Chapter 4 – Pelanggaran
“Dan akhirnya aku berdiri di sini.” Keluh Jimmy sedikit berbisik. Bruk.. suara kasur saat ia menjatuhkan tubuhnya. Kasur empuk yang ranjangnya menjadi tempat yang berharga saat tubuhnya terasa pegal.
Cklk…
Itu Rama. Pintu kamar itu mulai terasa menekan baginya. Bagaimana tidak, dibalik pintu itu terbaring seorang Jimmy yang membuatnya merasa resah. Udara yang tidak nyaman. Tidak seperti saat ia sendirian beberapa waktu lalu. Bahkan meskipun sendirian akan terasa tak nyaman, bersama dengan Jimmy terasa lebih buruk dari sendirian. Dia lebih baik tidak ada.
Tap… langkahnya sudah di dalam. Jimmy yang terbaring tiba-tiba berhambur menyadari sosok Rama ada di dalam kamar. Sebentar ia berpikir untuk mengatakannya atau tidak. Lalu dengan sedikit gelengan kecil di kepala, dia mengeluarkannya.
“Hey,, Apa aku boleh meminta maaf?” jeng-jeng-jeng. Kata-kata langka itu terdengar juga akhirnya. Hahaha… Tapi,, tapi apa yang akan Rama katakan? Ia pasti terkejut.
“A,, Apa maksudmu?”
“Ayolah, aku tidak perlu menjelaskannya, bukan?”
“Tapi kenapa?”
“Kenapa? Apa kau benar-benar bodoh?”
Rama tersinggung. Jimmy baru saja mengucap maaf dan sekarang tiba-tiba menghinanya lagi. Matanya menatap tajam ke arah mulut kasar lawan bicaranya itu. Sedangkan Jimmy masih dalam keheranannya.
“Apa kau tak bisa menjaga mulutmu? Jika kau ingin menghinaku, lakukan seperti biasa, tidak usah dengan drama seperti sebelumnya. Itu menjijikkan.”
“A’,,, Ak”
“Berhenti bicara padaku! Kalau tidak, kau akan bermain dengan darah lagi. Asal kau tahu, bukan hanya kau yang biasa hidup dengan darah.” Kali ini Rama menang. Jimmy terdiam kaku. Benar-benar aura yang menakutkan. Ada apa dengan kamar ini?
***
“Apa yang membuat Rama sampai sebenci itu padaku? Apa dia pikir semua ini karena ulahku?” Jimmy menggumam tanpa suara. “Ah,, sepertinya aku butuh Pak Tua itu. Sial! Kenapa aku harus terpancing rasa penasaranku?”
PELANGGARAN
Malam tak menyurutkan Jimmy. Ia justru dengan ringannya melangkah keluar dari Asrama. Sekitar beberapa ratus meter ke utara adalah tempat tinggal Andy, orang yang sedang ingin ia temui. Tapi tak seperti tekadnya saat keluar dari Asrama, Jimmy malah membeku saat bertatapan dengan gerbang rumah Andy. Apakah dia akan masuk?
“Ah,, dasar Pak Tua,” ucapnya menggigit giginya sendiri.
Ten Non… Ten Non…
Sreeet……. Gerbang terbuka, di sana ada Andy dan seseorang lagi. Rama?
“Terima kasih, Pak! Saya pergi dulu.”
“Iya..”
Tap,, langkah Rama berhenti. Mereka baru sadar bahwa di sana masih ada satu orang lagi. Jimmy. Mata mereka saling bertautan. Masih ada aliran amarah di mata Rama. Entah apa yang membuatnya sampai semarah itu. Menangkap Rama yang terus memancarkan auranya, Jimmy terbawa arus dan membalas Rama dengan tatapan perhitungannya. Menghitung, mencari tahu, mempertimbangkan apa yang ia lihat dari mata Rama.
Tak lama kemudian aliran itu berhenti. Lebih tepatnya terputus. Karena di sana ada seorang penengah. Penengah bijak bernama Andy. Laki-laki berusia 27 tahun yang sedang bermain-main dengan aturan. Berwajah lembut dengan tatapan lemah yang tajam. Seperti pedang dalam balutan awan.
