LOVE LETTER
“Mama ... kok nabrak-nabrak sih?” tanya Bintang lalu bangkit dari jatuhnya. Mengusap-usap pelipisnya yang terbentur kepala mamanya tadi. Pinggangnya juga ikut sakit.
Mama Bintang mengusap-usap pelipisnya yang juga nyut-nyutan, untung tidak ikut terjengkang seperti Bintang. “Kamu yang nabrak mama.”
Tadi Mama Bintang yang jelas mendengar jika Tobi hendak pulang langsung keluar dari tempat mengupingnya. Berjalan menuju ruang tamu disaat bersamaan dengan Bintang yang hendak menuju ruang tengah. Tabrakan jadi tidak terhindarkan.
Mama Bintang menoleh ke Tobi. “Nak Tobi, yang nabrak tadi Bintang atau saya?” tanyanya.
“Saling tabrak Tante, fifty fifty,” jawab Tobi yang sedari tadi menatap tak mengerti tingkah ibu dan anak itu. Menahan tawa sebenarnya.
Mama Bintang menahan tawa. Sedangkan Bintang cemberut karena dia merasa menjadi korban disini, keadaannya lebih parah.
Tobi berpamitan kepada Mamanya Bintang setelah itu.
***
Cahaya matahari menembus jendela kaca dikamar Ibray, menyilaukan. Suara burung-burung berkicau mulai terdengar. Ini hari kamis, tetapi sekolah libur karena tanggal merah, enak buat tidur seharian, lagian mau apa dia, tidak ada kegiatan lain. Namun sayangnya kini matanya tak mau diajak terpejam kembali. Mungkin rasa lapar mengalahkan rasa kantuknya. Terpaksa dia bangun dari tempat tidur lalu berjalan menuju dapur.
Terlihat Bi Piah, asisten rumah tangganya, seorang perempuan janda yang tidak mempunyai anak, bertubuh gempal, berusia hampir lima puluh tahunan, sedang menyiapkan sarapan. Ternyata baru pukul setengah tujuh sekarang.
“Eh Den Ibray sudah bangun, mari sarapan dulu, Den.” ucapnya.
Ibray mengangguk. Duduk. Mulai mengambil nasi goreng hangat. “Ayah berangkat kerja Bi?”
“Iya Den, ada urusan di luar kota yang harus dikerjakan katanya. Berangkat pagi sekali tadi, tidak sempat sarapan. Bibi hendak bawakan bekal tetapi katanya tidak usah.” ucapnya sambil masih sibuk membereskan peralatan dapur.
Ibray mendengus pelan. Lihatlah, tanggal merah saja harus berangkat kerja, tak ada sedikitpun waktu untuk Ibray. Apa sih yang sebenarnya hendak dicari Ayahnya? Apa semua yang dimilikinya ini kurang cukup? Ibray benar-benar tak habis pikir.
Suara mobil terdengar dari depan rumah Ibray.
“Biar Bibi yang lihat,” ucap Bi Piah seraya berjalan meninggalkan dapur.
Tak lama kemudian Bi Piah kembali bersama Reno. Ibray menatap Reno heran, tumben dia kemari pagi-pagi, pakai mobil segala.
“Wah, mau juga dong ...” ucap Reno lalu duduk disebelah Ibray. Ikut sarapan. Sudah terbiasa makan di rumah Ibray, jadi tidak ada rasa sungkan. “ Eh ... ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Reno dengan mulut penuh baru menyadari tatapan heran Ibray.
Ibray menggeleng. “Aneh saja,” jawabnya santai.
Reno menatapnya dengan kedua alis terangkat.
“Aneh, lo tumben datang kesini pagi-pagi terus main ambil aja nasi goreng gue,” jelas Ibray.
Reno cengar-cengir. “Mau pergi sama Bintang, makanya pagi-pagi, takut kesiangan ntar. Terus berhubung dirumah nggak ada sarapan, karena mbok Ipeh belum balik, gue kesini deh, siapa tahu ada sarapan, dan memang bener ada.”
Raut wajah Ibray berubah, terkejut, entahlah. Reno menyadari itu pasti berhubungan dengan kalimat pertamanya.
