1) Gadis Kecil dan Suatu Hari
Pagi yang cerah, awan bergerak berarakkan membentuk sebuah formasi yang indah di langit biru yang luas. Matahari pun bersinar tak terlalu terik, dengan angin yang berhembus pelan membuat perasaan siapa saja menjadi sejuk, tapi sayang pagi yang cerah tak secerah perasaanku, angin yang tenang tak setenang pikiranku. Begitu pula dengan matahari yang bersinar cerah tak bisa membuat kedua mataku yang hitam karena begadang hingga jam tiga pagi untuk tetap terbuka lebar.
“Hufff!” helaku penuh pasrah. Bagaimana tidak, semalam suntuk aku belajar mengerjakan soal-soal latihan yang akan diujikan untuk tes masuk pendaftaran mahasiswa baru di sebuah universitas swasta (yang katanya terbaik nomor satu di Negara ini).
Entah kenapa aku merasa sangat khawatir untuk mengikuti ujian masuk hari ini. Aku merasa sama sekali tak memiliki rasa percaya diri. Hari ini aku hanya bermodal pasrah dan doa semata. Aku tak tahu apakah semua soal-soal yang aku pelajari semalam suntuk bisa tersimpan dengan baik di memori otakku. Sungguh aku benar-benar pasrah.
Tepat pukul 10.00 pagi ujian masuk sesi tertulis yang terdiri dari beberapa mata pelajaran tingkat SMA dan umum sudah selesai, begitu pula dengan ujian sesi wawancara. Dan setelah itu masa dimana aku harus menunggu untuk mengetahui apakah aku diterima atau tidak terjadi. Tepat jam 12.00 siang ini pengumuman itu keluar. Kenapa bisa cepat? Karena sistem di universitas ini adalah ODS alias One Day Service.
Aku melihat semua orang yang menunjukkan sikap dan ekspresi yang berbeda-beda. Dari yang khawatir hingga tiada henti mengeluarkan air mata, atau mungkin sibuk mengulang kembali soal-soal yang telah dikerjakan, khawatir bila jawaban tak sesuai.
“Hufff!” lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas, tidak, mungkin lebih tepat mendengus kesal. Mereka semua terlalu berlebihan alias lebay menyikapi hal ini. Risih dan bising aku melihat serta mendengar ocehan, keluhan, dan rintihan -para calon mahasiswa baru itu-. Tak bisakah mereka bersikap biasa saja sepertiku? Atau tidur saja untuk menuruti rasa kantukku yang tak bisa lagi aku cegah? Ah ya, sepertinya pilihan itu harus aku lakukan melihat suasana ruangan ber-AC serta sofa empuk yang aku duduki di pojok ruang tunggu terasa nyaman. Salah satu gedung yang ada di universitas ini yang digunakan setiap tahun untuk hal-hal seperti ini, pendaftaran tahun ajaran baru. Ah, masa bodoh dengan gedung. Tidur siangku segera dimulai.
Kalau saja tubuhku tak terjatuh dari sofa empuk, mungkin aku tak akan terbangun dari tidur siangku yang terasa sangat lama. Pukul 15.30 sore aku melihat jam dipergelangan tangan kiriku. Sial, apakah aku tidur terlalu lama hingga tak sadar sekarang sudah hampir senja? Apakah tak ada yang membangunkanku? Teriakku dalam batin sambil mengusap kedua mata, berdiri.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, ketika melihat suasana ruangan ber-AC yang tadinya terdapat banyak orang-orang berwajah lebay kini terlihat lengang. Bahkan sama sekali tak aku temukan segelintir manusia digedung yang luasnya hampir seluas rumahku itu, entahlah mungkin lebih karena terlihat sangat luas dan besar. Dengan tergesa aku bangun dan mencari siapa saja yang bisa aku pinta pertanggungjawaban, bukan melainkan aku pinta jawaban atas kesendirianku di gedung ini.
“Brukk!” tubuhku menabrak sesuatu ketika aku sedang berlari dan mencoba melewati lift yang tiba-tiba terbuka. Seseorang membuat tubuh kecilku jatuh terjerembab ke lantai. Aku mendongak hendak meminta pertanggungjawaban orang itu, namun sebuah suara mengawalinya.
“Hei gadis kecil, maaf membuatmu terjatuh. Boleh ku bantu?” sapanya yang ternyata seorang cowok. Wajahnya yang tak terlalu tua apalagi muda serta perawakannya yang tinggi dengan dada bidang, juga pakaiannya yang memakai kaos dengan kemeja panjang dengan lipatan sampai siku. Tak lupa tas slempang yang terparkir di pundaknya, aku sangat yakin bahwa cowok itu adalah seorang mahasiswa. Nah lho, kenapa aku jadi mendeskripsikan dia?!
