Perempuan berambut sebahu itu terus merengek pada sahabatnya yang kini tengah menarik lengan kirinya.
Perempuan bernama Sabrina Dara itu mengeratkan pegangannya pada pilar beton di lobby sebuah gedung olahraga dekat Alun-alun Kota Pemalang yang tidak terlalu ramai sebab pertandingan bulutangkis se-provinsi Jawa Tengah itu sudah dimulai.
"Aku mau samperin dia, ayolah, ini momen langka, di mana aku sama dia secara kebetulan berada di tempat yang sama. Kalau dalam drama korea, ini pertanda bahwa kami jodoh." Dara terus membujuk sahabatnya agar ia melepaskan lengannya yang bahkan sudah sedikit memerah sebab digenggam terlalu kuat.
Reina berdecak, "Logika dipake. Dia nggak akan suka cewek yang blak-blakan nyamperin dia di tempat umum. Dia itu Es, lo nggak akan berhasil dengan cara seperti ini."
Perlahan, Dara kehilangan tenaganya untuk melawan Reina yang kembali menyeretnya menjauh dari tempat itu.
Memang benar. Sahabatnya itu benar. Bukan seperti ini cara untuk mencairkan sebuah gunung es. Ia harus elegan, seperti yang sering Reina katakan.
Jangan bersikap seolah Es adalah alasan satu-satunya kamu berangkat ke sekolah, juga jangan bertingkah seolah kamu sedang menarik perhatian seorang Es.
Karena bukannya mencair, Es justru semakin membeku.
.o0o.
Dara reflek menutup telinganya saat sorak sorai menggema di sebuah lapangan bulutangkis tempat sepupu Reina bertanding merebutkan posisi pertama melawan pebulutangkis asal Solo, yang kemampuannya tidak perlu diragukan lagi.
"BANG GAVIN, SEMANGAT!!!" Dara melotot saat sahabatnya tiba-tiba berdiri dan berteriak-teriak seperti orang kerasukan.
"SIKAT, BANG, SIKAT!!! UUHH, BANG GAVIN, GUE SAYANG ELO, BANG!!!" sorak Reina saat sepupunya berhasil mendapatkan match point di set pertama. Dia tampak sangat yakin kalau sepupunya bisa mengharumkan Kota Pemalang dengan membawa medali emas dari pertandingan ini.
Merasa pening dengan semua keributan ini, Dara menepuk pelan pundak sahabatnya. Lantas, beranjak dari tempatnya, setelah sebelumnya ia pamit untuk pergi ke toilet.
Dara sempat mendapat peringatan untuk tidak menemui Es saat ia bilang ingin ke toilet. Karena tidak mau berdebat, dia mengiyakan saja apa yang Reina katakan.
.o0o.
"Aaaa!!!" Perempuan itu memekik. Ia tidak bisa mempertahankan keseimbangannya hingga nyaris terpeleset dari tangga kalau saja seseorang tidak menahan lengannya.
Ia terperangah sesaat, mengagumi kebesaran Tuhan atas ukiran-ukiran sempurna pada wajah laki-laki di hadapannya itu. Tanpa sadar perempuan itu tersenyum. Jantungnya berdebar, belum pernah ia berada pada jarak sedekat ini dengan Es-nya.
"Kata orang, ini jodoh," kata Dara tanpa menyaring dulu ucapannya. Sepertinya ia lupa dengan apa yang beberapa saat lalu Reina katakan padanya. Elegan.
Laki-laki itu mendengus, "Gue udah nolongin lo. Jadi, apa boleh gue minta satu hal?"
Dara tersenyum lebar, "Apa, kak?"
"Pergi dari kehidupan gue," tukas Arda tajam.
Dara terdiam. Ada sedikit rasa sakit yang perlahan menjalar di dalam sana. Tidak apa, Dara sudah biasa merasakannya, bahkan sejak pertama kali ia menyukai Arda.
Laki-laki itu hanya menatap Dara datar. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, dan tidak ada orang selain Dara. Ada sesuatu yang janggal di sini, Arda jadi curiga dengan perempuan itu.
"Ngikutin gue?" tanyanya singkat dengan penuh percaya diri.
"Nggak, tadi aku habis dari toilet dan nggak sengaja dengar--" Oh God, tolong Dara. Ia kelepasan. Harusnya Dara tidak terang-terangan mengatakan bahwa setelah keluar dari toilet tadi dia mendengar percakapan Arda dan orang yang sepertinya adalah Papanya Arda.
Satu hal yang sangat penting, kini Dara memegang kartu as milik Arda.
Arda mencengkeram lengan Dara kuat. Seperti dapat membaca pikiran Dara, laki-laki itu menghujami Dara dengan tatapan tajam, meminta penjelasan.
"Apa yang lo dengar?!" sentak Arda hingga membuat Dara membeku.
"Jawab!"
Bibir Dara terasa kelu. Ia takut dengan Arda yang seperti ini. Sudah cukup Arda bersikap dingin padanya, jangan menyeramkan seperti ini. Mata elang Arda menghunus tepat di manik cokelat Dara, seakan mengunci agar perempuan itu tidak menatap apapun selain Arda.
"Apa yang lo dengar?!" tanya Arda penuh emosi.
Tubuh Dara bergetar, kakinya seolah kehilangan fungsi untuk menyanggah tubuhnya.
Dia harus cepat pergi dari tempat ini.
"M-maaf, Kak. Teman aku udah nunggu." Dara menghempaskan tangan Arda yang mencengkeramnya, lalu bergegas pergi dari tempat itu. Ia bahkan menuruni anak tangga dua-dua sekaligus.
