Loading...
Logo TinLit
Read Story - Simbiosis Mutualisme seri 1
MENU
About Us  

Hari ini gue akan memenuhi panggilan wawancara sama perusahaan yang membalas surat lamaran yang gue kirim. Ada dua perusahaan yang memanggil gue pada hari yang sama, tapi untungnya pada jam yang beda. Supaya irit ongkos bensin, gue nebeng Bokap naik Yaris merah. Dan sekarang gue duduk di samping Bokap yang serius mengemudi Yaris merah. Setelah hampir setengah perjalanan, mendadak gue merasa tegang banget, tapi gue nggak tahu kenapa bisa begini.

“Eh Deni, apa nggak ada yang mau kamu katakan?” Tanya Bokap sambil sesekali melihat gue.

Sebelum menjawab kening gue merapat memikirkan pertanyaan Bokap. Setelah itu gue menoleh pada Bokap dan menjawab singkat “Aaahmm...nggak ada Pak.”

Tanpa menoleh Bokap cuma menghela nafas panjang. Nggak lama kemudian Yaris merah ini berhenti sejenak sebelum lampu merah, dan semakin lama terlihat barisan kendaraan semakin panjang. Tiba-tiba Bokap bernyanyi sambil mengangguk-anggukkan kepala dan jari-jarinya selalu bergerak di atas setir mobil. Sambil mengerutkan dahi gue memperhatikan yang dilakukan Bokap. Akhirnya lampu hijau menyala dan perlahan kendaraan bergerak. Bokap berhenti nyanyi-nyanyi sambil cepat memacu Yaris merah. Ooo...gue baru ngerti, kenapa gue nggak coba gaya Bokap aja? Nyanyi-nyanyi supaya nggak tegang dan nggak bosen.

Pelan gue manggut-manggut pelan, trus tersenyum kecil hingga semakin lama senyum gue semakin lebar. Setelah itu gue mulai menyanyi.

Saat hujan tuuurun, tepat di depan mataku. Begiiituu deeerasnyaa, gue jadi kebasahan” Gue nyanyi lagu seila on 7, lagu yang sering gue dengarkan di radio, tapi ujungnya dikarang sendiri soalnya gue lupa liriknya.

Bokap cepat menoleh dan dengan tegas memotong “E ee eeeh ganti-ganti lagunya, jangan nyanyi itu.”

“Kenapa Pak?”

“Lagu itu cocoknya dinyanyikan pas hujan turun, nah kamu lihat sekarang! Nggak ada hujan kan?”

“Yang penting kan bukan lagu wajibnya musim hujan, jadi terserah Deni dong.”

Dengan berat Bokap menghela nafas bersamaan menggelengkan-gelengkan kepala. Mungkin tanda kalo Bokap nggak sependapat sama gue.

“Tapi lagu itu lebih enak didengarkan pas hujan! Lagian kamu ini kenapa sih ikut-ikut nyanyi segala, padahal selama ini Bapak belum pernah dengar kamu nyanyi.” Di awal perkataannya suara Bokap lebih tegas.

“Ehmm yaaa soalnya Deni belajar dari melihat Bapak.”

“Belajar melihat gimana?” Tanya Bokap tegas.

“Ya waktu tadi, Bapak kan nyanyi-nyanyi di lampu merah, jadi Deni ngikut.”

Sambil tersenyum Bokap pun manggut-manggut, trus tanya “Kenapa nggak dari dulu kamu belajar dari Bapak?”

Gue nggak segera ngejawab, tapi mengerutkan dahi memikirkan jawaban dari pertanyaan Bokap. Trus gue menjawab “Deni juga nggak tahu, tapi....mungkin karena otak Deni udah mulai kesetrum sama tingkah Bapak kalo lagi bosan di dalam mobil saat di lampu merah.”

“Kesetrum gimana? Memang otak kamu nggak normal?” Suara Bokap tinggi.

Lagi-lagi gue nggak menjawab pertanyaan Bokap, tapi memikirkan maksud secara umum dari kata-kata gue. Ooo....akhirnya gue mengerti, gue pun tersenyum dan manggut-manggut. Tegas gue bilang “Deni ngerti sekarang. Kenapa anak-anak muda sekarang gampang sekali melakukan tindak kekerasan, kayak penganiayaan, pelecehan seksual, dan kejahatan lainnya. Pasti karena mereka belajar dari...”

“Bukan belajar dari Bapaknya kan? Atau dari orang tua kan?” Bokap memotong tegas.