Dan kini tersisa Jimmy di hadapan Andy. Sibuk rupanya menjadi guru untuk murid-murid yang rajin belajar seperti Jimmy dan Rama ini. Namun meskipun lelah, Andy sudah menerimanya. Tanggung jawab dan alur permainan yang akan ia teruskan itu. Karena di sini kita sedang memainkannya. Mencoba bermain dengan aturan.
“Jadi apa yang membawamu kemari, Nak?” ucap Andy membuka sesi diskusi mereka hari ini. Tepatnya malam ini.
“Apa yang membawa Rama kemari? Apa yang Anda bicarakan dengannya sebelumnya.”
“Ayolah, Nak! Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Sial. Jujur, kadang saya tak tahan bermain-main dengan Anda, Pak Tua.”
“Hahahaha… Baiklah, baiklah.. Aku akan menuruti kemauanmu. Kami baru saja membuat janji.”
“Janji apa?”
“Janji untuk tidak membagikan pembicaraan kami kepadamu.”
“Jadi anda berkhianat?”
“Tentu saja tidak, karena aku tak akan menceritakannya padamu.”
“Bahkan jika itu demi kebaikan kami?” Jimmy menghangat. Matanya terpejam untuk mencari kata-kata yang tepat untuk ia ungkapkan. “Maksud saya, saya ingin berbaikan dengannya. Bolehkah saya melanggar peraturan yang telah saya buat?”
Andy tersenyum. Mungkin ini terlalu cepat. Tapi mereka memang akan segera menjadi orang yang layak untuk meneruskan permainan ini.
“Kau tidak akan melanggarnya, Nak. Kau akan memperbaikinya, atau,,, menggantinya!”
“Ada hal semacam itu?”
“Ya, selama itu adalah peraturan yang kau buat dan perubahan itu demi sesuatu yang lebih baik.”
Ya, terlepas dari semua itu berlaku untuk selamanya atau tidak. Yang pasti, kali ini, untuk Jimmy, dan untuk kondisinya saat ini, kata-kata itu cukup benar dan baik untuk diterapkan.
“Lalu,, apa Anda bisa memberitahuku cara berbaikan dengannya?” Jimmy bertanya lagi. Untuk hal ini dia memang tidak ahli. Jadi dia butuh penjelasan secara jelasnya.
***
Tok Tok Tok,, pagi sudah tiba… Silahkan buka pintunya! Pintu warna berisi bola cahaya.
Dan pagi pun datang. Menghampiri pulau biru yang begitu indah dan mempesona. Hijau di tengah kebiruan lautan. Bermukakan rumah-rumah beratap biru. Mengalirkan puluhan sungai berair biru jernih ke laut lepas tak terbatas.
“Uhm,,, Selamat pagi dunia! Selamat pagi hidup! Selamat pagi teman sekamar!” kata-kata itu milik Jimmy. Dia yang mengucapkannya. Dan Rama yang sedang berdiri menatap sinar mentari lewat jendela itu-lah yang menjadi orang yang terusik dengan kata-kata itu.
“Bukankah kau tak ingin berbicara denganku?” bantah Rama seperti biasa tanpa membalikkan tubuh ataupun wajahnya kepada Jimmy yang memang sedari awal ia belakangi.
“Ya, dan aku ingin mengubahnya,” balas Jimmy membuat Rama semakin ingin melanjutkan percakapan yang tak pernah ia harapkan ini. Dan Rama berbalik.
“Mengubah apa?”
“Mengubah kata-kataku. Mengubah aturan yang telah aku buat,” jawab Jimmy tanpa ragu. Sementara Rama mulai tersenyum pedas dan sedikit dicampuri rasa kemenangan.
“Jadi kau mengakui bahwa kau seorang pecundang? Membuat aturan dan melanggarnya sendiri? Sangat hebat! Seorang pria bermata sipit bernama Jimmy yang dijuluki Genius itu kini menjadi pengecut tepat di hadapanku.” Jimmy masih tenang. Ya, kata-kata Rama tak mempengaruhinya. Karena Jimmy tahu dia akan menang.
“Baiklah anak hebat. Jika aku pecundang, maka guru kehormatanmu itulah yang mengajarkanku.”
“Apa?”
“Ya, dia mengajariku bahwa aku boleh mengubah peraturan yang aku buat.”
