Angin berhembus kencang menerpa wajah cantiknya. Kulihat senyumannya yang indah. Bibir mungilnya menyapa selalu matahari. Kusenang bila dia berada di sisiku. Diriku sangat merasa tenang. Kubelai perlahan rambut lembutnya. Lalu kupeluk erat dirinya. Setetes air mata bahagia turun membasahi pipiku. Bagai kupu-kupu dan bunga, seperti itulah kami. Selalu saling membutuhkan. Jika salah satu tak hadir maka tak lengkap kebutuhannya.
Awan hitam pekat mulai menutupi matahari. Hanya sedikit semburat merah yang terlihat. Tak lama kemudian, turun hujan setetes demi setetes. Kembali teringat kupu-kupu dan bunga ketika air hujan turun membasahi tanah. Kutakut kupu-kupu ku nanti tak akan hadir. Kutakut jika tak bisa melihatnya lagi. Jika ia tak hadir, melupakannya adalah hal yang sangat berat. Merelakannya tak semudah membalikan telapak tangan. Entahlah diriku akan bagaimana nanti jika itu terjadi. Apakah aku siap jika nanti kupu-kupuku tak kembali ?
***
Cahaya matahari menembus jendela kamar, membuatku terbangun dari tidur lelap. Kubuka mataku perlahan, hingga semburat cahaya matahari masuk ke mataku. Kicauan burung seakan menyambut pagiku. Kutolehkan wajahku ke arah ranjang di sebelahku. Diatasnya masih tertidur seorang puteri cantik.
“Kak, bangun yuk,” ujarku sambil mengguncangkan pelan tubuh kak Ina.
“Hoam… Eh ada matahari. Matahari udah makan ?” ujar kak Ina sambil berlari kecil ke arah jendela. Ya, kakakku memang begitu. Ia mempunyai kecacatan mental, matahari saja sampai dikira temannya.
“Viona,” suara lembut memanggilku dari arahdapur.
“Iya, Ma…”
“Ayo cepat berangkat. Udah jam berapa nih? Sarapan dulu sini. Ajak kak Ina juga,” seru mama sambil berteriak.
“Iya. Ayo Kak kita mamam dulu yuk,” kataku sambil menarik tangan kak Ina pelan.
“Brum..brum..pesawat dataaaang,” ujar kak Ina menyeloteh sambil menatapku.
Selesai sarapan, segera kusiapkan perlengkapan tariku. Fiuh, akhirnya selesai. Eh, sepertinya ada yang terlupa. Tapi apa ya? Tas sudah, selendang sudah, songket sudah. Astaga aku lupa menyiapkan perlengkapan tari kak Ina. Segera kubangun dari posisi dudukku lalu berlari kecil menghampiri kak Ina. Namun saat kubangun, kulihat di ambang pintu kak Ina sudah terlihat rapih dengan selendang putih yang melingkar di pinggangnya. Mataku melihatnya dengan penuh perasaan takjub. Segera kutuntun kak Ina masuk ke dalam mobil.
***
Di mobil kulihat kak Ina sedang mengobrol dengan temannya (matahari) lagi. Kutatap lekat-lekat wajah cantiknya. Aku beruntung punya kakak seperti kak Ina, walaupun punya kekurangan dia selalu menjadi yang terbaik. Deru suara mobil kini telah berhenti.
“Non… sudah sampai anjungan,” ujar pak Burhan, supirku membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya… makasih ya Pak,” kataku sambil menuntun kak Ina masuk ke dalam kelas tarinya. Kami berbeda kelas tari. Kak Ina di kelas khusus, sedangkan aku di kelas biasa. Kulambaikan tangan ke arah kak Ina. Terlihat ia tak menggubris perbuatanku. Aku sudah terbiasa dengan tingkahnya itu..
“Kak, titip kak Ina ya…” ujarku pada guru tari kak Ina.
“Iya,” jawabnya pendek. Kulirik kembali kelas kak Ina sebentar, lalu berlari kecil memasuki kelas tariku.
“Ayo, anak-anak ikuti aba-aba ya…1,2,3,…” kata guru tariku.
