Loading...
Logo TinLit
Read Story - Simbiosis Mutualisme seri 1
MENU
About Us  

Setelah mengeluarkan scoopy hitam manis kesayangan, gue menyalakan dan memanaskan mesinnya bentar sambil menunggu Vita. Setelah itu gue mengambil lap kanobi di bawah jok, trus gue ngelap-ngelap scoopy. Alhamdulillah akhirnya si Vita keluar rumah juga dan cepat menghampiri gue.

“Ayo Bang berangkat, nanti keburu siang.” Kata Vita keras.

“Bang Bang Bang. Emang Kak Deni Abang tukang ojek! Panggil yang Lengkap.” Celetuk gue keras.

Sambil nyengir Vita bilang “Yaaa Kak Deni kan...”

“Udah cepet naek.” Gue udah naik scoopy dan siap memacunya.

Setelah Vita duduk di belakang gue, scoopy hitam pun melaju pelan. Nggak seperti kemarin-kemarin, hari ini gue mau lewat rumah 11 K, jadi gue lewat rute yang beda. Gue berharap hari ini bisa melihat Dokter Meyda, soalnya udah beberapa hari gue nggak melihatnya.

“Bang, eh Kak kok lewat sini sih? Kita mau ke mana?” Tanya Vita heran, tapi gue nggak menjawab dan scoopy terus melaju, kemudian belok ke blok K.

“Lho lho lho, ini kan arah mau ke rumah Nilam. Kok kita ke sini sih Kak?”

Dengan berat gue menghela nafas panjang dan masih nggak menjawab. Akhirnya laju scoopy gue pelankan saat dekat rumah Nilam, sementara sorot mata gue tajam melihat rumah Bu Dokter Meyda, rumah dengan nomor 11 K.

“Kak Deni!!!” Suara Vita keras banget, hingga membuat gue kaget dan ngerem mendadak.

“Addduuuh pelan-pelan dong...nggak usah teriak-teriak, sakit nih telinga.” Kata gue sambil sedikit menoleh.

“Abisnya...Kak Deni dari tadi ditanya, nggak jawab-jawab. Kak Deni mau bawa Vita ke mana?! Nanti Vita bisa telat nih!” Di awal perkataan suara si Vita pelan, tapi di akhir perkataan suara Vita semakin keras.

Gue nggak segera menjawab, tapi kedua mata gue melihat lagi ke depan, ke rumah Dokter Meyda. Tiba-tiba aja jantung gue berdetak lebih keras saat melihat Dokter Meyda keluar rumah sama laki-laki yang lebih....rapi, ganteng, dan...wajahnya lebih dewasa daripada gue. Abis itu Dokter Meyda sama laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil sedan hitam melaju, menjauh dari gue. Mendadak hati gue sedih banget, disusul jantung gue semakin keras berdetak. Badan gue pun lemes banget dan wajah gue terasa kaku banget, kayak mumi.

“Kak Deni....ayo cepet hidupin motornya...Vita telat niiiih.” Vita keras.

Dengan hati tersayat sedih gue nggak membalas. Kayaknya nih kedua mata gue juga udah berair, jantung hati gue pergi.

“Kak Deni.” Suara Vita lebih keras.

Tanpa membalas gue menyalakan scoopy, setelah itu kami melaju pelan. Sepanjang perjalanan si Vita nggak berhenti ngomel, tapi gue tetap nggak membalas, soalnya gue masih memikirkan Dokter Meyda dan laki-laki itu. Kayaknya gue patah hati dan gue baru merasakan sakitnya patah hati.

Akhirnya scoopy berhenti di depan sekolah SMP. Abis itu Vita cepat turun, sementara gue masih jadi patung di atas scoopy dengan sorot mata nggak bergerak. Sambil melotot Vita bilang keras “Tuh kan Vita telat nih! Dan itu gara-gara Kak Deni!”

Dengan wajah lemas gue nggak membalas, apalagi memandang si Vita. Pelan gue tanya datar “Nanti di jemput jam berapa?”

“Kak Deni sakit?” Suara Vita pelan dan lembut.

