"Hah?" Mata Renata membulat.
"Daftar pertanyaan kamu, untuk wawancara?" Adhi berkata dengan nada seolah Renata tidak mendengar ucapannya.
Renata mengerjap. Ia kemudian ingat perkataan Pak Arfan, guru Bahasa Indonesia-lelaki tampan yang digilai beberapa murid meski umurnya hampir menginjak kepala 4- yang sering bilang, bahwa sebelum melakukan wawancara, seorang wartawan atau reporter harus menyiapkan daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan itu, selain untuk menggali data yang dibutuhkan, juga untuk menjadi acuan agar pembicaraan keluar dari topik bahasan.
"Oh, itu?" Renata kemudian berkata. Ia jadi faham kenapa sejak tadi Adhi mencoret-coret notes-nya. Ia sedang menyiapkan beberapa hal yang harus ia tanyakan pada ketua tim Cheerleaders. Renata menatap lembar putih notes kecilnya. Ia tahu yang harus ia lakukan. Masalahnya ia sama sekali tak tahu tentang sepak bola. Dan setelah ia menulis poin biodata singkat kapten tim, tangannya terhenti.
"Ada masalah?" Sebuah suara membuatnya mendongak dan menemukan Adhi sedang menatapnya lekat dengan wajah penuh keingintahuan.
"Hmm....gue...masalahnya....nggak tahu apa-apa soal sepak bola." Katanya terbata. Setelah mengatakan itu, ia merasa sangat bodoh dan terlalu menggampangkan. Setahun lebih ia bergabung, namun ia hanya bisa menulis puisi sebagai pengisi mading sekolah saja. Ia jadi sedikit menyesal.
"Oh, itu? Mau aku bantu?" Tanya Adhi ramah.
"Lo....mau bantu gue?" Renata kembali bertanya sambil melirik Rahma yang masih sibuk menatap layar komputer.
Cowok yang lebih mirip artis korea ini, mengangguk mantap. "Nggak masalah." Katanya ringan, lalu menggeser kursinya lebih dekat dengan Renata.
Renata hampir memekik karena jarak mereka yang terlalu dekat. Ia sekali lagi melihat Rahma dengan ekor matanya. Cewek itu seolah tidak terganggu sama sekali dengan apa yang dilakukan Adhi dengannya. Jantung Renata sudah berdetak tak karuan ketika Adhi mencondongkan wajah ke arahnya, ia bersiap-siap jika sewaktu-waktu ia harus menelan bulat-bulat kemarahan dan kejengkelan Rahma karena ia dekat-dekat dengan cowok gebetannya ini. Tapi tanpa diduga, ternyata Adhi hanya memperhatikan tulisan di notes Renata. Setelah melihatnya baik-baik, cowok itu kembali memperhatikan Renata.
"Gue nol besar soal sepak bola." Kata Renata sambil mengangkat bahu.
Cowok itu mengangguk-angguk, kemudian berpikir sebentar. "Kamu perlu tanya formasi apa yang ia pakai untuk pertandingan ini, dan kenapa dia memakai formasi itu." Kata Adhi cepat.
"Formasi?" Renata mengulang kata-kata Adhi.
"Iya. Kamu tahu 'kan kalau dalam pertandingan sepak bola, ada macam-macam formasi yang bisa dipakai kapten atau pelatih agar tim-nya menang?" Kata Adhi penuh semangat.
Renata menggeleng lemah, dan segera disambut dengan tawa kecil oleh Adhi. Setelah itu, Adhi menjelaskan panjang lebar tentang formasi sepak bola yang tadi ia bicarakan. "Nah, sekarang kamu sudah faham kan kenapa suatu tim harus menerapkan formasi ketika pertandingan sepak bola?" Adhi bertanya seolah mengetes pemahaman Renata.
"Udah, dong! Kan kamu barusan jelasin. Biar sebuah tim bisa menang 'kan?" Katanya sambil tersenyum.
