Renata membereskan semua barangnya asal-asalan.
"Ren, buru-buru banget. Lo mau ke mana?" Shasya yang masih menyelesaikan catatannya mengalihkan perhatian sejenak pada Renata.
"Aduh, Sya! Please....gue duluan, ya!" Rengeknya dengan nada memelas. "Gue disuruh buat resume nih, dikumpulin besok. Ini perpus udah mau tutup!" Ia memandang jam tangan di lengan kirinya. "Tuh, kan, ya ampun!" Ia merengak sekali lagi.
Dengan tidak tega, akhirnya Shasya merelakannya. "Ya udah deh, hati-hati, ya!"
"Oke!" Katanya sambil berbalik meninggalkan ruang jurnalis yang masih ramai karena rapat baru saja selesai.
Dalam perjalanannya, Renata berusaha melenyapkan pikirannya pada rapat pelik yang baru saja ia hadapi tadi. Sejenak, Renata berpikir ia akan kembali mendapat hukuman dari Pak Indra karena tidak berhasil menyelesaikan resume-nya. Tapi, untung saja. Adhi bersikap bijak dengan memberikan solusi jitu.
Renata masih ingat emosi Rahma yang meluap-luap karena tak satupun anak yang bersedia menjaga stand mereka ketika sekolah mereka menjadi tuan rumah pertandingan final sepak bila besok lusa. Meski Renata sudah mengajukan diri agar perdebatan cepat selesai, namun Rahma berkeras bahwa penjaga stand masih kurang. Akhirnya, pilihan terakhir, Adhi mengusulkan untuk menambahkan beberapa anggota baru yang tidak diserahi tugas penting untuk menjaga stand.
Dan dengan tatapan tajam Adhi, seketika Rahma menutup rapat itu, membuat Renata bernapas lega dan bisa menyelesaikan tugasnya. Namun, kekhawatiran lain menyergapnya. Ia takut perpustakaan tutup sebelum jam yang ditentukan. Setelah memandang lapangan yang perlahan sepi, Renata mempercepat langkahnya hingga menimbulkan hentakan keras di seluruh lantai sekolah.
Ia bernapas lega ketika lampu perpustakaan masih menyala. Segera ia mendorong pintu kaca itu. Setelah bertukar sapa dan canda dengan petugas perpus, Renata melepas tas dan hanya mengambil alat tulis yang ia perlukan. Tak lupa ia membawa 3 buku biologi dari tasnya. Ia benar-benar harus bekerja keras mulai sekarang.
Renata baru saja memastikan berapa jam harus ia habiskan di perpustakaan ini, ketika ia melihat orang lain di ruangan itu.
"Elo?" Tanyanya kaget.
Seketika, seseorang di hadapannya mendongak terkejut menatapnya.
"Renata?" Katanya dengan tak kalah heran.
"Kok lo di sini?" Tanya mereka hampir bersamaan, membuat penjaga perpus memanjangkan leher dan ingin tahu apa yang terjadi.
Mengetahui tatapan aneh si penjaga perpus, Renata segera meringis dan menggumamkan ma'af padanya.
"Kok lo masih di sini?" Tanya Renata setengah berbisik sambil mendekat ke arah Abi.
"Ini." Katanya sambil mengangkat buku yang sedang ia baca.
"Oh...." gumamnya sambil mengangguk.
"Kamu, apa yang kamu lakukan di sini?" Mata Abi memicing memperhatikan penampilan Renata yang kusut dan terlihat lelah.
Pertanyaan Abi yang terdengar menghakimi seolah Renata adalah terdakwa kasus korupsi, membuat Renata kesal. "Suka-suka gue! Gue sekolah di sini juga, jadi terserah gue mau ngapain! Nggak ada urusan sama elo." Katanya sambil membuka kasar kertas folio di depannya.
apa aku salah bicara? kenapa dia terlihat kesal.