Arda tidak tinggal diam. Tidak boleh ada yang tahu tentangnya, walau satu orangpun. Termasuk Dara, perempuan yang sudah Arda masukkan dalam blacklist-nya jauh sebelum peristiwa ini terjadi.
Kaki jenjang Arda memudahkannya untuk memblock langkah Dara. Dengan rahang yang sudah mengeras, Arda menghentikan Dara dengan menarik lengannya secara kasar. Ia tidak sadar bahwa perlakuannya itu tidak hanya melukai lengan Dara, namun hatinya juga terluka.
"Jawab pertanyaan gue!"
Dara tersentak. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Ak-aku, aku nggak dengar apa-apa," kata Dara terbata.
"Bohong!" sergah Arda cepat.
"Kak, tolong lepasin. Lengan aku sakit," cicit Dara yang justru terdengar seperti sebuah rintihan. Perempuan itu merasa takut setengah mati.
Bulir air mata Dara jatuh, namun ia tak ingin Arda melihatnya, sehingga dengan cepat ia menghapus air matanya menggunakan satu tangannya yang terbebas dari cengkeraman Arda.
Arda merasa frustasi dengan semua ini. Sebenarnya, bersikap kasar pada perempuan itu bukan Arda banget. Namun bagaimana? Dia tidak ingin apa yang ia rahasiakan dari semua orang terbongkar begitu saja. Tentang Papanya, keluarganya, dan gadisnya.
Arda yakin, perempuan yang sedang menunduk di hadapannya itu mendengar semuanya. Dari gelagatnya saja sudah dapat dipastikan, seberapa banyak informasi yang ia dengar. Namun perempuan itu tidak mau mengatakan apapun.
Dan itu membuat Arda semakin kesal.
Lima belas menit berlalu, dan perempuan di hadapan Arda masih saja membisu. Perlahan, Arda mengendurkan cengkeramannya pada lengan Dara.
"Oke, gue nggak akan maksa lo untuk mengatakan apapun lagi. Tapi jangan menyesal kalau besok gue berubah jadi orang yang semakin nggak lo kenal."
Itu kata terakhir yang Arda ucapkan, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Dara dengan emosi yang makin menguap. Tangannya masih terkepal kuat. Ada banyak hal yang membuatnya marah, hari ini.
Dara tersadar dari lamunannya ketika Arda sudah berada jauh dari jangkauan matanya. Secepat kilat ia berlari mengejar laki-laki itu. Dara akan mengatakan semuanya, asalkan Arda tidak pergi darinya.
Aku belum berjuang, lalu seperti apa jadinya kalau aku kehilangan seseorang yang sama sekali belum aku perjuangkan.
"Kak Arda, tunggu." Dara terus mengejar Arda yang kini sudah sampai di pintu keluar gedung olahraga itu.
"Kak, maafin aku. Aku janji nggak akan bilang sama siapapun tentang apa yang aku dengar tadi." Dara berusaha meraih tangan Arda, namun gagal saat laki-laki itu sudah dulu menepisnya.
Laki-laki itu tidak menggubris Dara yang terus mengoceh di belakangnya itu. Dia bahkan sudah tidak berminat untuk menonton pertandingan bulutangkis yang sebenarnya menjadi tujuan awal ia datang kemari.
Arda benci pada semesta yang dengan seenaknya mempertemukan dia dengan Papanya di tempat ini. Entah apa tujuan Papanya, Arda tidak peduli. Yang jelas, Papanya sudah berhasil membuatnya geram dengan mengatakan hal-hal yang tak seharusnya beliau katakan di tempat umum.
Laki-laki itu terus melangkah. Ia bahkan menyeberang tanpa menengok ke kanan dan kiri. Tatapannya lurus, rahangnya mengeras. Dia terlihat sangat menakutkan.
Suara klakson minibus sontak membuat Dara mengoleh ke kanan. Ia lalu membagi tatapannya pada Arda dan minibus yang tengah melaju kencang.
Tanpa berpikir panjang, Dara berlari sambil terus meneriakkan nama Arda. Ia tak peduli dengan panggilan orang-orang di sekitarnya. Yang ia pikirkan hanya keselamatan Arda, laki-laki yang sudah beberapa bulan ini ia sukai.
"Kak, minggir!" teriak Dara sedetik sebelum tubuhnya terpental sebab tertabrak minibus yang melaju kencang tadi.
Dunia Dara mendadak hening. Suara orang-orang di sekelilingnya seolah hilang dari pendengarannya. Tubuhnya melemas sejurus dengan seorang laki-laki yang kini datang dan menopangnya.
Tangan Dara yang bergetar, perlahan menyentuh wajah Arda. Dara tidak bisa melihat dengan jelas ekpresi laki-laki itu sebab penglihatannya mendadak buram.
"Aku udah selamatin kakak. Jadi, apa boleh aku minta dua hal?" tutur Dara dengan suara lemahnya. Ucapannya terbata, namun Arda masih bisa memahami apa yang perempuan itu katakan.
Arda tak merespon apa-apa. Jadi, Dara menyimpulkannya sebagai jawaban 'iya'.
Dara tersenyum lemah, "Yang pertama, tolong jangan benci aku."
Perempuan itu mulai merasa sesak. Ia tahu, waktunya tidak lama lagi. Dengan terbata, Dara melanjutkan, "Dan yang kedua, aku tahu ini gila tapi apa boleh, aku minta agar kakak jaga hati untuk aku?"
Itu kalimat terakhir Dara sebelum ia terpejam dengan senyuman di bibirnya. Ia bahagia. Setidaknya, wajah terakhir yang ia lihat adalah Arda. Kini kebahagiannya telah mutlak. Ia tidak menginginkan apapun selain Arda---yang Dara harap---akan mengabulkan apa yang ia minta.