***
Semalam, tak lama setelah Tobi pulang, tiba-tiba ponsel Bintang berdering, ternyata Reno yang menelfon, mau mengajaknya ke suatu tempat besok. Bintang menyetujuinya saja, walaupun sebenarnya dia bertanya-tanya kenapa Reno mendadak mendekatinya. Tapi dia masa bodoh dengan itu, yang penting bisa dekat-dekat dengan Reno. Semakin cepat dia benar-benar dekat dengan Reno, maka semakin cepat pula kecambah perasaan itu tumbuh besar, tak akan memberikan sedikit pun tempat bagi rasa yang sebelumnya telah ditikam habis untuk tumbuh kembali.
“Kita kemana, Kak?” tanya Bintang memecah lengang.
“Nanti juga akan tahu,” jawab Reno. Dia tak asal mengajak Bintang pergi kesuatu tempat, namun ada misi penting dibaliknya.
Sekarang mereka memecah jalanan yang padat, maklum hari libur. Entah kemana Reno akan membawanya, jelas Bintang tahu jika menuju ke luar kota. Sudah dua jam lebih perjalanan tapi tak ada tanda-tanda Reno akan memberhentikan mobilnya, baru setelah setengah jam kemudian. Tempat wisata, Taman Impian, ke tempat itu ternyata.
Mereka berjalan bersisihan, dengan Bintang yang menatap takjub. Sudah lama sekali dia tak kesini, sewaktu piknik SD bersama Ibray. Bintang menghela nafas kemudian menghembuskan keras-keras, lagi-lagi Ibray tiba-tiba muncul dalam kepalanya. Bintang menggeleng kuat, berfikir bahwa itu akan melenyapkan ingatannya akan Ibray.
“Lo kenapa Bin?”
“Eh ... nggak apa-apa kok, Kak, seneng aja sudah lama nggak kesini,” jawabnya asal.
Reno mengangguk, tak banyak tanya karena sebenarnya dia sudah bisa menebak sendiri tanpa perlu penjelasan dari Bintang.
Reno mengajak Bintang duduk di sebuah bangku panjang. Dipandangnya Bintang yang duduk disebelahnya sambil asik makan es krim, belepotan. Gadis itu benar-benar polos pikirnya, walaupun keberaniannya tinggi dalam hal melawan Ibray.
“Sini aku bersihin,” ucap Reno. Membersihkan bekas es krim di wajah Bintang.
Bintang yang salah tingkah membuat Reno mati-matian menahan tawa. “Eh, makasih, Kak,” jawab Bintang akhirnya. Wajahnya masih memerah.
“Lo terakhir kesini kapan?”
“Udah lama banget, waktu piknik SD, sama ... si Ibray juga.”
“Eh, ngapain juga gue pake sebut-sebut Ibray segala, nggak penting banget,” batin Bintang.
Reno mengangguk. Berarti bener, Bintang adalah seorang gadis manis, lucu dan penyuka es krim yang dulu telah membuat seseorang itu gila karena merasa dihianatinya. Tapi sepertinya Bintang bukan tipe seorang penghianat, munafik, jahat seperti yang seseorang itu katakan. Seseorang itu sepertinya mencintai sekaligus membenci orang yang sama. Eh, mana ada yang seperti itu, bukankah harusnya salah satu, jika tidak cinta berarti benci. Reno justru pusing dengan kesimpulannya sendiri.
“Kak? Kok bengong?”
Ucapan Bintang membuyarkan lamunan Reno yang memusingkan tadi.
“Bin, lo itu sama Ibray kok aneh ya?”
Alis Bintang bertaut. “Maksud Kakak?”
“Ya aneh aja, sewaktu kelas sepuluh lo baik banget sama Ibray, diem aja waktu dia buli, sedangkan sekarang malah ngelawan dia habis-habisan. Gue juga heran sama Ibray, kenapa pula seneng banget mengusik hidup lo, benci banget sepertinya, tapi bencinya itu aneh, antara beneran benci dan nggak.”
Bintang tidak tahu harus jawab bagaimana, dia sendiri bingung memikirkan kalimat terakhir Reno, antara beneran benci dan tidak. “Aku capek ditindas Ibray. Kak,” ucap Bintang akhirnya. “Dan soal Ibray benci banget sama aku, aku juga nggak tahu alasannya. Beneran ya ... Ibray nggak pernah cerita sedikitpun ke Kakak?”
