Perempuan itu membuka kelopak matanya sebab terkejut. Napasnya tersenggal-senggal, keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.
Dadanya sesak, mengingat dia mati dalam mimpinya sendiri. Tangannya yang gemetar perlahan mengeka keringat di dahinya. Ia ingin menangis, namun tidak bisa. Ia takut, bayang-bayang mimpinya masih saja teringat.
Dara mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Berharap, dengan begitu, keadaannya akan lebih membaik. Setidaknya ia harus menengangkan dirinya sendiri.
Setelah merasa cukup tenang, perempuan itu menelurusi setiap sudut ruangan tersebut dengan mata rusanya. Ini bukan kamarnya. Dara ingat betul bahwa kamarnya penuh dengan warna ungu, bukan putih seperti ruangan tempatnya berbaring ini.
Belum selesai dengan rasa bingungnya, pintu ruangan terbuka, menampilkam sosok Mama yang terlihat mengkhawatirkan Dara.
"Kenapa? Mama langsung lari ke sini pas dengar kamu teriak," kata Gina--Mama Dara setelah wanita itu mendaratkan tubuhnya di samping ranjang.
Dara hanya menggelang, lantas menyinggungkan senyum tipis. Perempuan itu kembali mengedarkan pandangannya.
"Ini bukan kamar Dara," kata Dara.
Gina tertawa pelan, "Pikun, ya? Siapa yang semalam rela berdiri berjam-jam di depan kamar ini cuma untuk membujuk kakakmu supaya mau tukar kamar?"
Dara mengacak-acak kembali ingatan tentang semalam. Ya, benar. Dia berdiri sampai kakinya terasa kebas, semalam. Lalu Bang Haris, kakak sulungnya mengalah, dan akhirnya mereka bertukar kamar.
Dara tak tahu, ia mendapat keberanian darimana untuk merengek pada kakak sulungnya yang dinginnya sebelas-duabelas dengan Es-nya.
Dara menyengir saat ia sudah sepenuhnya mengingat apa yang ia lakukan.
"Kenapa sih, ngebet banget mau tukar kamar warna putih?" tanya Gina yang masih heran dengan kelakukan putrinya akhir-akhir ini. "Biasanya selalu bilang, Dara adalah ungu, dan ungu adalah Dara."
Dara menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu menyegir lebar, "Dara lagi pengen memahami putih, Ma. Bagaimana dia yang bisa tetap menawan meskipun terlihat membosankan. Bagaimana dia yang selalu memberi kebahagiaan, sekalipun dia sendiripun tak memiliki warna yang beragam. Putih selalu punya cara untuk menyembunyikan kekurangan lewat tatapannya yang polos dan menggemaskan."
"Kamu ngomong apa sih, Ra?" Gina menggeleng pelan. Ia sama sekali tidak paham dengan apa yang Dara katakan. Ini anak keracunan rumus di sekolah, apa gimana sih?
"Ya intinya begitu, Ma. Dara jatuh cinta dengan putih."
Tak mau ambil pusing, Gina memutuskan untuk kembalu ke dapur, melanjutkan aktivitas memasak untuk sahur yang tadi sempat tertunda.
Iya. Ini bulan puasa. Kenapa? Masalah?
Dara menghela napasnya panjang, setelah Mamanya hilang di balik pintu kamar. Perempuan itu memegangi dadanya yang masih terasa sedikit sesak.
Perempuan berambut sebahu itupun meraih handphone di nakas samping tempat tidurnya.
Jarinya mengetikkan sesuatu untuk dikirim di groupchat 'Pecinta Melon Manis' yang dengan sekonyong-konyongnya diganti menjadi 'Jaran Goyang' oleh Kayla. Groupchat yang terdiri dari empat anggota yang semuanya sengklek-sengklek itu tak pernah sepi barang semalam. Maklum lah, ya Dara, Reina, Yuna, dan Kayla itu BB atau kepanjangannya, Banyak Bacot. Selalu saja ada topik yang menarik untuk dibahas, pun dengan gosip-gosip panas yang membuat mereka gatal untuk ghibah. Oke, itu tidak baik. Jangan ditiru.