“Maksud kamu apa bilang aku anak kecil?!” sergahku kesal sambil mengibaskan tangannya yang hendak menolongku berdiri. Raut wajahnya berubah seketika setelah mendengar suaraku. Seperti terkejut namun setelah itu jawaban tak terduga lagi-lagi harus aku dengar dari mulut sok tahunya.
“Hei, suaramu imut sekali!” pekiknya dengan nada suara yang menurutku terdengar aneh di telinga.
Apapula yang baru saja aku dengar? Dia itu sedang mengejekku atau memang sengaja sedang mengejekku!? Apa bedanya?
“Apa?! Gak sopan banget sih! Maksud kamu apalagi bilang begitu?! Arrrghht! Enyahlah!” gertakku akhirnya dengan perasaan semakin kesal. Baru kali ini aku temui orang seaneh dan seberani dia, mengatakan orang sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa tahu dan memikirkan perasaan orang lain. Apakah dia tak tahu kalau aku sedang kesal, terjatuh dan di bully lagi. Fine!
“Eh maaf, aku minta maaf. Bukan maksudku untuk…”
Aku tak mendengarkan ucapannya dan langsung bergegas meninggalkan sosoknya yang sungguh tak ingin aku lihat lagi. Aku tak perduli dengan ucapannya, yang aku perdulikan saat ini adalah keluar dari gedung ini dan bertanya pada orang yang seharusnya, dimana aku bisa melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru, apakah aku diterima atau tidak. Perasaanku sedikit lega ketika aku temui seorang satpam yang sedang duduk di depan meja recepcionist yang sedang sibuk dengan tablet layar touchscreennya.
“Maaf pak, apakah bapak tahu dimana saya bisa melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru?” tanyaku tanpa banyak basa-basi.
Satpam itu langsung mendongakkan kepalanya, berhenti melakukan kesibukannya dengan tablet besarnya yang menurutku hampir menyerupai papan cucian itu. Dia tak langsung menjawab melainkan berdiri dan melihat dari ujung rambut sampai kakiku. Seluruh tubuh ia pelototi dengan mata garangnya. Maksudnya apa, apakah aku terlihat seperti ‘teroris?’ Lho kok.
“Ada perlu apa adik kecil bertanya soal pengumuman penerimaan mahasiswa? Apakah adik mau melihat nama seseorang?” tanyanya kemudian yang kini dengan tatapan berbeda, tersenyum dengan raut yang sangat manis? What? Dan amarahku langsung meledak.
“Apa? Adik kecil? Maksud bapak apa bilang kalau saya itu adik kecil? Kenapa semua orang bilang kalau aku ini adik kecil? Apa maksud semua ini? Apa bapak tahu kalau saya sudah ketiduran selama dua jam lebih hanya untuk menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di universitas ini, dan sekarang saya harus menerima kenyataan bahwa semua orang kini memanggilku dengan sebutan ‘adik kecil’ dan…”
“Apakah namamu adalah Affa?” sebuah suara memotong ucapanku yang sedang menggebu-gebu mengekspresikan kemarahan. Kepala ini menoleh ke sumber suara dan melihat seorang cowok yang sama ketika menabrakku di depan lift. Dengan senyumnya yang entah kenapa membuat mulutku bungkam, dia menyerahkan sesuatu kepadaku, sebuah kartu ujian.
“Aku temukan ini dibawah kakiku, mungkin terjatuh ketika aku menabrakmu tadi. Mungkinkah ini milikmu?” tanyanya lagi sambil sedikit berjongkok ke arahku, eh apakah tubuhku terlalu pendek baginya?
“Terimakasih!” aku hanya bisa mendengus sambil mengambil kartu ujian dari tangannya. Ternyata memang benar, memang kartuku.
“Oh, jadi kamu benar-benar seorang calon mahasiswa di universitas ini?” seronoh satpam tiba-tiba sambil mengikuti gaya si cowok yaitu menunduk dan kembali mengamati tubuhku dari ujung rambut sampai sepatuku.
