juga seenaknya sendiri,” jawab Ibray tanpa menatap wajah Ayahnya. Berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya dilantai atas.
“Kamu itu kurang ajar sekali, Ayah sedang ngomong!” seru Ayah Ibray kembali.
Ibray mengabaikannya.
Ayah Ibray menggeleng-gelengkan kepala, duduk disofa sambil mengusap kepalanya. Pusing memikirkan kelakuan Ibray.
“Anak itu bener-bener, dia pikir aku kerja siang malam ini untuk siapa lagi kalau tidak untuk dia,” gumam Ayah Ibray. Bangkin dari sofa lalu berjalan menuju kamar, ingin tidur. Hari ini kebetulan bisa pulang cepat.
Tetapi bukan itu yang diinginkan Ibray, uang ayahnya, melaikan lebih menginginkan perhatian dan waktunya.
***
“Risa mana Ma? Belum pulang?”
Bintang berjalan menghampiri Mama dan Ayahnya yang sedang makan dimeja makan, hendak bergabung.
“Pergi belajar kelompok dirumah temannya,” jawab Mama Bintang.
Bintang mengangguk.
“Ayah kapan pulang?”
“Tadi pagi pukul sembilan,” jawab Ayahnya. Baru pulang dari luar kota, urusan pekerjaan.
Bintang kembali mengangguk.
“Ayah lihat sekarang kamu nggak akrab lagi sama Ibray? Bukankah dulu lengket sekali, berduaan terus?” Ayah Bintang asal comot topik pembicaraan.
Bintang hanya mengendikkan bahu. Mulutnya penuh makanan. Jika tidak sedang penuh pun dia tidak tahu harus menjawab apa.
Ayah Bintang menatap tak mengerti. “Kamu ini bagaimana?”
“Bintang sudah punya pacar, Yah, mungkin itu membuat Ibray cemburu terus menjauh dari Bintang,” celetuk Mama Bintang yang asal bicara.
Bintang melotot ke Mamanya yang membuat Mamanya terkekeh.
“Siapa pacar kamu?”
“Nggak ada, Yah ... Mama itu asal bicara saja. Sudah ah Bintang mau makan dulu, ditanya mulu kapan selesainya.”
“Eh Bintang, Mama dengar hubungan Ibray dengan Ayahnya itu kurang baik ya, setelah Ayah dan Ibunya bercerai?
Baru saja Bintang selesai menelan sesuap nasi, sudah ditanya lagi.
Bintang mengangguk.
“Kamu ini sebagai sahabatnya harus bisa bantuin dia dong, bantuin memperbaiki hubungan Ibray dengan Ayahnya. Kasihan loh Ibray, seperti tak punya Ayah dan Ibu. Dia dan Ayahnya sepertinya jarang berada dirumah, jarang terlihat. Mama juga dengar katanya Ibray sekarang bandel banget ya? Mama mau tanya ke kamu dari dulu kok lupa terus,” ucap Mama Bintang panjang lebar.
“Ibray bukan temen aku lagi Ma. Bintang mau tidur siang dulu, capek.” Bintang berjalan menuju lantai atas, tanpa menghabiskan dulu makan siangnya, sudah hilang nafsu makannya.
Ayah dan Mama Bintang saling pandang, tak mengerti. Entahlah anak muda. Walaupun kedua orang tua Bintang tahu jika sekarang Ibray bandel, tapi sepertinya Ibray masih memiliki sisi sifat yang baik. Yang pasti sekarang mereka berharap jika Ibray dan Bintang bisa seperti dulu lagi agar Bintang bisa mengembalikan Ibray kearah yang benar. Tak baik jika persabahan mereka menjadi hancur. Tapi sayang, kenyataanya sekarang persahaban mereka memang sudah hancur.
***
Matahari telah muncul, besinar terang di ujung timur. Hari senin rasanya malas sekali berangkat kesekolah. Bintang memaksa tubuhnya untuk bangun dari tidurnya. Berjalan tersuruk-suruk menuju kamar mandi, mengucek matanya yang belum sepenuhnya terbuka.
Benar-benar hari yang menyebalkan, baru kemarin enak-enakan bersantai tidur seharian, sekarang harus kembali ke rutinitas, sekolah. Kurang lama liburnya pikir Bintang. Dan sekarang Bintang berangkat kesiangan, berjalan secepat mungkin agar cepat sampai dikelasnya. Yang dimaksud dengan kesiangan adalah dalam ukuran waktu mau menyontek PR yang belum dikerjakannya karena semalam lupa. Sekarang waktunya tinggal lima belas menit sebelum bel masuk, mana cukup untuk menyelesaikan PR Pak Cecep yang banyaknya minta ampun.