Reno menggeleng. Ibray hanya menjawab asal saat Reno juga penasaran menanyakan kenapa dia benci dengan Bintang. Bintang ditakdirkan untuk dibencinya, begitu kata Ibray.
Fakta bahwa Bintang adalah benar gadis yang dimaksud Ibray, yang dicintainya sewaktu kecil dan bermula ditaman impian, sudah cukup untuk Reno. Alasan bencinya Ibray ke Bintang itu tidak terlalu penting untuk diketahui Reno sekarang, toh lama-lama akan terkuak dengan sendirinya jika benar itu benci yang sesungguhnya.
***
Reno mengantar Bintang pulang disaat senja dengan semburat jingganya yang indah tampak diufuk barat. Ibray mengamati mereka dari balkon lantai atas rumahnya yang menghadap tepat ke depan rumah Bintang. Memincingkan mata melihat mereka yang tiba-tiba terlihat begitu akrab. Bertanya-tanya sejak kapan Reno tertarik dengan Bintang, juga sebaliknya.
Reno yang mengetahui sedang diamati Ibray tersenyum dibalik helmnya, lalu memacu motornya meninggalkan rumah Bintang.
***
“Lo suka sama si Alien?”
“Ngapain lo tiba-tiba nanya itu?”
“Ya penasaran aja, tiba-tiba lo deketin dia.”
Reno hanya tersenyum tipis.
“Kenapa harus dia? Bukannya masih banyak yang laen yang lebih baik dari dia?”
Reno menatap Ibray tak mengerti. “Memangnya kenapa jika gue sukanya sama Bintang? Nggak ada alasan kuat yang ngebuat gue nggak bisa suka ke dia bukan? Dia cantik, manis, polos, baik. Yah ... kecuali kalo lo juga suka ke dia, gue bakalan ngalah dan mundur sekarang.”
Wajah Ibray memerah, “Ya ... nggak ... nggak lah ... gue nggak suka ke dia, mana mungkin. Kalo lo suka yang ambil aja,” ucap Ibray gelagapan.
“Ck, kalian ini kenapa ninggalin gue?” ucap Tobi. Tiba-tiba muncul lalu duduk di hadapan mereka, asal meneguk minuman milik Reno yang kemudian dijitak oleh pemiliknya.
“Lo ke toilet nya lama, keburu jam istirahat habis, kelaparan ntar kita,” jawab Reno.
“Eh Bi, lo katanya naksir cewek, siapa?” tanya Ibray. Tiba-tiba dia kepikiran jangan-jangan Tobi suka sama Bintang juga lagi. Secara kemarin malam Tobi kerumah Bintang, ada sedikit urusan katanya.
“Eh, kebetulan dia ada disini, itu tuh cewek yang gue maksud,” ucap Tobi sambil cengar-cengir, menunjuk cewek yang ia maksud.
Ibray dan Reno mengikuti arah yang ditunjuk Tobi. Terlihat Bintang sedang berjalan menuju meja kantin yang kosong, seketika Ibray dan Reno saling pandang, melongo.
“Eits ... bukan Bintang tapi yang dibelakangnya,” jelas Tobi.
Cewek berkacamata ternyata, Siti. Ibray dan Reno menghela nafas bersamaan.
“Bintang mah buat kalian saja,”
“Eh, apaan, Reno aja kali, gue mah ogah sama si Alien,”
Reno mengendikkan bahu.
Tobi akhirnya bertemu pandang dengan Bintang, sudah dari tadi dia menunggunya. Tobi hendak menanyakan tentang surat itu.Bintang duduk menghadap ke arah Tobi di seberang sana dengan Siti yang duduk dihadapan Bintang yang berarti membelakangi Tobi.
“Suratnya udah lo kasih?” ucap Tobi tanpa suara.
“Apa?” tanya Bintang juga tanpa suara.
“Surat,” kata Tobi sambil memperagakan apa yang dimaksud.
Bintang menepuk jidatnya sendiri. “Lupa,” jawab Bintang, masih tanpa suara tentunya.
Tobi ikut-ikutan menepuk jidatnya.
“Kamu ngomong sama siapa sih?” tanya Siti.