Mendadak gue tertegun, trus dengan suara tinggi menjawab “Yaaa bisa jadi. Kalau orang tuanya kelakuannya nggak bener, pasti anaknya nggak bener juga.”

Sejenak Bokap tegas menatap gue, lalu kembali melihat jalanan di depan.

“Kalau orang tuanya jahat pasti anaknya jahat juga. Kalau orang tuanya sombong pasti anaknya sombong juga. Kalau orang tuanya rajin sholat, pasti anaknya sholat juga. Jadi intinya anak-anak muda belajar dari lingkungan mereka, dari apa yang mereka lihat, baca dan dengar.”

Akhirnya Bokap manggut-manggut, trus tersenyum kecil. Sejenak Bokap menoleh, lalu melihat gue teliti. “Trus apa aja yang udah kamu dapat dari Bapak? Apa cuma nyanyi? Trus...kebiasaan kamu pakai kaos kaki nggak sepasang itu gimana? Itu bukan kebiasaan Bapak! Dan Bapak nggak pernah pakai kaos kaki nggak sepasang seperti kamu.”

Sejenak gue nyengir saat mendengar perkataan terakhir Bokap, trus gue bengong, soalnya gue bingung harus menjawab apa. Apa yang udah gue ikuti dari Bokap ya?

Mendadak kedua mata gue terbuka lebar, saat gue baru ingat kalo gue sering sholat ke masjid sama Bokap, dan akhirnya itu jadi kebiasaan gue sama Bokap. Bedanya kalo Bokap memakai sarung, sedangkan gue lebih senang pakai celana panjang. Sigap gue bilang keras “Oh, ada Pak.”

“Apa?”

“Sholat ke masjid.” Jawab gue mantap. Ternyata jawaban gue mampu membuat Bokap tersenyum, hingga senyumnya bertambah lebar sambil manggut-manggut.

Di jalan Ibu Kota Yaris merah masih ini terus melaju. Setelah melewati pom bensin perjalanan ini jadi nggak lancar, dan malah banyak berhentinya.  Membuat jantung gue semakin deg-degan, soalnya gue takut telat. Bahkan karena gelisah banget, spontan jari-jari gue selalu bergerak di atas paha, sambil sesekali juga manggut-manggut. Sejenak Bokap melirik gue, trus Bokap melihat ke depan lagi, lebih tajam.

Mendadak Yaris merah belok ke jalan yang gue nggak tahu, tapi kayaknya keluar dari jalan utama tadi. Diikuti tangan kiri Bokap menarik tongkat besi di tengah-tengah kursi, lalu menginjak gas perlahan. Gue kaget dengan mata melotot dan nafas gue kayak berhenti, saat Bokap memacu cepat Yaris merah dan menyalip beberapa kendaraan di depan. Beberapa kali juga Yaris merah ini belok, trus melaju di jalan lurus. Sementara Bokap semakin serius mengemudi, gue semakin melotot melihat jalan di depan gue.

Tiba-tiba Yaris merah ini berhenti, hingga membuat gue terjungkal ke depan walaupun memakai sabuk pengaman. Ternyata Bokap mengantar ke perusahaan yang gue tuju dan Yaris merah ini berhenti di tepi jalan tepat di depan kantor. Gue yang kaget masih membatu, sedikit melongo dengan kedua tangan memegang dada kiri gue. Jantung gue....mau copot, rasanya keras banget detak jantung gue. Sambil tersenyum Bokap menoleh, tapi senyumnya hilang saat melihat gue memegang dada kiri.

“Deni, kamu nggak apa?” Tanya Bokap keras sambil megang pundak gue.

Tanpa menunggu jawaban gue, Bokap langsung menghidupkan mobil sambil bilang dengan tegas “Kita ke rumah sakit sekarang.”

“Deni nggak apa-apa kok Pak. Bener, nggak sakit.” Kata gue cepat.

Sigap Bokap menoleh, trus teliti melihat gue. Sementara gue cuma  nyengir. Gue nggak mau  ke rumah sakit bareng Bokap, kalo gaya Bokap mengemudi mobil kayak tadi. Bisa-bisa sebelum rumah sakit jantung gue berhenti berdetak. Haaa...Astagfirullahhadziim, gue memaksa senyum. Akhirnya Bokap menghela nafas, trus tersenyum melihat gue. 

“Deni turun Pak, tolong doakan semoga Deni diterima.”

“Iya, amiin.” Bokap tersenyum. Sebagai anak yang baik gue pasti mencium tangan Bokap. Abis itu gue mengucap salam.

“Wassalaammualaikum.....” Suara gue agak keras, abis itu membuka pintu mobil.