Namun saat Bintang sampai didepan kelasnya, tiba-tiba dia dikejutkan dengan keberadan Reno yang berdiri diambang pintu dengan sebuket mawar merah ditanganya, menatap Bintang sambil tersenyum. Sedangkan teman sekelas Bintang diam berdiri dibelakang Reno, juga menatap Bintang. Bintang dan Reno menjadi pusat perhatian. Siswa kelas lain yang melihatnya pun ikut mendekat, ingin tahu.
Bintang menatap mereka tak mengerti.
“Kak Reno ngapain disini?” tanya Bintang akhirnya.
Namun Reno justru berlutut didepan Bintang, mengacungkan sebuket mawar merah padanya. “Bintang, mungkin ini terlalu cepat karena awalnya kita tidak terlalu dekat, tapi apa boleh buat, hatiku tak sanggup lagi untuk tak berucap, aku tiba-tiba saja telah terpikat padamu. Bintang, aku menyukaimu, maukah kamu menjadi pacarku?”
Bintang mematung, membisu, matanya masih terpaku pada tatapan Reno. Dia tidak tahu harus bagaimana, bingung karena ini semua terlalu cepat, mendadak. Tapi cinta memang biasa datang disaat yang tak terduga bukan. Dan juga bukankah dia mulai menyukai Reno, jadi apa masalahnya?
Reno bangkit dari posisi berlututnya. “Kalo kamu nggak bisa jawab sekarang juga nggak apa-apa kok,” ucap Reno kemudian karena Bintang masih saja membisu. Suasana menjadi senyap sekarang.
“Eh ... aku ... aku mau,” jawab Bintang akhirnya.
Reno memeluk Bintang sesaat.
Biarlah, biarlah kecambah rasa suka yang masih kecil ini tumbuh semakin besar, dan semoga memang bisa bertambah besar hingga benar-benar menggantikan posisi perasaan yang dulu pernah ada, menikamnya habis. Biarlah Bintang perlahan lahan benar-benar mencintai Reno.
Hingga akhirnya bel masuk membubarkan peristiwa indah dipagi itu.
Bintang memukul jidatnya sendiri. “Astaga ... PR gue!” seru Bintang tiba-tiba. “Kak Reno aku masuk kelas dulu ya, udah bel, PR aku belom selesai,” ucap Bintang cepat.
Reno mengangguk, menahan tawa karena tingkah Bintang barusan.
“Ya sudah, aku ke kelas juga ya?” Reno melambaikan tangan. Setelah sebelumnya mengacak-acak rambut Bintang yang lagi-lagi membuat Bintang salah tingkah dibuatnya.
Bintang segera memasuki kelas, menyambar buku Siti untuk mencontek PR nya.
***
Sedangkan Ibray, dia menyaksikan itu semua, mengintip dari balik pohon. Tadi dia tak sengaja melihat Reno yang berjalan menuju kelas Bintang dengan sebuket bunga ditangannya. Ibray penasaran sehingga membuntutinya, mengendap-edap dengan sesekali bersembunyi dibalik apapun yang bisa menyembunyikan dirinya, hingga berakhir di sebuah pohon yang tepat berada di depan kelas Bintang yang merupakan lokasi pengintaian yang setrategis.
Ibray berbalik, berjalan menuju kelasnya dengan kedua tangan terkepal. Dia merasa sepertinya hatinya sedang tidak beres.
***
“Hai.”
“Kak Reno? Ada apa?” tanya Bintang pada Reno yang sudah berdiri sambil bersandar pada tiang didepan kelas Bintang.
“Mau nganterin kamu pulang lah ... jangan-jangan kamu lupa ya kalo kita udah pacaran?” selidik Reno. Menahan senyum.
Mata Bintang membulat. “Eh, ya nggak kok,” jawab Bintang salah tingkah.
“Ya udah ayo,” ajak Reno. Digenggamnya tangan Bintang yang semakin salah tingkah.
Bintang menoleh ke Siti yang ada disampingnya. “Eh Siti, gue pulang sama Kak Reno ya?”
“Iya,” jawabnya.
“Dipegangin yang kenceng Kak Bintangnya, ntar jatoh lagi sangking groginya digandeng sama Kakak,” celetuk Loli.
Reno Tertawa. “Siap, ya udah kita duluan ya.”
