Read More >>"> fall (ternyata kamu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - fall
MENU 0
About Us  

Renata masih bisa merasakan nyeri menjalar di kakinya ketika ia melihat sebuah mobil sedan hitam mendadak menepi tepat didepannya. Refleks kakinya berhenti melangkah. Dingin yang sedari tadi menyerang yang membuatnya memakai jaket di atas jas yang sudah ia kenakan, mendadak hilang. Begitu juga rasa nyeri karena terjatuh di jalan ketika ia berangkat tadi mendadak lenyap. Kebiasaan sedari kecil yang tetap tidak bisa Renata hilangkan, atau mungkin sudah mendarah daging dalam dirinya, adalah kecerobohannya. Bundanya sering mengingatkan jangan tergesa-gesa atau selalu berhati-hati ketika berjalan, namun semua itu hanya buaian kata yang terlintas di telinga.

Pintu belakang mobil itu terbuka dan keluarlah seorang cowok yang tengah menenteng tas ransel sambil merapikan jasnya.

ketika memperhatikannya lebih seksama, Renata ingat ia pernah bertemu cowok itu di hari pertamanya di sekolah ini. cowok itu hampir mendapat masalah karena warna rambutnya yang berbeda dari teman-temannya. Renata terkikik geli ketika mengingat hal itu, hingga secara tidak sadar membuat cowok yang sedang merapikan jas di depannya berpaling padanya. Pandangannya yang datar refleks membuat Renata terdiam. Cowok itu berjalan cepat dan menenteng tas di bahu sebelah kananya. Sementara kedua tangannya sibuk memainkan ponsel peraknya. Ia seperti terburu-buru sehingga hampir menabrak siswa disampingnya.

sekilas kedua mata mereka bertemu lagi ketika cowok itu berusaha menaikkan tasnya ke atas bahu. Wajah tampak tegas meski ada rona gugup di matanya. Dia cepat-cepat berbalik dan berlari kecil menuju gerbang sekolah dan dengan sekejap ia menghilang dari pandangan Renata.

Renata seakan tersadar setelah kepergiannya, ia mengikuti cowok itu menuju gerbang sekolah, melintasi tengah lapangan. Baru saja ia memasuki pintu gerbang, ia melihat seorang cowok lain berwajah sama, namun dengan warna rambut yang berbeda. Di sampingnya, berdiri gadis berambut panjang yang sepertinya bersusah payah berbicara dengan cowok yang sedang sibuk dengan motornya itu.

“Dhi, anterin aku ke kelas, Yuk!” gadis itu meregek sambil memegang lengan cowok itu.

“Rah, aku harus ke kantor dulu, ada ada buku pelajaran yang ketinggalan kemarin.” Katanya dengan malas. Renata ingat, gadis itu adalah seniornya di Ekstra Jurnalis yang ia ikuti. Dan yang sedang ia gandeng itu, adalah saudara kembar cowok yang baru saja ia temui. Mereka berdua murid baru yang katanya pindahan dari korea, tenpat asal oppa-oppa idaman teman-temannya. Sepertinya rumor yang ia dengar bahwa anak baru itu sedang dekat dengan seniornya itu benar adanya.

“kamu nggak kayak dulu lagi Dhi" Rahma mengerucutkan bibir, ia kecewa dengan sikap Adhi. Rahma terus mengatakan sesuatu hingga mereka berdua masuk ke gedung sekolah dan Renata masih mematung memperhatikan tingkah laku mereka.

Kedua anak baru itu, meski hanya beberapa minggu, sudah menjadi idola di seantero SMA. Cowok yang baru saja digandeng seniornya tadi, sudah menjadi rebutan cewek-cewek dan guru-gruu muda. Berbeda dengan kembarannya yang juga Renata temui tadi, dia terlihat dingin dan menutup diri dari siapapun.

“HOI...” sebuah tepukan keras membuatnya berjingkat.

“Stefani! Apaan sih?” kata Renata sambil mengelus jantungnya yang berdegup kencang.

“Pagi-pagi udah bengong di depan aja, mau telat Upacara?!”