"Dhi, aku keluar duluan, ya!" Rahma tiba-tiba datang diantara mereka dan membuat renata terkejut. "Tadi sudah aku edit sedikit konten yang tadi kita bahas. nanti kalau masih ada waktu, coba kamu cek lagi. Takutnya masih ada yang kelewatan." katanya serius tanpa menengok ke arah Renata sedikitpun. Ketika ruangan hening karena Rahma sedang memeriksa lembaran di tangannya, Renata melilit tangannya kuat-kuat menguatkan diri. Bisa saja Rahma tiba-tiba marah kepadanya.
Diluar dugaan, Rahma ternyata langsung keluar begitu ia selesai bicara. Renata terpaku menatap punggung cewek berambut panjang itu. "Kak Rahma kenapa?" Gumamnya dengan dahi berkerut
"Dia kerepotan sama konten tulisan kita yang belum diedit, karena pembina ekskul minta jadwal tebit buletin lebih dipercepat. Belum lagi, LPJ nya yang belum selesai." Adhi menarik napas panjang.
Terbit rasa bersalah di sudut hati Renata. Sebagai salah satu anggota ekskul, dia seharusnya bisa meringankan beban Rahma untuk membantu mengurus proses penerbitan buletin. Ia harusnya juga membantu mengumpulkan berita demi terbitnya buletin perdana mereka. Tapi, nyatanya ia tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa memperhatikan kakak tingkatnya itu berjalan ke sana ke mari mengais berita. Pertandingan sudah berlangsung setengah jalan, dan ia harus secepatnya bertemu dengan pelatih dari tim lawan agar ia tidak kehilangan berita.
"Oke!" Renata berkata mantap sambil menatap Adhi. Ia bertekad untuk melakukan apapun yang ia bisa agar buletin perdana mereka bisa terbit. "Jadi, menurut lo, apalagi yang perlu gue tanyain?"
Alis Adhi terangkat sebelah, cowok iu memandang Renata penuh arti, lalu berkata "hmm....mungkin alasan kenapa mereka pakai formasi itu?"
Renata mengangguk, mencoba memahami. "Boleh. Tapi, mungkin nggak sih, kalau lawan juga memakai formasi yang mereka pakai untuk tim mereka?" Renata melempar pertanyaan.
"Bisa jadi, tapi kemungkinannya kecil."
"Kok gitu?" Renata mengernyit.
Adhi menumpukan kedua lengannya ke atas meja hingga Renata bisa melihat dengan sangat dekat warna coklat mata Adhi. "Karena....ada banyak formasi dan strategi serangan yang bisa mereka pakai." Katanya pelan.
Renata mengangguk. Ia segera mencatat hal penting yang tersirat dari pembicaraan mereka. "Lalu...?" Ia menatap Adhi lagi. Ia memegang kembali bulpoinnya dan bersiap mencatat apapun yang keluar dari mulut Adhi. Sesekali mereka beradu pendapat yang membuat Renata kembali mengangguk menerima kehebatan Adhi tentang pengetahuan sepak bolanya.
"Lo tahu banget, ya soal sepak bola?" Tanya Renata ketika ia telah mengantongi dua halaman penuh pertanyaan yang bisa ia tanyakan pada kapten tim.
"Begitulah....!" Adhi beranjak dari kursinya. Ia berjalan keluar, masih dengan kamera di leher, dan menghirup udara luar dalam-dalam. Tak terasa, ternyata mereka berdiskusi cukup lama. Lapangan semakin ramai karena pertandingan memanas. Wasit memberi tambahan waktu karena terjadi beberapa pelanggaran yang cukup menyita waktu. Kedua tim memiliki skor yang sama, dan mereka berlomba memanfaatkan waktu untuk memasukkan bola sekali lagi paa gawang lawan. Suasana semakin riuh.
"Lo suka bola?" Tanya Renata mengikuti langkah Adhi yang keluar dari ruangan.
"Suka." Jawabnya cepat.
"Berarti, lo jago main sepak bola, dong?" Tuduh Renata
Cowok di depannya terdapat tertawa lepas. "Bisa dibilang begitu. Dulu aku jadi striker andalan waktu SMP." Ia memandang Renata
"Oh ya?" Mata Renata membulat. Dugaannya salah ketika ia mengira cowok setampan Adhi hanya bisa memotret dan bekerja di balik komputer. Ternyata, cowok yang sedang memperhatikan lapangan di depannya ini juga sangat berbakat. Tapi....