Sepanjang jalan menuju gerbang mereka menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, Reno yang merupakan salah satu siswa populer setelah Ibray, tiba-tiba menggandeng cewek. Padahal selama ini Reno terkenal banget kalau nggak pernah pacaran. Malah suatu ketika pernah digosipin kalo dia itu homo sama Ibray, ada-ada saja. Itu karena Ibray juga nggak pernah kelihatan gandeng cewek, dingin banget sama cewek malah. Dan Ibray sama Reno memang sering bersama, sebenarnya ada Tobi juga.
“Bintang,” ucap Reno saat mereka mulai membelah jalanan.
“Iya, Kak?”
“Manggilnya jangaan kak dong ... kan kita udah pacaran, kalo manggilnya kak kesannya aku kayak kakak kamu aja.”
“Gimana ya, lebih enak manggil kakak, soalnya udah terbiasa.”
Reno terkekeh pelan. “Ya udah deh, terserah kamu.”
Bintang senyum-senyum sendiri, menyadari jika Reno sekarang pakai sapaan aku kamu.
Beberapa menit kemudian mereka telah sampai dirumah Bintang.
“Kakak duduk dulu ya, sebentar aku panggilin mama.”
Reno mengangguk, duduk diruang tamu. Sedangkan Bintang berjalan ke ruang makan, mencari mamanya yang benar sekarang ada disana, hendak makan bersama ayah dan Risa.
“Ma, kak Reno mau pamitan.”
“Oh calon mantu datang toh?” gurau Mama Bintang. Berjalan menuju ruang tamu.
Wajah Bintang memerah. Berjalan mengikuti Mamanya.
“Tante, Reno mau pamit dulu,” ucap Reno setelah Mama Bintang sampai dihadapannya.
“Loh kan baru sampai kok langsung pulang? Makan siang bareng kita saja dulu ya?”
“Tidak usah tante, soalnya Reno ada janji sama Ibray.”
“Oh, ya sudah,” jawab Mama Bintang sambil tersenyum. Menunjukkan rasa suka dengan Reno.
Setelah itu Reno berpamitan, juga dengan Ayah Bintang yang tiba-tiba muncul.
***
“Cie yang habis dari nganterin pacar,” celetuk Tobi setiba Reno dikamar Ibray.
“Halah, lo juga sama.”
Tobi terkekeh. Matanya terus menatap ke game didepannya. Sedang bermain bersama Ibray yang sedari pagi tiba-tiba berubah menjadi pemurung.
“Bi, lo gantian main sama Reno deh, udah capek gue,” ucap Ibray lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Menghubungi seseorang dengan ponselnya.
“Halo, ntar malem jadi?”
“Dimana? Jalan Anggrek?” tanya Ibray setelah mendengar jawaban orang disebrang sana.
“Iya gue ikut.” Ibray memutus sambungan.
Tobi dan Reno menatap Ibray. “Lo mau ikut balapan? Kirain udah tobat lo, Bos,” ucap Tobi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Mau cari hiburan,” jawab Ibray santai. Merebahkan diri di tempat tidurnya.
“Nggak usah ikut lah Bray, rawan polisi tempat itu,” ucap Reno kali ini.
“Iya, Bos, kalo butuh hiburan mah sama kita aja, kita temenin main game. Atau jangan-jangan lo butuh cewek buat hiburan karena ngiri sama kita? Udahlah tenang aja, itumah gampang ntar kita cariin.”
Ibray menatap tajam kearah Tobi yang kemudian beringsut.
“Kalo kalian nggak mau nemenin gue ya udah, gue bisa pergi sendiri.”
Reno menghela nafas, tak ada yang bisa melarang Ibray melakukan apa yang dia mau. “Ntar kita ikut lo, tapi nonton doang,” ucap Reno akhirnya.
***
Pukul sebelas malam mereka telah sampai di Jalan Anggrek. Sudah banyak yang berkumpul disana, termasuk Ero, ketua salah satu geng motor yang biasa menantang Ibray buat balapan.
“Weh Ibray, udah lama lo nggak ikut balapan,” ucap Ero dengan tatapan angkuhnya. Memang seperti itu dia.
“Udah nggak usah basa-basi, kita mulai aja. Gue kalah lima juta buat lo, lo kalah lima juta buat gue,” ucap Ibray, menatap tajam Ero.
“Oke,” jawab Ero singkat lalu beranjak untuk mempersiapkan diri.
Reno dan Tobi sebenarnya cemas dengan Ibray. Ibray terlihat sedang kacau, bisa-bisa terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena Ibray sering kali tak bisa meredam emosi.
Reno tahu apa yang mejadi penyebab Ibray seperti ini, pasti karena fakta bahwa Bintang sudah jadian dengannya. Tapi ini salah Ibray sendiri karena tak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya. Jangan salahkan Reno karena terlebih dahulu mengambil Bintang.
