“Vi, boleh nggak aku suka sama cowok ganteng bin jenius, populer pula?” Dalam keadaan setengah sadar, pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku yang sedang mengagumi betapa gantengnya sosok Rio Pradipta, siswa terjenius di sekolahku yang memiliki tampang sesempurna otaknya.
“Boleh. Kenapa nggak? Kamu kan cantik, cuma nggak populer.” Jawaban Vivian sukses membuatku mengalihkan tatapanku dari Rio kepadanya yang asyik menyantap jatah makan siangnya. Sepertinya ia tidak menjawab pertanyaanku tadi dengan serius, namun aku tahu apa yang dikatakan Vivian tadi benar, “Emang siapa cowok ganteng yang beruntung kamu sukain?” tanyanya dengan mengusap mulut dengan tissue. Kali ini melahap potongan buah-buahan di piring kecil.
“Rio Pradipta.” Jawabku setengah berbisik, takut terdengar oleh teman-teman lain seangkatanku yang juga sedang menghabiskan jatah makan siang mereka. Kami sekarang berada di restoran di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Peristirahatan pertama sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju pulau Bali sebagai agenda study tour tahunan yang diadakan sekolah.
“Oh, dia yang jadi peringkat pertama paralel seangkatan dan didukung tampangnya yang juga jenius? Wah Ra, kayanya bukan dia yang beruntung kamu sukain. Tapi dia sial nambah satu cewek yang tergila-gila sama dia.” Celetuk Vivian dan membuatku menyenggol lengannya keras, membuat potongan pepaya yang sudah ia tusuk terpental begitu saja dan mendarat dengan sempurna di atas piring seorang cowok yang baru setengah jalan menghabiskan makan siangnya.
“E-eh, Sorry!” Aku berdiri dari tempat dudukku dan hendak mengambil pepaya yang tergeletak indah di atas nasi yang disirami kuah santan pedas dengan garpu bekas makanku.
“Nggak usah!” seru cowok itu kelewat keras, menunjukkan bahwa ia kesal makan siangnya terganggu oleh pepaya segar yang sudah setengah digigit oleh Vivian. Ditambah lagi aku hendak mengambilnya dengan garpu bekas mulutku, “Udah ilang nafsu makan gue!” cowok itu mendorong piringnya dan beranjak meninggalkan meja tanpa repot-repot merespon permintaan maafku.
“Ra, kok aku baru sadar Aditya duduk dan makan di depan kita?” Aku yang sedang menatap nanar kepergian cowok tadi, mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Vivian dan kembali terduduk.
“Kamu keasyikan makan kali, jadi nggak lihat bocah tengil itu. Lagian nggak penting juga kita tahu keberadaannya makan di depan kita.” Namun Vivian dengan gerakan cepat mencengkeram kedua lengangku dan mengubah posisiku untuk menghadapnya, “Asmara.” Katanya dengan mimik wajah yang membuatku bingung. Ia seperti baru saja mendengarkan berita yang mengejutkan, “Aditya, cowok itu. Aku.. Aku suka sama dia. Apa first impression dia ke aku setelah kejadian pepaya yang melambung dan jatuh tepat di makan siangnya? Wah, mati aku.” Ia menepuk dahi seakan wajahnya itu kurang mengekspresikan kesialannya.
“WHAT? KAMU SUKA-hmph.” Vivian membekap mulutku. Mencegahku untuk membongkar rahasianya kepada publik, “Kamu suka Aditya? Bocah tengil yang sok keren dengan logat gue-lo di tengah-tengah lautan medhok khas Jawa?” Kali ini dengan berbisik seperti ketika aku mengatakan bahwa aku menyukai seorang cowok ganteng bernama Rio Pradipta.
“Dia pindahan dari Jakarta, wajar kalau dia belum bisa menghilangkan gaya bicaranya itu.” Vivian nampaknya sudah bisa mengendalikan ekspresi wajahnya karena ia mulai menghabiskan sisa potongan buah-buahannya.
“Beruntung banget Aditya, disukain seorang Vivian yang merupakan peringkat kedua paralel seangkatan. Aduh, aku minder.” Aku memajukan bibir bawahku. Membalikkan komentar Vivian tadi yang mengatakan Rio menambah kesialan karena aku suka pada cowok itu.