“Jadi menurut bapak apa? Seekor anak ayam yang sedang tersesat dan mencari induknya?! Kalau aku benar-benar diterima di universitas ini, aku akan melaporkan bapak pada atasan bahwa bapak tidak bekerja sesuai dengan tugas seorang satpam. Lagipula, bapak telah mencemarkan nama baik saya dan memanggil saya dengan sebutan anak kecil!” menggebu-gebu aku mengatakan itu pada satpam bertampang sok menyeramkan, namun lagi-lagi jawaban tak terduga keluar dari mulutnya yang dikelilingi dengan kumis dan janggut tebal.
“Hahaha! Lihatlah, selain tubuhnya yang mungil seperti anak kecil suaranya juga terdengar imut dan lucu. Benar-benar menggemaskan. Tapi bagaimana bisa dengan ukuran tubuhmu yang mini ini sudah bisa mendaftar menjadi seorang mahasiswa ya?” tanyanya sok berfikir sambil manggut-manggut.
Arrrgggt! Apalagi ini, sungguh sial hari ini tak mau lepas dariku! Teriakku dalam hati penuh emosi. Kedua pipiku menggelembung kesal hingga memerah, dan dengan bersungut-sungut tiada terkira aku mengangkat kedua kakiku meninggalkan dua makhluk menyebalkan itu dan melangkah pergi.
“Hei, kau tak jadi melihat pengumuman penerimaan mahasiswa?” teriak sang cowok baru menyadari kepergianku yang sudah beberapa langkah menjauh. Aku tak mengindahkannya dan terus berjalan.
“Hari ini terakhir kau bisa mengetahui pengumumannya. Tidak ada tempat lain yang bisa kau cari selain di gedung ini!” teriaknya lagi tak menyerah. Tanpa sadar langkahku memelan namun tetap masih berjalan.
“Atau kau tak ingin menjadi salah satu mahasiswa di universitas terbaik nomor satu di negeri ini?!” Benar-benar menyebalkan. Cowok itu tak juga menyerah, dan tanpa menunggu lebih lama lagi aku berhenti berjalan dan menoleh kearahnya seraya berteriak keras.
“Bisakah kau tak memanggilku dengan sebutan ‘adik kecil’ lagi?!” teriakku akhirnya membalas teriakkannya. Untuk beberapa saat dua makhluk menyebalkan itu terdiam sejenak, lantas…
“Ikutlah denganku. Akan aku tunjukkan tempatnya.” jawab si cowok sambil tersenyum, namun kali ini tanpa ada kesan jahil, berbeda dengan si satpam. Dia malah tertawa tanpa merasa sedikitpun berdosa.
Pukul 16.15 sre kami, aku dan si cowok menyebalkan berada di dalam lift yang sedang menuju ke lantai tiga di gedung ini. Tanpa banyak berkata kami berjalan menuju ruangan yang sebagian terbuat dari kaca bening. Namun sayang dari luar ruangan itu terlihat sudah tertutup oleh tirai dan di depan kaca tertulis ‘Tutup.’ Aku menghela nafas pasrah. Apa yang bisa aku lakukan lagi sekarang?
“Ceklek!” terdengar suara pintu terbuka. Si cowok sudah berada di depan pintu dan tersenyum melihat ke arahku.
“Ekspresi wajahmu begitu mudah di tebak. Jangan khawatir, kau masih bisa melihat pengumumannya. Masuklah!” si cowok menyebalkan itu kini semakin bertambah menyebalkan di mataku. Aku pun berjalan ke arahnya dengan memasang wajah masam.
Ruangan luas dengan kursi dan meja panjang yang tertata rapi itu terlihat lengang. Ruangan itu juga terasa dingin ketika aku melangkahkan kakiku untuk pertama kalinya. Aku mengekor mengikuti si cowok yang terlihat tangkas dan cekatan menyalakan lampu dan membuka laci di meja panjang.
Dia mengeluarkan sebuah stopmap yang berisi beberapa kertas. Stopmap itu terlihat begitu familiar di mataku. Selain sampulnya terlihat gambar gedung universitas ini juga terdapat tulisan besar yang berbunyi ‘Pendaftaran Mahasiswa Baru.’ Di pojok stopmap yang lebih dominan berwarna hijau tua dan abu-abu itu juga tertulis sebuah nama, namaku?
“Lihatlah nama di pojok stopmap itu, benarkah itu namamu?” tanya si cowok menyuruhku lebih mendekat. Benar, di sana ada namaku yang tercetak tebal. Aku meraih stopmap itu dan membuka isinya. Beberapa brosur yang tak membuatku tertarik, soal-soal ujian masuk, dan beberapa kertas lainnya yang tak penting bagiku. Namun, ada satu lembar kertas yang langsung menarik perhatianku seketika, sebuah kertas yang tertulis namaku dengan imbuhan kata ‘LULUS’ dan ‘Diterima’ di bawahnya. Ah, benarkah yang aku lihat ini? Aku diterima di univerisitas terbaik nomor satu di negeri ini?