"Kamu satu kelas sama aku kan?" Pertanyaan Adhi mengagetkan Renata yangs sedang mengamati raut aneh di wajah cowok itu. Dia bertanya sambil mengambil beberapa foto pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung.
"Iya." Renata seketika lupa dengan apa yang ia pikirkan barusan. Ia mencoba mengingatnya raut wajah Adhi saat itu, namun gagal. "Kenapa lo nggak ikut ekskul sepak bola aja? Kenapa malah milih jurnalis?" Katanya akhirnya.
"Aku...rindu." Ia beranjak ke lapangan, karena intensitas permainan semakin tinggi. Beberapa siswa memenuhi tepi lapangan untuk memberikan dukungan pada tim mereka. Adhi seketika menelusup mengambil momen-momen penting ketika striker menendang bola yang lagi-lagi ditepis oleh kiper bersarung tangan.
Renata terduduk di kursi di deoan ruangan ekskul. Sambil menunggu pertandingan selesai, Renata hanya bisa duduk menjauhkan diri dari teriakan-teriakan para cowok yang mulai tak terkendali. Perkataan Adhi tadi masih menimbulkan tanda tanya dan ekspresi aneh ketika Renata bertanya waktu itu. Memikirkan Adhi terus-menerus, membuat Renata kembali memikirkan Abi. Untung saja Adhi tidak tahu bahwa belakangan ini ia sering terlibat maslaah dengan saudara kembarnya yang menyebalkan itu. Renata masih begidik jika membayangkan Abi yang sering membaca puisinya di mading.
"Renata!" Sebuah suara kembali mengagetkannya.
"Ya?"
"Pertandingan sudah selesai. Kamu bisa siap-siap untuk wawancara sekarang." Adhi memberikan instruksi lagi, yang segera ditanggapi dengan cepat oleh Renata. Ia menyiapkan semua alat perangnya.
"Mana kapten tim yang harus aku wawancarai?" Renata ingin tahu narasumbernya.
Adhi menunjuk sebuah sudut dimana sekelompok cowok berseragam biru dengan motif merah sedang meminum sebotol air, sambil mengeringkan peluh mereka. "Sambil nunggu mereka istirahat, kamu bisa kenalan dan ngobrol sedikit sama mereka."
Entah kenapa, nyali Renata menjadi ciut. Narasumber yang ia lihat seperti harimau yang siap menekam siapapun jika ia melakukan kesalahan. Tiba-tiba tangannya berketingat.
"Ren! Kamu nggak apa-apa?" Adhi memandang Renata yang sedang menatap nanar ke arah tim lawan.
"Eh....dhi....aku....aku...." Katanya terbata sambil sesekali menatap calon narasumbernya.
"Kamu gugup?" Adhi menatap lekat-lekat, yang segera dibalas dengan anggukan mantap dari Renata.
"Nggak usah takut." Cowok itu memegang erat tangan Renata yang mendingin. "Aku temani kamu. Kamu nggak perlu gugup atau takut sama mereka. Kamu pasti bisa." Ia mengeratkan pegangan di tangan Renata.
Renata mengangguk samar, lalu mengikuti langkah Adhi menuju calon narasumbernya. Langkah Adhi santai namun pasti. Ia seperti sudah mahir melakukan hal seperti ini. Dengan wajah cerah dihiasi senyum menawan, cowok di sampingnya ini memandang lurus ke arah kawanan cowok yang sedang duduk santai di kursi panjang mereka. Satu persatu dari mereka beranjak sambil melambaikan tangan ketika Renata dan Adhi sampai di tempat mereka.
"Hai!" Sapa Adhi singkat, namun cukup membuat satu dari mereka berpaling dan menatap mereka berdua.
"Hai!" Balasnya datar, diikuti tatapan beberapa cowok di sampingnya.
"Saya Adhi, tim jurnalis sekolah." Ia mengulurkan tangan dan segera di jabat oleh cowok berambut ikal di depan mereka.
"Gyo." Cowok itu membalas singkat sambil melirik Renata.