“Waalaikumsalam....”

Akhirnya Yaris merah kembali melaju meninggalkan gue yang masih berdiri terpaku memandang mobil Bokap yang semakin menjauh. Ha....rasanya lega banget, gue pun menghembuskan nafas dan menggelengkan kepala. Sejenak gue merapatkan kedua tangan pada dada kiri, merasakan jantung gue yang udah lebih rileks. Setelah itu gue balik badan dan menarik nafas dalam-dalam, trus menghembuskannya perlahan, lalu gue memaksa senyum. Tas kecil hitam gue silangkan ke pundak yang isinya buku agenda, surat panggilan sama bulpen.

“Ayo Deni, lo harus senyum, tapi jangan kelihatan gigi dan jangan terlalu lebar.” Kata gue sambil tersenyum.

Gue melangkah masuk ke halaman kantor, trus masuk ke dalam kantor. Di meja pegawai depan kantor gue menyerahkan surat panggilan. Setelah mengisi lembar biodata, gue disuruh naik ke lantai 3 dan menunggu wawancara di sana. Di lantai 3 ternyata udah ada beberapa orang yang kayaknya mau wawancara juga. Ada 4 cowok dan 3 cewek yang memakai baju dengan warna yang sama, putih hitam. Cuma gue yang memakai kemeja batik warna biru dan celana hitam, tapi gue santai yang penting baju gue sopan.

“Kayaknya gue kesiangan datang.” Ucap gue pelan sambil menggaruk kepala.

Karena nggak ada kursi kosong, jadi terpaksa gue berdiri di dekat pot besar di sebelah pintu kaca yang terbuka. Sejenak gue melihat wajah-wajah yang mau wawancara. Hmm wajah yang kelihatan lecek, nggak ada ramah-ramahnya dan nggak asik. Sebagian manyun, sebagian mengerutkan dahi, dan sebagian lagi merem melek. Akhirnya gue menghela nafas panjang, rasanya jadi bosan berdiri sendiri di dekat tanaman besar dalam pot.

“O iya. Kenapa gue nggak nyanyi aja biar nggak bosen, kayak Bokap waktu di mobil.” Ucap gue dalam hati.

Gue balik badan menghadap tanaman pakis haji dalam pot yang tingginya hampir setinggi badan gue. Sejenak gue tersenyum memandang tanaman ini, trus tangan kanan gue memegang daun pakis haji yang keras dan kepala gue mulai manggut-manggut mengikuti irama lagu yang nggak gue keraskan, cuma di dalam hati. Hingga perlahan senyum di wajah gue ikut mengembang.

“Mas Mas. Kalau kebelet ke toilet, jangan pipis di sini.” Seseorang menepuk pundak gue. Sigap gue menoleh ke asal suara. Ternyata di hadapan gue udah berdiri seorang pegawai OB alias office boy yang sedang senyum-senyum melihat gue.

“Siapa yang mau pipis, orang lagi....ehmm dansa! Sama nih tanaman!” Di ujung perkataan, suara gue tegas.

Sontak si OB tersenyum lebar, trus sambil cekikikan bilang “Kalau begitu maaf Mas, silahkan dilanjutkan.”

Akhirnya OB berbadan kurus itu pergi juga, sementara gue cuma menggeleng-gelengkan kepala. Trus gue alihkan kedua mata ini sama suara berisik di belakang gue. Eeeeh ternyata 7 orang yang lagi menunggu di kursi tunggu juga ikut ketawa.

“Haaa...nggak ada kerjaan apa!” Bisik hati gue tegas.

“Tapi nggak apalah, yang penting hari ini gue udah berbuat baik, membuat orang tertawa.” Sambut sisi hati gue yang lain.

“Ting.” Suara lift jauh di belakang gue, lalu lift terbuka.

Setelah itu dari dalam lift keluar seorang cewek berambut panjang yang memakai baju serba super banget, dan subhannallah banget...soalnya gue laki-laki normal, jadi pasti bilang kayak gitu. Menyusul jantung gue deg-degan, cepat dan keras banget bersamaan gue berhenti menyanyi dengan kedua mata gue masih melihat dari dinding kaca cewek seksi itu berjalan ke arah gue. Kayaknya dia mau masuk ke ruangannya.

Astaghfirullah haladziiiim...” Suara gue agak keras sambil cepat mengelus dada.

Tiba-tiba cewek berambut panjang dan seksi itu berhenti melangkah, tepat di samping gue di depan pintu dari kaca. Sigap gue memejamkan kedua mata.