Abi membatin sambil menatap Renata penuh kebingungan. Sesaat lalu, gadis di depannya ini sedang meminjam buku dan buru-buru pamit padanya. Lalu satu jam kemudian ia kembali tak kalah tergesanya. Memangnya apa yang sedang terjadi
Belum terjawab semua kebingungannya, si petugas perpus datang. "Setengah jam lagi tutup, ya!" Ia memperingatkan.
"Yah, Pak! please.... satu jam lagi dong, pak! please.... kali ini aja, pak! Tolong!"
Rengek cewek di depannya dengan raut putus asa. Gabungan antara lelah dan kemauan keras akan tugas yang harus ia kerjakan.
"Renata, bapak harus pulang. Jam sekolah sudah berakhir sejak tadi. Bapak nggak mau bermalam di sini. Atau kalau kamu mau, kamu bisa bawa kuncinya dan belajar di sini semau kamu."
Mendengar kalimat terakhir petugas itu, membuat wajah Renata pucat pasi. Renata terlihat bingung dengan jawaban yang harus ia katakan. Ia baru saja akan menyelesaikan tugasnya yang berat, tapi semua rencananya pupus karena perpus itu akan tutup. "Ya udah, deh, pak! Setengah jam lagi, ya pak! Kan peraturannya tutup jam 4." Kata Renata sambil suara memelas.
Si petugas perpus menarik napas panjang dengan bibir membentuk garis lurus sambil menatap Renata, lalu kembali ke tempat duduknya.
Renata kembali pada pekerjaannya, dan saat itu, matanya bertemu sekilas dengan mata Abi yang sedang menatapnya datar. Sepertinya cowok itu memperhatikan sesi tawar menawar anatara dia dan petugas perpus. Wajah datar Abi seolah menambah kekesalan Renata. Tanpa mengatakan apapun, ia kembali memfokuskan perhatiannya pada lembaran kertas di depannya.
Konsentrasi Renata untuk menulis Resume seakan buyar. Berkali-kali ia harus men-tipe x kalimatnya. Sambil mengerang kesal, ia membanting keras pulpennya ke meja. Hal itu membuat Abi mendongak seketika.
"Tidak bisa dikerjakan besok saja?" Entah karena emosi Renata yang meluap-luap atau suasana hatinya yang aneh, kalimat Abi barusan bak oasis di padang gurun. Sangat dingin dan menenangkan. Ditambah dengan warna suara Abi yang dalam dan menyejukkan.
Renata menahan napas ketika kalimat itu selesai dikatakan Abi. Membayangkan kalau ia akan kena hukuman lebih berat dai Pak Indra, membuatnya lemas. kalau gue kerjain besok, bisa mampus gue. "Nggak bisa. Harus dikerjakan sekarang. Soalnya besok dikumpulkan." Katanya sambil kembali men-tipe x kalimatnya. Renata hampir menangis ketika melihat satu paragraf di tulisannya penuh dengan tipe x.
"Saya perpustakaan lain yang masih buka sampai malam." Kalimat Abi membuat Renata menatapnya. Cowok itu kini sudah menutup bukunya dan menatap Renata lekat-lekat.
"Emang ada?" Tanya Renata sambil membulatkan mata.
Cowok itu mengangguk.
"Beneran?" Renata memastikan.
Dia mengangguk lagi.
Renata terpana. ia menarik napas dalam-dalam.
"Mau saya antar ke sana?" Kalimat Abi sekali lagi membuat Renata seperti diguyur es batu.
"Lo....mau ke sana?"
Ia mengangguk. "Saya butuh banyak membaca." Katanya sambil memandang deretan buku di belakangnya.
"Mau, mau." Renata mengangguk mantap.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah keluar dari pagar sekolah dengan dikawal oleh penjaga sekolah yang mengunci pagar begitu mereka keluar. Dan saat itu, mereka sadar, mereka-lah orang terakhir dari sekolah sore itu. Petugas perpus sudah keluar dari sekolah ketika mereka sedang bersiap.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir tadi, Renata berpikir keras bagaimana ia bisa menuruti perkataan cowok itu dengan mudah. Baru beberapa hari lalu ia berkali-kali bertabrakan denfan cowok itu. Baru beberapa jam lalu ia mengetahui namanya. Bagaimana bisa ia tiba-tiba sangat....dekat hingga mengantarnya ke suatu tempat.