“Eh, anu ... sama Kak Reno,” jawab Bintang asal.
Siti menoleh ke belakang. Disaat bersamaan, kebetulan Reno juga sedang menoleh ke arah Bintang, tersenyum lalu mengedipkan sebelah mata.
Siti kembali menoleh ke depan. “Kalian so sweet banget sih,” ucap Siti pada Bintang yang sedang salah tingkah akibat apa yang dilakukan Reno tadi.
Sedangkan Ibray, berdiri, melangkah cepat keluar kantin.
“Eh ... Ibray kenapa tu Ren?” tanya Tobi yang menatap Ibray tak mengerti.
Reno mengendikkan bahu, dia sudah kembali menghadap Tobi. Sebenarnya Reno tahu Ibray kenapa, tetapi sekarang belum saatnya untuk memberi tahu Tobi, bisa kacau rencananya. Secara Tobi itu susah banget buat jaga rahasia, suka keceplosan.
“Lo ngomong apaan ke Bintang?”
“Tanya soal surat buat Siti yang gue titipin kemaren.”
“Surat? Surat cinta maksud lo? Zaman sekarang masih pake surat? Nggak zaman banget.”
“Biar terkesan romantis,” jawab Tobi sambil senyum-senyum.
Reno menggeleng-gelengkan kepala.
***
Sementara itu, Ibray memacu motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan sekolah. Dia sedang penat. Boro-boro belajar, tidur dikelas juga dia sedang tak ingin. Dia menuju tempat dimana yang mampu membuatnya tenang. Pemandangan hijau mulai menghiasi sisi-sisi jalan yang dilalui Ibray, tak lama dia menghentikan motornya kemudian dititipkannya pada seseorang yang bertugas di pos perjagaan tempat yang dituju Ibray.
“Titip motornya ya, Pak.”
“Siap Nak Ibray,” jawab Pak Rudi, salah satu penjaga hutan lindung yang didatangi Ibray. Pak Rudi mengenalnya karena Ibray memang sering ke tempat itu, menenangkan diri. Pak Rudi juga tahu, Ibray adalah seseorang yang banyak dikerubungi permasalahan. Dibalik segala sifatnya yang berandal, tengil, dia adalah orang yang rapuh.
Ibray berjalan menuju tempat tertinggi, hutan itu ada disebuah bukit. Udara yang sejuk membuat hati Ibray menjadi sedikit lebih tenang, juga suara burung yang berkicau bersahutan. Ibray duduk di sebuah saung di puncak bukit, bersandar pada tiang penyangga atap, menatap pemandangan lepas dihadapannya. Saung itu dibangun persis mengahap ke barat, tidak ada pepohonan di hadapannya, untuk itu bisa menatap pemandangan didepan tanpa ada halangan. Dulu dia tidak sengaja menemukannya. Disaat dirinya merasa kacau, mengendarai motor tanpa arah hingga sampai dihutan ini, berlarian menuju puncak hingga tiba di saung tua. Berteriak sekeras-kerasnya dengan berharap rasa sesak didadanya bisa hilang. Sekarang pun dia melakukan hal yang sama.
Ibray berjalan menuju batuan besar yang ada didekat saung, berdiri disana.
“LO PEMBOHONG BINTANG, PENGHIANAT, MUNAFIK ... GUE BENCI SAMA LO!” teriak Ibray.
“HAAAAAH ... GUE BENCI SAMA LO!”
Ibray terduduk, menutup wajahnya, dia menangis, dia hanya bisa menangis ditempat ini.
“Lo kasih gue harapan, setelah itu seketika lo hancurin sendiri harapan itu, Bin,” ucap Ibray lirih. Berjalan kembali menuju saung. Memukul tiangnya hingga tangannya berdarah, tak sakit menurutnya, karena sakit dihati lebih terasa sekarang. Kemudian Ibray bebaring di saung, masih terisak.
Ibray mendengus kemudian, mengusap air mata sialan itu. “Gue emang ditakdirkan buat nggak dicintai.” Ibray memejamkan mata hingga akhirnya terlelap.
***
“Ibray Ibray, seberapapun keras lo berusaha, lo nggak akan pernah bisa nyembunyiin perasaan lo sebenarnya didepan gue,” gumam Reno, sedang berbaring menatap langit-langit kamarnya.