“He, kamu kenapa?” Tanya cewek itu. Dengan mata terpejam gue nggak menjawab, tapi cuma menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu sakit?”

Gue masih nggak menjawab, tapi sambil terpejam juga gue cepat merogoh saku celana. Kemudian tanpa membuka kedua mata gue menunjukan selembar kertas wawancara. 

“Oooh mau wawancara?” Tanyanya. Tanpa berkata gue manggut-manggut tegas sambil memejamkan kedua mata.

“Udah bawa obat belum? Sampe segitunya mau wawancara doang.” Celetuk cewek itu. Setelah itu terdengar langkah kaki cewek itu perlahan menjauh dari gue, kayaknya dia udah pergi. Pelan gue membuka mata dan menghembuskan nafas, pertanda kalo gue lega banget. Tiba-tiba cewek berambut panjang tadi menoleh dan melihat gue, trus sejenak dia senyum.

Subhannallah....” Ucap gue pelan sambil memandang cewek itu dan menggelengkan kepala.

Astaghfirullah haladziim...Deni sadar sadar sadar....” Di ujung perkataan gue menepuk-nepuk pipi.

 

                                                                                     ***

Selesai wawancara gue keluar dari ruangan dan menutup pintu perlahan. Di depan pintu yang tertutup sejenak gue menghela nafas panjang, merasakan lega di hati gue. Walaupun gue belum tahu hasilnya, tapi seenggaknya gue udah usaha. Gue langsung turun ke lantai satu, trus di halte bus gue naik bus kota ke perusahaan kedua. Di perusahaan kedua gue datang tepat jam 12 siang, jadi gue mau sholat dhuhur dulu di mushola kecil dalam perusahaan. Biar gue masih muda, gue anak muda yang rajin sholat. Tapi gue bukan si “Doel”, gue Deni.

Setelah itu gue pergi ke tempat pegawai FO (front office), menunjukan surat panggilan. Pegawai depan kantor bilang kalo gue diminta naik ke lantai dua. Di lantai dua ada satu orang cewek berhijab yang kayaknya menunggu mau diwawancarai juga, atau...gue juga nggak tahu. Dia lagi baca majalah di kursi ujung Timur. Pakaiannya sangat sopan dengan rok panjang dan bajunya juga panjang. Pokoknya enak banget dilihat dan subhannallah banget...gue langsung duduk di kursi paling ujung Barat.

“Saudara Deni, silahkan masuk.” Pegawai perempuan memanggil.

Gue cepat berdiri dan sejenak merapikan baju, trus gue melepas tas. Ternyata cewek berhijab di ujung Timur melihat gue dan sejenak juga tersenyum. Gue pun memaksa senyum, trus gue cepat masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan seorang laki-laki berbadan besar udah berdiri di dekat jendela seraya memandang ke luar jendela.

“Assalammualaikum, selamat siang.” Gue sopan mengucap salam.

Laki-laki gendut itu menoleh, tapi dia nggak menjawab salam gue. Karena belum disuruh duduk jadi gue masih berdiri. Sementara itu laki-laki gendut itu berjalan, trus duduk di balik meja kerjanya.

“Silahkan duduk.” Kata laki-laki gendut itu. Akhirnya pelan gue duduk di kursi di depan meja kerjanya. Setelah itu laki-laki gendut di hadapan gue teliti banget melihat gue, cukup lama. Gue jadi salah tingkah nih, mau diapain gue?

“Deni Sumantri, kenalkan saya Roy.” Katanya tegas sambil tajam menatap gue.

Seolah terhipnotis sama mata lebarnya gue cuma manggut-manggut, tanpa berkata. Setelah itu Pak Roy menyandarkan tubuh di kursi. Sementara kedua tangannya dirapatkan ke atas perut dan kedua matanya masih tajam menatap gue. Santai Pak Roy berkata “Anda lulusan baru. Kalau saya baca biodata diri anda di sini, anda...tidak termasuk siswa atau lulusan yang berprestasi. Nilai anda...pas tengah-tengah, tidak jelek dan tidak bagus.”

Sejenak Pak Roy menghela nafas, lalu kembali melanjutkan “Tapi....saya tetap memanggil saudara. Karena saya selalu punya feeling, orang-orang pertengahan seperti anda biasanya....punya keahlian terpendam. Jadi intinya kalau nilai kuliah anda selalu dapat nilai pas-pasan, dalam dunia kerja anda pasti akan memberi nilai yang bagus untuk perusahaan dan untuk orang-orang di sekitar anda. Dan orang-orang seperti anda inilah yang langka.”