Lemas gue menggelengkan kepala, trus sejenak menoleh dan bilang datar “Nanti jam satu Kak Deni jemput.”

Sementara Vita masih berdiri bengong, scoopy gue putar balik trus melaju pelan, pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan hati gue hancur banget dan kedua mata gue kayaknya udah berair, mau tumpah. Gue tarik kuat-kuat gas supaya bisa cepat sampai rumah, tapi tetap aja laju scoopy nggak mau cepat dan malahan dari tadi gue terus disalip sama motor-motor dan mobil-mobil di jalan ini. Akhirnya membuat gue sekuat tenaga menahan air mata, hingga kedua mata gue jadi semakin merah.

Sesampainya di garasi rumah gue cepat mengeluarkan besi di kolong scoopy, trus cepat turun dari scoopy dan cepat masuk ke dalam rumah sambil menahan air mata. Di lantai dua gue langsung masuk kamar dan menjatuhkan tubuh di atas kasur. Gue juga menutup wajah dengan bantal, dan akhirnya gue menangis keras. Gue nggak rela kalo Dokter Meyda diambil orang.

“Ya Allah...gue suka sama Dokter Meyda. Gue pingin ngelamar Dokter Meyda kalo gue udah dapet kerjaan, tapi sampe sekarang gue nggak tahu yang harus gue lakuin. Gue harus gimana Ya Allah...” Gue sesenggukan dengan pipi basah sama air mata.

“Deni...ada Aldo.” Teriak Nyokap dari lantai satu.

Gue nggak segera bangkit dan masih menangis keras di balik bantal, soalnya gue nggak mau semua orang tahu kalo gue menangis. Gue menangisi hidup gue dan takdir yang digariskan Allah buat gue.

“Deni...cepat turun, kasihan Aldo nunggu...” Suara Nyokap lebih keras.

Terpaksa gue menghentikan tangisan gue, walaupun masih pingin menangis. Lemas gue menyingkirkan bantal dari wajah dan cepat ke kamar mandi, membasuh wajah, trus wudhu. Setelah itu gue turun ke lantai satu dengan badan sama wajah yang terasa lemes banget. Gue samperin Aldo di teras rumah, dan tanpa menyapa gue langsung duduk lemas di kursi teras di samping Aldo. Melihat gue datang Aldo cepat menoleh dan teliti menatap gue, trus keningnya berkerut.

“Lo sakit Den? Wajah lo lecek amat. Wajah sama mata lo juga merah.” Tanya Aldo. Gue nggak menjawab, tapi sejenak jadi patung yang kaku dan nggak bergerak termasuk sorot mata gue.

“Jangan-jangan jantung lo kumat lagi ya Den?” Aldo tegas dan panik, tapi gue masih nggak menjawab.

“Atau...lo udah tahu?”

Akhirnya kening gue berkerut, trus gue cepat menoleh dan melihat si Aldo. Pelan dan lemas gue tanya “Maksud lo apa?”

Aldo menghela nafas panjang, lalu menepuk-nepuk pundak gue. Dengan mata berkaca-kaca Aldo bilang “Lo emang sahabat yang paling baik. Gue tahu elo nangis buat gue, sahabat lo. Dan gue yakin lo udah tahu kalo gue mau pergi dari sini.”

Gue jadi bingung sama perkataan si Aldo, mau pergi ke mana? Dalam diam gue berpikir dengan kening berkerut rapat. Hingga kedua mata gue semakin tegas menatap Aldo. Sambil menegakkan badan gue tanya tegas “Lo mau ke mana? Jangan bilang lo mau mangakhiri hidup lo, gara-gara naskah lo ditolak Penerbit.”

Eh ternyata si Aldo malah tersenyum lebar, terus menggeleng-gelengkan kepala dan sejenak menepuk-nepuk pundak gue. Santai Aldo menghela nafas panjang dan bilang tegas “Gue masih pingin hidup. Dan hidup itu sebuah kesempatan yang diberikan Allah buat kita, jadi gue bakal nyesel banget kalo gue sampai mengakhiri hidup gue sekarang, cuma gara-gara ditolak sama Penerbit, maksud gue naskah gue.”