“Gue tahu lo itu masih cinta sama Bintang, hanya saja ego sama gengsi lo terlalu tinggi, lo terlalu jaim buat mengakuinya.” Reno mendengus kali ini. “Dan sorry, gue harus ngambil Bintang dulu kali ini, karena lo nggak ada tanda-tanda mau deketin dia.”
***
Sementara itu, Bintang sedang bersandar di jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Mendongak, menatap bintang yang bersinar indah diatas sana. Semilir dingin angin malam menggerak-gerakkan rambutnya.
“Bin, ngelihatin apa sih lo? Dari tadi mendongak mulu, nggak pegel apa?” tanya Loli.
“Lihat deh Lol, bintangnya indah banget ....”
“Menurut gue lebih indah cowok ganteng daripada Bintang. Lagian ... gue sama Siti kesini itu mau belajar kelompok, bukan nemenin lo memandang bintang, iya nggak Ti?” ujar Loli kesal.
Siti mengangguk. Sedari tadi Bintang tidak ngebantuin sedikitpun tugas kelompok mereka, malah asik sendiri memandang bintang yang menyebabkan tugas mereka nggak kelar- kelar.
“Ck, kalian ini tega bener, gue ini lagi kacau, nggak mood buat belajar,” ucap Bintang. Berjalan malas menghampiri Siti dan Loli. Bintang kepikiran soal kepergian Ibray tadi siang, bertanya-tanya kenapa dia sepertinya terlihat marah sekali melihat kedekatannya dengan Reno. “Bener-bener tu orang, benci banget kalo ngeliat gue senang,” batin Bintang.
“Gue bantuin apa nih?”
“Tidak usah, telat kamu, ini sudah selesai,” jawab Siti.
“Sorry deh ya ....”
“Kita itu lebih kesel karena lo nggak mau cerita apa yang sebenernya ngebuat lo kacau kayak gini,” ucap Loli yang masih kesal.
“Gue kepikiran Ibray tadi siang, kayaknya dia marah banget, aneh bener itu orang.”
“Yang soal lo dikedipin kak Reno?”
“Iya,”
“Lo itu yang nggak peka, jelas kak Ibray itu cemburu, dia suka sama lo,”
Bintang menghela nafas, percuma cerita ke mereka, yang ada makin tambah pusing.
“Eh Ti, ini ada sesuatu buat lo,” ucap Bintang seraya mencari-cari surat cinta itu didalam tas nya, kemudian diberikannya kepada Siti. Hampir lupa lagi dia.
“Apa ini?” tanya Siti bingung hendak membuka surat itu tetapi ditahan Bintang.
“Baca ntar aja dirumah, disini ada Loli yang embernya minta ampun.”
Loli cemberut. “Pelit kalian, kasih tau dong, janji nggak ember soal yang ini deh ...” ucap Loli, ekspesinya berubah menjadi memohon.
Bintang menahan tawa melihat ekspresi Loli.
Siti membuka surat itu, penasaran yang membuatnya, tak sabar untuk segera membacanya.
03 September 2018
Kepada Yth.
Bidadariku Siti Purnama Sari
Di tempat.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat,
Dengan datangnya surat ini saya memberitahukan kepada Siti Purnama Sari, bahwa saya :
Nama : Tobi Septian Putra
Kelas : XII IPA
No. Absen : 36
Menyatakan bahwa saya menyukaimu, menyukai paras dan hatimu. Sejak pertama kali aku melihatmu, dari mata turun ke hati, aku tak bisa menahan diri untuk jatuh cinta kepadamu. Siti, hal ini tak bisa ku utarakan langsung lewat kata-kata, lidahku selalu kelu ketika ingin melakukannya. Namun aku bisa, dengan kalimat singkat ini akan aku sampaikan, “Maukah kamu menjadi pacarku?”
Dan bila kamu juga menyimpan rasa tolong ungkapkan saja. Terimalah cintaku. Bisa juga lewat kata dalam seutas surat cinta.
Demikian surat ini saya buat. Atas perhatian dan kebaikannya saya ucapkan terima kasih. Dan apabila ada kata-kata dan tingkah laku saya yang kurang berkenan di hati kamu, tolong di maafkan.