Kuperhatikan dengan saksama. Jari-jari mulai bergerak lincah mengikuti irama. Gerak gemulai tubuhku seakan bisa mengikuti alunan musik betawi yang mengiringi. Suara gambang kromong terdengar indah di telingaku. Kakiku mulai memutar mengikuti tarian yang diperagakan oleh guruku. Hari ini kutenggelam dalam alunan musik betawi.
***
Usai sudah latihan hari ini. Kulirik jam dinding dan menunjukkan bahwa waktu sudah lewat 2 jam. Segera kuambil tas bergambar Hello Kitty kesukaanku. Kemudian aku segera berlari menuju kelas kak Ina. Kubuka pintunya perlahan. Saat kulihat kelasnya hanya ada beberapa anak saja, dan di sana tak ada sesosok perempuan yang kucari.
“Adiknya Ina ya? Tadi Ina sudah pulang duluan,” kata guru tari kak Ina.
“Apa?!” jantungku berdetak cepat. Dadaku berdegup kencang. Aku terus mencari kemana-mana, namun tak ada hasil. Aku segera berlari ke warung bik Minah.
“Bi, Bibi lihat kak Ina gak?”
“Enggak,”
“Haduh… kira-kira kakak kemana ya?” kataku sambil menepuk dahi.
“Lho? Bukannya kakakmu sudah pulang?”
“Belum,”
“Ya Allah. Kok begitu? Coba telepon mama kamu aja, Bibi mau beres-beres warung dulu,”
“Iya, Bi. Makasih,”
Segera kuambil ponselku dari kantung celana.
“Halo, Ma,” kataku dengan nada panik.
“Iya. Kenapa Viona?” kudengar jawaban telepon dari mama.
“Kak Ina, Ma… kak Ina…” jawabku sambil terisak.
“Kenapa kak Ina ?”
“Kak Ina hilang, Ma, udah dicari di sekitar anjungan tapi tetap gak ada,”
“Ya Allah. Yasudah, kamu tenang dan tunggu disitu. Mama segera ke anjungan,” kata mama panik seperti orang yang mau melahirkan. Situasi sekarang memang sedang genting. Aku panik. Aku benar-benar takut kehilangan kakak. Diriku seakan terasa jauh dari kupu-kupuku.
***
Langit berwarna kelabu sudah mulai tampak. Matahari pun hanya menyisakan semburat merah. Bulan pun sudah mulai terlihat. Para burung terbang beriringan menuju rumahnya. Disampingku hanya ada mama yang terlihat gelisah. Mata sembab terpampang jelas di wajahnya. Diriku pun sudah mulai putus asa. Kantung mata pun sudah mulai penuh dengan air mata. Lama-kelamaan air mata itu pun pecah dan mengalir deras di pipiku bak bendungan yang tak kuat menahan debit air diatasnya.
“Ma, papa udah dikabarin?” tanyaku sambil menahan isak tangis.
“Udah, udah mama bilang kok. Papa juga ikut nyari,”
“Uh,” jawabku pendek.
Aku merasa kesal dengan diriku sendiri. Mengapa hari ini aku ikut les tari, bukannya menjaga kakak? Seandainya hari ini aku bolos, pasti semua ini tak akan terjadi.
“Ma, kakak dimana ya?” kataku seraya melirik ke arah jendela mobil. Mama hanya diam mematung, tak menjawab.
“Kalau kakak gak ketemu…”
“Kalau kakak jatuh….”
“Kalau kakak dianiaya…”
“Kalau kakak dibunuh…”
“Kalau kakak tertabrak mobil….”
“Kalau kakak tersesat…”
“Kalau kakak…..”
Belum selesai kulanturkan dugaanku, mama justru memotongnya.
“Hush, kamu jangan bilang kayak gitu !” kata Mama sambil melotot ke arahku.
Aku hanya bisa diam sambil menangis terisak-isak. Aku hanya bisa mencari dan berdoa agar kakak segera ditemukan.