"Kita mau wawancara kapten tim untuk konten buletin kita. Apa kalian bersedia?"
Empat cowok yang tersisa di depan mereka saling berpandangan. "Boleh." Kata cowok bernama Gyo sambil tersenyum miring.
"Oke. Kenalin, ini Renata, yang akan wawancarai kalian seputar pertandingan tadi." Adhi mengenalkan Renata yang segera disambut dengan senyum canggung dan dipaksakan.
"Hai! Nggak usah takut gitu, kita nggak gigit kok," kata Gyo ringan dengan iringan tawa lirih dari teman-temannya.
Renata hanya bisa tertawa lirih mendengarnya. Cowok yang tengah mengusap peluh itu menggeser tubuhnga hingga menyediakan sedikit tempat untuk Renata duduk. Melihat Renata diam, ia kemudian mengisyaratkan ketiga temannya untuk berdiri dan meminta Renata duduk di tempat yang ia sediakan.
"Hmm....maaf mengganggu waktu kalian." Kata Renata canggung. "Ini nggak bakal lama, kok." Tambahnya yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Adhi ketika ia meliriknya.
"Nggak apa-apa, santai aja." Kata Gyo ringan.
"lama juga nggak apa-apa, kok" gumam salah satu teman Gyo, yang segera disambut dengan tawa lirih oleh yang lainnya.
Renata menahan malu dan bertekad segera menyelesaikan sesi wawancara ini sebaik mungkin. Ia membuka notesnya dengan cepat dan fokus ke beberapa pertanyaan di sana. Cowok-cowok disekitarnya sedang membisikkan sesuatu sambil kembali tertawa lirih, sementara ia sedang mempersiapkan diri.
"Bisa kita mulai sekarang?" Tanya Renata ketika ia siap memulai.
Setelah cowok di depannya mengiyakan, Renata menyiapkan ponselnya untuk merekam dan mulai melontarkan pertanyaan satu demi satu. Sambil mencatat beberapa hal penting, Renata menanggapi serius setiap jawaban Gyo hingga tanpa sadar, wawancara berlangsung lancar tanpa kegugupan Renata.
Entah kapan Adhi beranjak dari tempatnya ketika mengantar Renata ke tepi lapangan tadi. Kini, ketika wawancara Renata hampir selesai, ia tidak tampak di sisi lapangan manapun. Lapangan sudah hampir sepi, hanya ada beberapa anak yang membereskan stand pameran atau stand makanan minuman untuk supporter. Selain itu, hanya satu dua petugas OSIS yang membereskan bangku-bangku di tepi lapangan.
"Terima kasih, atas waktunya. Saya rasa wawancaranya cukup." Kata Renata menutup sesi wawancaranya.
"Iya, santai aja. Lo bisa hubungi gue kalau lo butuh informasi lain." Kata Gyo santai.
Mata Renata membulat. "Oh, boleh?"
"Boleh. Sini ponsel lo."
Renata segera memberikan ponselnya untuk bertukar nomor dengan cowok Gyo. "Terima kasih. Jadi ngerepotin gini." Kata Renata ketika menerima ponselnya kembali.
"Nggak ngerepotin, kita malah seneng, kok. Iya, nggak?" Gyo melempar pertanyaan pada teman-teman di sampingnya. Ketiganya tersenyum aneh sambil memandang Renata dan Gyo bergantian. Suasana ini membuat Renata kembali gugup. Ditambah Gyo dan teman-temannya sepertinya tidak berniat menginggalkan tempat duduk mereka, padahal lapangan sudah tidak ada orang.
"Hmm...kalau gitu, aku balik dulu, ya!" Renata berdiri kaku, namun ia terkejut ketika sebuah tangan menahannya.
"Mau ke mana? Buru-buru banget!" Gyo bertanya sambil memegang pergelangannya.
"Eh....gu-gue...harus balik ke kantor." Ia berusaha melepas pegangan Gyo yang rasanya semakin erat.