"Emm....perpustakaan yang lo maksud, itu di mana?" Kata Renata ketika mereka sudah diluar pagar.
Dengan santai, Abi menyebutkan nama jalan yang sangat Renata kenal. Dengan deskripsi dari Abi yang detail menunjukkan lokasi tempat itu, Renata bisa membayangkan tempat itu dalam pikirannya.
Renata mengangguk beberapa kali. "Gue ke sana sendiri aja." Katanya singkat, dan sontak membuat Abi berpaling.
Ia mengernyit seolah tidak paham dengan perkataan Renata.
"Ehh...maksudnya gue mau ke sana naik angkot sendiri. Lo pulang aja." Katanya dengan senyum kecil.
"Kenapa?"
"Gue nggak mau ngerepotin lo. Lagian ini udah hampir malam. Lo pulang aja." Ia memaksakan senyum.
Sebelum Abi sempat menjawab, Cewek itu sudah berjalan mendahului Abi. Membayangkan cewek itu sendirian menyusuri jalanan yang hampir gelap, membuatnya tidak tega. Terselip kekhawatiran tak menentu di hatinya. Dia dan gadis itu memang baru saling mengenal. Dan itu cukup aneh jika tiba-tiba ia mengajaknya ke suatu tempat bersama. Namun ketika Abi teringat bahwa gadis itulah penulis puisi-puisi yang sanggup menyentuh hatinya, ia tidak bisa menahan dirinya untuk diam membiarkan gadis itu sendirian.
Abi segera men-starter motornya dan dengan cepat menyusul ke sisi gadis itu.
"Naiklah!" Katanya sedikit keras.
"Apa? Nggak usah. Gue-"
"Cepat naik!" Bentaknya dingin.
Seketika Renata membeku dan hanya bisa menuruti perkataan cowok yang memakai helm di depannya.
Motor mereka melaju membelah jalanan kota Surabaya yang semakin penuh sesak. Abi sengaja melewati gang-gang kecil untuk menghindari jalan raya karena Renata tidak memakai helm. Selain itu, cara ini juga efektif untuk menghindari kemacetan di jalan-jalan protokol.
Beberapa hari setelab tiba di Indonesia, Abi iseng menyusuri jalanan kota surabaya untuk sekedar cuci mata atau menyegarkan pikirannya. Ketika melewati gedung perpustakaan dan arsip daerah. Hari berikutnya, tempat itu menjadi salah satu pelariannya ketika sedang bosan di rumah.
Setelah motor berbelok-belok tajam melewati perumahan-perumahan, gang kecil, dan jalan kembar yang rindang, akhirnya mereka sampai ke sebuah tempat.
Renata terpaku menatap bangunan di depannya. Ia mengerjap cepat dan menggumamkan rasa kagumnya. "Wah....."
Abi yang berbalik setelah mlepas helmnya, mematung melihat cewek di sebelahnya sedang tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih. Wajahnya terlihat sangat indah meski lelah dan letih begitu tergambar.
Belum puas mengamati, Abi sontak berpaling karena Renata membalas tatapannya. Seketika, Abi berjalan memasuki gedung bernuansa biru itu, diikuti Renata di belakangnya.
Gedung berlantai dua yang luas itu, cukup membius Renata dengan deretan buku, Rak kayu, dan nuansa tenang yang ada di dalamnya. Sekilas, ia melihat Abi sedang berbincang dengan petugas perpus di balik meja tinggi. Renata menikmati pemandangan di depannya sekali lagi, ketika Abi mendekat.
"Buku-buku Sains ada di sebelah sana." Katanya singkat, tapi cukup membawa Renata kembali lagi ke dunia nyata. Tugas remidi sedang menantinya.