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Salam cinta,
Tobi Septian Putra
“Gila, surat cinta dari kak Tobi keren banget, baper gue,” pekik Loli.
Sedangkan Siti salah tingkah sendiri.
“Cie Siti ... udah terima aja, dikasih surat romantis kek gitu masa lo nggak kelepek-kelepek?” goda Bintang.
“Ini mah aneh, ini jadinya surat izin, bukan surat cinta,” ucap Siti. Memandang ngeri surat yang ada ditangan nya.
Loli tertawa. “Ini namanya surat cinta kekinian.”
“Ti, rencana lo mau bagaimana? Lo terima nggak?” tanya Bintang.
“Iya mungkin ya? Sepertinya saya juga mulai ada sedikit rasa ke kak Tobi,” jawab Siti malu-malu.
Loli kembali tertawa. “Nah gitu dong, nggak usah kebanyakan mikir, suka sama suka ya tinggal sikat aja, nggak usah ribet-ribet kayak Bintang sama kak Ibray.” Loli melirik sekilas ke Bintang.
Bintang melotot ke Loli.
“Lo mau bales pake surat juga?” tanya Bintang.
“Ck, enaknya ngomong aja deh Ti, ribet kalo pake surat mah. Tinggal bilang ‘Aku mau jadi pacar kakak.’ Gampang kan?”
Siti menatap Loli ngeri. “Tapi saya malu ....”
“Udah tenang aja, ntar gue sama Bintang temenin buat ngomong ke kak Tobi deh.”
Bintang mengangguk.
***
Siti, sedari tadi di sepanjang perjalanan pulang dari rumah Bintang terus memikirkan surat cinta dan perasaannya. Hingga kini, disini, didalam kamarnya, Siti mondar-mandir berkali-kali. Dia sungguh bingung bagaimana cara menerima cinta Tobi. Belum juga bertemu Tobi, sudah berdebar-debar kencang jantungnya, apalagi nanti kalau sudah bertemu, bisa-bisa dia pingsan lebih dulu sebelum sempat mengatakan perasaannya, akibat grogi berat. Di ambilnya ponsel di meja belajarnya, menghubungi Bintang, mungkin dia dapat membantu, pikirnya.
“Halo, Bin.”
“Ya, apa? Kangen gue ya lo? Baru aja tadi ketemu,” ucap Bintang sambil mengantuk, sesekali memejamkan mata. Sudah tidur sebenarnya dia tadi.
“Bukan ... saya butuh bantuan kamu,”
Tidak terdengar jawaban di seberang sana. “Halo, Bin.”
“Hm?”
“Saya butuh bantuan kamu!” seru Siti. Biarkan saja mengganggu Bintang malam-malam, biasanya juga Bintang yang justru sering mengganggunya.
“Nggak usah pake teriak-teriak kali. Bantuin apa? Ngantuk gue, udah larut waktunya tidur,” ucap Bintang masih dengan suara khas orang yang sedang mengantuk.
“Besok pagi saya harus bagaimana toh, Bin? Saya nggak siap untuk ngomong ke kak Tobi,”
“Udahlah, tenang aja, ntar gue temenin, gitu aja lo pikirin,”
“Masalahnya saya bener-bener nggak bisa ngomongnya, malu, takut,”
“Aneh lo mah, cuma bales ucapan cinta kok takut, yang benar saja? Kecuali kalo lo yang nembak kak Tobi.”
“Maklum lah Bin, baru kali ini saya di tembak,” ucap Siti kesal.
“Ya sudah bales pake surat aja besok, ntar gue yang jadi kurir cintanya lagi. Udah ah ya, gue ngantuk berat, mata gue udah minta diselimutin nih, bye.” Bintang menutup teleponnya.
Siti melongo, tega bener si Bintang. Tapi bener juga apa yang dikatakan Bintang tadi, Siti bales saja pakai surat.
“Eh sek-sek, saya kan juga nggak bisa nulis layang, kepiye toh si Bintang,” gumam Siti. Bahasa jawanya keluar.