Mereka tertawa bersama mengingat pengalaman setahun lalu, ketika mereka dipertemukan pertama kali karena sama-sama terlambat mengikuti Apel pagi karena sibuk mencari kelas baru. Setelah memutari gedung sekolah, ternyata mereka sama-sama bertempat di kelas yang diapit antara ruang komputer dan ruang BK. Mereka selalu tergelak jika mengingat peristiwa itu.

“Tiap senin kayak gini, lumayan Bosenin ya?!” kata Stefani ketika mereka berdua sampai di dalam kelas.

Renata hanya menganggung sambil bergumam. “Eh, Avi mana ya? Kok belum datang juga?” Tanya Renata sambil mengaduk isi tasnya, mencari sebuah novel yang telah ia persiapkan sejak pagi.

"Nggak usah tanya Avi, dia pasti molor dulu, kebiasaan kan, nanti pasti ngomel-ngomel kalo ingat hari ini upacara."

Renata tertawa renyah mengingat kelakuan sahabatnya. "ya udah, aku ke bawah dulu ya?" ia pamit sambil bersenandung memeluk novelnya.

"Kebiasaan dari dulu tetep nggak ilang ya?" Stefani berkata sambil menggeleng kepala. Renata membalas senyuman tanggung dari seberang jendela. "Jangan telat ke lapangan!" Stefani meneriaki dari dalam kelas, memperingatkan renata yang hanya dibalas dengan mengacungkan jempol ke arah Stefani.

Kebiasaan yang disebut-sebut Stefani, adalah kebiasaan Renata membaca Novel setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Tanpa hal itu, hari-hari Renata akan terasa bad dan tidak bersemangat. Ia akan sebisa mungkin menyempatkan membaca beberapa lembar atau bahkan kalimat dari sebuah novel.

Lapangan sudah hampir penuh dengan siswa ketika Renata melintas di Koridor menuju bangunan bagian utara. Ia tahu salah satu tempat paling tenang di gedung SMA-nya di pagi hari yang sibuk seperti ini. Taman sederhana dengan kolam kecil di dekat gudang. Renata duduk di sana seorang diri dan memulai kebiasaannya.

Tak berapa lama, beberapa cowok datang dan berkasak-kusuk di tempat duduk panjang di depan Renata. Mereka seperti sedang menunggu seseorang. Suara berisik berganti dengan suara derap sepatu yang semakin lama semakin mendekat. Sontak ketiga cowok yang tadi mondar-mandir menatap khawatir ke arah lapangan.

"jam setengah tujuh kurang 15 menit, tepat." Gerombolan cowok itu menoleh ke arah sumber suara, termasuk renata. Cowok itu masih terengah-engah sambil mengatur nafasnya.

Semua pandangan tertuju pada cowok itu ketika dia menarik napas dalam-dalam dan duduk di tempat duduk.

Renata memperhatikan cowok itu. cowok itu lagi. batinnya dalam hati

"eh Bi! dateng juga lo akhirnya." Aldo tersenyum lega dan menepuk punggung Abi. Aldo segera menginstruksikan agar ketiga temannya membentuk lingkaran.

"Baik. Bagaimana kalau langsung ke inti pembicaraan?" Abi angkat bicara. Sambil berusaha mengatur tempat duduknya.

"santai dong man, lo ngebet amat, udah nggak sabar?" sambar Aldo yang juga mengambil tempat di lingkaran itu "Udah nggak sabar jadi ketua OSIS ya?" seketika tawa meledak di dalam lingkaran itu, menjadi panggung komedi di pagi hari.

"Kita nggak punya banyak waktu. Kalau kita punya waktu, sekarang inilah waktunya." Abi menjawab serius celetukan Aldo

"Oke, oke." Samuel mencoba menengahi, mengangkat kedua tangannya di hadapan Abi dan Aldo "jadi gini..."

"Sebentar..." Riko memutus kalimat samuel ketika merasakan kejanggalan di sekitar tempat meeting mereka. kata-kata samuel menggantung di udara.

"Kenapa lagi?" tanya samuel dongkol

"Lo nggak liat?" Mata Riko tertuju pada Renata yang sedang tenggelam dalam alur novel yang dibacanya. "Ada cewek disana" Riko menunjuk dengan dagunya "Nggak apa-apa nih? Siapa tau dia mata-mata yang dikirim sama lawan-lawan kita?" mata Riko kini beralih menatap kawan-kawannya satu-persatu, meminta persetujuan atas sarannya.