"Duduk sini dulu, dong. Katanya tadi pengen tahu banyak soal kita. Lo juga belum kenalan sama temen-temen gue, kan?" Gyo beranjak dan mendorong bahu Renata ke arah ketiga temannya. Seperti piala bergilir, satu persatu teman Gyo menjabat tangan Renata sambil melempar godaan-godaan receh yang tidak ditanggapi oleh Renata. Tangannya mulai gemetar dan mendingin ketika anak terakhir memainkan tangannya.
"Ya ampun, bos! Tangannya dingin banget nih, gemetar lagi. Elo sih, gangguinnya kebangetan." Ia menyenggol teman disampingnya. "Eh, atau jangan-jangan lo lapar, ya?" Ia berpaling menatap wajah Renata yang mulai memucat
"Iya kali, tuh! Lapar tuh!"
"Ya udah, bawa ke kantin, aja."
Teman-teman di sekitarnya seolah menanggapi serius gurauan itu. Sambil terus mengganggu dan melempar candaaan, Renata digiring menuju suatu arah oleh keempat cowok itu. Ia coba mengelak dan melepas cengkeraman di pergelangannya, namun selalu gagal, hingga akhirnya dengan satu hentakan ia berhasil.
"Maaf, gue...nggak bisa nemenin kalian." Katanya canggung. Mereka kembali menahan Renata dan meyakinkannya, namun Renata kembali menolaknya dengan tegas. Renata berbalik ketika satu dari mereka mengumpat dan berusaha mengejarnya. Ketika ia berusaha mempercepat langkah, lagi-lagi, kakinya tertahan hingga ia jatur terduduk di lapangan.
Tidak sempat merintih, di drpan Tenata sudah ada Gyo dan ketiga temannya.
"Jual mahal, tuh bos!"
"Iya, udah tarik aja."
"Lama-lama juga nagih kalo udah negrasain." Ketiganya bersahutan mengompori Gyo yang sudah menyeringai dengan ekspresi aneh.
Gyo mengulurkan tangan yang segera ditepis keras oleh Renata. Di luar dugaan, cowok itu malah tersenyum aneh menatapnya. "Sepertinya asik nih!"
Renata mulai merangkak mundur sambil merasakan perih di kaki dan lengannya. "Gyo...kalian mau apa?" Katanya dengan suara bergetar.
"Kita mau elo."
Mata dan mulut Renata membulat. "Gyo....apa maksud kalian? please biarin gue pergi."
"Cewek semanis elo mana mungkin kita biarin pergi" katanya yang diiringi tawa renyah ketiga temannya.
Peluh membasahi punggung dan wajha Renata ketika usahanya untuk mundur semakin berat. Ia kehabisan tenaga dan langkah Gyo cs semakin lebar.
Renata hampir memekik ketika Gyo menutup jarak antara dia dan Renata. Ia mendekatkan wajah pada Renata yang terduduk di lapangan yang terik. "Mana mungkin, kita biarin lo pergi gitu aja. Katanya tadi mau tau banyak soal kita." Tangan Gyo terulur ke wajah Renata yang sudah pucat pasi kehabisan tenaga menghadapi Gyo cs. Ia tak tahu bagaimana nasibnya jika Gyo memaksanya untuk mengikuti segala permintaannya.
"Permisi!" sontak keempat cowok di depan Renata segera berpaling menuju sumber suara. "Kalian sudah ditunggu di ruang istirahat oleh ketua OSIS kami, silahkan!" Kata suara itu melanjutkan. Suara yang dingin menenangkan, namun tegas.
Dengan wajah panik ketiganya segera meninggalkan Renata, sementara Gyo harus menarik napas panjang sambil menurunkan tangannya dari wajah Renata. Ia pergi begitu saja sambil melirik tak suka pada seseorang di depan mereka.
Renata bernapas lega ketika mereka berempat sudah hilang dari pandangannya dan tak mungkin kembali. Dan betapa terkejutnya ia ketika sosok yang menyelamatkannya berjalan cepat ke arahnya. "Abi!" Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika saja cowok itu tidak datang tepat waktu.
"Renata! Kau tidak apa-apa?"
Renata menggeleng sambil menarik napas dalam-dalam. Ia terhenyak dalam duduknya, merasakan kelegaan luar biasa. Cowok itu lalu mengulurkan tangan pada Renata, yang segera disambut dengan tangannya yang masih gemetar.