JARAN GOYANG
Dara: Girls, gue mati di mimpi gue sendiri.
.o0o.
Laki-laki itu tengah memandangi sebuah pigura di tangannya. Dadanya sesak, kala mengingat bahwa ia tak bisa lagi memeluk dua perempuan dalam pigura itu. Bukan karena dua perempuan itu sudah berada di dunia yang berbeda, namun karena dirinya sama sekali tak mengetahui di mana keberadaan mereka saat ini.
Hatinya merasa seperti diremas saat ia mengingat hal menyakitkan pertama dalam dunianya, yaitu kenyataan bahwa sosok laki-laki yang merangkulnya dalam pigura itu adalah penyebab ia kehilangan dua perempuan itu.
Ya, Papanya. Pria paruh baya itu dengan tega membuat Mama dan Adiknya pergi meninggalkan Arda ketika ia diasingkan di Pondok Pesantren dulu.
Entah apa tujuan Papa mengirimnya ke Pondok Pesantren saat Arda kelas dua belas dulu, yang pasti, Arda tak bisa lagi menemukan Mama dan Della---adiknya---di rumah saat Arda kembali.
Arda masih ingat betul. Hari itu adalah hari di mana ia mulai membenci Papanya. Hari yang sama pula saat ia mengetahui kenyataan menyakitkan kedua bahwa gadisnya juga dibuang oleh ayahnya sendiri. Sampai sekarang, Arda tak bisa menemukan mereka, orang-orang yang ia cintai.
Beberapa saat, keheningan menyelimuti dunianya, hingga sebuah ketukan sontak menghentikan pergulatan di pikiran Arda. Ia ingin pura-pura tidur, namun gagal saat seseorang yang tadi mengetuk pintu kamarnya itu sudah melenggang masuk ke kamarnya.
"Sudah ingin menyerah untuk mencari?"
Arda hanya menatap orang itu datar. Sama sekali tidak berminat untuk menjawab pertanyaan yang terdengar seperti sebuah ejekan di telinga Arda.
"Papa harap kamu segera menyerah dengan apa yang kamu cari selama ini." Itu adalah kata terakhir yang Arda dengar sebelum pintu kamarnya kembali ditutup dan melenyapkan sosok Papanya yang sudah tidak bisa Arda kenali lagi semenjak satu tahun yang lalu.
Satu tahun tidaklah cukup bagi Arda untuk melupakan segala lara yang diberikan Papanya. Satu tahun penuh luka itu tak pernah bisa Arda lupakan meski ia terlelap sekalipun. Itulah alasan mengapa Arda memilih untuk mengambil kuliah malam di Universitas Management Informatika dan Komputer di kota Pekalongan. Karena hingga saat ini malamnya terasa menyakitkan.
Laki-laki itu tidak pernah tertidur dengan tenang. Mimpi-mimpi buruk selalu hadir tanpa bosan. Entah sampai kapan, Arda akan hidup dalam keterpurukan. Rasanya ia lelah, hingga terkadang ia berharap, jika Tuhan berkehendak, ia ingin tertidur tanpa siapapun bisa membangunkan. Selamanya.
Pintu kembali dibuka, Arda ingin memberikan tatapan tajam pada orang tersebut namun ia urungkan ketika ia tahu, bukan Papanya yang datang lagi, melainkan wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahunan yang kini tersenyum lembut padanya.
Wanita itu mengusap bahu Arda, "Sudah waktunya sahur, Den."
Arda tersenyum tipis, lantas mengangguk. Laki-laki itu mengikuti ajakan Bu Lik Nur untuk makan sahur. Bersama Papanya. Dan Arda benci itu.