"Lo kebanyakan nonton Mission Imposible ya!" Aldo membentak Riko sambil berusaha mendorong kepalanya, namun gagal. Riko menghindar. "Nggak mungkin tu cewek kayak gitu. Dia cuma cewek kutu buku." Aldo merendahkan suaranya agar tidak terdengar oleh Renata.

Mereka terkiki geli sambil melirik Renata, kecuali Abi, yang menatap renata dengan bingung.

"Kau mengenalnya?" Abi menyelidik

"Nggak, cuma waktu itu dia nabrak gue sampek buku yang dia bawa jatuh. Gue Cuma ketawa aja waktu ngambilin novel dia yang jatuh di bawah kaki gue." Aldo menggeleng heran.

Abi terpaku mendengar cerita Aldo, ia memandangi Renata dari tempatnya duduk. "Sudahlah, sekarang langsung ke inti." Abi berkomando

Seketika sorotan mereka pada Renata lenyap. Kini kepala mereka kembali beradu membentuk lingkaran. Dengan tenang dan hening satu-persatu dari mereka berbicara.

Formasi mereka bubar ketika bel berdering empat kali, pertanda Upacara dimulai.

-0-

Hampir 20 menit Upacara hari itu berlangsung. Menyisakan keluhan dan rintihan dari beberapa siswa. Mereka segera menyerbu kantin dan menghabiskan minuman dingin yang tersimpan di freezer semua penjual. Renata dan teman-temannya melakukan hal yang sama, meski ia hanya bisa meminum habis sebotol air mineral.

25 menit istirahat setelah upacara adalah hal yang sangat penting. Selain untuk membangkitkan semangat dan mengembalikan tenaga, istirahat ini juga untuk memperbaiki mood para siswa yang telah rusak karena merasa di jemur selama 20 menit oleh kepala sekolah. 

"Gila ya kepsek, dia udah rencana kali ya buat ngomong sepanjang itu?" Avi menggerutu sambil berusaha mengibas-kibaskan jasnya. Ia mengambil tempat di tengah-tengah kantin, diikuti oleh kedua temannya.

Stefani mengibaskan tangannya di depan wajah Avi berkali-kali, berusaha menghentikan ocehan cewek itu.

"Habisnya, udah tau kita kepanasan gini, kaki pegel, masih aja ngomong nggak ada habisnya." Avi mempertahankan kritikannya sambil membenarkan letak duduknya.

"Eh tapi emang bener ya kalo minggu depan mau ada pemilu OSIS?" Renata menyahut, keluar dari topik pembicaraan teman-temannya.

"Lo nggak tau Ren?" Avi melotot di depan Rena

Renata hanya menggelengkan kepala, melihat temannya satu persatu

"Ya ampun... makanya jangan baca novel aja dong, Ren! Sesekali denger gosip yang ada di sekolahan kita." Stefani menambahi

"Iya, Ren! Lo jangan baca novel terus, dong! Sekali-kali ikut kita nggosip gitu." Avi mempertegas lagi.

Renata semakin merasa terpojok. Ia beralih menatap air mineralnya yang sudah hampir kosong. Merelakan pertanyaannya semakin berkembang tanpa jawaban. Ia menggoyangkan otol koosng itu dengan cepat. Melampiaskan kekesalannya.

Ia tidak terlalu suka mengurusi masalah perpolitikan sekolah. Apalagi perebutan kekuasaan di sekolah. Hidup bagi Renata adalah ketenangan dalam membaca buku dan menambah koleksinya. Ia akan melakukan apapun untuk menambah koleksinya meskipun harus ngirit uang jajan. Tiba-tiba kegiatannya terhenti ketika ia mendengar namanya dipanggil.

"Renata...." Sura cempreng itu menggema di seluruh kantin. Sampai-sampai Renata kalap mencari sumber suara itu. berharap ia tidak akan memanggil renata untuk kedua kalinya.

"sashya..."Renata menghampiri sashya yang berdiri di luar kantin. "apaan shya? suara lo bikin gue hampir keselek tau..."

"kak Rahma manggil elo tuh, dia marah-marah, katanya elo ditungguin dari tadi ngak nongol-nongol. Gue cuma kurir nih, cepetean ke sono." Sashya akan bergegas meninggalkan kantin ketika renata baru saja menyadari kesalahannya.