Siti berbaring, memaksakan diri untuk tidur, sudah pukul sepuluh malam. Ingin melupakan sejenak tentang masalahnya, besok dia akan meminta bantuan Bintang saja. Tetapi apa daya, kegelisahannya justru memuncak hingga melenyapkan seluruh rasa kantuknya. Siti memutuskan untuk kembali kerumah Bintang. Urusan cinta benar-benar rumit baginya. Harus segera diselesaikan.
“Loh nduk, mau kemana toh? Ini uwis wengi, anak gadis aja lunga wengi-wengi,” ucap Nenek Siti yang melihat Siti meminta supirnya untuk megantarnya.
“Saya nginep ning rumah nya Bintang ya Mbah, wonten tugas kelompok,” ucap Siti seraya berpamitan kepada Neneknya. Langsung saja melesat menuju mobil.
***
“Bin, bangun.” Siti membangunkan Bintang.
Sekarang dia sudah berada dikamar Bintang, setelah tadi meminta maaf pada mamanya Bintang yang membukakan pintu depan karena datang malam-malam begini.
“Siti?” Bintang melotot, bangun dari tidurnya. Kaget rupanya dengan kehadiran Siti yang tiba-tiba ada disampingnya sambil cengar-cengir. “Ngapain lo kesini lagi? Oh gue tahu, mau minta bikinin surat kan? Besok kan masih ada waktu Ti ... lo mah ribet banget. Kalo gini ceritanya mah tadi mending lo nggak usah pulang, heran gue.” Bintang menghela nafas.
“Maaf deh ya,” jawab Siti masih cengar-cengir. “Sekarang bantuin saya, buatkan surat, benar-benar tak tenang hati saya, Bin.”
Rasanya Bintang ingin menjitak kepala Siti, dia bener-bener begitu polos. Jomblo selama bertahun-tahun, membuatnya tak mengerti akan hal tembak-menembak. Sekali ditembak jadi kacau bener dia.
“Nginep aja lo kalo gitu.”
“Iya memang. Kata simbah aku tuh anak perawan tidak boleh keluar larut malam.”
Bintang kembali menghela nafas. “Jadi gini Ti, gue kasih saran buat lo, jangan terlalu bingung lah. Enjoy aja kali. Kalo belum pacaran aja lo kayak gini, apalagi kalo udah, ancur jadinya. Cuma mau ngomong sama kak Tobi aja lo grogi abis, salah tingkah, apalagi ntar kalo ntar lo dicium dia, bisa mati sampe-sampe." Bintang terkekeh membayangkannya. Sedangkan wajah Siti memerah. “Kalo emang sekarang lo nggak siap buat pacaran ya sudah lah nggak usah diterima aja.”
“Eh, bukannya tidak siap, hanya bingung ... saya lelah juga single terus seperti kamu, mengenaskan.”
“Ck, bentar lagi gue juga bakal sama kak Reno,” ucap Bintang sambil tersenyum-senyum. “Yaudah, kita mulai sekarang aja, keburu ngantuk berat entar gue.” Bintang berjalan menuju meja belajarnya, mengambil buku dan pena.
Masalahnya sekarang, sebenarnya Bintang juga tidak pandai menulis surat, menulis surat dalam pelajaran Bahasa Indonesia saja dia harus remidi, apalagi surat cinta yang romantis, tapi usaha dulu lah demi Siti yang mengenaskan ini.
Lima menit.
Lima belas menit, kertas itu tak ada sedikitpun coretan tinta hitamnya. Bintang hanya mondar-mandir memikirkan apa yang hendak akan ditulisnya, tetapi buntu, tak ada ide yang muncul, efek mengantuk mungkin. Hingga berharap ada sebuah ide yang tertiup angin dan tiba-tiba masuk kedalam pikirannya.
“Bintang, sebenarnya kamu mau buatin surat apa nggak sih?” Siti merasa kesal sendiri, bosan mengamati Bintang yang masih terus mondar-mandir.
“Sabar dong,” jawab Bintang yang mulai mencoret-coret kertas ditangannya.
1 jam berlalu.
“Nih ... surat cinta karya Bintang akhirnya terselesaikan.” Bintang menyodorkannya ke Siti yang masih duduk manis di sisi ranjang.
Siti mulai membacanya.
Wahai kau pangeranku, telah aku terima sepucuk surat darimu dan telah ku baca pula isinya. Sungguh indah kata-katanya.