“Haaa...gue kirain...” Gue menyandarkan tubuh pada punggung kursi, tapi sigap gue menegakkan badan dan kembali menatap Aldo.

“Trus lo mau ke mana?” Tanya gue cepat, tapi Aldo nggak menjawab. Dia malah tersenyum lebar, trus menunjukan amplop coklat kecil ke hadapan wajah gue.

“Gue diterima kerja, dan ini suratnya. Nggak pake wawancara, tapi gue ditempatin di luar kota. Yaaaa sebenarnya Paman gue yang bantuin gue dapetin kerjaan ini. Jadi gue mau pamitan sama elo, karena kita nggak akan sering ketemu lagi.” Di ujung kata-kata kedua mata Aldo berkaca-kaca.

Saat ini gue nggak tersenyum, tapi gue merasa wajah gue tambah lemas, soalnya kesedihan di hati gue bertambah. Dokter Meyda diambil orang, sekarang sahabat gue meninggalkan gue. Kayaknya gue nggak sanggup menahan air mata, jadi gue menangis keras.

“Udah udah Den. Nggak usah nangis segala, kita kan masih bisa ketemu, walaupun mungkin...cuma setahun sekali. Cup cup cup cup, jangan nangis ya...” Kata Aldo sambil menepuk-nepuk pundak gue.

 

                                                                                           ***

Setelah jemput Vita gue langsung mengajar les di rumah. Kayaknya nih semakin lama temen-temennya si Vita tambah banyak. Soalnya hari ini ditambah empat cowok, jadi jumlah anak yang ikut les di rumah gue ada....15 anak SMP. Gue nggak tahu, sebenarnya si Vita ngomong apa sih ke temen-temennya, sampai-sampai temen-temennya mau ikut les di sini. Padahalkan mereka bisa ikut les di luar, yang lebih terakreditasi! Tapi hari ini gue merasa nggak seperti biasa. Hari ini gue nggak semangat ngajar les. Mungkin karena hati gue lagi galau dan sedih banget. Sedih karena gagal mendapatkan Dokter Meyda, sedih karena ditinggal sahabat dan sedih karena gue masih nganggur, belum jadi Insinyur.

Dengan hati yang sedih gue menerangkan matematika Faktorisasi Suku Aljabar, matematika SMP semester ganjil. Soalnya semua yang les di sini udah naik ke kelas 8, termasuk Adik gue. Gue cuma menerangkan apa yang belum mereka ngerti di sekolah. Setelah itu gue memberi latihan soal yang download dari internet.

Sejurus waktu les matematika selesai, setelah itu lemes gue naik tangga, tapi suara Nyokap menghentikan langkah gue “Deni. Tolong anterin Ibu ke apotek Nak.”

Tanpa menjawab gue lemas balik badan dan mengambil kunci motor di samping kulkas.

“Deni kamu nggak apa-apa kan?” Nyokap mengerutkan dahi. Gue berhenti melangkah, tapi gue nggak menjawab dan cuma mengangguk pelan dengan pandangan tertunduk. Setelah itu gue kembali berjalan lemas.

“Deni...pakai jaket.”

Dengan lemas gue menunjukkan jaket hitam gue. Tadi abis jemput Vita gue taruh di sofa, soalnya gue males ke kamar. Gue berjalan lagi ke garasi, trus memakai helem dan menyalakan scoopy. Nggak lama kemudian Nyokap keluar rumah, lalu memakai helem dan duduk di belakang gue. Scoopy pun melaju keluar pagar rumah dan melaju sedang, lalu keluar komplek dan melaju di jalan raya. Siang ini banyak kendaraan berseliweran, tapi untungnya nggak sampai macet.

“Deni, kita apotek yang biasa.” Suara Nyokap keras. Tanpa menjawab gue cuma manggut-manggut tegas.