“Selamat. Kau diterima menjadi mahasiswa baru di universitas ini, Affa…” sebuah suara membuatku terbangun dari rasa tak percayaku ketika melihat secarik kertas di tangan. Cowok itu tersenyum melihat tingkahku yang mungkin sudah biasa ia lihat dari mahasiswa lain yang sudah melihat pengumuman dan tulisan yang sama sepertiku. Tanpa sadar, akupun menangis terharu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya melihatku mengusap kedua mata, tiba-tiba saja air mataku keluar. Aku tak mengindahkannya. Aku tak bisa membendung lagi rasa bahagia yang tiada terkira. Perjuanganku telah berakhir, akhirnya aku diterima di sebuah universitas. Cowok menyebalkan itu tak tahu betapa selama ini aku berjuang demi menjadi mahasiswa di univeristas ini. Akhirnya… Akhirnya…
Kami berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar gedung ini. Lift tak bisa kami gunakan karena jam kerja yang sudah berakhir, pukul 17.00 sore secara otomatis lift tak beroperasi seperti biasa. Jalan kaki adalah pilihan akhir yang kami lakukan untuk bisa turun ke bawah lantai dasar.
Si cowok menyebalkan yang ternyata adalah seorang mahasiswa –lebih tepatnya adalah seorang WaPresma (Wakil Presiden Mahasiswa) atau istilah lainnya yaitu Wakil Ketua BEM Universitas- yang sedang mengamati hari ujian serta pengumuman pendaftaran mahasiswa baru yang diberi amanat oleh salah satu petugas untuk memberitahuku –calon mahasiswa yang paling akhir bin telat melihat pengumuman- diakhir acara. Si cowok yang memang bertugas paling akhir dan memang sedang dalam suatu kegiatan lain yang mengharuskannya untuk pulang paling akhir, dan bla bla bla, aku sama sekali tak perduli ketika aku hanya bertanya satu pertanyaan, siapa dia, dan entah kenapa justeru begitu banyak jawaban darinya.
Siapapun dia dan bagaimanapun pentingnya jabatan yang ia pegang setelah aku mengetahui statusnya, tak membuatku menghilangkan rasa kesal dan tetap memberinya cap menyebalkan karena telah membuat hariku tak menyenangkan.
“Maafkan kata-kataku tadi yang sepertinya tak membuatmu nyaman. Sungguh aku benar-benar tak mengira bahwa kau adalah salah satu calon mahasiswa di universitas ini.” katanya terdengar penuh kehati-hatian. Haha, baru sadar ternyata kalau dia memiliki kesalahan.
“Sepertinya kesan pertama pertemuan kita tak begitu menyenangkan. Hehe!” lanjutnya sembari tersenyum. Aku hanya berdehem pelan menjawab ucapannya. Entah kenapa walaupun ucapannya terdengar ramah dan mencoba mencairkan suasana yang terasa dingin, tak membuatku bersikap sama sepertinya. Rasa kesal yang sudah menggunung mengingat ucapannya ketika memanggilku adik kecil dan suara imut bin lucu, masih tertulis tebal di ingatanku, di memoriku.
Tak banyak yang kami bicarakan di sepanjang menuruni anak tangga. Hingga ketika kami tepat berada di lantai dasar, atmosfer yang berbeda terasa begitu sangat aku rasakan. Bukan lagi suasana santai dan penuh dengan suara renyah juga tawa si cowok yang belum aku ketahui namanya itu. Bukan pula merasakan kehadiran orang lain selain kita berdua di gedung berlantai lima ini. Melainkan suasana yang lain, atmosfer negatif yang keluar.
“Baiklah, sampai di sini pertemuan kita?” ucapnya seraya kembali tersenyum padaku. Ah, tidakkah dia bisa berhenti tersenyum untuk sebentar saja.
“Ya. Terimakasih juga!” jawabku tak sabar segera meninggalkan gedung itu. Suasana sudah sepi, hanya ada pak satpam yang lagi-lagi sedang sibuk dengan tablet papan cucinya. Sesekali menggeleng dan menganggukan kepala, mengikuti alunan musik dari earphone yang menghiasi kedua telinganya.
