Siang ini gue mengajar les lagi, ada 14 anak SMP termasuk si Vita, tapi...kalo gue teliti...sepertinya ada yang kurang satu. Dengan kening merapat sorot mata gue kembali memeriksa dengan lebih teliti, oooh ternyata gue nggak melihat Nilam. Hmm mungkin dia ada keperluan, atau berhenti ikut les di sini.
“Kak Deni, kalo ada soal kayak gini gimana caranya?” Tanya Seli. Kemudian teman-temannya mengiyakan.
“Aaah itu gampang...” Sahut Vita.
“Coba kamu kerjain kalo gampang.” Kata Randi.
“Oke. Sini Kak mana spidolnya, biar Vita yang kerjain! Kak Deni lihat aja.” Suara Vita tegas sambil bangkit berdiri dan merebut spidol dari gue.
“Yaaa silahkaaan kalo bisa Kak Deni malah seneng, jadi nggak susah nerangin. Abis ini kamu terangin ke temen-temen, kalo jawabannya udah bener.” Di akhir perkataan suara gue tegas. Vita nggak membalas tapi serius mengerjakan soal matematika di white board, sementara teman-temannya serius melihat.
“Assalammualaikum...”
“Waalaikumsalam...” Jawab gue sama anak-anak les hampir serentak.
“Maaf Kak. Nilam terlambat, soalnya Nilam abis bantuin Kak Mey dulu.” Nilam tersenyum.
“Bantuin Kak Mey? Dokter Meyda maksudnya?” Tanya Gue.
“Iya.”
Sigap kening gue cepat merapat bersamaan jantung gue berdetak cepat, trus gue cepat tanya ”Emang Dokter Meyda sakit? Dibantuin kenapa?”
“Kak Mey nggak sakit, Nilam cuma bantuin buat persiapan pernikahan. Yaaa masih lama sih...nikahnya..., tapi kata Kak Mey “Mumpung ada waktu, nyicil persiapannya dari sekarang, karena semua orang di rumah punya kesibukkan”.”
Kali ini gue syok banget karena kaget yang banget-banget, hingga kedua mata gue melotot dan wajah gue juga mendadak tegang bahkan kaku. Kayaknya nih jantung sama paru-paru gue udah sold out, jadinya hancur nggak bisa gue rasa lagi. Sigap gue cepat memegang dada kiri, merasakan detak jantung gue yang semakin keras berdetak, nggak beraturan.
“Kak Deni kenapa?” Tanya Nilam.
“Kak Deni sakit? Atau kena serangan jantung? Wajahnya pucat amat.” Tanya Randi. Teman-temannya mengiyakan.
Dengan kening merapat Vita cepat menoleh, trus dengan keras bilang “Kak Deni, jangan pingsan dulu.”
“Kak Deni.” Suara Vita lebih keras sambil cepat menghampiri gue.
“Kak Deni nggak apa-apa kok. Kak Deni cuma capek aja.” Jawab gue lemas.
Sejurus waktu anak-anak les baru pulang. Si Vita juga langsung masuk kamar. Sementara gue masih duduk lemas di sofa ruang tengah, memikirkan perkataan Nilam. Kenapa...gue sedih banget saat gue tahu Dokter Meyda mau nikah, padahal...kita baru aja kenal. Tapi gue nggak bisa bohongi hati gue, kalo gue beneran suka sama Dokter Meyda.
Beberapa saat kemudian suara motor berhenti di depan rumah dengan mesin masih hidup, jadi suaranya masih kedengaran. Setelah itu terdengar suara orang memukul-mukul pagar “Tek, tek, tek, tek.”
Lemas gue menoleh ke arah suara. Hmm gue punya firasat nih, kayaknya gue kenal sama nada pukulannya ke pagar. Sebelum bangkit berdiri sejenak gue manggut-manggut, tapi gue cepat berdiri saat melihat Nyokap keluar kamar dan mau ke depan rumah. Sigap gue bilang “Bu, biar Deni aja yang lihat. Mungkin itu...ehhmm tukang pos, kayaknya Aldo ngirim surat buat Deni.” Di ujung kata-kata gue tersenyum. Dalam hati gue melanjutkan “Memangnya bener sih kayaknya suara tukang pos, tapi nggak mungkin si Aldo kirim surat. Aldo kan orangnya nggak mau ribet.”
“Oh, ya udah kalau gitu. Cepat kamu lihat ke depan.”
“Siap Bu.” Setelah itu gue jalan ke depan, melihat yang datang.
Hmm ternyata beneran tukang pos yang datang dan sekarang ada di depan pintu pagar. Setelah itu Pak pos memberi gue bungkusan warna coklat muda, lumayan tebal. Kalo dilihat-lihat dari bentuknya...kayaknya sama, sama kayak naskah pertama gue yang ditolak. Mungkin...ini naskah kedua gue yang ditolak Penerbit. Selesai tandatangan gue cepat melihat tulisan pengirim di atas amplop, dan ternyata emang isinya naskah kedua gue. Nggak lama kemudian Pak pos pergi sama motornya, sedangkan gue masih terpaku di balik pintu pagar besi dan nggak tersenyum memandang paket tebal warna coklat muda.
Lemas gue menghela nafas panjang, trus bilang pelan “Hari ini hari yang mendung bagi gue. Dokter Meyda nikah sama orang lain, naskah gue ditolak.”
Dengan lemas gue jalan ke dalam rumah, trus lemas juga naik tangga. Saat ini wajah gue juga lecek, tapi wajah gue lecek bukan karena naskah gue ditolak. Wajah gue lecek dan lemes karena gue teringat perkataan Nilam, “Dokter Meyda mau nikah”, hilang sudah harapan gue. Akhirnya gue melihat pintu kamar gue, lalu lemas membuka pintu kamar dan gue masuk ke dalam. Setelah gue taruh naskah di meja, gue menjatuhkan tubuh di kasur dan menutup wajah sama kedua tangan.
“Ya Allah...gue harus ngapain sekarang...” Suara gue agak keras, trus gue cepat bangkit duduk di tepi kasur dan memegang dada sebelah kiri, tepat di atas jantung gue.
“Gue harus bisa ikhlas. Sekarang gue harus nyiapin naskah ketiga yang udah selesai gue tulis dan gue harus kirim besok.”
Gue memaksa bangkit berdiri dan membuka notebook, gue nyalakan, trus gue mencari folder naskah ketiga. Setelah ketemu dan terbuka, dalam folder ini ada banyak file. Gue buka satu persatu dan gue baca sekilas, trus gue menyalakan mesin printer dan gue print naskah novel ketiga.