Renata cepat-cepat menuju rak itu. Ia mencari beberapa buku yang relevan dan membawanya dengan cepat ke meja bagian tengah. Ketika ia duduk, ia memperhatikan Abi sedang serius membaca sebuah buku di depan rak di belakangnya. Memandangi cowok itu seperti ini, cukup menimbulkan ketenangan baginya. Diam-diam, Renata mensyukuri pertemuannya dengan Abi.
detik jam terus berputar dan tanpa terasa, Renata sudah memenuhi satu halaman folio-nya. Sekarang tersisa satu lembar folio yang harus ia penuhi. Ia sedikit merenggangkan tangannya sambil melirik cowok di sampingnya yang tak berbicara sejak satu jam lalu.
serius banget bacanya
Dering ponsel mengagetkan keduanya dan membuat Renata harus fokus kembali ke tugas yang belum dirampungkannya.
"Halo...." Cowok itu berdiri dan keluar setelah menutup bukunya dan menggumamkan maaf pada petugas perpus yang sudah terlanjur kesal dengannya.
-0-
"Kalian di sini!" Abi memekik ketika Aldo, Riko dan Sam sudah berdiri di depannya. Cuma 10 menit sejak ia menerima telepon dari Aldo dan memberitahukan posisinya. Ketiga temannya itu sudah berdiri di luar gedung dan memasuki tenda sebuah warung kecil.
"Lo perlu tahu sesuatu." Riko berkata singkat setelah memesan es teh.
"Harus sekarang?" Abi masih mematung di depan pintu sementara dua temannya sudah mengikuti apa yang Riko lakukan.
"Harus. Lo harus tahu soal ini." Sam berbicara, dan membuat Abi duduk seketika.
"Langsung aja, Gue tadi lihat Alessi sama teman-temannya di kafe dekat sekolah." Aldo memulai pembicaraan. "Dugaan gue selama ini benar." Ia memandang Sam dan Riko seakan mereka berdua telah mengerti arah pembicaraan Aldo. "Bukan cuma Daniel yang pengen posisi ketua OSIS itu. Ada satu orang yang udah gue duga bakalan nyalonin diri. Dan satu lagi yang di luar perkiraan gue."
"Apa?" Riko memekik hampir tersedak. "Lawan kita tiga?" Pekiknya lebih keras.
Aldo mengangguk dengan tatapan khawatir. "Alessi dan Rizkita."
"Rizkita?" Aldo dan Sam berteriak bersamaan.
"Iya. Gue denger itu semua waktu bantu beresin peralatan olahraga di kantor OSIS. Kak Fahri yang bilang ke Kak Andika kalau calaonnya ada empat. Termasuk elo." Aldo menunjuk Abi.
Abi masih menatap Aldo dengan bingung dan tidak mengerti.
"Alessi adalah putra pemilik yayasan sekolah kita. Kekayaan, kedudukan, dan jabatan ayahnya bisa dia digunakan semaunya untuk menguasai sekolah ini." Sam bercerita.
"Kalau Rizkita," Riko mendengus. "Ratu drama kehormatan sekolah kita."
"Drama?" Abi kebingungan.
"Iya, drama... Semua yang dia lakuin itu drama. Semua postingan-postingannya di Instagram itu semua drama. Dan sayangnya anak-anak selalu percaya dengan dramanya dia." Katanya dengan sebal.
"Mereka bisa ngelakuin apa aja buat bisa jadi ketua OSIS, lo tau?" Aldo menepuk keras bahu Abi. "Apa aja."
Suasana hening. Abi dan pikirannya masih bertanya-tanya kenapa teman-temannya mengkhawatirkan semua ini, sementara Aldo, Riko , dan Sam gugup dengan berita yang baru saja mereka terima.
"Saya belum paham sama arah pembicaraan kalian. Kita lanjutkan di rumahku." Kata Abi sambil berdiri ketika ia melihat beberapa anak keluar beramai-ramai dari perpustakaan.
Aldo, Riko dan Sam menatap punggung Abi dengan tidak mengerti. ia tidak tahu bahwa rintangan besar sedang menunggunya.