Laju scoopy kesayangan gue ini memang nggak bisa secepat motor sport, tapi udah bisa dibilang lumayan cepat walau berkali-kali scoopy gue disalip mobil dan motor yang lain, dan gue hati-hati banget. Akhirnya scoopy ini belok kiri, lalu melaju lagi di jalan satu arah, nggak lebar dan nggak sempit, jadi kami melaju sedang. Setelah itu kami belok ke halaman cukup luas, halaman parkir dari apotek langganan Nyokap. Gue mematikan mesin, sementara Nyokap turun, trus melepas helem dan dikasihkan gue. Lemas gue masih duduk di motor dan belum melepas helem.

“Deni, kamu nggak mau masuk?” Tanya Nyokap.

“Nggak Bu. Deni tunggu aja di sini.”

“Nanti kalo ngantri gimana? Kan kamu kepanasan di sini...”

“Nanti Deni cari tempat yang dingin Bu.”

“Ya udah kalo gitu Ibu masuk dulu.”

“Iya Bu.”

Setelah itu Nyokap masuk ke dalam apotek, sementara gue masih menunggu di atas scoopy. Perlahan matahari semakin terang bersinar dan semakin lama makin panas, hingga gue kepanasan sambil sigap memercingkan kening. Akhirnya gue kunci scoopy, trus gue mencari tempat yang teduh di bawah tiang reklame, di deket warung klontong. Gue yang masih memakai helem jongkok di bawah tiang besi, sambil menopang dagu dengan tangan kanan dan memandang orang-orang yang berlalu lalang di depan gue. “Masak hidup gue kayak gini terus. Nasib...nasib...”

Tiba-tiba seorang Ibu agak tua berhenti di depan gue. Dia merogoh dompetnya, trus melempar dua uang receh 500-an. Gue kaget mendongak dan melihat sang Ibu. Nggak lama kemudian anak perempuannya cepat menghampiri.

“Mama lagi apa?”

“ Mama cuma kasihan, makanya Mama kasih uang receh.”

“Mama dia bukan orang minta-minta, Mama salah lihat.” Kata anak perempuan pelan.

“Maaf ya Mas, Mama saya matanya agak rabun. Maklum Mas udah tua.” Anak perempuan sopan. Gue cuma nyengir sambil manggut-manggut. Setelah itu sang Ibu dan anak perempuan tadi pergi, sedangkan gue masih terpaku melihat mereka pergi.

“Separah itukah tampang gue?” Ucap gue pelan.

Beberapa waktu kemudian Nyokap keluar dari apotek. Gue cepat menghampiri dan menghidupkan scoopy. Akhirnya gue sama Nyokap langsung pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan gue tetap hati-hati memacu scoopy, walaupun hati gue lagi sedih banget dan kayaknya kacau banget. Sejurus waktu gue sama Nyokap udah sampai rumah, tepat saat azan asyar berkumandang. Setelah scoopy masuk garasi dan gue kunci, gue cepat masuk ke rumah, trus masuk kamar. Setelah itu gue cepat wudhu, ganti baju dan gue cepat-cepat pergi ke masjid, ikut sholat berjamaah. Selesai sholat dan semua jamaah udah pergi, gue masih duduk di dalam masjid. Gue mau memohon petunjuk sama Allah, soalnya gue nggak tahu lagi ke mana gue harus curhat. Nggak ada yang bisa membantu gue, nggak ada yang bisa menenangkan gue dan nggak ada yang bisa memberi gue jalan petunjuk.

“Ya Allah, gue sadar gue bukan makhluk yang pinter. Gue juga bukan makhluk yang kuat, tapi gue makhluk yang sok pinter dan sok kuat. Dan gue salah karena udah seperti itu. Ya Allah, gue nggak tahu apa yang musti gue lakukan? Kata Nyokap, gue harus kerja yang santai, tapi gue masih nggak ngerti apa kerja yang santai itu? Dan apa ada? Engkau Yang Maha Tahu, kalo gue punya kelainan jantung, gue punya masalah sama jantung. Dan Engkau Tahu Ya Allah, gue nggak bisa capek. Trus gue harus gimana menjalani hidup ini? Apa...gue emang harus seperti ini terus, ditinggalkan sama orang-orang terdekat gue dan orang yang gue cinta.”