Lima belas menit kemudian Ibray sudah dalam keadaan menunggangi motornya dalam kecepatan penuh. Meliuk-liuk dijalanan. Menyalip pembalap lain yang ada didepannya. Dia sebenarnya tidak peduli nantinya akan menang atau kalah, tak peduli dengan uang lima juta itu, yang penting dia bisa meluapkan emosinya.
Tiba-tiba saat di tikungan terakhir pada lap terakhir pula, Ibray tak bisa mengendalikan motornya, dia terjatuh cukup keras. Seketika semua orang yang menonton menghampiri Ibray, berseru panik. Tobi yang terlebih dulu sampai segera membuka helm Ibray, dia tak sadarkan diri, juga ada beberapa luka ditangan dan kakinya.
Malam itu balapan usai dengan Ibray yang berakhir di rumah sakit dan Ero yang menjadi pemenangnya. Ero cuek saja melihat Ibray, hal ini sudah biasa terjadi di balapan.
Untungnya kata dokter Ibray tak mengalami luka yang cukup serius.
Ayah Ibray datang satu jam kemudian setelah Reno menghubunginya. Setelah sampai dia justru memarahi Reno dan Tobi habis-habisan.
Tak lama setelah itu Ibray sadarkan diri. Kepalanya terasa berat juga nyeri disekujur tubuhnya. Ibray melirik, mengamati tubuhnya sendiri yang dibalut perpan pada beberapa bagian. “Mengenaskan,” batinya.
“Sudah bangun kamu? Masih untung tidak mati kamu,” ucap Ayah Ibray.
Ibray membuang padangan dari wajah Ayahnya. Dalam kondisi seperti ini saja Ayahnya tak peduli, malah justru menyumpahinya mati.
“Ayah mau pulang, besok bi Piah kemari.” Ayah Ibray berjalan meninggalkan ruangan itu.
Reno dan Tobi yang sedari tadi menunduk sejak kedatangan ayah Ibray berjalan mendekati Ibray.
“Ayah lo galak bener Bray, tadi kita dimarahi habis-habisan,” ucap Tobi kesal.
Ibray terkekeh. “Kalian pulang aja.”
“Lo nggak apa-apa sendirian?” tanya Tobi.
“Gue nggak apa-apa.”
Reno mengangguk. “Ya sudah kita pulang dulu.”
Reno dan Tobi berjalan keluar ruangan. Sudah pukul dua dini hari. Siap-siap terkena seprot ibu masing-masing sesampainya dirumah.
Setelah kepulangan Reno dan Tobi, Ibray sama sekali tak bisa memejamkan mata walaupun sekujur tubuhnya terasa sakit. Sekarang dia hanya bisa berbaring menatap langit-langit. Merasakan kesepian yang tiba-tiba menyelimuti.
Ibray mendengus pelan. “Ibray Ibray, lo bener-bener bodoh, payah, buat apa lo mikirin Bintang, terserah dong dia mau pacaran sama Reno, apa masalahnya buat elo? Lo nggak bener-bener suka ke Bintang bukan? Lo itu paling cuma kebanyakan baper, cuma ngiri karena Reno yang sekarang deket dengan Bintang, bukan elo lagi. Kedekatan lo juga perasaan suka lo dengannya, berakhir sudah kala itu, sejak kepergian Bintang,” gumam Ibray. Berbicara panjang lebar sendiri.
***
“Dedek Siti, kita jenguk Ibray kerumah sakit yuk.”
“Loh, kak Ibray kenapa?”
“Kecelakaan semalem, biasa anak bandel ikut balapan.”
“Duh gusti, parah tidak, Kak?”
“Kok manggilnya kok kak lagi sih, panggil mas aja, biar romantis gitu,” ucap Tobi sambil senyum-senyum.
“Iya-iya.” Siti tertawa. “Terus bagaimana keadaan kak Ibray?”
“Nggak ada luka yang serius, mungkin nanti sore atau besok sudah boleh pulang,” ucap Reno kali ini yang sedari tadi menatap geli kelakuan dua orang didepannya.
Siti mengangguk. Kemudian menatap tajam kearah Tobi. “Mas Tobi tidak usah ikut-ikutan balapan juga ya,” ancam Siti.
“Yuk Kak Reno pulang,” ajak Bintang yang barusan keluar dari kelas.
“Kita jenguk Ibray ke rumah sakit dulu ya,” ajak Reno.
“Hah? Ibray kenapa?” tanya Bintang tak mengerti.
“Nyungsep, habis balapan,” jawab Siti.
“Parah?”
“Nggak terlalu,” jawab Reno.
Bintang mengangguk.