Membuat senyum di wajah gue lansung mengembang, trus perlahan gue menghembuskan nafas. Gue lega banget ternyata Pak Roy nggak meremehkan gue, jadi gue udah bisa membayangkan jawaban akhirnya seperti apa, pasti gue diterima kerja di sini. Semakin lama senyum gue pun semakin lebar sambil manggut-manggut pelan.

“Karena itu akan sangat sayang sekali kalau anda...hanya bekerja di sini.”

Tiba-tiba senyum di wajah gue hilang bersamaan kedua mata gue cepat terbuka lebih lebar. Gue masih nggak mengerti sama yang baru dikatakan Pak Roy. Setelah itu Pak Roy menegakkan tubuhnya dan menatap gue lebih dekat.

“Temukan bakatmu. Saya yakin anda akan berhasil, tapi tidak di sini.” Kata Pak Roy sambil menepuk-nepuk pundak gue.

“Aaaa tapi.....saya.....”

“Kalau anda sudah punya pengalaman dan sudah berhasil. Saya, Roy yang pertama akan mencari anda, dan anda tak perlu wawancara seperti ini.” Suara Pak Roy tegas. Membuat badan gue jadi lemas mendadak dengan wajah sedikit tertunduk.

“Oke Deni, ada yang ingin anda tanyakan?”

“A....” Gue mau tanya, tapi Pak Roy malah memotong dengan balik bertanya “Oh, tidak ada? Kalau begitu wawancara selesai.”

Lemas gue menghela nafas di hadapan Pak Roy yang masih teliti melihat gue. Akhirnya gue nggak jadi bertanya deh. Lagian apa yang mau gue tanyakan? Haaa nasib-nasib...

“Oh iya saya lupa, ini kartu nama saya, Roy.” Kata Pak Roy sambil menyodorkan kartu nama ke hadapan gue. Membuat kening gue merapat melihat kartu nama milik Pak Roy.

Tanpa tersenyum Pak Roy bilang tegas “Ingat! Kalau anda sudah berhasil, anda hubungi nomor di kartu nama ini, dan Roy akan mencari anda.”

Mendadak gue membatu melihat wajah Pak Roy yang tegas. Trus otak gue meraba-raba maksud perkataan Pak Roy, tapi belum sempat meluruskan otak, Pak Roy kembali tegas berkata “Oke Deni, silahkan anda meninggalkan ruangan ini.”

“Iya Pak. Terima kasih.” Suara gue lemas sambil menerima kartu nama dari tangan Pak Roy.

“Sama-sama.”

Lemas gue bangkit berdiri, trus lemas juga berjalan dan membuka pintu pelan. Setelah menutup pintu gue nggak segera melangkah, tapi masih berdiri di depan pintu yang tertutup ini dengan sorot mata nggak bergerak. Saat itulah otak gue berjalan, memikirkan perkataan Pak Roy tadi.

“Gue kan ke sini buat wawancara kerja! Kenapa gue malah diceramahin. “Temukan bakat anda, anda pasti berhasil. Kalau anda berhasil, yang pertama mencari anda adalah saya. Roy.” Di akhir perkataan, gue menirukan suara Pak Roy. Trus melihat kartu nama yang tertulis besar “Roy. General Contruction” di tangan kanan,

“Haaa.” Gue menggelengkan kepala dan menghela nafas. Tanpa gue duga cewek berhijab di kursi tunggu tersenyum sambil sesekali melihat gue. Kayaknya nih dia mendengar yang gue omongin, gue jadi malu. Akhirnya gue cepat mengambil tas di kursi, trus masuk ke dalam lift.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Summer Rain
225      181     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.
Enigma
1695      913     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Telat Peka
1346      620     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Our Tears
3065      1362     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
BELVANYA
344      239     1     
Romance
Vanya belum pernah merasakan jatuh cinta, semenjak ada Belva kehidupan Vanya berubah. Vanya sayang Belva, Belva sayang Vanya karna bisa membuatnya move on. Tapi terjadi suatu hal yang membuat Belva mengurungkan niatnya untuk menembak Vanya.
Today, I Come Back!
4006      1391     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
The Friends of Romeo and Juliet
20586      3085     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...
Daniel Whicker
8563      1906     13     
Mystery
Sang patriot ikhlas demi tuhan dan negaranya yang di khianati oleh negara dan dunia.. Dan Ayahnya pun menjadi korban kesadisan mereka...
Black Roses
33219      4761     3     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
My world is full wounds
492      349     1     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...