Sejenak gue berhenti dengan mata udah berair. “Gue suka sama Dokter Meyda, Ya Allah. Tadinya gue pingin ngelamar dia, kalo gue udah dapat kerjaan. Tapi...kayaknya dia udah punya kekasih hati. Gue ikhlas Ya Allah kalo gue nggak berjodoh sama Dokter Meyda. Mungkin laki-laki itu emang pantes mendapatkan Dokter Meyda, daripada gue yang pengangguran dan punya penyakit.”

Selesai curhat tiba-tiba aja rasanya hati gue jadi plooong banget dan nggak sesedih tadi, setelah itu gue pulang ke rumah. Mungkin gue harus sering-sering curhat sama Allah dan sholat ke masjid, biar hidup gue tenang. Soalnya yang bisa ngasih ketenangan cuma Allah, karena cuma Dia pemilik hati gue.

 

                                                                                       ***

Sejenak gue mengintip langit malam yang telihat polos, nggak ada satu pun bintang di langit. Suasana langit malam ini persis sama dengan suasana hati gue, kelabu. Tiba-tiba suara air keras berjatuhan. Rupanya hujan turun sangat deras. Mendadak gue merasa hati ini semakin sedih, karena ternyata masih ada yang perduli sama kesedihan gue, langit malam yang kelabu eh hitam pekat. Gue kembali mantengin layar notebook, sesekali jari-jari gue melompat-lompat di papan notebook. Gue lagi melanjutkan ngetik naskah novel pertama. Pelan-pelan gue udah mulai terbiasa membuat cerita. Selama hampir tiga bulan gue nulis, akhirnya tulisan gue hampir selesai juga. Gue emang belum punya pengalaman menulis dan mungkin naskah gue yang pertama ini bakal ditolak Penerbit, tapi gue udah siap dan gue harus siap. Setelah naskah ini gue harus lebih bisa menulis novel, masak gue kalah sama Aldo. Si Aldo aja yang nggak bisa nulis novel udah pernah ngirim ke Penerbit. Nah gue, yang ngajarin si Aldo malah belum pernah ngirim novel ke Penerbit. Gue harus semangat menulis dan harus bisa mengirim novel ke Penerbit.

“Hidup menulis.” Gue tegas.

“Deni...makan dulu...” Nyokap keras.

Lemas gue menghela nafas panjang. Dengan kesal gue bangkit berdiri, trus turun ke lantai satu. Sementara Nyokap, Bokap sama Vita udah duduk di depan meja makan, gue baru datang dan cepat duduk di samping Vita. Sejenak Bokap memimpin doa dan kami bertiga mengikuti.

Selesai berdoa seperti biasa Nyokap mengambil nasi, ayam goreng, sayur asem trus tahu goreng buat Bokap. Gue nggak segera mengambil cukil, soalnya gue menunggu si Vita, biar dia mengambil nasi duluan. Gue mau belajar sabar, sabar menghadapi Adik yang resek.

“Kak Deni cepetan ngambil nasi! Kok diem aja sih.” Seru Vita.

Gue nggak segera menjawab. Sambil menggelengkan kepala Nyokap melihat gue sama Vita, trus sambil tersenyum Nyokap bilang “Lho lho kok tumben, kalian nggak rebutan ngambil nasi? Biasanya aja suka rebutan.”

“Hmm Vita kan mau belajar jadi Adik yang baik untuk Kakak yang galak.” Kata Vita tegas sambil melirik gue.

“Deni juga. Deni mau belajar jadi Kakak yang paling baik untuk Adik yang resek.” Gue tegas. Setelah itu gue sama Vita saling menatap tajam. Sementara Bokap sama Nyokap tersenyum.

“Ya udah...biar Ibu yang ambilkan buat buat.” Nyokap mengambil cukil nasi.

“Deni dulu Bu.” Gue cepat memberikan piring.

“Jangan-jangan, Vita dulu. Vita kan lebih capek dari Kak Deni.” Vita cepat memberikan piring.