Vivian menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sama kaya kamu, Ra. Aku juga minder suka sama Aditya.” Vivian membantah pendapatku, “Kamu tahu sendiri. Ya, Aditya tengil. Itu semua karena ia terkenal dia punya banyak mantan yang super cantik, gaul dan tak jarang dari mereka orang-orang berada. Lah aku? Udah nggak bisa berias diri, ruang lingkupnya cuma ruang guru sama kelas. Ke kantin aja nggak berani, anti sosial banget. Yuk ah, balik ke bus.” Selesai dengan buah-buahan di piringnya dan menyisakan gigitannya di piring nasi Aditya, Vivian mengajakku untuk kembali ke dalam bus untuk melanjutkan perjalanan.
Seperti yang dikatakan Vivian tadi, Aditya Mahardika yang kukenal memang memiliki sederetan mantan yang terbilang cantik. Daftar cewek-cewek cantik, gaul, dan juga ‘berada’ di sekolahku pernah berpacaran dengan cowok itu. Alasannya jelas mengapa cewek-cewek itu mau, Aditya ganteng meski tak seganteng Rio di mataku, cukup pintar meski tidak sepintar Rio, dan bawaannya mobil tiap kali ke sekolah. Ditambah lagi rumor yang terdengar bahwa semua cewek itu yang menyatakan perasaan pada Aditya terlebih dahulu dan selalu diiyakan oleh cowok itu.
Benar juga apa kata Vivian, bahwa aku juga bisa dibilang cantik berkat turunan dari ibuku yang sukses di masa mudanya menjadi salah satu wakil beauty pageant dari provinsi Jawa Tengah. Namun untuk menjadi salah satu mantan pacar Aditya adalah pengecualian bagiku. Mungkin penyebabnya karena aku lebih sering menampakkan wajah bodoh ketika ditanya sesuatu dibanding menjawabnya dengan cepat dan tersenyum anggun, yang membuat cowok itu merasa membuang-buang waktu hanya sekadar untuk melirikku. Jadi untuk menyatakan perasaan padanya –yang memang aku tidak pernah merasakannya– adalah mustahil bagiku. Meski begitu aku cukup mengenali Aditya karena kami berada dalam satu klub sekolah yang sama, klub bulu tangkis.
Sedangkan Rio Pradipta, cowok yang aku sukai sejak ia naik ke atas podium di akhir tahun ajaran untuk menerima penghargaan sebagai peringkat pertama paralel angkatan, ia lebih mengenali Vivian yang merupakan peringkat kedua paralel. Tentu saja, selain sama-sama menaiki podium untuk menerima pernghargaan, tahun ini mereka dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade dan sering sekali dibimbing bersama secara privat oleh salah satu guru pengampu.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide.
“Vi, gimana kalau aku bantuin kamu deket sama Aditya dan kamu bantuin aku deket sama Rio?” Tanyaku dengan menggoncangkan pundak Vivian yang hendak tertidur setelah bus berjalan selama tiga puluh menit sejak istirahat makan siang tadi.
Dengan kelopak mata yang setengah menutup, Vivian menatapku lemah namun terpancar ketertarikan di sana, “Maksud kamu apa, Ra?”
“Gini, lho.” Aku mendekatkan diri agar perbincangan kami tak terdengar siapa pun, “Kamu kan sering ketemu Rio karena olimpiade dan kamu lebih kenal sama dia kan dibanding aku? Aku juga sering ketemu Aditya karena bulu tangkis dan aku udah biasa ngobrol sama dia. Gimana kalau kita sama-sama bantu menjodohkan? Aku bantuin kamu deket sama Aditya, kamu bantuin aku deket sama Rio. Gimana? Mereka sekarang sama-sama nggak ada pacar kan?”
“Wohooo…” Aku rasa Vivian sudah sempurna terbangun mendengar ideku, “Tumben kamu jenius, Ra?” tanyanya dengan senyuman jahil.
“Sialan.” Protesku dengan menonjok kecil lengan Vivian.
Cepat lanjut, Aditya kenapa sih?????
Comment on chapter 4