***
Jam di dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Setiap tetesnya terselimuti rasa rinduku. Suara air hujan jatuh ke tanah seakan membuatku ketakutan. Gemuruh pun ikut merasakan kerinduanku. Segera kuambil air wudhu untuk menyucikan diri. Kututup auratku dengan sehelai mukena. Kemudian aku sholat dengan tenang, sesekali merasakan jatuh air mataku. Selesai sholat, kusisipkan doa untuk kak Ina.
“Ya Allah, jagalah kakakku dimanapun ia berada. Janganlah engkau menguji kak Ina dengan cobaan yang berat. Tolong pertemukanlah aku dengan kakakku. Tolong kabulkanlah doa hamba-Mu ini…Aamiin…” ujarku diakhiri dengan sujud.
Rintikan hujan kini sudah mulai berhenti, namun masih saja rindu ini kurasa. Suaranya pun mulai terdengar sunyi. Kusujudkan tubuhku di atas sajadah merah. Malam ini kembali kubersedih. Diriku sudah memendam rindu yang teramat dalam walau baru saja aku kehilangannya.
***
Matahari mulai menampakkan dirinya. Cahayanya mulai masuk ke dalam celah-celah kamar. Kudengar kicauan burung bernyanyi sedih. Kutatap ranjang di sebelahku, tak ada seorang putri yang tertidur lelap. Malam tadi diriku tak bisa tidur, bayangan kak Ina selalu menari lincah di pikiranku.
“Viona…”
“Kenapa, Ma?”
“Ayo sarapan…”
“Iya,” ujarku sambil menatap sekali lagi ranjang kak Ina.
Suara mama terdengar lesu. Kuturuni tangga, terlihat dua pasang wajah muram terduduk di meja makan. Kududuki kursi makan dengan perasaan sedih. Papa kali ini tak berangkat kerja. Kami sekeluarga sekarang akan fokus mencari kakak.
“Ini Mah, aku sudah kenyang…” ujarku sambil beranjak pergi bersiap mencari kakak. Makanan di piringku terlihat masih banyak.
“Papa juga sudah kenyang,” ujar papa sambil menyodorkan piring ke Mama.
“Pa, ayo cepetan cari kak Ina, Pa…” kataku sambil menarik-narik tangan papa.
“Iya,” jawab papa singkat.
“Aku ambil brosur tentang kak Ina dulu, ya…”
Papa tak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Kulihat wajah sedih terpampang jelas di wajah papa dan mama. Aku sangat berharap kak Ina dapat ditemukan hari ini.
***
Di mobil suasana tampak sedih. Hening. Kini tak ada lagi yang biasa menyapa matahari. Tak ada lagi canda tawa yang biasa dilontarkan kak Ina. Sekarang tidak ada lagi lengkungan di atas di bibir mama. Papa yang biasanya selalu senang jika ada kakak, kini tak ada lagi suara tawa papa. Semuanya telah berubah.
“Kring…” suara ponsel mama membuyarkan lamunanku.
“Halo…” kata mama mengawali pembicaraan.
“Apa betul ini dengan ibu Miranda?” ujar seseorang di seberang telepon. Mama lalu menekan tombol loudspeaker di ponselnya.
“Iya, betul. Dengan saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa ya?” kata mama.
“Oh, syukurlah. Saya melihat brosur yang tertempel di dinding panti dan kebetulan anak yang sedang ibu cari berada di panti saya,”
“Benarkah?!” aku tersentak kaget mendengarnya.
“Alamat panti nanti akan saya kirimkan ke nomor Ibu. Ibu tunggu saja kabar selanjutnya, ya…” kata orang di seberang telepon sana.
“Ya, baik. Akan saya tunggu. Terima kasih banyak, Bu,” kata mama mengakhiri pembicaraan.
Segera mama menekan tulisan matikan di ponselnya dan menunggu SMS mengenai alamat panti sosial yang menampung kak Ina. Setelah menerima SMS tersebut, mama berkata kepada pak Burhan, supir kami, untuk segera pergi ke tempat panti sosial tersebut. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih Engkau telah mengabulkan permohonanku, lirihku dalam hati.
***
Sesampainya disana, aku langsung mencari keberadaan kak Ina. Kusunggingkan senyuman kepada semua orang yang kutemui. Namun, wajah mereka terlihat sedih.