Oh pangeranku sejujurnya aku juga telah menyimpan rasa. Jika engkau perkenankan, aku akan mengucapkan beberapa kata untukmu, pangeranku.
Lama cinta ini telah ku pendam, aku simpan dalam hati diri sendiri. Hingga sekarang tak kuat hatiku menampung besarnya rasa cintaku padamu. Penuh sesak.
Oh wahai pangeranku, aku menerima cinta darimu. Aku sedia menjadi kekasihmu, bahkan aku mau jika kau jadikan aku sebagai pendamping hidup dan matimu.
Siti yang membacanya merasa geli. Meringis menatap Bintang.
“Ini alay Bintang, lebay, menjijikkan kata-katanya, ganti aja ya.”
Bintang menurutinya, karena setelah dia baca sendiri memang benar, menjijikkan. Dibuangnya surat tadi lalu mulai menulis kembali.
Lima belas menit kemudian.
“Nih.”
Aku juga mencintaimu. Telah lama aku pendam pula perasaan ini. Seperti bom jika disembunyikan lama. Detak jantung seperti alarm bom saat aku di dekatmu. Akan meledak seperti ledakan bom saat aku terlalu lama memendamnya. Hari ini akan aku berikan percikan bom yang indah untukmu. Untuk mau menjadi kekasihmu.
“Jangan ah ... jangan gini, apaan ini, malah cerita tentang bom. Masak cinta di samakan sama bom sih, muter-muter juga kalimatnya, ganti Bin.” Siti meremas kertas dan melemparnya ke tempat sampah di samping pintu kamar Bintang.
Bintang lama-lama juga kesal sendiri dengan Siti, sedari tadi hanya diam dan mengkritik surat karya darinya. Tidak bantu mikir gitu kek. Menyebalkan sekali, pikir Bintang.
“Lo itu ya bener-bener ... tau ah, udah hampir jam satu, gue mau tidur, ngantuk,” ucap Bintang kesal lalu membanting tubuhnya ke ranjang. Siti sama sekali tak menghargai karyanya. Tapi sebenarnya dia sendiri sadar jika surat yang dibuatnya itu ancur banget. Ah biarlah, dia benar-benar mengantuk sekarang.
“Bintang, terus ini gimana Bin, ah kamu mah gitu, malah tidur ....”
Siti berjalan menuju meja belajar, mengambil kertas dan pena yang sebelumnya diletakkan Bintang disana. Duduk dan mencoba menulis surat.
Waktu terus berjalan hingga satu jam terlewati namun belum satupun ada coretan di atas putihnya kertas. Siti mulai menguap, frustasi, asal mencoret-coret kertas pengumuman entahlah yang ada di meja belajar Bintang. Akhirnya muncul sebuah ide, jari jemari Siti siap melangkah di atas kertas. Hingga tak sadar, dia telah menyelesaikan sebuah surat gila sebagai balasan untuk cinta yang menggelikan. Bodo amat pikir Siti, yang penting intinya tersampaikan.
***
PENGUMUMAN
05 September 2018
Nomor absen: 39
Lampiran : -
Hal : Pemberitahuan tentang cinta
Kepada :
Yth. Kak Tobi Septian Putra
Kelas XII IPA 2
Di tempat
Diberitahukan kepada Kak Tobi, kelas XII IPA 2, bahwa sesuai hasil perasaan yang telah saya rasakan selama beberapa minggu belakangan ini, disepakati bahwa :
1. Aku nyaman dengan tatapan Kakak dari kejauhan.
2. Aku sayang, sebuah perasaan yang tiba-tiba tumbuh setelah kenyamanan.
3. Terjadi kumpulan dari beberapa rasa. Rasa nyaman dan sayang, yang berakhir dengan cinta.
Hasil dari semua keputusan pihak hati dan juga perasaan, saya menerima cinta Kak Tobi, dengan tulus tanpa memandang paras dan rupa, karena saya mencintai dari hati.
Demikian pemberitahuan dan kerjasama perasaannya dengan baik, saya sampaikan banyak terima kasih.
Hormat saya,
Siti Purnama Sari
“Baca apa lo Bi, sampe senyum-senyum sendiri kayak orang gila?”