"waduh, iya gue lupa, sekarang jadwal gue buat ganti mading." Raut panik memenuhi wajah renata

"ya udah cepetan, kalo dia ngamuk kita satu klub bisa kena lahar panas nih..." perkataan sashya bagai menabur garam di atas luka bagi renata. Ia segera pamit dengan kedua temannya, tidak lupa meraih botol mineral kosong di atas meja, dan membuangnya ke tempat sampah. Ia berlari menyusuri koridor, menuju kantor.

Di saat seperti ini ia sangat berharap agar perjalanannya mulus, tidak terjatuh atau menabrak benda apapun yang membuatnya akan semakin bersalah di depan kak rahma.

"Maaf kak, saya lupa." teriak renata ketika ia sampai di depan kantor. Napasnya yang masih terputus satu-satu tidak dihiraukan oleh Rahma.

"nih! pasang yang bagus!" Rahma menyerahkan map berisi tulisan-tulisan yang telah dihias dengan cantik. Bahkan ketika ia menyerahkan map berisi tulisan-tulisan untuk mading, ia tidak memandang renata. Renata menerimanya dengan kecut dan segera beringsut dari tempat itu. 

Begini saja sudah cukup. Batinnya dalam hati

Renata berjalan pelan sambil sesekali mengatur nafasnya. Menarik nafas dalam-dalam, menahan, dan menghembuskannya, pelan. Ia mengulangi beberapa kali sampai nafasnya teratur.

Hingga sampailah ia di depan mading sekolah yang hanya ada satu. Satu-satunya disekolah. Letaknya tepat di pintu masuk sekolah yang menghubungkan lapangan parkir dengan gedung sekolah.

Ia melepas satu karya dan menggantinya dengan karya lain yang ada di dalam map yang ia pegang. ia melakukannya satu persatu sambil sesekali membaca judul karya-karya itu, sampai ia memegang karyanya miliknya. puisi yang sudah ia buat beberapa hari lalu.

Rahma selalu memberikan ruang pada renata di bagian puisi. Karena cuma renata yang rutin mengirimkan puisi satu minggu sekali ke klub jurnalistik. Itulah mengapa ia dijadikan anggota klub, karena kemampuannya menulis puisi. Ia membaca lagi puisi yang telah ia buat.

Puisi yang menggambarkan kerinduannya kepada sang pangeran berkuda putih yang suatu saat akan menemaninya dan selalu menjaganya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Membayangkan betapa bahagianya ia jika hal itu benar-benar terjadi. Ia menempelkan puisi itu di mading bagian tepi kiri atas.

Pandangannya tertuju kembali pada papan mading yang baru saja ia rombak posisinya. Memastikan tidak ada konten yang salah atau terbalik. Dengan mata yang masih menyelidik papan mading, ia langkahkan kakinya dengan mantap menuju kantor klub. Baru saja di langkah kakinya yang kedua, ia merasa menabrak sesuatu.

Dughhhh

kepalanya membentur sesuatu dengan keras. Ia terhuyung ke belakang dan hampir jatuh ketika sebuah tangan melingkar di punggungnya dan menahan badannya. Seketika map yang ia bawa terjatuh dan isinya berserakan di lantai.

Renata terkejut. Ia berusaha melihat siapa orang yang ada di hadapannya, yang memeganginya sehingga ia tidak lagi jatuh terjerembab di lantai sekolahan yang keras. Usahanya untuk mengetahui seseorang di depanya gagal karena dihalangi helaian rambut yang mencuat ke beberapa arah.

Ia masih menatap cowok yang ada di depannya meski tehalang beberapa helai rambut. Ia merasa mengenali cowok itu. cowok yang menjadi perbincangan di seantero sekolah karena wajah dan warna rambutnya yang berbeda.

Waktu seakan berjalan lambat kala mereka bertatap muka. Sampai ketika renata menyadari sebuah kejanggalan. Renata membetulkan posisi berdirinya. Merapikan rambut yang menutupi dahinya.

"Makasih" katanya gugup sambil menunduk. Kalaupun ia mengangkat mukanya itu tidak berguna, karena Renata hanya seukuran bahu cowok itu. renata harus menengadah supaya ia bisa bertatap muka dengan cowok itu.