“Dimana kamar kak Ina? Dimana kamar kakak saya?” tanyaku tak sabar pada setiap petugas panti yang kujumpai. Semua hanya menunduk sedih.
“Ada di sebelah sini, Dik. Ayo, ikut saya,” akhirnya ada petugas panti yang menjawab rasa penasaranku. Aku dan keluargaku pun mengikuti langkah petugas panti itu hingga aku sampai pada sebuah ruangan yang dingin.
“Kakakmu ada di dalam. Masuk saja,” kata petugas panti itu lirih.
Segera kubuka pintu ruangan dengan perlahan. Perlahan mulai terlihat isi dari kamar tersebut. Kamar yang berwarna putih polos dan ada sedikit sarang laba-laba yang menggantung di tiap sudutnya. Ku lihat ranjang usang yang tertutup sehelai kain berwarna putih. Mataku bermain lincah mencari sosok yang aku cari.
“Mba, dimana kakak saya?” tanyaku penasaran.
“Ka… Kakakmu ada disini kok. I… Itu di sana lagi istirahat,” jawab salah satu pengurus panti gemetar.
“Loh, kenapa kakak saya ditutup kain begitu?” kataku kesal. Tanpa menunggu jawaban, segera kuberlari menghampiri ranjang usang itu. Di ujung kain, kulihat salah satu kaki kak Ina terlihat. Kusentuh kaki kak Ina perlahan. Dingin. Ada apa ini? Kenapa kakinya sedingin es? Pikiran buruk mulai menari lincah di benakku. Segera kusibak kain putih yang menutup tubuh kak Ina. Astagfirullah, tak mungkin! Pasti mataku salah melihat. Aku tak percaya ini semua terjadi. Tak mungkin!
***
Aku tak kuat untuk melihat tubuh kak Ina. Dirinya sangat mengenaskan. Matanya lebam tertutup rapat. Pipinya terlihat biru. Terlihat sedikit sobekan di mulutnya. Darah di keningnya sudah mulai mengering. Selendangnya yang berwarna putih berubah menjadi merah. Kutolehkan wajahku ke belakang dan terlihat wajah sepasang insan yang ku cintai menangis pilu. Aku tak sanggup menerima semua ini. Kobaran api dendam mulai merasuki diriku.
“Aku tak terima dengan semua ini! Tak terima!” teriakku mengagetkan semua orang. Mama segera berlari memelukku.
“Istighfar, nak. Pasrahkan sama Allah.” kata mama menenangkanku.
“Ah, mana orang yang telah membunuh kakak, biar kubunuh juga dia!” kataku meronta-ronta. Mama semakin kokoh untuk menahan amarahku. Lama-kelamaan, aku mulai tenang. Kobaran api dendamku telah mama padamkan.
“Ma, tapi kak Ina ninggalin aku,Ma…” kataku sambil terisak.
“Ikhlaskan,nak. Ikhlaskan,” ujar mama sambil menahan tangis. Kini kupu-kupuku telah pergi. Hanya tinggal aku sendiri. Semua ini salahku. Mengapa aku mengajak kak Ina les tari hari ini. Namun, bagaimana pun kakak pasti akan pergi. Kini aku sudah mulai bisa mengikhlaskan.
Diriku kini hanya tinggal seorang. Rasa rindu menyelimuti diriku. Rindu akan kupu-kupuku. Memang melupakan seseorang yang telah meberikan banyak kenangan tak semudah membalik telapak tangan. Dendam hanya membuat kita untuk membalas kejahatan. Orang yang sudah meninggal tentunya akan bersedih jika kita terus bersedih. Embun keikhlasan mulai mengobati goresan luka rinduku. Setiap dingin embun itu terselip rinduku. Mungkin kupu-kupu istimewaku sudah berada di bunga yang lebih cantik. Tempat di mana ia menemukan rasa bahagia. Mungkin butuh banyak sekali tetesan embun untuk mengobati goresan luka yang hari ini kudapati. Namun, masih ada rasa rindu yang terselip di lubuk hatiku.