“Jadi semalam kau,,,” Jimmy tak menyahut. Ia sudah bosan mengatakannya. Toh Rama juga sudah memiliki jawabannya.
“Jadi,, apa yang kalian bicarakan semalam?” lanjut Jimmy tanpa menghiraukan jawaban maaf dari Rama. Itu membuat Rama merasa geli padanya.
“Sejak kapan kau berpikir aku akan menjawabmu?” ucapnya berbalik badan seperti semula. Ia masih mencoba menantang Jimmy seperti biasa.
“Karena Pak Andy berkata kau akan menjawabnya.” Dan Jimmy masih terus mengusahakan kemenangannya. Dan lagi, sepertinya itu berhasil dan mulai bekerja. Rama berbalik dan langsung duduk di kasurnya yang berseberangan dengan kasur yang sedang diduduki Jimmy saat ini.
“Baiklah, akan kujawab jujur,” katanya diselai tubuhnya yang memperbaiki posisi duduknya.
“Aku semalam meminta guru untuk memisahkan kamar kita. Aku merasa tidak nyaman di sini. Kau tahu,, bersama denganmu tidak nyaman. Kurasa kita tidak cocok. Tapi.. Pak Andy melarangku.”
“Kenapa?” Jimmy menyimak hingga terbawa.
“Katanya, karena kau akan segera meminta berbaikan denganku.” Jimmy memicing. Begitu pula Rama.
“Bagaimana Pak Tua itu bisa memprediksikan semua ini?!”
“Aku juga tak percaya awalnya. Tapi demi menghormatinya, akupun menunggu kata-katanya terbukti. Dan jelas, tak sampai sehari, aku melihatnya menjadi nyata.”
“Oh Tidak! Sepertinya aku kalah telak darinya,” aku Jimmy sambil tersenyum puas. Tak sia-sia ia datang ke sini. Menemukan seorang guru yang tak waras, teman baru yang bodoh, dan persaingan yang menekan. Hahahaha.. Dan mereka akhirnya tertawa lepas…
***
Bell berbunyi dan sekolah mulai aktif. Seperti biasa Andy memulai kelas dengan pertanyaan andalannya.
“Selamat Pagi? Bagaimana malam kalian?” …
“BAIK!” jawab semua orang kecuali Rama dan Jimmy dengan serentak. Hari ini berbeda dengan kemarin. Jauh lebih tenang dan teratur. Dan kalau boleh jujur, itu membuat Jimmy keheranan. Meskipun ia tak langsung mengangkat tangannya untuk melakukan interupsi.
“Bayu? Bagaimana malammu? Apa kau menemukannya?” lempar Andy kepada Bayu. Sebuah pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan lain di benak Jimmy. “Tentang apa? Kenapa Andy menanyai Bayu di depan umum?”
“Ya, Pak. Saya tahu Jimmy lebih agresif daripada saya.” Apa? Apa Jimmy tak salah dengar? Bayu menyebut nama Jimmy. Dan,, kata-katanya,, ‘Agresif’?
“Oke, terima kasih untuk jawabannya. Sepertinya yang lain juga merasakannya yah. Sekarang saya serahkan kepada Jimmy. Bagaimana menurut Jimmy?” Jimmy mengangkat tangannya. Ia kebingungan.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu apa yang sedang Anda dan yang lain bahas,” ucapnya masih menjaga jarak dari teman-teman murid yang lain.
“Maaf, Jimmy. Kemarin kami menggunakan pelajaran simulator. Kami hanya ingin tahu seberapa peka dirimu.” Alis Jimmy merapat secara spontan. Ia terkejut. Tapi ia sama sekali tak marah. Ia hanya,, ingin berkata,, “Hah? Apa? Wow!” Jimmy hanya terkekeh.
“Dan, jadi,, apa itu semacam pesta sambutan untukku?”
“Sepertinya begitu jika kau mengharapkannya.” Eng ing eng,, dan itulah jawaban tumpul dari Andy yang menghentikan semua euforia itu.
@kei07 Terima kasih kembali sudah berkomentar di sini. Wah, iya nih.. Kayaknya masih kurang 'trigger'nya kalau cuma keunikan idenya aja. Saran yang bagus. Hehehe
Comment on chapter Prologue