“Sekali lagi selamat datang di universitas ini. Sekarang kau sah menjadi mahasiswi. Aku yakin perjuanganmu tak akan sia-sia. Nah, semoga kita bisa berjumpa lagi, gadis kecil.” lantas ia berlari kecil meninggalkanku di depan pintu keluar gedung ini, menghindari tatapan tak menyenangkan dariku. Apakah dia tak tahu kalau sekarang aku sudah menjadi mahasiswa? Apakah ada yang salah dengan tubuhku? Racauku tak keruan.
Kaki ini melangkah santai meninggalkan halaman gedung berlantai lima itu. Gedung yang memiliki nama atau sebutan Gedung Kembar A, sementara Gedung Kembar B ada persis disebelah gedung kembar A. Salah satu bangunan yang menjadi daya tarik dari universitas ini. Gedung kembar sengaja dibangun tepat mengarah pada pintu gerbang utama, menyambut siapa saja yang datang. Aku hanya mendengarnya dari mulut-mulut para calon mahasiswa baru dan beberapa informasi di brosur mengenai salah satu daya tarik universitas ini.
Gedung kembar tersebut dibangun berbeda dari gedung-gedung lainnya. Seperti terdapat lima lantai lebih tinggi dari gedung yang lain, fasilitas dan kegunaan, serta letaknya yang lebih menyerupai gedung selamat datang di univeritas ini. Kalau dilihat dari kejauhan apalagi dari gerbang utama, gedung itu terlihat sangat megah dan seakan menyambut siapa saja yang baru datang pertama kali seperti aku. Ah, begitu senangnyakah aku sehingga menceritakan secara detail mengenai gedung kembar itu? Lupakan.
Matahari masih gagah menyinari bumi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 sore, bukankah seharusnya dia sudah redup, meninggalkan sejenak pekerjaannya pada sang bulan? Namun, sore ini mentari seperti enggan menanggalkan pekerjaannya lebih cepat. Mungkinkah ia masih ingin menemani bumi dengan awan dan langitnya yang biru dengan gradasi putihnya? Ataukah…
Ceracau tak jelasku mendadak terhenti ketika tiba-tiba telinga ini mendengar sebuah suara keributan dari samping gedung kembar A. Terdengar pula suara banyak manusia yang sepertinya sedang bertengkar, tidak melainkan…
Kulihat sosok si cowok menyebalkan sedang berkelahi dengan beberapa orang berpenutup kepala serba hitam, begitu pula dengan pakaian yang mereka gunakan. Cowok itu terlihat kesulitan menghadapi empat orang yang rata-rata memiliki postur tubuh yang sama. Terlihat pula bercak darah dan lebam di beberapa bagian wajahnya yang penuh dengan keringat. Apakah mereka sudah berkelahi sejak tadi? Tanyaku sambil berusaha menutupi tubuh dibalik tembok melihat adegan mereka.
Aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan, namun yang jelas apakah aku hanya menjadi penonton melihat mereka yang sedang berkelahi? Bukankah aku harus melakukan sesuatu? Satpam. Segera aku berlari memutar arah, berusaha meminta pertolongan pada sosok manusia yang memiliki status satpam di meja receptionist di depan pintu masuk gedung kembar A.
What?! Dimana sosok tinggi besarnya yang sedang terlena dengan earphone di kedua telinganya? Sial. Dasar satpam tak berguna. Dan ada apa dengan gedung ini, tak ada satu orangpun yang terlihat dikedua mata ini. Sepi. Bahkan dibeberapa bagian gedung sudah menyala cahaya lampu, pertanda malam hendak tiba.
Kaki ini kembali berlari kearah sumber perkelahian. Tidak lagi, karena sekarang si cowok tengah terkapar ditengah-tengah mereka, salah seorang di antara keempat laki-laki berpakaian serba hitam membawa balok kayu, mungkinkah… Pikiran buruk segera memenuhi kepalaku.
Belum selesai praduga negatif dalam batinku bicara, mereka berempat kompak membawa tubuh si cowok ke dalam sebuah karung, membawanya seakan mereka sedang membawa sampah, menyeretnya meninggalkan tempat kejadian, hilang di balik semak-semak yang membatasi gedung kembar A dan B.
Di saat seperti ini pertanyaan ‘apa yang harus aku lakukan’ adalah yang paling tepat. Sebab aku memang tak tahu harus berbuat apa. Meninggalkan tempat itu dan pergi melenggang pulang ke kosan baru yang tak sabar menunggu kedatanganku dan menganggap semuanya tak pernah terjadi, atau mengikuti keempat sosok mereka yang membawa si cowok pergi? Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi atau mencari orang untuk menolong? Sungguh dilemma yang sama sekali tak membantu.
¤¤¤