"Tanganmu...." Cowok itu menahan tangan Renata yang sedang terangkat dan menatap sebuah luka lecet di bagian belakang siku.
"Hmm.... Nggak apa-apa, kok. Ini luka kecil. Bisa gue obati sendiri." Katanya sambil melepaskan pegangan Abi.
"Biar aku obati sebentar. Kakimu juga terluka." Ia segera meraih lengan Renata dan membawanya ke UKS yang sudah tak berpenghuni. Renata bertanya-tanya bagaimana cowok itu tahu bahwa di bagian bawah lututnya ada luka yang sepertinya dalam. Mungkin tadi ia terjatuh cukup keras.
Dan dugaannya itu sepertinya benar ketika perih menjalar dari bagian lutut menuju bawah kakinya. Jari-jari kakinya mendadak kaku. "Sepertinya lukanya cukup dalam. Kau harus mengobati sendiri agar benar-benar sembuh." Cowok itu menggumam sambil menutup luka Renata dengan plester. Keheningan yang menakutkan menyelimuti ruangan itu ketika kata-kata Abi selesai.
"Thank's." Kata Renata setelah Abi melakukan serangkaian perawatan kecil pada luka-lukanya. Kali ini, cowok itu memperlakukan Renata dengan lembut. Itu terbukti ketika ia membersihkan dan mengoles obat merah dengan hati-hati pada permukaan kulitnya.
"Tidak masalah." Ia mengangkat bahu. Sekarang, cowok itu beralih pada luka di siku Renata.
"Bagaimana kau bisa terjatuh ketika keadaan genting seperti tadi?" Katanya dingin
"hah...dia tahu?" batin Renata di sela-sela cowok itu membersihkan lukanya.
"Kenapa tadi kau diam saja? Harusnya kau berteriak atau meminta tolong agar seseorang datang menolongmu! Kalau saja tadi tidak ada aku, mungkin kau sudah-" kata-katanya terhenti karena Renata menarik lengannya tiba-tiba. Entah kenapa, ia merasa kesal dengan perkataan Abi yang seolah menyudutkannya.
"Mungkin gue kenapa? Lo pikir gue berniat diam nggak bisa ngapa-ngapain seperti tadi?" Emosinya tersulut seketika. "Lo pikir gue berniat jatuh di saat nggak tepat seperti tadi? Dan apa lo pikir gue cewek gampangan yang mau-mau aja digituin sama mereka?" Ia sempurna berdiri mengabaikan nyeri yang menjalar di kaki kanannya.
"Kalaupun nggak ada elo, gue bisa menghindar dari mereka sendiri." Tambah Renata sambil berlalu meninggalkan Abi di ruang UKS. Ia berjalan cepat menyusuri koridor yang kosong. Sayup-sayup, ia mendengar namanya dipanggil lagi ketika ia berbelok ke kantor ekskul.
"Ren, lama banget? Udah selesai 'kan?" Rahma menyambut di ambang pintu dengan setumpuk kertas di tangannya.
"Udah, kak." Jawab Renata pendek. "Kita masih mau rapat lagi?" Tambahnya ketika ia masih melihat beberapa anak di kantor itu.
"Enggak. Cuma beres-beres aja. Aku suruh mereka cari beberapa buletin dari sekolah lain." Rahma menunjuk dua anak di depan rak buku dengan dagunya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Kak?" Mood-nya yang berubah buruk, membuat Renata tidak ingin lama-lama di sekolah. Ia hanya ingin segera pulang dan menenggelamkan diri diantara novel-novelnya. Anggukan dari Rahma, membuatnya segera berbalik meski ia sekilas melihat Adhi sedang duduk menatap komputer di depannya.
Hari hampir sore ketika Renata bersiap pulang dan ia sadar melupakan sesuatu. "Aduh, notes gue mana, ya?" Ia mengaduk tasnya sekali lagi. "Tadi habis wawancara kayaknya gue masukin saku...." Ia beralih merogoh sakunya dalam-dalam.