“Sudah-sudah. Kalian ini, tadi aja nggak ada yang mau duluan. Eeeh sekarang malah ribut mau duluan.” Suara Nyokap tinggi. Sedang Bokap cuma tersenyum sambil mengunyah makanan.

“Sini piringnya, dua-duanya.” Nyokap tegas. Tanpa banyak protes gue sama Vita menyodorkan piring ke Nyokap. Setelah ituNyokap mengambilkan nasi dan ditaruh di dua piring, lalu memberikan piring itu pada gue dan Vita.

“Sudah kan? Sekarang kalian ambil sayur, ayam, sama tahu. Gantian! Deni ambil sayur dulu, Vita ambil ayam sama tahu, trus Deni ambil ayam sama tahu, Vita ambil sayur asem.” Suara Nyokap tegas sambil menatap gue sama Vita.

Sejurus waku gue selesai makan, trus cepat masuk ke dalam kamar. Sejenak gue rebahkan badan gue di kasur dengan kedua mata masih memadang lampu kamar, tepat di atas kasur. Tiba-tiba sekelebat bayangan Dokter Meyda terlintas di otak gue. Haaa susah banget menghapusnya. Kenapa...mata gue waktu itu bisa melihat Dokter Meyda? Kenapa...gue bisa kenal Dokter Meyda? Dan kenapa...gue bisa suka sama Dokter Meyda? Dan kenapa, dan kenapa, dan kenapa gue patah hati kayak gini? Gue menghela nafas panjang, trus bangkit duduk di kasur. Gue alihkan mata ini pada meja belajar dan melihat notebook merah masih terbuka. Gu sedikit kaget karena baru ingat gue kan harus nge-print cover untuk naskah novel gue.

Gue cepat berdiri, trus duduk di depan meja belajar. Setelah menyalakan tombol power di notebook, gue mencari file novel pertama gue. Selesai nge-print cover, gue langsung rebahkan lagi badan gue di kasur, mencoba untuk tidur, tapi ternyata mata gue nggak mau merem dan otak gue masih berjalan. Sejenak bayangan Dokter Meyda kembali hadir di otak gue. Gue pun cepat memejamkan mata, trus gue cepat membuka mata lagi. Gue nggak mau terus memikirkan Dokter Meyda. Mungkin...gue emang nggak jodoh sama Dokter Meyda sebesar apapun cinta gue sama Dokter Meyda, tapi gue ikhlas. Semoga laki-laki yang jadi pendampingnya orang yang baik dan soleh.

Pelan tangan kanan gue menyentuh dada kiri, tepat di atas jantung gue dan merasakan detak jantung gue, begitu kuat. “Apa gue bener ikhlas?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Astronaut
6841      1763     2     
Action
Suatu hari aku akan berada di dalam sana, melintasi batas dengan kecepatan tujuh mil per detik
Secret Garden
326      273     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
Dinding Kardus
9950      2638     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Switched A Live
3518      1384     3     
Fantasy
Kehidupanku ini tidak di inginkan oleh dunia. Lalu kenapa aku harus lahir dan hidup di dunia ini? apa alasannya hingga aku yang hidup ini menjalani kehidupan yang tidak ada satu orang pun membenarkan jika aku hidup. Malam itu, dimana aku mendapatkan kekerasan fisik dari ayah kandungku dan juga mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan dari ibu tiriku. Belum lagi seluruh makhluk di dunia ini m...
fall
4668      1395     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Kisah Alya
335      238     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
In your eyes
8689      2018     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Dunia Tiga Musim
3498      1358     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Secret Elegi
4380      1289     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
I'M
9060      1814     4     
Romance
"Namanya aja anak semata wayang, pasti gampanglah dapat sesuatu." "Enak banget ya jadi anak satu-satunya, nggak perlu mikirin apa-apa. Tinggal terima beres." "Emang lo bisa? Kan lo biasa manja." "Siapa bilang jadi anak semata wayang selamanya manja?! Nggak, bakal gue buktiin kalau anak semata wayang itu nggak manja!" Adhisti berkeyakinan kuat untuk m...