Langit sudah gelap ketika rombongan sekolah kami sampai di hotel kawasan pantai Kuta, Bali. Bukan hotel yang letaknya tepat di pinggir pantai Kuta –aku pikir hotel-hotel itu memiliki harga selangit hanya untuk menginap semalam, namun hotel tempatku menginap cukup dekat untuk sampai ke pantai Kuta dengan berjalan kaki. Memang perjalanan hari ini melelahkan. Sesampainya di pulau Bali pagi tadi, kami hanya diberi kesempatan selama kurang lebih dua jam untuk membersihkan diri dan sarapan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju beberapa objek wisata yang setiap objeknya berjarak kurang lebih dua jam perjalanan menggunakan bus. Namun bukan Asmara namanya jika tidur sebelum tengah malam. Sementara Vivian sudah terlentang di atas kasur dengan mulut terbuka, aku menyelinap keluar hotel untuk sedikit berjalan-jalan. Lagipula malam di Bali tidak pernah padam. Kehidupan malamnya tersebar di mana-mana. Kesempatan untuk mengeksplor sendiri kawasan pantai Kuta juga tidak akan datang dua kali dalam agenda study tour ini. Besok pagi-pagi sekali kami harus siap untuk melanjutkan perjalanan ke objek wisata yang lain dan akan kembali lagi sekitar pukul sepuluh malam seperti malam ini.
Sedang asyik melihat koleksi terbaru toko-toko fashion dari luar kaca, aku menangkap sosok jangkung yang kukenal sebagai salah satu siswa dari sekolahku, Aditya. Ia memasuki mini market dua puluh empat jam. Malam ini otakku tumben-tumbenan berpikir dengan cepat untuk menyusul cowok itu ke dalam mini market. Siapa tahu aku menemukan cara untuk mendekatkan Vivian setelah berbincang sedikit dengan cowok itu, “Oy, Dit!” sapaku dengan cengiran lebar ketika menemukannya di depan lemari pendingin minuman. Selanjutnya aku hanya mematung masih dengan cengiran lebar yang menampakkan gigi rapiku padanya yang segera kusadari bahwa tindakanku aneh setelah menerima tatapan bingung dan dahi berkerut dari Aditya, “Ngapain lo?” tanyanya dengan nada heran.
“Oh, eh nggak. Mau beli minuman dingin juga.” Jawabku gagap dengan gerakan aneh membuka pintu lemari pendingin dan mengambil satu botol minuman isotonik. Setelah membuka dan meminumnya beberapa teguk, aku hendak tersedak dan menatap minuman isotonik di tanganku yang isinya sudah berkurang, “Ya ampun! Aku kan nggak bawa uang.”
Aditya di sampingku hampir saja menyemburkan minuman di mulutnya mendengar kebodohanku untuk kesekian kali. Ia terkikik setelah berhasil mengosongkan mulutnya, “Cantik cantik, bloon.” Ia mendecakkan lidah dengan menggeleng-gelengkan kepala, “Ya udah gue bayarin, besok ganti.” Ia melenggang melaluiku menuju meja kasir. Dengan kikuk aku menutup botol dan mengikutinya dari belakang. Meletakkan botol minuman isotonik di atas meja kasir dengan tatapan malu. Dalam hati aku mengutuk kebodohanku, bukannya berhasil menemukan cara untuk mendekatkan Vivian dengan Aditya, malah merusak usahaku agar bisa menarik perhatian Aditya untuk Vivian.
“Lo bisa bangun pagi?” Lagi-lagi aku menunjukkan kebodohanku dengan menatap Aditya dengan tatapan yang aku yakin sangat amat bloon, terlihat dari caranya merespon ekspresiku. Ia mendengus dengan menyerahkan minuman isotonikku, “Gue pengen badminton-an. Security di hotel punya raket sama kok.”
“Oh, oke. Aku bisa.” Aku mengangguk-angguk polos, seolah melupakan kebodohanku yang terjadi beberapa menit lalu. Seketika saja aku menyeringai karena menemukan ide untuk Vivian. Ternyata untuk sebuah ide cemerlang perlu melalui kebodohan lebih dahulu.
***
Saat sarapan berlangsung, Vivian mendorongku di belakang antrian meja buffet. Hampir mendorong cowok di depanku yang juga mengantri meski hanya jidatku yang menyentuh punggungnya secara halus, “Vi, apaan sih? Nggak usah dorong-dorong dong!” Protesku dengan menatap Vivian yang tampaknya masih bahagia atas kejadian pagi sebelum matahari terbit tadi. Semalam setelah sampai di kamar hotel, aku membangunkan Vivian secara paksa untuk menyampaikan ideku. Hingga pagi tadi Vivian yang membangunkanku terlebih dahulu, bahkan gadis itu sudah mandi dan baru saja membeli tiga botol minuman dingin. Dengan bermodal cuci muka dan rambut diikat seadanya, aku mengekorinya dari belakang menuju halaman depan hotel.