"Apa jangan-jangan ketinggalan di lapangan ya?" Ia panik dan buru-buru berbalik sambil menutup tasnya. Ia merunduk di sisi lapangan tempatnya terjatuh dan menyisir tempat itu dengan teliti. "Kok nggak ada?" Ia merengek ketika benda persegi kecil itu tak ia temukan di manapun. "Trus gimana cara gue bikin beritanya?" Ia hampir frustasi ketika usahanya yang kesekian tak membuahkan hasil.
Renata melihat sekelilingnya lebih teliti hingga hampir terisak karena belum juga menemukan benda kecil itu. Tubuhnya hampir lemas ketika seseorang menghadang jalannya di pintu gerbang.
"Renata, ini milikmu?" Cowok yang membuat mood-nya buruk kembali di depannya dengan sepeda motor putih miliknya. Dan yang membahagiakan, cowok itu menyodorkan sesuatu yang sejak tadi ia cari-cari.
Sontak matanya berbinar dan hampir histeris menerima barang persegi kecil itu. "Notes gue...." Teriaknya tertahan. "Lo...nemu di mana?" Ia menatap Abi kikuk.
"Tadi ada di lapangan waktu kau terjatuh. aku ingin mengembalikannya, tapi kau...lebih dulu marah." Katanya datar.
Renata terpaku. Ternyata Abi tadi memanggilnya untuk benda ini. Ia merasa harus berterima kasih sekali lagi karena telah menemukan benda berharga miliknya. "Hmm...Than'ks." Katanya lirih sambil menunduk.
"Aku antar pulang." Kata Abi ketika Renata berbalik. "Sudah siang, dan jalanan sudah sepi." Tambahnya ketika matanya bertemu dengan mata bulat Renata yang seolah belum paham dengan perkataannya.
"Nggak usah. Gue bisa sendiri."
"Tidak. Naik saja." Sebelum Renata sempat melangkah, kakinya sudah dihentikan oleh tatapan menusuk dari Abi yang mengintimidasi.
Seolah terhipnotis, Renata segera naik di jok belakang motor Abi. Meski hanya sekali mengantarnya pulang waktu itu, cowok itu seperti sudah hafal jalan menuju rumahnya. Dengan tenang, ia mengemudikan motornya perlahan.
"Maaf kalau aku tadi membuatmu marah." Kata Abi setelah beberapa menit keheningan.
Renata hanya diam, meski mulutnya ingin sekali menyahut. Makanya mulut lo tuh kalo ngomong yang halus dikit.
Mereka sudah sampai di depan rumah Renata ketika tangan Abi menahannya lagi. "Ma'af, Renata." Katanya lagi seolah ia sangat membutuhkan jawaban Renata atas kesalahannya. Renata terpaksa mengangguk meski ia masih sedikit kesal dengan perkataan cowok itu.
"Lukamu...." Imbuhnya sebelum melepaskan tangan Renata. "Sudah tidak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Palingan besok sembuh."
"Sepertinya luka di kakimu cukup dalam. Kau harus merawatnya dengan benar." Imbuhnya dengan sorot mata sendu.
"Hmm....makasih." Renata buru-buru masuk rumah dan mengunci pintu. Entah kenapa jantungnya berdetak kencang ketika matanya bertemu dengan mata sendu Abi. Ia melirik ke luar rumah. Cowok itu tidak langsung pulang, ia masih memainkan ponselnya selama beberapa menit, lalu terlihat sedang menerima telepon. Sepertinya telepon penting karena Abi terlihat mengerutkan dahi dan berbicara dengan serius. Tapi, entah kenapa dengan wajah serius seperti itu, Abi malah terlihat....tampan. Senyum Renata perlahan mengembang menikmati pemandangan itu dari balik korden putih rumahnya.
Baru ketika cowok itu mendesah dan memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku, Renata seperti tersadar. Ia menggelengkan kepala beberapa kali ketika tatapan cowok itu kembali ke rumahnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu lewat tatapannya.
Setelah Abi menghilang, Renata bertanya-tanya. Kenapa cowok itu menatap rumahnya seperti tadi. Renata menyambungkan satu-persatu tingkah aneh Abi dan merasa harus waspada dengan cowok itu.