"Kau, baik-baik saja?." Perlahan Abi melepaskan tangannya dari badan renata "Apa ada yang terluka?" ia bertanya lagi, kini ia berusaha menyerongkan kepalanya ke samping, menyejajarkan kepalanya dengan kepala renata.

Mendengar suara itu tepat berada di depannya, sontak Renata mengangkat wajahnya. Ia menemukan matanya beradu dengan mata cowok itu. ia menangkap kehangatan dan kedamaian di mata birunya. "Enggak... nggak apa-apa." Renata membaca badge nama di dada bagian kanannya. Abimanyu Dikta Nugroho.

"Maaf, Aku tidak sengaja." Kata Abi sambil berjongkok membereskan kertas-kertas yang berserakan.

"Nggak apa-apa kok, gue yang salah, gue selalu ceroboh kayak gini. Jadi santai aja." Renata ikut berjongkok dan secepat mungkin ia berusaha mengumpulkan kertas-kertas itu lagi sebelum rahma mencarinya karena terlalu lama melaksanaan tugas.

Gerakan tangan Abi terhenti ketika ia memegang puisi milik Renata. Ia membaca puisi itu lagi dan lagi. Sudah satu minggu ia membaca puisi itu berulang kali. Tidak ada rasa bosan ketika ia membacanya. Semakin ia membaca dan mendalami maknanya semakin ia jatuh cinta dengan kata-katanya.

"sorry..." kata Renata yang kini sudah berdiri di hadapan Abi. Berharap ia segera memberikan kertas yang ia pegang padanya.

panggilan Renata membuyarkan lamunan Abi "oh iya....." jawab Abi gelagapan sambil mengikuti renata berdiri. Abi memberikan kertas-kertas yang tadi ia pegang, kecuali puisi renata yang masih ia perhatikan lekat-lekat.

"Emm.... yang itu?" Renata menunjuk pada kertas yang di pegang Abi

"oh... ini?" Abi mengangkat kertas yang sejak tadi ia pegang kuat-kuat. "gue boleh minta yang ini?"

"hah..?" Renata kaget mendengarnya.

"kenapa? Bukankah ini tidak terpakai?"

"tapi itu punya gue, gue mau simpen sendiri." Renata menerangkan. Merasa tidak enak dengan jawabannya sendiri

"oh... begitu!" Abi menyerahkan kertas itu pada Renata. Renata bergegas pergi. Berjalan cepat, bukan berlari.

Abi terpaku di tempatnya. Dari tempatnya berdiri, ia menatap punggung Renata yang semakin lama semakin menjauh. Ia memutar memorinya kembali ketika Renata mengatakan bahwa puisi itu miliknya. 

Jadi, gadis penulis puisi yang selama ini kucari-cari adalah dia? Aku bertanya-tanya, bagimana wajah pemilik kata-kata indah itu. pasti dia sama indanhnya dengan kalimat yang ia tulis, atau lebih indah dari itu?

Kini ia beralih menatap mading. Ada getar hangat di hatinya, sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Tertulis dengan jelas inisial "R" di puisi baru milik Renata. Ia membaca puisi itu dalam hati, membacanya pelan. Mencoba mendalami apa yang tertulis disana. Ia baca lagi dan lagi. Seulas senyum tergambar di wajahnya. Dengan wajah bersemu, ia kembali ke kelasnya. Semua pertanyaannya terjawab.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Anne\'s Daffodil
596      404     3     
Romance
A glimpse of her heart.
Haruskah Ku Mati
34139      5407     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
a Little Braver
245      198     0     
Romance
Ketika takdir yang datang di setiap kehidupan membawanya pada kejutan-kejutan tak terduga dari Sang Maha Penentu, Audi tidak pernah mengerti kenapa Dia memberikannya kehidupan penuh tanya seperti ini?
IDENTITAS
674      457     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
My Secret Wedding
1374      612     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
Innocence
4782      1625     3     
Romance
Cinta selalu punya jalannya sendiri untuk menetap pada hati sebagai rumah terakhirnya. Innocence. Tak ada yang salah dalam cinta.
My Andrean
10232      1782     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
A promise
535      340     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
SILENT
5055      1533     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Returned Flawed
249      199     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.