Tidak seperti Vivian yang memakai sandal hotel atau diriku yang tidak memakai alas kaki, Aditya yang memakai Reebok andalannya sedang lari di tempat. Bahkan kausnya sudah basah oleh keringat. Tampaknya ia sudah menghabiskan waktu lama untuk pemanasan atau bahkan lari pagi mengelilingi kawasan Kuta. Pantas saja cowok itu memiliki tubuh yang ideal dan sehat. Aku mengenalkan Vivian pada Aditya yang disambut dengan semburat merah pada kedua pipi gadis itu. Tidak hanya itu, aku rasa sepanjang permainan bulu tangkisku dengan Aditya, Vivian mengagumi betapa kerennya cowok itu. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana reaksinya jika menonton aksi Aditya di lapangan yang sebenarnya dengan lawan yang tangguh. Pasti akan seheboh penonton pertandingan resmi bulu tangkis yang diselenggarakan di Istora Senayan Jakarta. Puncaknya adalah ketika Vivian menyerahkan sebotol minuman kepada Aditya yang dibalas dengan senyuman tipis khas cowok itu. Membuat Vivian hingga detik ini masih menyunggingkan senyumnya sampai mendorongku tak sabaran mengantri di meja buffet.
“Hai, Rio!” Aku menoleh cepat ke arah cowok yang punggungnya sempat terantuk dahiku secara halus tadi. Sejenak aku mematung dengan kedipan mata beberapa kali, tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Baru kali ini aku berada sedekat ini dengan Rio, bahkan dahiku sempat menyentuh punggungnya! Rio lebih tinggi dari apa yang aku lihat selama ini di hadapanku. Membuatku mendongak hanya untuk melihat senyum manisnya saat membalas sapaan Vivian tadi, “Ri, kenalin nih temenku. Asmara yang anak dari wakil beauty pageant provinsi Jawa Tengah itu, lho!”
Tatapan Rio beralih dari Vivian ke arahku. Kurasa pipiku memerah seperti pipi Vivian tadi pagi. Mulutku juga tidak mampu bersuara yang membuat Vivian mencubit lenganku, “Cantik seperti ibunya, ya?” Aku menahan napas ketika Rio memujiku, “Aku Rio.” Cowok itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku. Meski sudah hampir satu setengah tahun kami berada di satu sekolah yang sama, nampaknya ia baru melihatku hari ini.
“A-asmara.” Aku menyambut uluran tangannya dengan gugup. Duh, sial tanganku terasa basah oleh keringat saat bersentuhan dengan tangan Rio. Membayangkan tangan cowok itu yang menggenggam tanganku di kemudian hari. Ia tersenyum dan melepaskan tangannya untuk mengambil piring. Tidak hanya satu, ia mengambil dua piring untukku dan Vivian. So gentle, bisikku dalam hati.
“Ra, inget utang lo sama gue.” Tiba-tiba Aditya dengan suara khasnya mengusir kupu-kupu yang beterbangan di perutku dengan muncul tepat di belakang Vivian. Aku mendesah mengingat kebodohanku semalam. Vivian yang gantian mematung merasakan kehadiran Aditya di belakang punggungnya menatapku dengan rasa ingin tahu. Aku memberikannya tatapan ‘nanti saja’dan menjawab Aditya dengan respon yang hampir sama.
***
“Kok yang ngasih Vivian?” Lagi-lagi cowok bernama Aditya itu muncul di hadapanku yang sedang terduduk malas sambil memainkan ponsel di kursi yang tersedia di tempat makan Tanjung Benoa Water Sport. Vivian tidak ada di sini, ia pergi ke Pulau Penyu. Aku menolak diajak ke sana karena sudah tahu seperti apa pulau itu. Tadi setelah Aditya menagih utangnya kepadaku, aku meminta Vivian untuk membayarnya ke cowok itu. Sekaligus cara lain agar Vivian memiliki bahan untuk ngobrol dengan Aditya. Sebagai balasan karena sarapan tadi aku berhasil satu meja dengan Rio karena kebetulan ada Vivian.
“Yang penting utangku udah kebayar, kan? Lagian tadi pagi Vivian juga udah beliin kamu minuman gratis, masih aja nagih utang.” Protesku dan lanjut memainkan ponselku. Namun sepertinya Aditya tidak puas dengan jawabanku dan malah merebut ponsel dari tanganku. Memasukkannya ke dalam tas yang sebenarnya milik Vivian di atas meja kemudian menarikku ke pinggir pantai, “Lo liburan kaya nggak liburan.” Komentarnya yang kemudian berbincang sejenak dengan salah satu beli. Tanpa meminta persetujuanku, beli itu memasangkan baju pelampung di tubuhku. Setelah terpasang, Aditya mengajakku untuk menaiki salah satu jet ski, sedangkan dirinya naik dan duduk di belakangku menggantikan beli tadi yang seharusnya menjadi guide-ku.
Eh, tunggu. Kenapa aku menurut saja? Tidak, seharusnya Vivian yang bisa berada di posisiku sekarang ini. Aku menoleh cepat ketika cowok itu mengulurkan tangannya untuk mengendalikan jet ski. Saat itu juga aku merutuki kebodohanku melihat wajah sempurna dan jakun Aditya yang seharusnya membuat Vivian mematung saat ini.
Cepat lanjut, Aditya kenapa sih?????
Comment on chapter 4